November 2016 - Sang Pemburu Badai

Minggu, 13 November 2016

DSN - Daurus Tsani (Putaran Kedua) : Firqah Islam Dan Peta Pemikiran Islam Modern

16.21 2
DSN - Daurus Tsani (Putaran Kedua) : Firqah Islam Dan Peta Pemikiran Islam Modern
Bersama KH. Dr. Shidqan Maesur, Lc., MA.




Muqaddimah
Pemateri pada awal pembicaraannya dalam Dauroh Santri Nusantara (DSN) - Daurus Tsani Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Jetis, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang mengawali dengan sebuah kata mutiara untuk memberikan semangat kepada para santri :

أنتم شبان اليوم رجال الغد
“Kalian para santri pada saat ini adalah para pemuda dan para remaja, dan suatu saat nanti akan menjadi tokoh-tokoh yang meneruska perjuangan para ulama’ dan kiyai”
Dan beliau juga mengutip sebuah kalimat dalam kitab Iddzotun Nasyi’in :

في أيديكم أمر الأمة، وعلى أقدامكم حياتها
“Dalam kekuasaan kalian lah diletakkan permasalahan umat ini, dan dalam  derang langkah kaki kalian lah keberlangsungan hidup umat ini tetap terjaga”


Firqah-Firqah Islam
Firqah merupakah kata jamak (plural) yang mufradnya adalah Firaq. Arti dari firqah sendiri adalah kelompok, golongan, pantan, dan lain sebagainya. Seringkali kata firqah juga disebut dengan istilah madzhab atau madrasah. Akan tetapi kata madzhab lebih sering identik dengan kelompok fiqih. Pada zaman ulama’ salaf juga sering kali dikenal istilah Madrasah Naqli (aliran pemikiran tekstual) dan Madrasah Aqliyyah ( aliran pemikiran kontekstual).

Oleh para ulama’ tarikh (sejarah), agar pembahasan tentang firqah-firqah dalam Islam lebih terarah, maka dibuatlah pembagian terhadap firqah-firqah tersebut. Pembagian didasarkan kepada subtansi pemikiran, latar belakang, serta tujuan dari setiap firqah tersebut. Adapun pembagiannya menjadi 3 bagian, yaitu

1.      Firqah Siyasiah, yaitu kelompok atau golongan yang subtansi pemikiran serta tujuan dari kelompok tersebut lebih berorientasi kepada politik atau kekuasaan, tetapi juga tidak menutup kemungkinan bahwa firqah tersebut juga mempunyai ideology sendiri. Contoh dari firqah ini adalah Syiah dan Khawarij. Kedua firqah tersebut muncul menjelang tahun 40 H, yang berawal pada saat konflik antara Ali dan Muawiyah. Khawarij Merupakan kelompok yang sangat kejam dan berniat untuk membunuh para tokoh-tokoh Islam. Mereka adalah orang muslim yang taat tetapi berfaham radikal. Ibnu Muljam (seorang tokoh khawarij dan pembunuh Ali) sendiri merupakan seorang Hafidzul Qur’an dan pernah bertugas di Mesir. Bahkan ketika membunuh Ali pun dia sambil membaca ayat Al Qur’an. Semangat khawarij muncul pada saat sekarang dengan banyaknya kelompok-kelompok yang berperilaku seperi mereka. Pada era modern ini beberapa kelompok radikal mempunyai kemiripan dengan khawarij, seperti orang-orang yang tekun dalam ibadahnya, serta mempunyai pemahaman agama yang mumpuni tetapi kemudian mereka sangat mudah untuk menuduh kelompok lain sebagai kafir atau murtad. Oleh karena itu beberpa ulama’ memberikan nama terhadap kelompok garis keras seperti ini sebagai neo khawarij.

2.      Firqah I’tiqadiyah, yaitu kelompok atau golongan yang lebih berkonsentrasi kepada pemikiran, serta membahas masalah ketauhidan atau ushuluddin (ideologi agama), dan tidak berorientasi kepada kekuasaaana atau politik. Contoh dari firqah ini adalah firqah Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyyah, Jabariyah, Qadariyyah, serta Wahabiyah pada era modern ini. Ahlussunnah wal jamaah sendiri lebih diidentikkan dengan firqah I’tiqadiyyah karena subtansi dari pemikirannya berkutat pada masalah ideologi (tauhid) yang dibangun pondasinya oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ary dan Abu Mansur Al-Maturidy. Sedangkan Wahabiyyah dibangun oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab, salah seorang tokoh di Arab Saudi. Ibnu Abdul Wahab sendiri sering kali mengkaji serta mengimplementasikan ajaran ideology yang disusun oleh Ibnu Taimiyyah. Sedangkan secara fiqih, Wahabiyyah mengikuti madzhab Hanbali. Wahabiyyah sendiri terhitung sebagai madzhab yang kurang konsisten dengan konsep firqah atau madzhab mereka, seperti pada awal mulanya pernah mengharamkan meminum kopi tetapi sekarang mereka menghalalkannya.

3.      Firqah Fiqhiyyah atau Madzahib Fiqhiyyah, yaitu kelompok atau golongan yang lebih berkonsentrasi terhadap ijtihad dalam ranah fiqih atau produk-produk hukum Islam. Bagian dari firqah atau madzhab ini sudah sering kita ketahui diantaranya adalah Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Dzohiry, Thobary, Ats-Tsuary, dan lain sebagainya. Syafiiyah sendiri terhitung sebagai mazhab yang diikuti oleh mayoritas umat Islam modern.


Thareqat atau sufi juga seringkali disebut sebagai firqah bagi sebagian kalangan. Tetapi sebagian ulama’ jugatidak memasukkannya menjadi firqah tersendiri, karena setiap macam dari 3 kelompok firqah tadi juga sudah mempunyai ciri khas dalam bilang tasawwuf, atau setiap dari kelompok tersebut juga sudah mempunyai nilai-nilai tasawuf sendiri.

Sangat banyak kitab yang berbicara tentang firqah-firqah dalam Islam. Akan tetapi kitab yang paling bagus atau menjadi kitab induk dalam bidang ini adalah Kitab Taarikhul Madzahib Al-Islamiyyah fi Al-Siyasah Wal Aqaid Wal Madzahib Al-Fiqhiyyah karya Imam Abu Zahrah.


Peta Pemikiran Islam Modern : Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama atau NU jika didefinisikan sebagai sebuah organisasi adalah organisasi massa yang mengikuti aqidah Ahalussunnah wal Jamaah yang mengikuti konsep Maturidiyyah dan Asy’ariyyah, dalam fiqihnya mengikuti madzhab empat, dan dalam tasawufnya mengikuti mengikuti madzhab taswauf yang mu’tabarah (seperti Imam Junaidi, Imam Bahaudin An-Naqsabandi, Imam As-Syadzili dan lain sebagainya). Akan tetapi jika mendefinisakan seperti apakah orang NU maka akan sangat sulit didefinisikan karena banyak macamnya dan beraneka ragam pemikirannya.

NU secara organisasi berdiri tahun 1926, tetapi masyarakat NU sendiri sudah ada pada zaman sebelumnya. Walaupun secara organisasi terlahir lebih belakang, tetapi secara amaliyah NU jauh lebih ada sebelum Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri pada awalnya sama dengan NU dalam ritualnya, akan tetapi kemudian mulai menajadi beda ketika ada Majlis Tarjih yaitu sebuah lembaga yang berfungsi untuk memberikan keputusan dan menjadi rujukan dalam permasalahan-permasalahan agama Islam. Majlis Tarjih sendiri seringkali diisi oleh para pakar muda Muhammadiyah.

NU adalah organisasi yang memiliki konsep washatiyyah, yaitu bersikap moderat atau di tengah-tengah dan dapat merangkul siapapun. Selain itu NU juga mempunyai konsep tasamuh, yaitu bersikap toleran, dan tawazun, yaitu bersikap adil dan seimbang. Konsep ini merupakan warisan dari para walisongo yang berhasil menyebarkan Islam di tanah nusantara dengan konsep tersebut. Maka tidak heran apabila NU kemudian banyak pengikutnya dan dapat diterima oleh semua golongan, serta dapat merangkul semua orang dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan budaya. Oleh karena itu pada era modern ini NU tidak hanya menjadi organisasi terbesar se-Indonesi, tetapi juga se-Dunia.

Dalam menyikapi isu-isu terkini, utamanya terkait isu penistaan agama oleh Guernur Basuki Tjahya Purnama (Ahok) beliau menghimbau kepada umat Islam untuk tidak mudah terprovokasi masalah tersebut. Kita dituntut untuk lebih jeli dan dewasa menyikapi isu yang berkembang. Dan menurut beliaupun sebenarnya tidak ada penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, dan kita bisa melihat videonya secara langsung di Youtube.

Keadaan yang berkembang pada saat ini pun lebih condong mengarah kepada permasalahan politik, sudah tidak murni lagi kepada permasalahan penegakan hukum. Beliau sepakat dengan arahan PBNU yang mengintruksikan kepada warga NU untuk tidak terlibat aktif dalam demo tanggal 04 November 2016 kemarin. Dalam hal ini yang ingin dikedepankan oleh PBNU adalah untuk menjaga agar Indonesia tetap aman damai dalam bingki uruh NKRI. PBNU dalam hal ini pun sudah sangat bersikap moderat, dengan tidak mendukung demontrasi yang dilaksanakan, serta mendukung dan menyerahkan kepada aparat penegak hukum untuk menangani dan menyelesaikan permasalahan ini.



Kalimatul Ikhtitam (Closing Statement)
Pada kalimatul ikhtitam (closing statement) oleh K. M. Rozi Toha, beliau mengajak kita sebagai warga NU untuk tetap menjaga ukhuwah (rasa persaudaraan), serta tidak memancing pertentangan dengan sesama. Santri tidak boleh terprovokasi, apalagi sampai mengikuti demo. Mengikuti arahan PBNU dalam menyikapi permasalahan bangsa ini merupakan hal yang paling selamat, dan harus paling dikedepankan. NU sebagai benteng NKRI tentunya akan selalu terdepan menolak segala tindakan-tindakan yang dapat menghancurkan keutuhan negeri ini.

Bagi para santri dan alumni agar selalu berdoa untuk keselamatan bangsa ini. Para ulama’ dan pahlawan tidaklah mudah memperjuangkan Republik Indonesia. Dengan penuh perjuangan, mengorbankan nyawa dan harta, mereka berkeinginan agar Negara ini tegak berdiri. Oleh karena itu kita harus selalu menjaganya. Jangan sampai kita mudah diadu domba. Jangan sampai Negara ini terjadi perpecahaan dan perang saudara. Oleh karena itu marilah kita dengan sekuat tenaga berjuang untuk mempertahankan NKRI, serta dengan selalu berdoa untuk Negara kita agar tetap jaya. 


Catatan Santri Duta Perdamaian (2) : Damai Dalam Dialog Lintas Agama

16.04 0
Catatan Santri Duta Perdamaian (2) : Damai Dalam Dialog Lintas Agama
oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)




Catatan saya kali ini adalah tentang perjalanan dalam kegiatan dialog lintas agama. Kegiatan ini dikemas dalam “Semiloka Fundamentalisme Agama; Studi Kasus Kekerasan Berbasis Agama” yang diselenggarakan oleh Dialog Center UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) dengan sponsor UEM Jerman. Kegiatan lintas agama seperti ini bukan lah kegiatan yang pertama kali saya ikuti. Tetapi kegiatan kali ini merupakan dialog lintas agama yang intens karena diselenggarakan selama 3 hari di Wisma Sabda Mulia, di sebelah timur lapangan Pancasila Kota Salatiga.

Menjadi peserta dalam kegiatan ini adalah para perwakilan berbagai pimpinan keagamaan seperti pendeta Gereja, Wihara, dan Pura; perwakilan organisasi seperti FKUB, IPNU, IPPNU, PMII. Dan Gusdurians; perwakilan kampus seperti STIAB Samaratungga Ampel, STT Sangkakala Getasan, STAB Syailendra, dan IAIN Salatiga; dan saya sendiri satu-satunya yang mewakili LSM, yaitu Lembaga Desaku Maju. Ada sekitar 40 peserta dari berbagai usia, dengan usia paling tua 86 tahun yang berasalan dari perwakilan gereja, dan untuk agama Islam sendiri semuanya diwakili oleh kalangan muda (mahasiswa).

Bagi sebagian kalangan, kegiatan lintas agama seperti ini masih menjadi sebuah ke-haram-an atau pantangan. Tidak sedikit bagi mereka yang masih menganggap sinis akan kegiatan seperti ini, sepeti dengan menuduhnya ada program pemurtadan, program kelompok liberal, serta tuduhan-tuduhan yang lainnya. Maka sah-sah saja bagi sebagian orang untuk kemudian berprasangka buruk, atau kemudian menjadi anti terhadap kegiatan-kegiatan seperti itu. Bagi setiap orang yang memiliki sebuah keyakinan atau aqidah tentunya mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi keyakinan mereka. 

Begitupun dengan saya, perasaan curiga juga sering kali muncul dalam mengikuti kegiatan seperti ini. Tetapi hal itu bukan menjadi alasan saya untuk tidak mengikuti kegiatan tersebut. Bukan karena merasa yakin aqidah saya tidak terganggu, tetapi karena saya lebih yakin bahwa setiap agama mengajarkan perdamaian, mengajarkan persaudaraan, dan tidak ada yang mengajarkan permusuhan. Selain itu juga, bersahabat dengan orang non muslim juga bukan berarti sesuatu yang dilarang, karena Nabi Muhammad sendiri mempunyai banyak tetangga dan sahabat akrab yangnon muslim juga. Bahkan dengan mengikuti kegiatan seperti itu saya dapat lebih mengenalkan apa itu Islam, apa itu ajaran Muhammad yang penuh kasih sayang, yang akan menjelaskan kepada sebagian orang yang pada akhir-akhir ini merasa sentiment terhadap orang Islam karena perilaku beberapa golongan radikal.

Dr. Zainudin dari Dialog Center UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dialog antar umat beragama adalah cara yang paling bermatabt dalam menjalin perbedaan keyakinan agama, sebab dalam dialog orang akan bertemu tatap muka untuk saling memahami dan menghargai perbedaan, baik teologis maupun etnis, suku, bahasa, dan asal usul. Melalui dialog antar iman, orang akan merasa bahwa empati dan toleransi terhadap orang yang berbeda agama akan muncul sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan orang lain. 


Dalam berdialog antar umat beragama beliau memberikan rumus agar hasilnya  dapat sukses dan maksimal, yaitu harus dilakukan dalam kesetaraan dam tidak boleh merasa paling dominan, sehingga semua pemeluk agama pemeluk agama-agama bisa bertegur sapa dan toleransi. Kenyataan bahwa hubungan agama-agama terjadi keretakan bisa diakibatkan karena pemeluk agama masih tertutup dan belum mau terbuka, sehingga eksklusifitas keagamaan masih sering muncul. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi keretakan antar umat beragama perlu dilakukan langkah-langkah kongkrit yaitu keterbukaan komunikasi social antar umat beragama dengan saling menghormati dan menghargai perbedaan dalam kehidupan social.

Pada sesi panel materi, kegiatan tersebut diawali oleh pemaparan tentang fudamentalisme dari berbagai agama. Dari agama Islam diwakili Dr. Agus Muh Najib, M.Ag. (Dialog Center UIN Sunan Kalijaga), agama Kristen diwakili Prof. Dr. John Titally (Rektor UKSW Salatiga), agama Budha diwakili oleh Suranto, S.Ag., M.A. (Dosen STAB Syailendra), dan agama Hindu diwakili oleh Rama Wikusatya Dharma Telaga. Dari materi yang disampaikan hamper semuanya menjelaskan tentang sejarah panjang fundamentalisme yang muncul dalam agamanya masing-masing, dan bagaimana bahaya faham tersebut dalam bermasyarakat dan beragama. Hampir semua panelis sepakat akan bahaya sebuah faham fundamentelis. Semua panelis juga sepakat tentang bagaimana semua agama sejatinya menyebarkan akan sebuah kedamaian, dan menolak akan tindakan kekerasan baik itu terhadap pemeluk agamanya sendiri maupun terhadap pemeluk agama lain.

Akan tetapi yang kemudian menjadi menarik bagi saya adalah apa yang disampaikan oleh perwakilan dari agama Budha, Suranto S.Ag., M.A. Beliau menekankan bahwa sejatinya dalam agama Budha sendiri lebih menekankan kepada pemahaman teks-teks kitab suci secara murni, yang menunjang seseorang untuk lebih taat terhadap ajaran agamanya. Mungkin bagi sebagian kalangan sikap seperi ini dapat dianggap sebuah sikap fundamentalis. Sehingga apabila seseorang itu lebih akan berbakti dengan sikap fundamentalis, maka itu sangat dianjurkan. Oleh karena itu, selama faham fundemantalis hanya diimplementasikan dalam agamanya masing-masing maka itu tidak menjadi masalah. Akan tetapi beliau juga memberikan catatan, yaitu apabila efek dari fundamentalisme sudah masuk pada ranah kekerasan, maka hukum pun juga harus ikut bertindak.
“Agama memang sumber pencerahan, tetapi jangan cemari pencerahan itu dengan melakukan kejahatan atas nama agama. Belajarlah dari keanekaragaman, karena tidak ada jaminan bahwa perdamaian hanya akan terjadi ketika hanya ada satu agama yang berkembang. Menumbuhkan cinta kasih dalam perbedaan menjadi akar keharmonisan” (Suranto, Dosen STAB  Syailendra).

Kamis, 10 November 2016

Bupati Kabupaten Semarang Pimpin Deklarasi Santri Cinta Damai

05.38 0
Bupati Kabupaten Semarang Pimpin Deklarasi Santri Cinta Damai

Tuntang – Bupati Kabupaten Semarang, dr. Mundjirin, S.pog memimpin Deklarasi Santri Cinta Damai dalam penutupan Workshop Pesantren For Peace Provinsi Jawa Tengah di Pon-Pes Edi Mancoro Tuntang Kabupaten Semarang, 1-3 November 2016. Acara yang diikuti oleh perwakilan 30 pondok pesantren se-Jawa Tengah tersebut mengambil tema “Membangun Pemahaman Perdamaian Berbasis Pesantren Persepektif HAM”. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Jerman, European Union (EU), dan Pondok Pesantren Edi Mancoro sebagai panitia lokal.

Dalam sambutannya dr. Mundjirin mengatakan bahwa santri merupakan salah satu benteng pertahanan NKRI, serta pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Tetapi pada akhir-akhir ini beberapa orang menuduh pesantren sebagai sarang terorisme dan pembibitan orang-orang radikal. “Saya berharap acara seperti ini dapat memberikan pengalaman bagi para santri, sehingga dapat menunjukkan eksistensi mereka dalam mempromosikan HAM dan Perdamaian”, jelasnya di akhir sambutan.

Di akhir acara, Bupati memimpin pembacaan deklarasi Santri Cinta Damai yang diikuti oleh seluruh hadirin. Adapun bunyi deklarasi tersebut adalah
Bismillahirrahmaanirrahim
Atas Nama Cinta Perdamaian
Dengan Mengucakan Asma Allah yang Rahman dan Rahim, yang memiliki banyak sebutan namun satu ada-Nya.
Kami Santri Indonesia yang lair dalam keluarga Muslim, dibesarkan dan dididik dengan nilai-nilai Islami yang Universal dan meruakan Rahmat bagi seluruh alam; bersama ini kami mendeklarasikan:
Satu; Berpegang teguh pada aqidah dan ajaran Islam yang cinta damai
Dua; Bertanah air satu, tanah air Indonesia; Berideologi satu, Ideologi Pancasila; Berkonstitusi satu, Konstitusi UUD 1945; Berkebudayaan satu, kebudayaan Bhineka Tunggal Ika.
Tiga; Menolak segala macam dan bentuk kekerasan yang dilakukan atas nama agama, dalam hal ini khususnya agama Islam.
Empat; Menolak pemaksaan pemahaman yang dilakukan oleh para penganut kekerasan atas nama Islam dengan cara intimidasi.
Lima; Ikut bereran aktif dalam penanaman nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) di tengah-tengah Pesantren dan Masyarakat.
Enam; Ikut berperan aktif dalam pencegahan dan penanganan konflik di tengah-tengah masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi  rasa toleransi, persaudaraan, serta penghormatan atas hak-hak orang lain.
La Haula Wala Quwaata Illa Billahil ‘Aliyyil ‘Adzim

Hadir dalam acara diatas Direktur CSRC Dr. Irfan Abu Bakar, perwakilan Uni Eropa Saiti Gusrini, Camat Banyubiru, perwakilan Kemenag, NU, Muhamadiyah, dan tamu undangan. Sebelumnya selama tiga hari peserta mendapatkan materi-materi, yaitu “Hak Asasi Manusia dalam Islam” oleh Dr. Sidqan Hamzah (Dosen Undip), “Perdamaian Dalam Islam” oleh Haryo Aji Nugroho, Lc., M.Pd. (Dosen IAIN Salatiga), “Toleransi Dalam Islam” oleh KH. M. Dian Nafi (PWNU Jawa Tengah), dan “Resolusi Konflik” oleh Fahsin M. Fa’al, M.Si. (PP GP Ansor). (Julius Hisna/Muhammad Najmuddin Huda)

KH. Dian Nafi: Tanpa Adanya Titik Temu, Mustahil Terwujud Toleransi

05.32 0
KH. Dian Nafi: Tanpa Adanya Titik Temu, Mustahil Terwujud Toleransi


Tuntang – Dalam masyarakat yang majemuk merupakan hal yang lumrah akan adanya sebuah perbedaan. Oleh karena itu kemajemukan menyebabkan sulitnya dicapai sebuah titik temu. Tanpa adanya keinginan untuk mencapai titik temu, maka menciptakan toleransi adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu harmonisasi merupakan kebutuhan bersama dalam masyarakat yang majemuk. Selain itu, upaya-upaya integratif harus selalu diusahakan, bertumpu kepada prakarsa masyarakat dan negara untuk mencapai keseimbangan sosial.
                         
Hal di atas merupakan sebagian materi Toleransi Dalam Islam yang disampaikan oleh KH. M. Dian Nafi, Syuriyah PWNU Jawa Tengah. Materi tersebut disampaikan dalam Workshop Pesantren For Peace Provinsi Jawa Tengah di Pon-Pes Edi Mancoro Tuntang Kabupaten Semarang, 1-3 November 2016. Acara yang diikuti oleh perwakilan 30 pondok pesantren se-Jawa Tengah tersebut mengambil tema “Membangun Pemahaman Perdamaian Berbasis Pesantren Persepektif HAM”. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Jerman, European Union (EU), dan Pondok Pesantren Edi Mancoro sebagai panitia lokal.

KH. Dian Nafi menjelaskan lebih jauh toleransi sebagai tindakan membiarkan orang lain berpendapat berbeda, melakukan hal yang tidak sependapat, tanpa diganggu. Batasan toleransi adlah hukum, negara, dan agama. Para santri harus bisa membedakan antara tolerasi dan toleransi. Toleransi sendiri dipegang oleh masyarakat, sedangkan tolerasi diegang oleh negara. Kadang kala keduanya tidak sepakat. “Pesantren seharusnya bukan hanya membangun pandangan hidup yang baik saja, tetapi juga membangun kualitas hidup yang lebih baik”, tandasnya di akhir sesi untuk menutu acara.

Selain materi di atas, peserta juga mendapatkan materi tentang “Hak Asasi Manusia dalam Islam” oleh Dr. Sidqan Hamzah (Dosen Undip), “Perdamaian Dalam Islam” oleh Haryo Aji Nugroho, Lc., M.Pd. (Dosen IAIN Salatiga), dan “Resolusi Konflik” oleh Fahsin M. Fa’al, M.Si. (PP GP Ansor). Acara ditutup pada hari kamis dengan Deklarasi Santri Cinta Damai yang dipimpin Bupati Kabupaten Semarang, dr. Mundjirin, S.Pog. (Julius Hisna/Muhammad Najmuddin Huda).