Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)
A.
Sejarah Hukum Keluarga
Hukum
Keluarga adalah segala aturan, hukum, dan perundangan yang menyangkut kehidupan
berkeluarga. Beberapa negara mempunyai aturan perundangan yang satu dan
betul-betul disebut dengan Hukum Keluarga (Family Law). Sementara negara
lainnya mempunyai hukum keluarga yang tersebar di berbagai aturan perundangan.
Dalam
sejarah, sejak dulu hingga kini hukum keluarga ini adalah satu-satunya hukum
Islam yang selalu diterapkan oleh masyarakat Muslim; baik mereka yang hidup di
negara dan kerajaan Islam, seperti Mesir dan Saudi Arabia; negara semi sekuler,
seperti Indonesia dan Malaysia; negara sekuler atau non Muslim, seperti
komunitas Muslim di Singapura dan Amerika yang tentu saja hanya diberlakukan
untuk komunitasnya sendiri. Hal ini berarti bahwa hukum Islam yang berkaitan
dengan kehidupan sebuah keluarga hampir bisa dipastikan diterapkan baik secara
formal maupun non formal oleh komunitas Muslim tanpa menunggu sebuah negara
menjadi Islam atau masyarakat menjadi mayoritas dalam sebuah negara.
B. Sejarah
Hukum Keluarga di Maroko
Upaya
reformasi hukum keluarga yang adil dan setara salah satunya dapat kita pelajari
dari Maroko dengan Mudawanah-nya. Mudawanah telah mencapai prestasi yang cukup spektakuler
dalam melakukan reformasi hukum keluarga Islam yang didasarkan pada cara
pandang yang adil dan setara pada laki-laki dan perempuan baik dalam kedudukan
mereka sebagai suami dan istri, maupun orang tua dan anak.
Maroko
adalah sebuah negara berbentuk kerajaan Islam dengan populasi sebanyak
31.993.000 jiwa. Jumlah ini sedikit lebih banyak dari populasi Propinsi Jawa
Tengah yang memiliki jumlah penduduk 30.775.846 jiwa. Bahasa utamanya adalah
Arab dan bahasa Asing terpopulernya adalah Perancis. Penganut Muslim mencapai
99 persen dengan mazhab Sunni. Jadi Muslim Sunni dapat disebut sebagai
mayoritas tunggal di negara ini. Pada 2004, Maroko mencatat sejarah dengan
disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah, selanjutnya disebut Mudawanah)
yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini
merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad.
Beberapa
capaian signifikan dalam Hukum Keluarga ini adalah adanya ketentuan sebagai
berikut; (1) Keluarga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan
perempuan merevisi aturan sebelumnya bahwa laki-laki adalah penanggung jawab
tunggal keluarga; (2) perempuan tidak membutuhkan ijin wali untuk menikah,
sehingga perempuan secara hukum dilindungi UU untuk menentukan sendiri calon
suaminya dan menolak untuk dipaksa menikah dengan lelaki yang bukan pilihannya;
(3) batas usia minimum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama
18 tahun merivisi aturan sebelum di mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki
17 tahun, yang mengatur laki-laki dan perempuan dari praktik pernikahan dini;
(4) poligami mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang
membebaskan poligami.
Capaian
tersebut tentu saja diawali dengan sejarah panjang dalam menentukan dan
melaksanakan langkah-langkah strategis. Pertama, melakukan koordinasi dengan
aktifis-aktifis perempuan lintas sektoral. Koalisi para aktifis perempuan
diakui sebagai kekuatan dahsyat yang memungkinkan revisi Hukum Keluarga ini.
Kedua, merumuskan Hukum Keluarga seperti apa yang ingin dicapai dan
perubahan-perubahan apa yang dikehendaki. Ketiga, membangun argumentasi
teologis maupun non teologis yang kuat dari berbagai perspektif termasuk HAM
dan CEDAW. Keempat, melakukan advokasi ke pengambil kebijakan. Tuntutan
perubahan Hukum Keluarga dengan berbagai argumentasi tersebut dikemukakan
kepada anggota DPR yang mempunyai otoritas membuat Undang-Undang (UU),
pemerintahan, dan partai. Kelima, membentuk opini publik agar masyarakat
memahami dan menyadari apa yang sedang diperjuangkan, baik melalui media,
demonstrasi di jalan-jalan dan memobilisasi massa dari berbagai elemen
masyarakat dan kekuatan politik.
Keberhasilan
gerakan Mudawanah dalam melahirkan hukum keluarga (al-Mudawanah al-Usrah) yang
adil dan setara ini tidak bisa dilepaskan dari peran penting Raja Muhammad
al-Malik as-Sa'id sebagai pemilik otoritas tertinggi di bidang politik sebagai
pemimpin negara sekaligus otoritas tertinggi di bidang agama sebagai pemimpin
para Ulama di Maroko. Pada awalnya perlunya revisi hukum keluarga untuk
menjamin keadilan bagi laki-laki sekaligus perempuan ini selalu dibahas di mana
saja hingga ke kerajaan. Setelah proses yang cukup lama akhirnya tuntutan
perubahan Hukum Keluarga tersebut mendapat sambutan yang positif dari Raja
dengan dibentuknya Komisi Khusus yang menelaah draft usulan
perubahan Hukum Keluarga dan selalu melibatkan kalangan aktifis perempuan dalam
setiap pembahasannya. Setelah tiga tahun diproses oleh Komisi Khusus ini,
akhirnya Raja mengesahkan Revisi Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) pada
2004.
Proses
perjuangan tidak kalah penting dengan hasilnya. Ditetapkannya Hukum Keluarga
yang mengakomodir perempuan dalam setiap prosesnya merupakan jalan bagi
terwujudnya demokrasi bagi perempuan di Maroko. Tentu peran serta Raja tidak
bisa diabaikan dalam hal ini karena ia sendirilah yang menghadapi serangan dari
kelompok Muslim Konservatif. Namun tidak sedikit dari kalangan konservatif yang
kemudian menyetujui revisi tersebut dan menyadari bahwa penolakan tersebut
bukanlah soal agama melainkan politik. Misalnya, mereka mengatakan bahwa
keharusan ijin wali bagi perempuan untuk menikah hanyalah soal politik (bukan
agama).
Salah satu
catatan penting dari keberhasilan reformasi Hukum Keluarga di Maroko ini adalah
pentingnya membangun argumentasi yang didasarkan pada tradisi agama dan sosial
Maroko sendiri sehingga masyarakat dapat diyakinkan bahwa reformasi ini adalah
dari dan untuk mereka sendiri. Perspektif sosial merupakan argumen yang utama.
Perubahan sosial saat ini telah memungkinkan banyak perempuan terlibat dalam
mengurus negara dengan menjadi anggota legislatif dan menjalankan tugas negara.
Tidak mungkin ketika perempuan bisa mengendalikan negara, tidak bisa
mengendalikan diri sendiri. Artinya, dalam era di mana seorang perempuan yang
sudah bisa mengendalikan negara dengan menempati berbagai jabatan strategis
negara, pastilah para perempuan lainnya telah bisa mengendalikan diri sendiri.
Secara
teologis pun ternyata banyak ditemukan tradisi pemikiran Islam di berbagai
bidang yang dapat dijadikan argumentasi untuk mendukung perubahan Hukum
Keluarga ini. Sayangnya baik ayat, hadis, maupun pandangan para ulama klasik
yang mendukung dan mendorong lahirnya keadilan gender dalam keluarga Muslim ini
kalah dengan berbagai macam kepentingan yang bertentangan dengannya. Apa yang
terjadi di Maroko sesungguhnya merupakan contoh konkrit di mana Islam selalu
ditafsirkan ulama dalam konteks politik tertentu, lebih-lebih jika melibatkan
penguasa. Tafsir dapat melahirkan ketidakadilan bila dilakukan dengan asumsi
yang tidak adil dan oleh subyek yang tidak adil. Namun, juga bisa melahirkan
dan menjamin keadilan bila dilakukan oleh pemegang otoritas yang adil dan
mempunyai cara pandang yang adil pada laki-laki dan perempuan sebagaimana
terjadi Maroko.
Jika
keadilan gender telah terjadi semenjak dalam keluarga, maka mimpi tentang dunia
yang adil pun dapat lebih mudah menjadi nyata.
C.
Sekilas Tentang Negara Maroko
Saat ini
penduduk Maroko berjumlah 33.723.418 jiwa, 99 % adalah muslim penganut sunni
Maliki.[1]
Maroko adalah negara yang berbentuk kerajaan, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-mamlakah
al-maghribiah (kerajaan yang di Barat), terkadang juga disebut dengan al
maghrib al aqsha (kerajaan yang terjauh di Barat). Dalam Bahasa Inggris
disebut dengan Marocco, yang berasal dari bahasa Spanyol Maruecos, bahasa
latinnya Morroch, di masa pra modern Arab dikenal dengan Marrakesh. Maroko
mencapai kemerdekaannya dari Prancis pada tahun 1956 dengan sistem kerajaan
konstitusional yang berada di Barat Laut Afrika.[2]
Sejak awal abad
20, Maroko berada di bawah kekuasaan “perlindungan” Prancis. Pada bulan Agustus
1953, Ahmed Belbachir Haskouri, salah seorang tangan kanan Sultan Muhammad V
memproklamirkan Sultan Muhammad V sebagai penguasa Maroko yang sah. Pada
Oktober 1955, kelompok Jaish al-Tahrir atau Pasukan Pembebasan yang dibentuk
oleh Komite Pembebasan Arab Maghrib melancarkan serangan ke jantung pertahanan
dan pemukiman Prancis di kota-kota besar di Maroko. Peristiwa di atas, bersama
peristiwa lain di masa itu telah meningkatkan solidaritas di kalangan orang
Maroko. Masyarakat Maroko mengenal masa itu sebagai masa revolusi yang
digerakkan oleh Raja dan Rakyat atau Taourat al-Malik wa Shaab dan
dirayakan setiap tanggal 20 Agustus.[3]
D.
Perkembang Hukum Keluarga di Maroko
1.
Kedudukan
Wali dalam Hukum Keluarga Maroko
Bentuk
peraturan hukum keluarga di Maroko dipengaruhi oleh negara yang secara politik
telah lama mendominasinya yaitu Spanyol dan Prancis. Diantara pengaruh tersebut
adalah adanya kodifikasi hukum keluarga yang dikenal dengan Code of Personal
Status atau mudawwanah al ahwal al shakhsiyyah yang terjadi pada
tahun 1957-1958. Terakhir hukum keluarga di Maroko ditetapkan pada tanggal 3
Februari 2004 yang disebut mudawwanah al ahwal al shakhsiyyah al jadidah fil
al maghrib. Undang-Undang ini berisi 400 Pasal, terdapat tambahan 100 pasal
dari undang-undang yang ditetapkan pada tahun 1957.
Wali nikah
dalam hukum keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan
bahwa dalam perkawinan harus terpenuhi: kebolehannya seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan
mahar, adanya wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya
halangan untuk menikah. Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang
mengharuskan adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali
sedangkan Pasal 18, seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan
yang menjadi walinya.
Penjelasan
kedudukan wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam
pernikahan menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang
perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau
ia menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah menghapus
kedudukan wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan
mempelai perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus
ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya).
Ketentuan ini juga menghapuskan kedudukan wali adlol, karena pada
dasarnya wali adlol muncul karena adanya hak wali bagi orang tua
terhadap anak perempuannya.
Apabila
dibandingkan dengan hukum Jordania yang sama memakai mazhab Hanafi dalam
masalah wali, tampaknya Maroko cenderung lebih jauh memberikan pemahaman
terhadap kewenangan perempuan dalam pernikahan. Maroko mengangap bahwa
perwalian bukanlah hak dari orang tuanya, tetapi hak anak perempuan itu
sendiri.
2.
Usia
dalam Perkawinan
Batas minimal usia boleh kawin di Maroko bagi laki-laki adalah 18
tahun, sedangkan bagi wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali
jika perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas
umur kedewasaan. Pembatasan umur demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam
al-qur’an, al-hadits maupun kitab-kitab fiqh. Hanya saja para ulama madzhab
sepakat bahwa baligh merupakan salah satu syarat dibolehkannya perkawinan,
kecuali dilakukan oleh wali mempelai. Imam Malik menetapkan usia 17 tahun baik
bagi laki-laki maupun wanita untuk mengkategorikan baligh, sementara Syafi’I
dan Hambali menentukan umur 15 tahun, dan hanya Hanafi yang membedakan batas
umur baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun, sedangkan bagi wanita 17
tahun. Batasan ini merupakan batas maksimal, sedangkan batas minimal adalah
laki-laki 15 tahun, dan perempuan 9 tahun, dengan alasan bagi laki-laki yang
sudah mengeluarkan sperma dan wanita yang sudah haid sehingga bisa hamil. Dalam
hal ini nampaknya Maroko mengikuti ketentuan umur yang ditetapkan oleh Syafi’I
dan Hambali.
3.
Masalah
Poligami.
Negara Maroko berbeda dengan Negara Tunisia yang melarang secara
mutlak aturan mengenai poligami, pada prinsipnya bermaksud membatasi terjadinya
poligami dengan harapan dapat diterapkan prinsip keadilan bagi para istri.
Dalam undang-undang keluarga tahun 1958 menegaskan bahwa jika dikhawatirkan
ketidakadilan akan terjadi diantara istri-istri, maka poligami tidak
diperbolehkan. Namun, tidak ada pasal dalam undang-undang itu yang memberikan
otoritas untuk menyelidiki kapasitas atau kemampuan suami untuk berlaku adil
dalam poligami. Selain itu undang-undang Maroko juga mengatur masalah poligami
antara lain sebagai berikut:
Pertama, jika seorang laki-laki ingin berpoligami, ia harus
menginformasikan kepada calon istri bahwa ia sudah berstatus seorang suami.
Kedua, seorang wanita, pada saat melakukan akad nikah perkawinan,
boleh mencantumkan taqlid talaq yang melarang calon suami berpoligami. Jika di
langgar maka istri berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.
Ketiga, walaupun tidak ada pernyataan seorang wanita, seperti di
atas, jika perkawinan keduanya menyebabkan istri pertama terluka maka
pengadilan bisa membubarkan perkawinan mereka.
4.
Perkawinan
Bersyarat
Ayat 38 undang-undang keluarga (personal law) 1958 mengatakan bahwa
jika sebuah ikatan perkawinan disertai dengan persyaratan yang bertentangan
dengan hukum syari’ah atau esensi dari perkawinan, maka perkawinan dapat
dianggap sah, persyaratannya-lah yang tidak berlaku. Bukanlah persyaratan yang
bertentangan dengan esensi perkawinan jika si istri menyatakan bahwa dia akan
bekerja di dunia publik. Persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan yang menghalalkan
sesuatu yang telah dilarang oleh agama misalnya suami mensyaratkan bahwa dengan
perkawinannya dengan adik perempuan istrinya atau ibu istrinya boleh ia kawini
juga. Atau dengan mengharamkan sesuatu yang halal misalnya istri mensyaratkan
perkawinannya, suaminya tidak boleh berjalan dengannya keluar kota atau tidak
boleh ‘berkumpul’ dengannya. Dalam hal ini menurut madzhab Maliki, perjalanan
dan perkumpulan itu tetap halal, hanya persyaratannya saja yang haram.
5.
Pembubaran
Perkawinan oleh Pengadilan
Menurut
undang-undang Maroko, seorang istri dapat mengajukan gugat cerai ke pengadilan
jika:
a.
Suami
gagal menyediakan biaya hidup,
b.
Suami
mampunyai penyakit kronis yang menyebabkan istrinya merana.
c.
Suami
berlaku kasar (menyiksa) istri sehingga tidak memungkinkan lagi untuk
melanjutkan kehidupan perkawinan.
d.
Suami
gagal memperbaiki hubungan perkawinan setelah waktu empat bulan ketika suami
bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya.
e.
Suami
meninggalkan istri sedikitnya selama satu tahun tanpa memperdulikan istrinya.
Ketiga ulama
madzhab: Maliki, Syafi’i dan Hambali menyetujui poin-poin tersebut sebagai
alasan bagi istri menuntut perceraian pada hakim, sementara Hanafi mengatakan,
hakim tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan talaq kepada wanita, apapun
alasannya, kecuali bila suami dari wanita tersebut impotent.
6.
Talaq
(Khulu’) dan Proses Perceraian
a.
Talaq
(Khulu’)
Talaq (Khulu’) adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami
istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan
perceraian tersebut. Perceraian dengan Khulu ini dilakukan jika perkawinan
tidak dapat di pertahankan lagi, dengan syarat perceraian dan jumlah harus atas
persetujuan dan kesepakatan suami istri.
Di Maroko, aturan tentang Khulu’ diambil dari madzhab Maliki dengan
tekanan pada kebebasan istri pada transaksi tersebut. Imam Malik mengatakan
jika istri selama perkawinan tidak merasakan kebahagiaan, bahkan merasa
didzalimi, maka istri boleh menuntut cerai dengan mengembalikan sejumlah mahar
yang telah diberikan suami kepadanya. Pada undang-undang Maroko diisyaratkan
umur istri mencapai 21 tahun untuk dapat melakukan kesepakatan Khulu’, hal mana
yang tidak pernah ditetapkan madzhab Maliki dan juga madzhab-madzhab yang lain.
Selain itu, pelaksanaan Khulu’ tidak boleh mengorbankan hak-hak anak.
b.
Proses
Perceraian
UU Maroko menetapkan, istri berhak membuat taklik talak, bahwa
suami tidak akan melakukan poligami. Sementara apabila dilanggar dapat menjadi
alasan perceraian. Perceraian harus didaftarkan oleh petugas dan disaksikan
minimal 2 orang saksi. Dari teks yang ada dapat dipahami bahwa perceraian
diluar Pengadilan tetap sah.[4]
Menurut undang-undang Maroko, seorang istri dapat mengajukan gugat
cerai ke pengadilan jika: 1. Suami gagal menyediakan biaya hidup; 2. Suami
mampunyai penyakit kronis yang menyebabkan istrinya merana; 3. Suami berlaku
kasar (menyiksa) istri sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan
kehidupan perkawinan; 4. Suami gagal memperbaiki hubungan perkawinan setelah
waktu empat bulan ketika suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya; 5.
Suami meninggalkan istri sedikitnya selama satu tahun tanpa memperdulikan
istrinya.[5]
7.
Pencatatan
Perkawinan
Dalam melaksanakan perkawinan, Maroko juga mengharuskan pencatatan
perkawinan. Disamping mengharuskan pencatatan, Maroko juga mensyaratkan tanda
tangan dua notaris untuk absahnya pencatatan perkawinan. Selain itu catatan
asli harus dikirimkan ke Pengadilan dan salinan (kopinya) harus dikirim ke
kantor Direktorat Pencatatan Sipil. Demikian juga istri diberi catatan asli,
dan kepada suami diberikan salinannya, selama maksimal 15 hari dari akad nikah.
Tetapi tidak ada penjelasan tentang perkawinan yang tidak sejalan dengan
ketentuan ini.[6]
8.
Hukum
Kewarisan
Prinsip wasiat wajibah yang diadopsi oleh Tunisia dari hukum wasiat
Mesir (1946) juga diberlakukan di Maroko dengan beberapa perubahan. Maroko
merupakan negara keempat dan terakhir setelah Mesir, Syiria dan Tunisia yang
mengadopsi aturan ini. Menurut undang-undang Maroko (1958) hak untuk
mendapatkan wasiat wajibah tersedia bagi anak dan seterusnya ke bawah dari anak
laki-laki pewaris yang telah meninggal. Aturan ini tidak ditemukan dalam
madzhab manapun dalam fiqih tradisional, sebab warisan hanya diperuntukkan bagi
ahli waris yang masih hidup.[7]
9.
Revisi
Undang-Undang Keluarga Maroko 1958
Pada tahun 2004,
Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah)
yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini
merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad.
Beberapa perubahan yang berhasil digolkan adalah (1) Keluarga adalah
tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya
bahwa laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga, (2) perempuan tidak
membutuhkan ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi
UU untuk menentukan sendiri calon suaminya, (3) batas usia minimum pernikahan
bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum
di mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun, (4) poligami
mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan
poligami.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Muzdhar,
Muhammad Atho’ & Khairuddin Nasution. 2003. Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dan Kitab-Kitab
Fikih. Jakarta: Ciputat Press.
Nasution,
Khoiruddin. 2002. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap
Perundang-undangan Perkawinana Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia.
INIS
http://en.wikipedia.org/wiki/Talk:List_of_Muslim_majority_countries
http://id.w3dictionary.org/index.php?q=kingdom%20of%/20morocco\
http://www.sahabatmaroko.com/index.php?option=com_content&view=article&id=112&Itemid=55 : Sejarah Singkat Maroko
http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukum-keluarga-yang-setara.html
[1]
http://en.wikipedia.org/wiki/Talk:List_of_Muslim_majority_countries
[2] http://id.w3dictionary.org/index.php?q=kingdom%20of%/20morocco\
[3]Sejarah singkat
Maroko, http://www.sahabatmaroko.com/ index.php?option= com_ content&view=
article&id=112&Itemid=55
[4] Khoiruddin
Nasution, Op.Cit, h. 251-252.
[5] M. Atho’
Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Op.Cit, h. 113.
[6] Khoiruddin
Nasution, Op.Cit, h. 156.
[7]http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negara-maroko/ dikutip pada
hari minggu, 5-04-2012, jam 20.00 WIB.
[8]
http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukum-keluarga-yang-setara.html
dikutip pada hari minggu 5-04-2012 jam 21.00 WIB.
Diposkan oleh Andhika Kharis di
07.27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.