Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad
A.
Pendahuluan
Dasar pertama dan utama dalam syariat
Islam untuk menetapkan dan membuat undang-undang berdasarkan hukum Islam ialah
terbukanya pintu ijtihad bagi mereka yang ahli dalam bidang hukum. Ijtihad
dalam konteks etimologi mempunyai pengertian mengerahkan segala kemampuan untuk
mendapatkan atau mengerjakan sesuatu. Sedangkan dalam konteks terminology ulama
ushul, ijtihad diartikan sebagai upaya pengerahan kemampuan seorang faqih
(pakar fiqh) dalam menggali hukum-hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah. Terbukanya
pintu ijtihad lebar-lebar karena hukum-hukum yang disebutkan secara tegas dan
jelas (nash) dalam al-Qur'an dan al-Hadits memang terbatas jumlahnya. Ibnul
Qayyim di dalam kitabnya A'lam al- Muwaqqi'in mengatakan bahwa jumlah ayat-ayat
yang merupakan dasar dalam al-Qur'an tidak lebih dari lima ratus ayat.
Sedangkan jumlah hadits-hadist Nabi SAW yang menjadi dasar penentuan hukum
hanya sekitar lima ratus hadits yang tersebar di antara ratusan ribu hadist
yang ada. Dengan demikian, maka dasar syariat hukum islam, baik dari al-Qur'an
maupun Hadist Nabi SAW berjumlah seribu nash. Dan itulah yang menjadi sumber
pengambilan segala peraturan dan undang-undang Islam yang demikian kayanya,
yang hingga kini tetap bermanfa'at dan dibutuhkan oleh umat agama ini.
Al-Qur'an telah mengajarkan agar umat
Islam berijtihad, berupaya menarik kesimpulan hukum serta menerima pengarahan
para ulama dan ahli-ahli pikir mereka. Allah SWT berfirman : "Dan apabila
datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka
lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali
sebahagian kecil saja (di antaramu)." [Q.S. al-Nisa':83]. Ayat ini jelas berisi
anjuran yang cukup tegas, untuk beristinbath dan berijtihad, yakni mengambil
kesimpulan dan berusaha mencari hukum dengan mengadakan perbandingan dan lain
sebagainya.
Sejarah juga telah menceritakan
kapada kita, bagaimana Rasulullah SAW melatih para sahabatnya dalam memutuskan
suatu hukum dan mendorong mereka agar mengerahkan segala kemampuan daya
fikirnya untuk berijtihad. Beliau menenangkan hati para sahabat agar tidak ragu
atau takut salah dalam usaha ijtihadnya. Karena seorang mujtahid yang benar
dalam ijtihadnya akan diberi dua pahala. Dan bagi yang salah dalam ijtihadnya
akan memperoleh satu pahala. Allah SWT berfirman: "Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." [QS.Al-Ahzab:5]
B.
Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
Para ulama membagi
tingkatan mujtahid menjadi lima tingkatan:
1.
Al-Mujtahid al-Muthlaq al-Mustaqil,
yaitu seorang mujtahid yang menciptakan kaidah-kaidah sendiri dalam ijtihadnya,
seperti Imam Abu Hanifah al-Nu'man, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris
al-Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal. Imam Ibnu Abidin menyebut tingkatan ini
sebagai tingkatan Mujtahid fi al-Syar'i.
2.
Al-Mujtahid al-Muthlaq Ghoiru
al-Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad
yang terdapat dalam mujtahid mustaqil, hanya saja ia tidak mampu menciptakan
kaidah-kaidah sendiri, akan tetapi menggunakan kaidah yang telah disusun oleh
imam madzhab mereka. Mujtahid semacam ini juga disebut sebgai Mujtahid Muthlaq
Muntasib Ghairu Mustaqil. Termasuk dalam tingkatan ini adalah para murid dari
para imam madzhab, seperti Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad dari Madzhab
Hanafi, Ibnu al-Qasim dari Malikiyah, al-Buwaity dan al-Muzani dari Syafi'iyyah
dan Abu Bakar al-Atsram dari Hanabilah. Imam Ibnu Abidin menyebut tingkatan ini
sebagai Mujtahid fi al-Madzhab. Mereka adalah para mujtahid yang mampu
mengeluarkan hukum dari dalil-dalinya berdasarkan kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan oleh guru-guru mereka, meskipun mereka berbeda pendapat dengan
imamnya mengenai beberapa hukum dalam masalah furu' akan tetapi mereka
mengikuti imamnya dalam kaidah-kaidah ushul. Menurut sebagian ulama dua
tingkatan ini sudah tidak ada lagi sejak beberapa abad tahun yang lalu.
3.
Al-Mujtahid al-Muqoyyad, atau disebut
juga sebagai mujtahid fi al-masail (beberapa masalah) yang tidak ada keterangan
yang jelas dari imam madzhab. Mujtahid ini juga disebut sebagai Mujtahid
Takhrij. Mereka seperti al-Thahawy, al-Karkhy dan al-Halwany dari Hanafiyah,
al-Abhari dan Ibnu Abi Zaid al-Qayrawany dari Malikiyah, Abu Ishaq al-Syairazi,
al-Marudzi, Muhammad bin Jarir dan Ibnu Khuzaimah dari Syafi'iyyah dan al-Qadli
Abu Ya'la dan al-Qadli Abu Ali bin Abu Musa dari Hanabilah. Para ulama menyebut
mereka sebagai Ashhabu al-Wujuh karena mereka mampu mengeluarkan hukum suatu
maslah yang tidak ada keterangan dari pendapat-pendapat imam mereka.
4.
Mujtahid al-Tarjih, yaitu seorang
mujtahid yang mampu untuk mentarjih (mengunggulkan) satu pendapat dari Imam
Madzhab atas pendapatnya yang lain atau mentarjih di antara pendapat yang telah
diungkapkan oleh Imam Madzhab dan pendapat yang diungkapkan oleh murid-muridnya
atau pendapat dari imam yang lain (madzhab lain). Tugas mereka adalah
mengutamakan sebagian riwayat dari sebagian yang lain. Mereka seperti al-Qadury
dan al-Marghinani dari Hanafiyah, al-Allamah al-Kholil dari Malikiyah,
al-Rafi'I dan al-Nawawi dari Syafi'iyyah dan al-Qadli 'Ula'uddin al-Mardawi
dari Madzhab Hanbali.
5.
Mujtahid Fatwa, yaitu seorang mujtahid
yang mempunyai kepedulian untuk menjaga eksistensi madzhabnya dengan cara
mengutip, mengkaji dan mengupas suatu pendapat. Selain itu mereka juga mampu
untuk membedakan antara pendapat yang lebih kuat, kuat dan lemah. Hanya saja
mereka belum mampu untuk mnelusuri lebih jauh mengenai dalil-dalinya atau
bentuk qiyas-qiyasnya. Dari kalangan Hanafiyah yang telah mencapai tingkatan
ini adalah para pengarang kitab matan dari golongan ulama muta'akhirin, seperti
pengarang kitab al-Kanzu, pengarang kitab al-Dur al-Mukhtar , pengarang kitab
al-Wiqayah dan pengarang kitab Majma' al-Anhar. Sedangkan dari kalangan Madzhab
Syafi'i terdapat Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli.
C.
Benarkah pintu ijtihad masih terbuka?
Permasalahan ini sangat menarik untuk
kita bahas, karena sebagaian ulama telah mngklaim bahwa pintu ijtihad telah
tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah tidak bisa lagi ditemukan.
Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini, sebagaimana penuturan Syeikh
Yusuf bin Ismail al-Nabhani dipicu karena banyaknya orang yang mengklaim
dirinya sebagai seorang mujtahid. Bahkan yang lebih heran lagi, mereka
mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah
al-Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana yang telah diuraikan
oleh para ulama tidak terpenuhi dalam diri mereka. Fatwa tertutupnya pintu
itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya adalah al-Imam Ibnu
HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang lainnya.
Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun
yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab.
Imam al-Manawi dalam komentarnya atas
kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab Ibnu Hajar
al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka
orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan
kepada beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah yang diglobalkan
oleh para murid imam madzhab menjadi dua versi. Mereka meminta Imam Suyuthi,
jika beliau merupakan mujtahid yang paling rendah yakni mujtahid fatwa untuk
mentarjih dari beberapa versi pendapat tersebut mana pendapat yang lebih unggul
berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para mujtahid.
Maka Imam suyuthi mengembalikan pertanyan-pertanyaan itu tanpa menulis sesuatu.
Beliau mengemukakan alasan bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang menghalangi
beliau untuk meneliti masalah-masalah itu." Selanjutnya Ibnu Hajar
berkata: "Renungkanlah kesulitan ijtihad pada tingkatan ini yakni ijtihad
fatwa yang merupakan tingkat ijtihad yang paling rendah, sehingga jelaslah
bagimu bahwa orang yang mendakwakkan ijtihad lebih-lebih ijtihad mutlak
sebenarnya pada hakekatnya mereka sedang dalam kebingungan dan kerancauan dalam
cara berfikirnya. Bahkan Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa
Ijtihad telah tertutup sejak tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita
hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-3 H, karena
Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu Sholah juga mengutip
pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa Imam Syafi'i sudah
tidak terdapat lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar
mengatakan bahwa ketika para imam terjadi pertentangan yang panjang mengenai
kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih
utama dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka
berdua? Para imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab
al-Bahr) mengatakan bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul
Wujuh, padahal beliau mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam
Syafi'i hilang maka sungguh akan aku diktekan dari dadaku. Dan ketika mereka
sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak untuk menempati derajat
ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang yang tidak faham
sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad
al-madzhab (yakni ijtihad mutlak). Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah
kebohongan yang besar.
Di dalam kitab al-Anwar, Imam Rafi'I
al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa
pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam setelah menguraikan
syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali
ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan
lagi pada zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun.
Imam al-Qafal ketika menjelaskan tentang masalah fatwa menyatakan bahwa orang
yang telah memenuhi persyaratn ijtihad sudah tidak ditemukan lagi pada
zamanya.
Akan tetapi nampaknya klaim yang
mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah disepakati oleh para ulama
dari berbagai madzhab perlu untuk kita teliti. Buktinya para ulama dari Madzhab
Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang mujtahid
baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"Sekelompok umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran
sehingga datang urusan Allah SWT (hari kiamat)." [H.R. Muslim]. Mereka
juga mengatakan bahwa ijtihad merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya
menyebabkan kaum muslimin untuk sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan
mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mereka (para mujtahid) adalah
orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah
SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang untuk memperbaharui
urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya]. Mereka adalah
orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak
akan sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT. Para ulama dari madzhab
Hanbali menyatakan bahwa pintu ijtihad dengan berbagai tingkatannya masih
terbuka.
D.
Pintu ijtihad tidak pernah tertutup
Ada yang mengatakan bahwa pintu
ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau ke-3 H. jika kita
mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan telah
tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah
membuktikan bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama
mengatakan bahwa mujaddid-mujaddid itu adalah para mujtahid. Kita ketahui pada
abad pertama muncul Umar bin Abdul Azis, sebagaimana pernyataan al-Imam
al-Dzahabi, beliau telah mencapai tingkatan ijtihad. Kemudian pada abad ke-2
muncul Imam Syafi'i, lalu disusul Ibnu Suraij pada abad ke-3, beliau termasuk
pembesar mujtahid dan termasuk dalam kelompok Ashhab al-Wujuh, sedangkan pada abad
ke-4 terdapat Imam Abu Thayib Sahl bin Muhammad al-Sha'aluki atau Syeikh Abu
Hamid sebagai imam penduduk Irak. Keduanya termasuk mujtahid dan
Ashhabal-Wujuh.
Selanjutnya pada abad ke-5 terdapat
Imam al-Ghazali, sebagaimana fatwa Ibnu Sholah, beliau termasuk mujtahid. Lalu
pada abad ke-6 terdapat Imam Rafi'i, pada abad ke-7 Syeikh Ibnu Daqiq al-'Id,
abad ke-8 Imam al-Bulqini. Kemudian pada generasi selanjutnya muncul Imam
Suyuthi beliau mendakwakan diri telah mencapai tingkat mujtahid, beliau
berkata: "Telah sempurna pada diriku kriteria untuk berijtihad dengan
berkat pertolongan Allah SWT, seandainya aku menghendaki untuk menulis satu
karya tentang suatu masalah yang disertai dengan komentar-komentar, dalil-dali
baik secara naqli maupun qiyas dan perbedaan pendapat di antara madzhab, maka
sungguh aku akan mampu untuk melakukannya berkat anugerah Allah SWT."
E.
Kesimpulan
Dari kedua pendapat yang telah
dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil jalan tengah dari keduanya.
Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan sudah tidak ada lagi
mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan mujtahid
muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang
mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi
dari seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah
mujtahid mutlak. Hal itu dapat kita tinjau dari beberapa hal:
1.
Para Ulama yang dianggap sebagai
mujtahid mutlak oleh kelompok kedua (yang berpendapat bahwa pintu ijtihad
dengan segala macamnya masih terbuka) telah menyatakan sendiri bahwa mujtahid
mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu sebagaimana pernyataan
Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak terdapat seorang
mujtahid mutlak. Dalam kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat
ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang
Qadli sungguh sulit ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam
Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga menyatakan hal yang sama bahwa para ulama
sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini sudah tidak ada lagi seorang
mujtahid (mujtahid mutlak).
2.
Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim
dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa memenuhi persyaratan
mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad Imam
Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat
kedua belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak
haruslah menguasai ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau
tidak menguasai ilmu hisab. Hal itu sebagaimana penuturan beliau sendiri:
"Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat sulit bagiku dan paling
jauh dari penalaranku."
Dari uraian di atas dapat kita
fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang
mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga setiap orang
tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri
tidak mnguasai alat-alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari
al-Kitab dan al-Sunnah. Namun kalau kita renungkan, harusnya ijtihad di zaman
sekarang lebih mudah jika dibandingkan pada zaman Imam Syafi'i atau imam-imam
yang lain. Di zaman kita sekarang semua disiplin ilmu yang digunakan untuk
berijtihad telah terbukukan, sehingga seharusnya hal itu memudahkan bagi kita.
Bandingkan dengan zaman Imam Syafi'I, dimana kitab-kitab hadits maupun
kitab-kitab lain yang memuat disiplin ilmu untuk berijtihad masih sangat langka
atau mungkin belum tertulis. Pada zaman imam-imam terdahulu ketika ingin
mencari hadits maka harus membuka satu persatu, lembar per lembar beberapa
kitab hadits. Sedangkan di zaman kita sekarang untuk mencari dan meneliti suatu
hadits merupakan sesuatu yang sangat mudah, kita tinggal mengetik redaksi
hadits tersebut lalu tinggal enter, maka hadits yang kita inginkan akan segera
tampil. Pertanyaannya, mengapa di zaman sekarang tidak lagi bermunculan para
imam sekaliber al-Syafi'i, al-Ghazali, al-Nawawi ataupun al-Suyuthi? Hal itu
tiada lain karena Allah SWT telah melemahkan daya fikir umat ini sebagai
peringatan akan berakhirnya zaman dan semakin dekatnya hari kiamat. Karena itu
semua termasuk dari tanda-tanda kiamat yang telah disabdakan oleh Rasulullah
SAW: "Termasuk tanda-tanda kiamat adalah hilangnya ilmu dan tetapnya
kebodohan." [H.R. Muslim].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.