Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad - Sang Pemburu Badai

Senin, 04 Januari 2016

Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad

Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad

A.    Pendahuluan
Dasar pertama dan utama dalam syariat Islam untuk menetapkan dan membuat undang-undang berdasarkan hukum Islam ialah terbukanya pintu ijtihad bagi mereka yang ahli dalam bidang hukum. Ijtihad dalam konteks etimologi mempunyai pengertian mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan atau mengerjakan sesuatu. Sedangkan dalam konteks terminology ulama ushul, ijtihad diartikan sebagai upaya pengerahan kemampuan seorang faqih (pakar fiqh) dalam menggali hukum-hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah. Terbukanya pintu ijtihad lebar-lebar karena hukum-hukum yang disebutkan secara tegas dan jelas (nash) dalam al-Qur'an dan al-Hadits memang terbatas jumlahnya. Ibnul Qayyim di dalam kitabnya A'lam al- Muwaqqi'in mengatakan bahwa jumlah ayat-ayat yang merupakan dasar dalam al-Qur'an tidak lebih dari lima ratus ayat. Sedangkan jumlah hadits-hadist Nabi SAW yang menjadi dasar penentuan hukum hanya sekitar lima ratus hadits yang tersebar di antara ratusan ribu hadist yang ada. Dengan demikian, maka dasar syariat hukum islam, baik dari al-Qur'an maupun Hadist Nabi SAW berjumlah seribu nash. Dan itulah yang menjadi sumber pengambilan segala peraturan dan undang-undang Islam yang demikian kayanya, yang hingga kini tetap bermanfa'at dan dibutuhkan oleh umat agama ini.
Al-Qur'an telah mengajarkan agar umat Islam berijtihad, berupaya menarik kesimpulan hukum serta menerima pengarahan para ulama dan ahli-ahli pikir mereka. Allah SWT berfirman : "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)." [Q.S. al-Nisa':83]. Ayat ini jelas berisi anjuran yang cukup tegas, untuk beristinbath dan berijtihad, yakni mengambil kesimpulan dan berusaha mencari hukum dengan mengadakan perbandingan dan lain sebagainya.
Sejarah juga telah menceritakan kapada kita, bagaimana Rasulullah SAW melatih para sahabatnya dalam memutuskan suatu hukum dan mendorong mereka agar mengerahkan segala kemampuan daya fikirnya untuk berijtihad. Beliau menenangkan hati para sahabat agar tidak ragu atau takut salah dalam usaha ijtihadnya. Karena seorang mujtahid yang benar dalam ijtihadnya akan diberi dua pahala. Dan bagi yang salah dalam ijtihadnya akan memperoleh satu pahala. Allah SWT berfirman: "Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS.Al-Ahzab:5]


B.     Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
Para ulama membagi tingkatan mujtahid menjadi lima tingkatan:
1.      Al-Mujtahid al-Muthlaq al-Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang menciptakan kaidah-kaidah sendiri dalam ijtihadnya, seperti Imam Abu Hanifah al-Nu'man, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal. Imam Ibnu Abidin menyebut tingkatan ini sebagai tingkatan Mujtahid fi al-Syar'i.
2.      Al-Mujtahid al-Muthlaq Ghoiru al-Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad yang terdapat dalam mujtahid mustaqil, hanya saja ia tidak mampu menciptakan kaidah-kaidah sendiri, akan tetapi menggunakan kaidah yang telah disusun oleh imam madzhab mereka. Mujtahid semacam ini juga disebut sebgai Mujtahid Muthlaq Muntasib Ghairu Mustaqil. Termasuk dalam tingkatan ini adalah para murid dari para imam madzhab, seperti Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad dari Madzhab Hanafi, Ibnu al-Qasim dari Malikiyah, al-Buwaity dan al-Muzani dari Syafi'iyyah dan Abu Bakar al-Atsram dari Hanabilah. Imam Ibnu Abidin menyebut tingkatan ini sebagai Mujtahid fi al-Madzhab. Mereka adalah para mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum dari dalil-dalinya berdasarkan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh guru-guru mereka, meskipun mereka berbeda pendapat dengan imamnya mengenai beberapa hukum dalam masalah furu' akan tetapi mereka mengikuti imamnya dalam kaidah-kaidah ushul. Menurut sebagian ulama dua tingkatan ini sudah tidak ada lagi sejak beberapa abad tahun yang lalu.
3.      Al-Mujtahid al-Muqoyyad, atau disebut juga sebagai mujtahid fi al-masail (beberapa masalah) yang tidak ada keterangan yang jelas dari imam madzhab. Mujtahid ini juga disebut sebagai Mujtahid Takhrij. Mereka seperti al-Thahawy, al-Karkhy dan al-Halwany dari Hanafiyah, al-Abhari dan Ibnu Abi Zaid al-Qayrawany dari Malikiyah, Abu Ishaq al-Syairazi, al-Marudzi, Muhammad bin Jarir dan Ibnu Khuzaimah dari Syafi'iyyah dan al-Qadli Abu Ya'la dan al-Qadli Abu Ali bin Abu Musa dari Hanabilah. Para ulama menyebut mereka sebagai Ashhabu al-Wujuh karena mereka mampu mengeluarkan hukum suatu maslah yang tidak ada keterangan dari pendapat-pendapat imam mereka.
4.      Mujtahid al-Tarjih, yaitu seorang mujtahid yang mampu untuk mentarjih (mengunggulkan) satu pendapat dari Imam Madzhab atas pendapatnya yang lain atau mentarjih di antara pendapat yang telah diungkapkan oleh Imam Madzhab dan pendapat yang diungkapkan oleh murid-muridnya atau pendapat dari imam yang lain (madzhab lain). Tugas mereka adalah mengutamakan sebagian riwayat dari sebagian yang lain. Mereka seperti al-Qadury dan al-Marghinani dari Hanafiyah, al-Allamah al-Kholil dari Malikiyah, al-Rafi'I dan al-Nawawi dari Syafi'iyyah dan al-Qadli 'Ula'uddin al-Mardawi dari Madzhab Hanbali.
5.      Mujtahid Fatwa, yaitu seorang mujtahid yang mempunyai kepedulian untuk menjaga eksistensi madzhabnya dengan cara mengutip, mengkaji dan mengupas suatu pendapat. Selain itu mereka juga mampu untuk membedakan antara pendapat yang lebih kuat, kuat dan lemah. Hanya saja mereka belum mampu untuk mnelusuri lebih jauh mengenai dalil-dalinya atau bentuk qiyas-qiyasnya. Dari kalangan Hanafiyah yang telah mencapai tingkatan ini adalah para pengarang kitab matan dari golongan ulama muta'akhirin, seperti pengarang kitab al-Kanzu, pengarang kitab al-Dur al-Mukhtar , pengarang kitab al-Wiqayah dan pengarang kitab Majma' al-Anhar. Sedangkan dari kalangan Madzhab Syafi'i terdapat Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli.

C.    Benarkah pintu ijtihad masih terbuka?
Permasalahan ini sangat menarik untuk kita bahas, karena sebagaian ulama telah mngklaim bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah tidak bisa lagi ditemukan. Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini, sebagaimana penuturan Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dipicu karena banyaknya orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid. Bahkan yang lebih heran lagi, mereka mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah al-Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana yang telah diuraikan oleh para ulama tidak terpenuhi dalam diri mereka. Fatwa tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab.
Imam al-Manawi dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid imam madzhab menjadi dua versi. Mereka meminta Imam Suyuthi, jika beliau merupakan mujtahid yang paling rendah yakni mujtahid fatwa untuk mentarjih dari beberapa versi pendapat tersebut mana pendapat yang lebih unggul berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para mujtahid. Maka Imam suyuthi mengembalikan pertanyan-pertanyaan itu tanpa menulis sesuatu. Beliau mengemukakan alasan bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang menghalangi beliau untuk meneliti masalah-masalah itu." Selanjutnya Ibnu Hajar berkata: "Renungkanlah kesulitan ijtihad pada tingkatan ini yakni ijtihad fatwa yang merupakan tingkat ijtihad yang paling rendah, sehingga jelaslah bagimu bahwa orang yang mendakwakkan ijtihad lebih-lebih ijtihad mutlak sebenarnya pada hakekatnya mereka sedang dalam kebingungan dan kerancauan dalam cara berfikirnya. Bahkan Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup sejak tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan bahwa ketika para imam terjadi pertentangan yang panjang mengenai kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih utama dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka berdua? Para imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku diktekan dari dadaku. Dan ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak untuk menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang yang tidak faham sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-madzhab (yakni ijtihad mutlak). Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kebohongan yang besar.
Di dalam kitab al-Anwar, Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam setelah menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun. Imam al-Qafal ketika menjelaskan tentang masalah fatwa menyatakan bahwa orang yang telah memenuhi persyaratn ijtihad sudah tidak ditemukan lagi pada zamanya. 
Akan tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab perlu untuk kita teliti. Buktinya para ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sekelompok umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang urusan Allah SWT (hari kiamat)." [H.R. Muslim]. Mereka juga mengatakan bahwa ijtihad merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya menyebabkan kaum muslimin untuk sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mereka (para mujtahid) adalah orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang untuk memperbaharui urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya]. Mereka adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak akan sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT. Para ulama dari madzhab Hanbali menyatakan bahwa pintu ijtihad dengan berbagai tingkatannya masih terbuka.

D.    Pintu ijtihad tidak pernah tertutup
Ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau ke-3 H. jika kita mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan telah tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama mengatakan bahwa mujaddid-mujaddid itu adalah para mujtahid. Kita ketahui pada abad pertama muncul Umar bin Abdul Azis, sebagaimana pernyataan al-Imam al-Dzahabi, beliau telah mencapai tingkatan ijtihad. Kemudian pada abad ke-2 muncul Imam Syafi'i, lalu disusul Ibnu Suraij pada abad ke-3, beliau termasuk pembesar mujtahid dan termasuk dalam kelompok Ashhab al-Wujuh, sedangkan pada abad ke-4 terdapat Imam Abu Thayib Sahl bin Muhammad al-Sha'aluki atau Syeikh Abu Hamid sebagai imam penduduk Irak. Keduanya termasuk mujtahid dan Ashhabal-Wujuh.
Selanjutnya pada abad ke-5 terdapat Imam al-Ghazali, sebagaimana fatwa Ibnu Sholah, beliau termasuk mujtahid. Lalu pada abad ke-6 terdapat Imam Rafi'i, pada abad ke-7 Syeikh Ibnu Daqiq al-'Id, abad ke-8 Imam al-Bulqini. Kemudian pada generasi selanjutnya muncul Imam Suyuthi beliau mendakwakan diri telah mencapai tingkat mujtahid, beliau berkata: "Telah sempurna pada diriku kriteria untuk berijtihad dengan berkat pertolongan Allah SWT, seandainya aku menghendaki untuk menulis satu karya tentang suatu masalah yang disertai dengan komentar-komentar, dalil-dali baik secara naqli maupun qiyas dan perbedaan pendapat di antara madzhab, maka sungguh aku akan mampu untuk melakukannya berkat anugerah Allah SWT."

E.     Kesimpulan
Dari kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak. Hal itu dapat kita tinjau dari beberapa hal:
1.      Para Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak oleh kelompok kedua (yang berpendapat bahwa pintu ijtihad dengan segala macamnya masih terbuka) telah menyatakan sendiri bahwa mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak terdapat seorang mujtahid mutlak. Dalam kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).
2.      Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat kedua belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak haruslah menguasai ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal itu sebagaimana penuturan beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat sulit bagiku dan paling jauh dari penalaranku." 
Dari uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri tidak mnguasai alat-alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah. Namun kalau kita renungkan, harusnya ijtihad di zaman sekarang lebih mudah jika dibandingkan pada zaman Imam Syafi'i atau imam-imam yang lain. Di zaman kita sekarang semua disiplin ilmu yang digunakan untuk berijtihad telah terbukukan, sehingga seharusnya hal itu memudahkan bagi kita. Bandingkan dengan zaman Imam Syafi'I, dimana kitab-kitab hadits maupun kitab-kitab lain yang memuat disiplin ilmu untuk berijtihad masih sangat langka atau mungkin belum tertulis. Pada zaman imam-imam terdahulu ketika ingin mencari hadits maka harus membuka satu persatu, lembar per lembar beberapa kitab hadits. Sedangkan di zaman kita sekarang untuk mencari dan meneliti suatu hadits merupakan sesuatu yang sangat mudah, kita tinggal mengetik redaksi hadits tersebut lalu tinggal enter, maka hadits yang kita inginkan akan segera tampil. Pertanyaannya, mengapa di zaman sekarang tidak lagi bermunculan para imam sekaliber al-Syafi'i, al-Ghazali, al-Nawawi ataupun al-Suyuthi? Hal itu tiada lain karena Allah SWT telah melemahkan daya fikir umat ini sebagai peringatan akan berakhirnya zaman dan semakin dekatnya hari kiamat. Karena itu semua termasuk dari tanda-tanda kiamat yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Termasuk tanda-tanda kiamat adalah hilangnya ilmu dan tetapnya kebodohan." [H.R. Muslim].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.