Sang Pemburu Badai

Breaking

Kamis, 17 Mei 2018

Jadwal Pembacaan Kitab Bulan Ramadhan 1439 H / 2018 M Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Jetis

08.01 1
Jadwal Pembacaan Kitab Bulan Ramadhan 1439 H / 2018 M Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Jetis

Shalat Pada Malam Pertama Bulan Ramadhan (Wasiat Sulthonul Ulama' Habib Salim As-Syatiri)

07.21 1
Shalat Pada Malam Pertama Bulan Ramadhan (Wasiat Sulthonul Ulama' Habib Salim As-Syatiri)
Shalat Pada Malam Pertama Bulan Ramadhan
(Wasiat dari Sulthonul Ulama' Habib Salim Asy-Syatiri)

Foto Diambil dari Mawdoo3.com

Diantara Amalan Para 'Arifin (Wali Allah) pada awal malam bulan Ramadhan adalah membaca surat Al Fath

ينبغي في أول ليلة من شهر رمضان :
أن نصلي أربع ركعات نفلا مطلقا إما بتشهد واحد وسلام واحد أو كل ركعتين بذاتها ونقرأ في كل ركعة مقرأ (ربع) من سورة الفتح.

Dianjurkan pada malam pertama di bulan Ramadhan :
agar kita melaksanakan sholat sunnah mutlak empat rakaat, bisa dengan - 4 rakaat sekaligus dengan satu tasyahhud dan 1 salam, atau boleh juga setiap 2x dua rakaat,
lalu membaca pada setiap rakaat 1/4 daripada surat Al Fath. (jadi di bagi 4 kali bacaan)

وقد ورد في الحديث الذي رواه الإمام الخطيب الشربيني في كتابه التفسير في الكتاب المنير بإسناد إلى النبي صلى الله عليه وسلم
( أن من صلى في أول ليلة من رمضان أربع ركعات قرأ فيها سورة الفتح مر عامه كله في غنى وفي رواية مر عامه كله في خير)

Diriwayatkan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Khatib Asy Syarbiniy dalam kitabnya At Tafsir fil Kitabil Munir dengan sanad yang bersambung kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
" Barangsiapa yang sholat (sunnah mutlaq) empat rakaat pada malam pertama di bulan Ramadhan, kemudian dia membaca surat Al Fath, maka ia akan melalui setahun penuh kedepan dalam kekayaan. Atau dalam riwayat lain dia lalui setahun penuh dalam kebaikan"

وفي تفسير القرطبي:
من قرأ سورة الفتح في أول ليلة من رمضان في صلاة التطوع حفظه الله ذلك العام.

Dan dalam Tafsir Al Imam Qurthubi :
" Barangsiapa yang membaca surat Al Fath di dalam sholat sunnahnya pada malam pertama di bulan Ramadhan, ALLAH subhanahu wa ta'ala pelihara dirinya pada tahun itu".

اللهم بارك لنا في رمضان و اجعلنا من صوامه و قوامه و اجعلنا من عتقائك و طلقائك و نقذائك و أمنائك من النار

Ya Allah berkahilah kami di bulan Ramadhan, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang berpuasa dan beribadah di dalamnya, serta jadikanlah kami termasuk yang Engkau bebaskan, selamatkan, dan amankan dari api neraka

Nb : Maqra Surah Al-Fath dari sebagian Al-Qur'an
1. Dari ayat 1 sampai ayat 10
2. Dari ayat 11 sampai ayat 17
3. Dari ayat 18 sampai ayat 26
4. Dari ayat 27 sampai ayat 29

Sumber: Copas Status WA Noer City 2013

Sabtu, 12 Mei 2018

Islam Liberal: Diaspora Rekonstruksi Dan Perkembangan Paradigma Pemikiran Islam

10.56 0
Islam Liberal: Diaspora Rekonstruksi Dan Perkembangan Paradigma Pemikiran Islam

Islam Liberal: 
Diaspora Rekonstruksi Dan Perkembangan Paradigma Pemikiran Islam

https://mozaik.inilah.com/read/detail/2443365/sesatkah-paham-islam-liberal
 Foto diambil dari mozaik.inilah.com


A.      Pendahuluan
Selama  roda  zaman  masih  berputar,  pemikiran  manusia  tidak  akan pernah  berhenti,  tak  terkecuali  pemikiran  keagamaan,  khususnya  Islam. Pemikiran  kegamaan  Islam  akan  terus  berjalan  mengikuti  alur  perjalanan zaman. Dan ini merupakan  sunnatullah  yang harus dijalani oleh manusia. Oleh karena  itu  perkembangan  pemikiran  Islam  tidak  dapat  dihindarkan  meskipun sumber utama Islam adalah teks-teks dari Tuhan, karena teks-teks tersebut tidak lebih dari deretan huruf dan onggokan ayat yang tidak mempunyai arti tanpa dibaca  dan  diinterpretasikan  manusia. Manusia  sebagai  makhluk  yang berperadaban,  selalu  menuntut  dan  memunculkan  fenomena  fenomena  baru yang selalu membawa problem dan membutuhkan pemecahan. Oleh karena itu pemikiran  manusia,  termasuk  pemikiran  keagaman  Islam  tidak  akan  pernah berhenti dan tidak akan pernah sepi di manapun berada.
Sebenarnya  perkembangan  pemikiran  Islam  di  Indonesia  tidak bisa  dilepaskan  begitu  saja  dari  perkembangan  pemikiran  keagamaan  yang terjadi  di  Amerika,  Eropa,  maupun  di  Jazirah  Arab.  Di  benua  Amerika telah lama  berkembang  pemikiran  keagamaan  yang  mengarah  pada rekontekstualisasi  doktrin  agama,  pemikiran  tentang  perlunya  dialog antaragama,  dialog  intereligius  dan  dialog  praksis.  Sementara  di  Eropa  telah pula berkembang pemikiran keagamaan yang sangat "radikal" yakni pemikiran tentang  perlunya  reaktualisasi  pemikiran  keagamaan  khususnya  di  kalangan katolik dan Protestan.
Lahirnya  pemikiran  Islam  Liberal  di  kalangan  pemikir  dan  intelektual Indonesia tidak  dapat  terlepas  dari  pengaruh  dari  para  pemikir  Barat  yang menggagas  liberalisasi  Islam. Gerakan  liberalisasi  pemikiran  Islam  yang  akhir-akhir  ini  semakin  marak,  sebenarnya  lebih  berunsur  pengaruh  eksternal daripada   perkembangan  alami  dari  dalam  tradisi  pemikiran  Islam.  Pengaruh eksternal  itu  dengan  mudah  dapat  ditelusur  dari  trend  pemikiran  liberal  di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara  sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies.  Dalam  buku  ini  ia  menjelaskan  premis dan titik  tolak  perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan.
Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada  alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal. Binder menjelaskan: “Liberal government is the product of a continuous process of rational discourse….  Political  Liberalism  in  this  sense,  is  indivisible.  It  will  either  prevail worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action”.
Pengaruh para pemikir Barat ini sangat pesat merasuk terutama melalui dua  buku yang mengupas secara khusus keterkaitan Islam dengan liberalisme. Buku  tersebut  adalah  Liberal  Islam:  A  Sourcbook,  hasil  suntingan  Charles Kurzman,  dan  karya  Leonard  Binder  berjudul  Islamic  Liberalis:  A  Critique  of Development  Ideologies.  Fakta  ini  didukung  oleh  seorang  lagi  penulis  dan pendukung Islam Liberal, Greg Barton, dalam bukunya  Gagasan Islam Liberal di Indonesia.  Barton  menggariskan  prinsip  dasar  yang  dipegang  oleh  kelompok Islam  liberal  yaitu:  (a)  Pentingnya  kontekstualisasi  ijtihad;  (b)  Komitmen terhadap  rasionalitas  dan  pembaharuan  (agama);  (c)  Penerimaan  terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; (d) Pemisahan agama dari partai politik dan kedudukan negara yang nonsektarian.[1]

B.       Diskursus Islam Liberal
Menurut Imam Musthofa dalam Sketsa Pemikiran Islam Liberal, Tidak mudah untuk mendefinisikan apa itu „Islam liberal‟. Salah seorang pemerhati  Islam  liberal sekelas  Charles Kurzman  saja  tidak mau  masuk  terlalu jauh pada pendefinisan Islam liberal.  Dalam bukunya “Wacana Islam Liberal,” dia memulai  pengantarnya  dengan  membantah  istilah  “Islam  liberal”,  yang merupakan judul bukunya sendiri. Menurutnya ungkapan Islam Liberal (Liberal Islam)  mungkin terdengar seperti kontradiksi dalam peristilahan  (a contradictionin terms). Kurzman  tidak  menjelaskan  secara  rinci  apa  yang  dimaksud  dengan Islam Liberal. Untuk menghindari definisi itu, ia mengutip sarjana hukum India, Ali  Asghar  Fyzee  yang  menulis,  “kita  tidak  perlu  menghiraukan  nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu “Islam Liberal.”[2]
Pengertian  “Islam  Liberal“  yang  dipakai  Kurzman  (termasuk   Barton) berbeda  yang  dipakai  Binder.  Tema  liberalisme  Islam  yang  diangkat  Binder merupakan  tema  yang  mengangkat  dialog  terbuka  antara  dunia  Islam  dengan dunia Barat, antara  pemikiran Islam dan Pemikiran Barat. Dalam konteks dialog tersebut, yang terjadi bukan hanya menarik akar-akar trend “Liberalisme Islam”sampai  ke  dunia  Barat,  melainkan  sebagai  proses  take  and  give  yang  saling mengisi  dan  menangani  persoalan-persoalan  kemodernan,  transformasi  sosial, dan  tradisi lokal  (dalam  konteks  Binder,  tradisi Arab).  Maka  tokoh-tokoh  yang diangkat  adalah  Ali  Abd  Roziq,  Abdullah  Laroi,  Thariq  al-Bisyri,  Muhammad Imarah,  Muhammad  Arkoun,  dan  Sumir  Amin,  yang  berdialog  secara  kritisdengan  pemikir  liberalisme  Barat,  sosialisme,  mexisme  dan  dengan postmodernisme.
Sementara istilah “liberal” yang dipakai Kurzman dan Barton mengacu kepada  yang  disebut  “konteks  Islami”  dari  pandangan-pandangan  liberal  di sebagian  kalangan  intelektual  Muslim.  Kurzman  tidak  melihat  Barat  sebagai faktor yang mempengaruhi kemunculan trend “liberal” dan tidak juga sebagai mitra dialog yang mempunyai kontribusi dalam kemunculan trend tersebut. Sebagai  tolok  ukur  sebuah  pemikiran  Islam  disebut  “liberal”,  Kurzman menyebut  enam  agenda  Islam  Liberal.  Yaitu  demokrasi  sebagai  lawan  dari paham  teokrasi,  hak-hak  perempuan,  kebebasan  berpikir,  hak-hak  non-Muslim dan gagasan kemajuan.
Terhadap  enam  tema  di  atas,  Kurzman  memperkenalkan  tiga  model pembacaan  liberal  terhadap  Islam  (syari‟ah). 
  1. Liberal  Syari‟ah. Model ini beranggapan bahwa sebenarnya syari‟ah itu sendiri sejak awalnya sudah liberal jika  ditafsirkan  apa  adanya.  Liberalisme  Islam  merupakan  “fitrah”  Islam. Alasannya  adalah  Islam  sejak  dari  awal  sudah  mempunyai  solusi  umum  atas problem-problem  kontemporer.  Mengenai  pluralisme  agama-agama,  kalangan liberal  syari‟ah  biasanya  merujuk  kepada  pengalaman  masyarakat  Nabi Muhammad  saw  di  Madinah  yang  terumus  dalam  “Piagam  Madinah”. Salah satu prototype liberal syari‟ah ini adalah Nurcholish Majid (Cak Nur). 
  2. Silent Syari‟Ah. Model pembacaan ini berasumsi bahwa Islam tidak banyak  berbicara  mengenai  isu-isu  kontemporer.  Islam  liberal  dimungkinkan terjadi pada masalah-masalah tertentu yang tidak ada presedennya dalam Islam baik  secara  normatif  maupun  historis.  Karena  Islam  tidak  banyak  berbicara mengenai  isu-isu  kontemporer,  maka  diperlukan  kreatifitas,  terutama  yang menyangkut bidang muamalah.
  3. Interpreted  Syariah. Model  pembacaan  ini  berasumsi  bahwa  Islam membuka  kemungkinan  liberal  pada  masalah-masalah  yang  dimungkinkan munculnya penafsiran (interpretable). Mereka mengedepankan suatu epistimologi yang  menekankan  perlunya  keragaman  di  dalam  menafsirkan  teks-teks keagamaan.  Dari  susut  pandang  Barat,  mereka  lebih  dekat  dengan  sensibilitas liberalisme  Barat.  Mereka  membela  pemahaman  tentang   kebenaran  yang memerlukan  dialog.  Dengan  kata  “dialog”  berarti  terus  menerus  mempelajari agama, bukan sebagai “kata benda”, melainkan sebagai “kata kerja”. Karena itu mereka  mendukung  sikap  demokratis  dalam  beragama,  karena  demokrasi merupakan  suatu  penerimaan  terhadap  perbedaan  pendapat  di  dalam menafsirkan agama.[3]
Pada  dasarnya,  latar  belakang  pemikiran  liberal  Islam  mempunyai  akar yang  jauh  sampai  di  masa  keemasan  Islam  (the  golden  age  of  Islam).  Teologi rasional  Islam  yang  dikembangkan  oleh  Mu'tazilah  dan  para  filsuf,  seperti  alKindi,  al-Farabi,  Ibn  Sina,  Ibn  Rusyd  dan  sebagainya,  selalu  dianggap  telah mampu  menjadi  perintis  perkembangan  kebudayaan  modern  dewasa  ini. Charless  Kurzman  menyebutkan  bahwa  Islam  liberal  muncul  sekitar abad ke-18 di kala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughaltengah berada di gerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan  gerakan  permurnian,  kembali  kepada  Al-Quran  dan  sunnah. Bersamaan  dengan  ini  muncullah  cikal  bakal  paham  liberal  awal  melalui  Syah Waliyullah  di  India,  1703-1762,  menurutnya  Islam  harus  mengikuti  adat  lokal suatu  tempat  sesuai  dengan  kebutuhan  pcnduduknya.  Hal  ini  juga  terjadi dikalangan  Syi'ah.  Ada  Muhammad  Bihbihani  di  Iran,  1790,  mulai  berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
Ide  ini  terus  bergulir.  Rifa'ah  Rafi'  al-Tahtawi  di  Mesir,  1801-1873 memasukkan  unsur-unsur  Eropa  dalam  pendidikan  Islam.  Sebelum  dikirim  ke Sorbonne,  Perancis  oleh  Muhammad  Ali,  yang  saat  itu  menjadi  kepala  negara Mesir,  Tahtawi  adalah  seorang  tradisionalis.  Dia  adalah  salah  seorang  anggota delegasi  pertama  dari  negara  Muslim   yang  dikirim  ke  Barat.  Dari  sini  bisa dikatakan  bahwa  tradisi  pengiriman  Muslim  ke  Barat  adalah  mengikuti  tradisi tahtawi. Hampir semasa dengan Tahtawi, di Rusia muncul Shihabuddin Marjani (1818-1889)  dan  Ahmad  Makhdun  di  Bukhara,  1827-1897,  memasukkan  mata pelajaran sekuler ke dalam kurikulum pendidikan Islam.
Di India ada  Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1918) yang membujuk kaum Muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada tahun  1877  ia  membuka  suatu  kolese  yang  kemudian  menjadi  Universitas Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku  The Spirit of Islamberusaha  mewujudkan  seluruh  nilai  liberal  yang  dipuja  di  Inggris  pada  masa Ratu  Victoria.  Amir  Ali  memandang  bahwa  Nabi  Muhammad  adalah  Pelopor Agung Rasionalisme.
Di  Mesir  muncullah  M.  Abduh  (1849-1905)  yang  banyak  mengadopsi pemikiran mu'tazilah berusaha menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh  salaf.  Abduh  adalah  murid  al-Afghani  yang  paling  menonjol,  tapi pengaruhnya  melebihi  gurunya  karena  latar  belakang  keagamaannya. Muhammad Abduh dan  Al-AFghani merupakan tokoh  pembaruan Islam  yang beraliran liberal awal. Setelah revolusi Arab oleh murid-murid al-Afghani yang dipimpin oleh Ahmad Arabi, saat itu Abduh jadi Syeikh al-Azhar, maka Abduh diasingkan  ke  Beirut.  Hasil  revolusi  Arab  adalah  Mesir  dikendalikan  oleh Inggris.[4]

C.      Islam Liberal Dalam Wacana Cendikiawan Indonesia
Dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, liberalisasi Islam sudah ditanamkan  sejak  zaman  penjajahan  Belanda. Tetapi, secara  sistematis, dari dalam tubuh organisasi  Islam, Liberalisasi  Islam di Indonesia, bisa dikatakan dimulai  pada  awa  tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia  (HMI),  Nurcholish  Madjid,  secara  resmi  menggulirkan  perlunya  dilakukan sekularisasi  Islam.  Dalam  makalahnya  yang  berjudul  “Keharusan  Pembaruan  Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholish Madjid menyatakan: “pembaruan  harus  dimulai  dengan  dua  tindakan  yang saling  erat  hubungannya,  yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.  Nostalgia,  atau  orientasi  dan  kerinduan  pada masa  lampau  yang  berlebihan,  harus diganti dengan pandangan  ke masa depan. Untuk  itu diperlukan suatu proses  liberalisasi.”.[5]
Dalam definisi yang sering digunakan oleh Cendikiawan Muslim Indonesia, Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam yang salah satu landasannya adalah Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teksteks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Ijtihad yang mereka tekankan tidak lain dan tidak bukan merupakan upaya untuk memperbarui fiqih.
Fiqih yang selama ini dipakai oleh umat Islam dianggap sebagai faktor kemunduran dan keterbelakangan umat Islam saat ini. Salah satu kritik yang kerap dilontarkan adalah fiqih bersikap diskriminatif terhadap nonmuslim. Banyak konsep fiqih yang menempatkan penganut agama lain lebih rendah daripada umat Islam, sehingga berimplikasi meng-excludeatau mendiskriditkan mereka. Selain itu fiqih Islam selalu memposisikan wanita sebagai subordinate terhadap laki-laki. Oleh sebab karekternya ini maka fiqih Islam mendesak untuk direformasi atau rekonstruksi. Untuk merekonstruksi fiqih Islam ini harus dimulai dari kerangka metodologi yang digunakan untuk menghasilkan fiqih ini, yaitu ushul fiqih. Kalangan Islam liberal, khusunya JIL berusaha untuk menghasilkan fiqih baru, dan untuk mengghasilkan fiqih baru mereka menggunakan metode ijtihad hasil kreasi mereka.[6]
Ulil Abshar Abdalla, Kordinator Jaringan Islam Liberal berusaha merekonstruksi format hirarkhis epistimologi Islam dalam Ushul Fiqih. Secara eksplisit ia menggugat format hirarkhi dalam ushul fiqih yaitu Al-Quran, Sunnah, ijma’ dan qiyas. Kemudian ia menawarkan format baru dengan urutan yang berbeda dari format Syafi’i yang selama ini dipakai oleh para ulama. Ulil mendudukkan akal pada posisi pertama, disusul dengan Al-Quran, Sunnah, kemudian Ijma’.
Tokoh JIL lain yang menyerukan pembaruan Ushul fiqih adalah Abdul Moqsith Ghazali (kontributor JIL) mengatakan “Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodologi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan”. Dengan alasan di atas maka Moqsith mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, yaitu: 
  1. Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]); 
  2. Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat);
  3. Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama‘ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik).[7]
Menurut Media Zainul bahri, ada 4 macam faktor   yang paling signifikan  yang  memunculkan  gerakan  JIL secara agresif.  Pertama,  konteks global. Kemunculan Islam  liberal  Indonesia  tak  bisa  dilepaskan dari  perkembangan  global  ketika  banyak negara  di  planet  bumi  ini  mengalami perubahan  besar  dan  mendasar,  terutama tuntutan  demokratisasi  dalam  kehidupan sosial,  politik  dan  keagamaan.  Agama,  di alam  demokrasi,  harus  diredefinisikan  untuk sesuai  dengan  tuntutan  kehidupan  progresif. Dalam  pengertian  inilah,  para  pemikir Muslim Indonesia, termasuk tokoh-tokoh JIL, mengidolakan  para sarjana Barat dan Timur ahli Islam yang dianggap progresif dan liberal seperti  Abdullah  Ahmad  an-Naim,  Farid Esack, Hasan Hanafi, Arkoun, Abid al-Jabiri, Hamid  Abu  Zayd,  Abdul  Karim  Soroush, Muhammad  Syahrur,  dan  lain-lain. Pemikiran keislaman mereka dianggap cocok dengan  perubahan  dunia  yang  sedang  terjadi saat itu.
Kedua, era reformasi, dengan tumbang rezim  Orde  Baru  (1998),  membuka  kran kebebasan  berekspresi  dan  berpendapat. Dalam kehidupan keagamaan, banyak muncul paham  Islam  garis  keras  yang  diimpor  dari Timur  Tengah,  suatu  model  Islam  yang sebenarnya  tidak  cocok  dengan  Indonesia. Pada  momen  ini  skripturalisme  dan fundamentalisme  Islam  menguat. Kemunculan  JIL  tidak  semata  karena  eforia reformasi,  melainkan  juga  usaha  untuk melawan  fundamentalisme  dan  formalisme Islam itu. Karena itu, relevan ungkapan Luthfi bahwa  salah  satu  misi  Islam  liberal  adalah mengembalikan  semangat  kebangkitan pemikiran  Islam  yang  sejak  satu  abad  silam telah  dibajak  oleh  konservatisme  dan fundamentalisme  agama.  Benar,  di  dunia Islam  telah  satu  abad,  tapi  di  Indonesia  baru beberapa  tahun  saja  fundamentalisme  Islam menguat.
Secara  politik,  rezim  otoriter  Orde Baru  (Orba)  yang  berkuasa  32  tahun  telah mengontrol kegiatan sosial-politik umat Islam di pusat supaya  tetap  terjaga kemurniannya.  Karena  itu,  menurut  Daniel S.  Lev,  perubahan  secara  signifikan  lebih mudah  dilakukan  di  „pinggiran‟  daripada  di pusat.  Masa  reformasi  adalah  masa  ketika sejarah terbuka untuk perubahan besar karena negara  sedang  lemah,  suasana  sosial,  politik dan  intelektual  sangat  labil,  dan  masyarakat mengharapkan  perubahan. Angin  segar perubahan  bagi  Muslim  Indonesia  dengan perspektif  „Islam  liberal,‟  „Islam  progresif, Islam  kultural  atau Islam  rasional sesungguhnya  telah  lama  dihembuskan  oleh tokoh-tokoh sarjana Muslim seperti  Cak Nur, Abdurrahman  Wahid  (Gus  Dur),  dan  Harun Nasution. Bahkan mereka, terutama  Cak Nur dan  Gus  Dur,  berani  menjadi  oposisi pemerintah  Orba.  Di  masa  reformasi,  JIL sebagai  bayi  yang  baru  lahir  bersama  para raksasa  tokoh  Islam  di  atas  memiliki keleluasaan  untuk  menyebarkan  pandangan keislaman liberal.
Ketiga,  Sejak  tahun  1990an  diskursus  Islam intelektual  telah  menyebar  luas  di  banyak IAIN  (beberapa  sekarang  berubah  menjadi (UIN)  di  Indonesia.  Hal  ini  terjadi  karena banyak  dosen  IAIN  yang  telah  pulang  dari sekolah  di  Barat. Selain  membawa  gelar master  dan  doktor,  mereka  juga  membawa  isu-isu  baru  seperti  Islam  dan  pluralisme, Islam  dan  demokrasi,  Islam  dan  hak  asasi manusia,  Islam  dan  konsep  nation-state, Islam  dan  dialog  antar-agama  dan  lain-lain. Penting  dicatat  bahwa  dengan  sumber  daya manusia  unggul,  IAIN  dan  UIN  di  kota-kota besar  di  Indonesia  memainkan  peran  yang sangat  signifikan  dalam  mengembangkan kajian  teoritis  studi-studi  keislaman  (Islamic studies)  di  satu  sisi,  dan  menyebarkan gagasan  Islam  moderat,  bahkan  Islam  liberal di  sisi  lain.  Tokoh-tokoh  UIN,  terutama  di Jakarta  dan  Yogyakarta,  setelah  Harun Nasution  dan  Mukti  Ali,  seperti  Azyumardi Azra  dan  Abdul  Munir  Mulkhan  dengan  isu Islam  kultural  Indonesia,  Komaruddin Hidayat dan Amin Abdullah dengan diskursus Hermeneutik,  Din  Syamsuddin  dan  Bahtiar Effendi  dengan  politik  Islam  Indonesia,  dan Nasaruddin  Umar  dengan  isu  Islam  dan kesetaraan  gender, adalah  para  penopang yang kuat bagi eksistensi dan masa  keemasan JIL  pada  periode  2000an.  Mereka dimanfaatkan‟  JIL  untuk  menjadi  para kontributor  utama  dalam  acara-acara  yang digelar JIL.
Keempat,  Islam  kultural  yang  toleran selama  ini  dikampanyekan  oleh  NU, Muhammadiyah  dan  Paramadina, bagi  JIL adalah bagian dari kehidupan keseharian dan keislamannya. Para tokoh dan simpatisan JIL hampir  seluruhnya  adalah  anak-anak  muda yang  dibesarkan  di  lingkungan  NU  dan Muhammadiyah. Mereka tidak semata merasa berkewajiban  menjaga  Islam  kultural  tetapi juga ingin mengembangkannya menjadi  Islam aintelektual  dengan  spektrum  lebih  luas. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa tiga figur  senior,  yaitu  Harun  Nasution  dengan Islam  rasional,  Cak  Nurdengan  Islam peradaban  dan  kemodernan,  dan  Gus  Dur dengan  pribumisasi  Islam,  dijadikan  ikonikon  yang  banyak  diapresiasi  oleh  tokoh-tokoh JIL.[8]
Kehadiran  sekelompok  anak  muda  yang  tergabung  dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) menyebarkan gagasan pemikiran liberal telah mengundang respon beragam dari berbagai kalangan cendekiawan dan  intelektual  Muslim  di  Indonesia.  Melalui  semangat  revivalisme yang  diusungnya  lewat  serangkaian  gagasan  dan  ide  pembaharuan, seperti  revitalisasi  ijtihad,  pluralisme  dan  relativisme  (agama),  kebebasan  beragama,  kebebasan  berekspresi  hingga  sekularisasi  telah membuat  kebanyakan  Muslim  di  Indonesia  mengalami  kegerahan dan  telah  menimbulkan  dampak  yang  amat  luas,  khususnya  dalam menyikapi  pelbagai  persoalan  keagamaan  yang  selama  ini  diyakini sebagai permanent thesis (qath’iyyat), namun dilabrak dengan begitu mudah  dan  leluasanya  lewat  berbagai  penafsiran  baru  yang  sangat berlawanan dan kontradiktif.
Pada satu sisi, kehadiran kelompok JIL ini seolah hendak melanjutkan lokomotif pembaharuan yang dulunya dihela oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur) pada tahun 70-an bersama Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo dan lainnya yang  tergabung  dalam  kelompok Limited  Group bentukan  mantan Menteri Agama RI, Mukti Ali. Namun di sisi lain, berbagai gagasan yang diwacanakan JIL melalui publikasinya, lebih menampakkan bahwa JIL lebih dirasa liberal ketimbang pendahulunya, Cak Nur dkk.
Terma  Islam  liberal  sendiri  menurut  para  pengusungnya  menunjukkan  kepada  sebuah  tren  di  kalangan  Muslim  tertentu  yang berpandangan  bahwa  pemahaman  “teks”  ajaran  Islam  haruslah  dilengkapi  dan  diiringi  dengan  “konteks”  yang  melingkupinya  saat diinterpretasikan, sebab sebuah “teks” tidak sepenuhnya mampu menjelaskan makna dan maksud dari wahyu. Sebagaimana istilah Islam liberal juga diamini para pendukungnya sebagai sebuah intrepretasi ajaran  Islam  yang  punya  perhatian  lebih  terhadap  berbagai  persoalan  modern,  seperti  demokrasi,  kebebasan  berfikir  serta  promosi Hak Asasi Manusia (HAM). Kesemua interpretasi Islam yang selaras dengan zaman itu hanya bisa dituntaskan dengan membuka kembali selebar-lebarnya pintu ijtihad dengan menawarkan penafsiran Islam baru yang lebih senafas dengan zaman.
Tak sebatas menyuarakan perlunya dibuka kembali pintu ijtihad, JIL  juga  aktif  menyuarakan  pluralisme  dan  relativisme  (agama), membela kelompok minoritas semisal Jamaah Ahmadiyah, kebebasan beragama hingga sekularisasi yang memisahkan ranah agama dengan politik. Sungguhpun demikian, kehadiran JIL dengan segala gagasan liberal  yang  banyak  berlawanan  dengan  pemahaman  mainstreamkaum Muslimin ini, tidak sepi dari kritik dan tanggapan. Segala respon, kritik  dan  tanggapan  atas  kehadiran  JIL  ini  mencapai  puncaknya manakala koordinator JIL, Ulil Absar Abdalla menulis sebuah artikel yang  bertajuk  “Menyegarkan  Kembali  Pemahaman  Islam”  yang dimuat  pada  Harian  Kompas,  18  November  2002  hingga  berbuntut panjang  pada  fatwa  hukuman  mati  bagi  Ulil  yang  dikeluarkan  oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) atas ide liberal yang diangkat Ulil dalam tulisannya tersebut.[9]

D.      Penutupnya mana ?
Mari kita susun bersama-sama............


[1] Imam Musthofa. Sketsa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia. (Online). Jurnal STAIN Jurai Siwo Metro. Hlm: 2-3
[2]Ibid. Hlm: 4.
[3] Ibid.Hlm: 5-6.
[4] Ibid. Hlm: 7-8.
[5] Adian Husaini. Liberalisasi Islam di Indonesia. (Makalah Online).
[6] Imam Musthofa. Ijtihad Jaringan Islam Liberal: Sebuah Upaya Merekonstruksi Ushul Fiqih. Hlm: 1.
[7] Ibid. Hlm: 5.
[8] Media Zainul Basri. Ruh Hidup dalam Jasad Kaku: Mengenang Peran Intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam Diskursus Islam Indonesia. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
[9] Hamdiah A. Latif. Mengkritisi Jaringan Islam Liberal (JIL): Antara Spirit Revivalisme, Liberalisme dan Bahaya Sekularisme.