Mufassar Dan Muhkam Dalam Ushul Fiqih - Sang Pemburu Badai

Selasa, 04 November 2014

Mufassar Dan Muhkam Dalam Ushul Fiqih


Mufassar Dan Muhkam Dalam Ushul Fiqih
Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Telah kita ketahui bersama bahwa yang menjadi dalil hukum dalam Islam adalah nash al-Qur’an dan al-Hadis yang kesemuanya berbahasa arab.  Karena itulah para Ushuliyyun menaruh perhatian yang sangat besar sekali terhadap bahasa arab sebagai alat untuk memahami kedua dalil diatas. Perhatian itu sangat lah penting agar nash-nash yang berbahasa arab tadi dapat dipahami dengan baik dan sempurna. Untuk itulah para Ushuliyyun telah menciptakan beberapa kaedah lughowi atau bahasa agar suatu dalil itu dapat dipahami dan diambil hukumnya yang kemudian dapat dijadikan sebagai sebuah dasar hukum.
Nash itu ada dua macam yaitu yang berbentuk bahasa atau lafdhiyyah dan yang tidak berbentuk bahasa tetapi dapat dipahami atau maknawiyyah. Sedangkan yang lafdhiyyah itu sendiri terbagi menjadi dua juga yaitu yang jelas petunjuknya yang kemudian disebut dengan dhohirud dalalah dan yang samar petunjuknya yaang kemudian disebut dengan khofiyud dalalah. Dhohirud dalalah sendiri sebagai sebuah lafadh yang petunjuknya memberikan arti secara jelas dan tidak tergantung kepada yang lainnya untuk memahaminya terbagi menjadi empat macam, yaitu Dzahir, Nash, Mufassar dan Muhkam.
Keempat pembagian dalam lafadh dhohirud dalalah tadi merupakan pembagian secara berurutan dari lafadh yang jelas atau terang petunjuknya sampai kepada yang paling jelas atau paling terang petunjuknya. Tingkatan lafadz yang mempunyai dalalah dzahir sampai muhkam mempunyai status dan ketentuan hukum sendiri-sendiri. Setelah dalam makalah sebelumnya diterangkan tentang dzahir dan nash maka sangat perlu diketahui tentang dua tingkatan selajutnya, yaitu mufassar dan muhkam. Selain itu juga perlu diketahui tentang ketentuan hukumnya apabila dalalah yang satu dengan yang lainnya bertentangan.

  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut setidaknya terdapat tiga permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu:
1.      Apakah mufassar itu dan bagaimana hukumnya?
2.      Apakah muhkam itu dan bagaimana hukumnya?
3.      Bagaimana jika mufassar dan muhkam itu saling bertentangan?





BAB II
MUFASSAR MUHKAM

  1. Mufassar
1.      Pengertian
Para ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda dalam memberikan ta’rif mufassar. Abdul Wahab Khallaf seperti yang dikutip dalam Kamus Ilmu Ushul Fiqih memberikan ta’rif mufassar:
ما دل بنفس صيغته على معناه المفصل تفصيلا بحيث لا يبقى معه احتمال للتأويل
suatu lafadh yang dengan sighatnya sendiri memberikan petunjuk kepada maknanya yang terperinci sehingga dengan terperincinya tadi tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadh tersebut” (Jumantoro & Samsul, 2005:215). Sedangkan dalam buku Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam karya Muhtar Yahya dan Fatchurrahman (1997:276) memberikan definisi mufassar ialah “lafadh yang menunjuk kepada makna sebagai mana dikehendaki oleh sighat lafadh itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi ia tidak dapat dita’wilkan dan ditafsirkan selain oleh Syari’ sendiri dan dapat menerima nasakh pada zaman Rasulullah Saw”.
Dari kedua definisi mufassar diatas maka kita dapat mempertegas bahwa hakikat lafadh mufassar adalah:
1.      Penunjukan lafadh atau sighat terhadap maknanya sangat jelas.
2.      Penunjukan itu hanya berasal dari lafadh itu sendiri dan tidak membutuhkan qarinah dari luar lafadh itu untuk memahami petunjuknya.
3.      Karena sudah jelas dan terperinci maknanya, maka sudah tidak mungkin untuk dita’wilkan lagi (Jumantoro & Samsul, 2005:216).
Misalnya seperti firman Allah dalam surat An-Nur ayat 4 :
 
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Lafadh tsamanina (delapan puluh) adalah lafadh mufassar. Karena arti yang dikehendaki oleh sighat itu sendiri memang demikian dan itu pula yang dimaksud oleh siyaqul kalam. Dengan demikian pengertian angka delapan puluh itu tidak dapat dirubah dengan mengurangi atau menambah jumlahnya. Demikian juga lafadh kaffah dalam firman Allah surat at-Taubah ayat 36:
  
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Lafadh kaffah dalam waqotilu  al-Musyrikina kaffah yang artinya adalah dan perangilah orang-orang musyrik seluruhnya, adalah lafadh mufassar. Karena disamping maknanya, seluruhnya dikehendaki oleh sighat lafadh itu sendiri dan siyaqul kalam, juga ia tidak dapat dita’wilkan atau ditafsirkan kepada arti yang lain dari itu (Yahya & Fatchurrahman, 1997:276).
Penunjukan makna lafadh mufassar adakalanya sudah terperinci sebagaimana dikehendaki oleh lafadh itu sendiri. Sehingga dengan ini tidak perlu diartikan kepada makna yang lain yang tidak ditunjuk oleh sighatnya. Akan tetapi, adakalanya juga penunjukannya itu secara mujmal, tidak terperinci atau dijelaskan, kemudian Syari’ memberikan penjelasan atau penafsiran secara qath’i, sehingga hilanglah kemujmalannya dengan tidak perlu dita’wilkan lagi. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 77:  
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”
Dan firman-Nya lagi dalam surat ali Imran ayat 97 :  
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Lafadh-lafadh shalat, zakat dan haji semuanya mujmal. Setiap lafadh mempunyai makna syar’iyah yang belum diperinci oleh sighat ayat itu sendiri. Kemudian Rasulullah Saw. menjelaskan secara terperinci makna yang dikehendaki oleh lafadh tersebut melalui perbuatan dan ucapan beliau (Yahya & Fatchurrahman, 1997:277).
Pengertian dan cara-cara shalat dijelaskan oleh beliau dengan memperagakannya di hadapan para sahabat dan selanjutnya mereka diperintah untuk melakukannya persis seperti yang beliau lakukan. Dalam hal ini beliau bersabda:
صلوا كما رأيتمواني أصلي (رواه البخاري)
“Sembahyanglah kamu sekalian seperti kamu melihat aku bersembahyang”
Begitu juga dengan permasalahan zakat dan haji diatas diterangkan melalui sabda atau perbuatan beliau yang lainnya (Yahya & Fatchurrahman, 1997:278).
Setiap lafadh mujmal di dalam Al-Qur’an yang telah dijelaskan secara terperinci (ditafshil) oleh Rasulullah Saw. menjadi lafadh mufassar. Penjelasan yang bersifat qath’i ini di dalam istilah Ushul Fiqih disebut dengan tafsir tasyri’i  yang sama artinya dengan penafsiran otentik dalam istilah perundang-undangan. Dikatakan tafsir tasyri’i karena penafsiran itu datangnya dari pencipta syari’at (Syari’) yang dalam hal ini ialah Rasulullah saw. Kekuasaan beliau untuk menafsirkan ayat-ayat yang masih mujmal itu ditunjuk oleh firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 43:
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an  agar kamu menerangkan kepada ummat apa yang telah diturunkan kepada mereka.”

2.      Pembagian Lafadh Mufassar
Mufassar dibedakan menjadi dua macam yaitu : mufassar lidzatihi dan mufassar bighairihi.
a.       Mufassar lidzatihi yaitu lafadh yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan. Misalnya dalam firman Allah surat at-Taubah ayat 36:

Dan perangilah orang-orang musyrik seluruhnya.”
Dengan adanya lafadh kaffah (seluruhnya) pada ayat di atas, meniadakan takhshish terhadap lafadh am al-Musyrikin (kaum musyrikin). Dengan demikian, dengan adanya lafadh itu sudah menjadi jelas arti yang dimaksudkan, tanpa membutuhkan penjelasan dari yang lain (Muin dkk, 1986:63).
Misalnya lagi, dalam firman Allah surat an-Nur ayat 2:
  
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Lafadh mi’ah (seratus) adalah lafadh khas yang tidak perlu penjelasan dan tidak mungkin ditakwilkan, misalnya ditambah atau dikurangi. Dengan demikian lafadh ayat itu sendiri telah menunjukkan kepada arti yang jelas, sehingga tidak membutuhkan kepada sesuatu yang lain di luar ayat tersebut untuk menjelaskannya (Muin dkk, 1986:63-64).
b.      Mufassar bighairihi, yaitu lafadh yang membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan. Sebagai contoh, dalam lafadh mujmal (global) maka untuk menerangkan agar terang arti yang ditunjuki oleh yang mujmal itu harus ada penjelasan dari yang lain. Misalnya yang terdapat dalam firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 77:

“Dirikanlah sembahyang dan bayarlah zakat.”
Lafadh shalat dalam dalam ayat diatas secara bahasa berarti do’a. Kemudian lafadh ini digunakan oleh syara’ untuk arti lain yang lebih terperinci. Akan tetapi, karena dalam ayat tersebut dikemukakan secara mujmal, makna tidak cukup jelas arti yang dimaksudkan. Oleh karena itu dibutuhkan penjelasan dari yang lain, yang dalam hal ini dijelaskan oleh hadis-hadis baik yang berupa sabda Rasulullah Saw. maupun perbuatan beliau, antara lain :
صلوا كما رأيتمواني أصلي (رواه البخاري)
Artinya : “shalatlah kamu, seperti yang kamu melihat aku melakukan shalat (Muin dkk, 1986:64).
3.      Hukum Lafadh Mufassar
Lafadh mufassar itu wajib diamalkan sesuai dengan dalalah yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri atau sesuai dari penjelasan dari Syari’, kecuali ada dalil yang sharih yang menasakhkannya. Oleh karena hanya Syari’ sendiri yang berhak menafsirkan lafadh mufassar, maka segala penafsiran para mujtahid terhadap lafadh mufassar tidak dapat dipakai itu (Yahya & Fatchurrahman, 1997:280).



  1. Muhkam
1.      Pengertian
Lafadh muhkam ialah “lafadh yang menunjuk kepada makna sebagai mana dikehendaki oleh sighat lafadh itu dan siyaqul kalam, akan tetapi ia tidak dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan dinasakh pada saat Rasulullah Saw. masih hidup” (Yahya & Fatchurrahman, 1997:280). Dalam Kamus Ilmu Ushul Fikih disebutkan definisi muhkam adalah
اللفظ الذي ظهرت دلالة على معناه الوضعي بدون احتمال شيء
Yang maksudnya adalah lafadh yang petunjuknya nyata terhadap makna yang tersusun dari lafadh itu dan tidak menerima adanya kemungkinan yang lainnya (ta’wil, takhsis, nasakh) (Jumantoro & Samsul, 2005:218).
Dari definisi-definisi yang tersebut diatas, dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa lafadh muhkam itu adalah lafadh mufassar yang tidak dapat dinasakh. Ia seperti lafadh mufassar dari segi terangnya dalalah (wadhihuud dalalah), akan tetapi dari segi dalalah maknanya adalah lebih kuat dari pada dalalah makna lafadh mufassar. Lafadh muhkam tidak dapat dinasakh pada zaman Rasulullah Saw. dan apalagi sesudahnya  (Yahya & Fatchurrahman, 1997:280). Hal ini berlaku demikian lantaran ketentuan yang ditunjuk oleh lafadh muhkam itu adakalanya:
a.       Mengenai hukum asasi yang tidak dirubah, sepeti beriman kepada Allah, Rasul-rasul-Nya dan kitab-kitab-Nya.
b.      Mengenai induk keutamaan yang tidak berbeda lantaran perbedaaan suasana dan keadaan. Misalnya berbakti kepada orang tua, berlaku adil dan bersifat jujur.
c.       Mengenai hukum syar’i juz’i (hukum cabang) yang ditetapkan oleh Syari’ agar hukum tersebut dilestarikan. Contohnya adalah larangan untuk menerima kesaksian orang yang menuduh zina yang tidak sanggup medatangkan empat orang saksi (Yahya & Fatchurrahman, 1997:280). Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surat An-Nur ayat 4 :
Ÿ
“ Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya”
Larangan menerima persaksian zina merupakan ketentuan cabang syar’i, bukan ketentuan yang asasi atau menadasar. Meskipun demikian Syari’ sendiri telah menetapkannya untuk dilestarikan atau berlangsung untuk selamanya. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh lafadh abadan pada akhir surat (Yahya & Fatchurrahman, 1997:280).

2.      Pembagian Lafadh Muhkam
Dilihat dari sebab tidak dapat dimansukhkan, maka muhkam dibedakan menjadi dua macam, yaitu muhkam lidzatihi dan muhkam lighairihi.
a.       Muhkam lidzatihi, yaitu “muhkam yang semata-mata karena arti yang ditunjukinya itu tidak mungkin dapat dimansukhkan” (Muin dkk, 1986:66). Misalnya adalah keharusan beribadah hanya kepada Allah swt semata dan berbuat baik kepada dua orang tua, sebagai mana yang diperintahkan oleh Allah dalam surat al-Isra’ ayat 23 :
“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyebah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
b.      Muhkam lighairihi yaitu “muhkam karena disertai suatu lafadh yang menunjukkan atas keabadian berlakunya, sehingga tidak dapat dimansukhkan”  (Muin dkk, 1986:66). Seperti muhkam yang terdapat pada surat An-Nur ayat 4 di atas, bahwa tidak dapat diterima kesaksian orang yang berbuat jarimah qadzaf untuk selama-lamanya karena pada lafadh tersebut disertai dengan lafadh abadan (selama-lamanya).
3.      Hukum Lafadh Muhkam
Lafadh muhkam wajib diamalkan secara qath’i. Hal ini disebabkan karena lafadh muhkam itu tidak dapat dita’wilkan kepada arti lain di luar lafadhnya dan tidak dapat pula dinasakh baik pada waktu Rasulullah masih hidup atau sesudah wafatnya beliau. Pada zaman Rasulullah lafadh itu tidak dapat dinasakh karena lafadh itu sendiri yang menghalanginya. Sedangkan tidak dapat dinasakh sesudah zaman Rasulullah karena tidak seseorangpun sesudah beliau wafat yang mempunyai kekuasaan untuk membuat syariat dan merubah hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan demikian hukum-hukum yang didatangkan oleh al-Qur’an dan al-Hadis sepeninggal Rasulullah Saw. Adalah muhkam semuanya, tidak dapat dinasakh atau dibatalkannya (Yahya & Fatchurrahman, 1997:281-282).
  1. Pertentangan Antara Mufassar Dan Muhkam
Muhkhtar Yahya dan Fatchurrahman (1997:284) mengatakan Apabila terjadi perlawanan antara lafadh mufassar dengan lafadh muhkam maka lafadh muhkam harus didahulukan. Misalnya firman Allah dalam surat at-Thalaq  ayat 2:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.”
Ayat diatas adalah mufassar karena saksi-saksi yang dapat diterima itu telah dijelaskan sifat-sifatnya oleh ayat itu sendiri, yaitu dzawai adlin minkum, yang artinya orang-orang yang bersifat adil, belum pernah berbuat dosa yang dapat mencacatkan keadilan atau orang yang sudah pernah berbuat dosa, kemudian bertaubat. Ayat tersebut berlawanan dengan firman Allah dalam surat an-nur ayat 4:
Ÿ
“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya”
Ayat diatas adalah muhkam serta sudah tidak dapat dinasakh lagi. Karena ketiadaan diterima persaksian orang yang menuduh zina dengan tanpa saksi tidak dapat dinormalisir, sekalipun dengan taubat. Sesuai dengan ketentuan diatas, maka ayat terakhir inilah yang didahulukan pengamalannya (Yahya & Fatchurrahman, 1997:284).
Sedangkan apabila terjadi perlawanan antara lafadh nash dengan lafadh mufassar maka lafadh mufassar harus didahulukan daripada lafadh nash. Hal ini berlaku demikian sebab lafadh mufassar itu dalalahnya lebih jelas dari lafadh nash. Karena penafsiran otentiknya (tafsir tasyri’inya) telah menuntut adanya kemungkinan untuk dita’wilkan dan apalagi makna yang dikehendaki oleh lafadh mufassar itu sudah tegas sekali (Yahya & Fatchurrahman, 1997:283). Misalnya sabda Rasulullah Saw:
المستحاضة تتوضأ لكل صلاة
“Wanita yang beristihadloh hendaklah berwudzu setiap kali sholat”
Lafadh ini adalah lafadh nash yang berisikan petunjuk kewajiban berwudzu setiap hendak sholat. Memang demikianlah makna yang dikehendaki baik oleh lafadh itu sendiri maupun siyaqul kalam (Yahya & Fatchurrahman, 1997:283).  Hadis periwayatan ahmad ini berlawanan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang berbunyi
المستحاضة تتوضأ لوقت كل صلاة
“Wanita yang beristihadloh hendaklah berwudlu untuk waktu setiap sholat”
Hadis periwayatan yang kedua ini adalah berlafadh mufassar. Ia tidak mungkin dapat dita’wilkan lagi karena Syari’ itu sendiri sudah memberikan tafsir otentik lafadh likulli sholatin dengan liwaqti kulli sholatin. Lafadh likulli sholatin pada hadis pertama sekalipun maknanya sudah sesuai dengan pengertian menurut bahasa dan menurut siyaqul kalam, namun masih ada kemungkinan dapat dita’wilkan pada arti yang lain. Sebab ia dapat diartikan pada salah satu dari dua kemungkinan:
a.       Mewajibkan wudzu untuk setiap sholat (likulli sholatin) biarpun dikerjakan dalam suatu waktu. Misalnya seorang berwudzu ketika hendak sholat dzuhur. Kemudian apabila ia hendak mengerjakan sholat ashar yang dijamak taqdim dengan sholat dzuhur atau sholat sunnah rawatib sesudah sholat dzuhur, maka ia harus berwudzu lagi.
b.      Kewajiban wudzu untuk setiap sholat (liwaqti kulli sholatin), walaupun dalam waktu itu seseorang menajalankan beberapa sholat.
Sedangkan tafsir tasyri’i liwaqti kulli sholatin, pada hadis kedua menghilangkan kemungkinan pertama dari hadis yang awal, karena ia mufassar. Oleh karena itu, hadis periwayatan kedualah yang harus diamalkan. Yakni mewajibkan wudzu untuk sholat dalam waktu itu dikerjakan beberapa sholat (Yahya & Fatchurrahman, 1997:284).



BAB III
KESIMPULAN

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan:
Ø  Mufassar  adalah suatu lafadh yang dengan sighatnya sendiri memberikan petunjuk kepada maknanya yang terperinci sehingga dengan terperincinya tadi tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadh tersebut.
Ø  Mufassar terbagi menjadi dua yaitu mufassar lidzatihi dan mufassar bighoirihi.
Ø  Hukum mufassar adalah wajib diamalkan sesuai dengan dalalah yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri atau sesuai dari penjelasan dari syari’, kecuali ada dalil yang sharih yang menasakhkannya.
Ø  Muhkam adalah lafadh yang menunjuk kepada makna sebagai mana dikehendaki oleh sighat lafadh itu dan siyaqul kalam, akan tetapi ia tidak dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan dinasakh pada saat Rasulullah Saw. masih hidup.
Ø  Muhkam terbagi menjadi dua yaitu muhkam lidzatihi dan muhkam bighoirihi
Ø  Hukum muhkam adalah wajib diamalkan secara qath’i.
Ø  Apabila terjadi perlawanan antara lafadh mufassar dengan lafadh muhkam maka lafadh muhkam harus didahulukan.
Ø  Apabila terjadi perlawanan antara lafadh nash dengan lafadh mufassar maka lafadh mufassar harus didahulukan daripada lafadh nash.


DAFTAR PUSTAKA

Jumantoro, Totok & Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:Penerbit Amzah
Muin Dkk. 1986.Ushul Fiqh II. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia.
Yahya, Mukhtar & Fatchurrahman. 1997. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: Al-Ma’arif.

1 komentar:

  1. salam brother Najmuddin. saya Roza Elliena, pelajar Universiti Islam Antarabangsa Malaysia. sekarang ini saya tengah buat assignment mengenai tajuk Al-zahir, al-mufassar & al-muhkam. boleh brother najmuddin share kan dengan saya article "Mufassar Dan Muhkam Dalam Ushul Fiqih" ini ? brother najmuddin boleh hubungi saya atau send article brother di email saya rozaelliena15@gmail.com .terima kasih ye :)

    BalasHapus

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.