Mufassar Dan Muhkam Dalam Ushul Fiqih
Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri
Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Telah
kita ketahui bersama bahwa yang menjadi dalil hukum dalam Islam
adalah nash al-Qur’an dan al-Hadis yang kesemuanya berbahasa arab. Karena itulah para Ushuliyyun menaruh perhatian yang sangat
besar sekali terhadap bahasa arab sebagai alat untuk memahami kedua dalil
diatas. Perhatian itu sangat lah penting agar nash-nash yang berbahasa arab
tadi dapat dipahami dengan baik dan sempurna. Untuk itulah para Ushuliyyun telah
menciptakan beberapa kaedah lughowi atau bahasa agar suatu dalil itu dapat
dipahami dan diambil hukumnya yang kemudian dapat dijadikan sebagai sebuah
dasar hukum.
Nash itu ada dua macam yaitu yang berbentuk bahasa atau lafdhiyyah
dan yang tidak berbentuk bahasa tetapi dapat dipahami atau maknawiyyah.
Sedangkan yang lafdhiyyah itu sendiri terbagi menjadi dua juga yaitu
yang jelas petunjuknya yang kemudian disebut dengan dhohirud dalalah
dan yang samar petunjuknya yaang kemudian disebut dengan khofiyud dalalah.
Dhohirud dalalah sendiri sebagai sebuah lafadh yang petunjuknya
memberikan arti secara jelas dan tidak tergantung kepada yang lainnya untuk
memahaminya terbagi menjadi empat macam, yaitu Dzahir, Nash, Mufassar
dan Muhkam.
Keempat pembagian dalam lafadh dhohirud dalalah
tadi merupakan pembagian secara berurutan dari lafadh yang jelas atau terang
petunjuknya sampai kepada yang paling jelas atau paling terang petunjuknya.
Tingkatan lafadz yang mempunyai dalalah dzahir sampai muhkam
mempunyai status dan ketentuan hukum sendiri-sendiri. Setelah dalam makalah
sebelumnya diterangkan tentang dzahir dan nash maka sangat perlu
diketahui tentang dua tingkatan selajutnya, yaitu mufassar dan muhkam.
Selain itu juga perlu diketahui tentang ketentuan hukumnya apabila dalalah
yang satu dengan yang lainnya bertentangan.
- Rumusan Masalah
Dari latar
belakang masalah tersebut
setidaknya terdapat tiga permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu:
1. Apakah mufassar itu dan bagaimana hukumnya?
2. Apakah muhkam itu dan bagaimana hukumnya?
3. Bagaimana jika mufassar dan muhkam itu saling bertentangan?
BAB II
MUFASSAR MUHKAM
- Mufassar
1.
Pengertian
Para
ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda dalam memberikan ta’rif mufassar. Abdul Wahab Khallaf seperti yang
dikutip dalam Kamus Ilmu Ushul Fiqih memberikan ta’rif mufassar:
ما
دل بنفس صيغته على معناه المفصل تفصيلا بحيث لا يبقى معه احتمال للتأويل
“suatu lafadh yang dengan sighatnya sendiri memberikan
petunjuk kepada maknanya yang terperinci sehingga dengan terperincinya tadi
tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadh tersebut” (Jumantoro
& Samsul, 2005:215). Sedangkan dalam buku Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam
karya Muhtar Yahya dan Fatchurrahman (1997:276) memberikan definisi mufassar
ialah “lafadh yang menunjuk kepada makna sebagai mana dikehendaki oleh
sighat lafadh itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi ia tidak dapat dita’wilkan
dan ditafsirkan selain oleh Syari’ sendiri dan dapat menerima nasakh pada zaman
Rasulullah Saw”.
Dari kedua definisi mufassar diatas maka kita dapat
mempertegas bahwa hakikat lafadh mufassar adalah:
1.
Penunjukan lafadh atau sighat
terhadap maknanya sangat jelas.
2.
Penunjukan itu hanya
berasal dari lafadh itu sendiri dan tidak membutuhkan qarinah dari luar
lafadh itu untuk memahami petunjuknya.
3.
Karena sudah jelas dan
terperinci maknanya, maka sudah tidak mungkin untuk dita’wilkan lagi (Jumantoro
& Samsul, 2005:216).
Misalnya seperti firman Allah dalam surat An-Nur ayat 4 :
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Lafadh tsamanina (delapan puluh)
adalah lafadh mufassar. Karena arti yang dikehendaki oleh sighat itu sendiri
memang demikian dan itu pula yang dimaksud oleh siyaqul kalam. Dengan
demikian pengertian angka delapan puluh itu tidak dapat dirubah dengan
mengurangi atau menambah jumlahnya. Demikian
juga lafadh kaffah dalam firman Allah surat at-Taubah ayat 36:
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.”
Lafadh kaffah dalam waqotilu al-Musyrikina kaffah yang artinya adalah dan
perangilah orang-orang musyrik seluruhnya, adalah lafadh mufassar. Karena
disamping maknanya, seluruhnya dikehendaki oleh sighat lafadh itu sendiri dan siyaqul
kalam, juga ia tidak dapat dita’wilkan atau ditafsirkan kepada arti yang
lain dari itu (Yahya & Fatchurrahman, 1997:276).
Penunjukan makna lafadh mufassar adakalanya sudah
terperinci sebagaimana dikehendaki oleh lafadh itu sendiri. Sehingga dengan ini
tidak perlu diartikan kepada makna yang lain yang tidak ditunjuk oleh sighatnya.
Akan tetapi, adakalanya juga penunjukannya itu secara mujmal, tidak terperinci
atau dijelaskan, kemudian Syari’ memberikan penjelasan atau penafsiran secara qath’i,
sehingga hilanglah kemujmalannya dengan tidak perlu dita’wilkan lagi. Misalnya
firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 77:
“Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah
tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!"
setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka
(golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah,
bahkan lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami,
mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan
(kewajiban berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?"
Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”
Dan
firman-Nya lagi dalam surat ali Imran ayat 97 :
“Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Lafadh-lafadh
shalat, zakat dan haji semuanya mujmal. Setiap
lafadh mempunyai makna syar’iyah yang belum diperinci oleh sighat ayat itu
sendiri. Kemudian Rasulullah Saw.
menjelaskan secara terperinci makna yang
dikehendaki oleh lafadh
tersebut melalui perbuatan dan ucapan beliau (Yahya &
Fatchurrahman, 1997:277).
Pengertian
dan cara-cara shalat dijelaskan oleh beliau dengan memperagakannya di hadapan
para sahabat dan selanjutnya mereka diperintah untuk melakukannya persis
seperti yang beliau lakukan. Dalam hal ini beliau bersabda:
صلوا كما رأيتمواني أصلي (رواه البخاري)
“Sembahyanglah
kamu sekalian seperti kamu melihat aku bersembahyang”
Begitu juga dengan permasalahan
zakat dan haji diatas diterangkan melalui sabda atau perbuatan beliau yang
lainnya (Yahya & Fatchurrahman, 1997:278).
Setiap lafadh mujmal di dalam Al-Qur’an yang telah
dijelaskan secara terperinci (ditafshil) oleh Rasulullah Saw. menjadi lafadh
mufassar. Penjelasan yang
bersifat qath’i ini di dalam istilah Ushul
Fiqih disebut dengan tafsir tasyri’i yang sama artinya dengan penafsiran
otentik dalam istilah perundang-undangan. Dikatakan tafsir tasyri’i karena penafsiran itu datangnya dari pencipta
syari’at (Syari’) yang dalam hal ini ialah Rasulullah saw. Kekuasaan
beliau untuk menafsirkan ayat-ayat yang masih mujmal itu ditunjuk oleh firman Allah dalam surat an-Nahl
ayat 43:
“Dan kami turunkan
kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan
kepada ummat apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
2.
Pembagian Lafadh Mufassar
Mufassar
dibedakan menjadi dua macam yaitu : mufassar lidzatihi dan mufassar
bighairihi.
a. Mufassar lidzatihi yaitu lafadh yang tidak membutuhkan
penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang
dimaksudkan. Misalnya dalam firman
Allah surat at-Taubah ayat 36:
“Dan perangilah orang-orang musyrik seluruhnya.”
Dengan adanya lafadh kaffah (seluruhnya) pada ayat di atas, meniadakan takhshish
terhadap lafadh ‘am al-Musyrikin (kaum musyrikin). Dengan demikian, dengan adanya lafadh itu sudah
menjadi jelas arti yang dimaksudkan, tanpa membutuhkan penjelasan dari yang
lain (Muin dkk, 1986:63).
Misalnya lagi, dalam firman Allah surat an-Nur ayat 2:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Lafadh mi’ah
(seratus) adalah lafadh khas yang tidak perlu penjelasan dan tidak mungkin
ditakwilkan, misalnya ditambah atau dikurangi. Dengan demikian lafadh ayat itu sendiri telah menunjukkan kepada arti
yang jelas, sehingga tidak membutuhkan kepada sesuatu yang lain di luar ayat
tersebut untuk menjelaskannya (Muin dkk, 1986:63-64).
b.
Mufassar bighairihi, yaitu lafadh yang membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk
terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan. Sebagai
contoh, dalam lafadh mujmal (global) maka untuk menerangkan agar terang
arti yang ditunjuki oleh yang mujmal itu harus ada penjelasan dari yang lain.
Misalnya yang terdapat dalam firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 77:
“Dirikanlah sembahyang
dan bayarlah zakat.”
Lafadh shalat dalam dalam ayat diatas secara bahasa berarti do’a. Kemudian lafadh ini digunakan oleh syara’ untuk
arti lain yang lebih terperinci. Akan tetapi, karena dalam ayat tersebut
dikemukakan secara mujmal, makna tidak cukup jelas arti yang dimaksudkan. Oleh karena itu dibutuhkan penjelasan dari yang
lain, yang dalam hal ini dijelaskan oleh hadis-hadis baik yang berupa sabda Rasulullah Saw. maupun perbuatan beliau, antara lain :
صلوا كما رأيتمواني أصلي (رواه البخاري)
Artinya : “shalatlah kamu, seperti yang
kamu melihat aku melakukan shalat” (Muin dkk, 1986:64).
3. Hukum Lafadh Mufassar
Lafadh mufassar
itu wajib diamalkan sesuai dengan dalalah yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri atau sesuai dari penjelasan dari Syari’,
kecuali ada dalil yang sharih yang menasakhkannya. Oleh
karena hanya Syari’ sendiri yang berhak menafsirkan lafadh mufassar,
maka segala penafsiran para mujtahid terhadap lafadh mufassar tidak
dapat dipakai itu (Yahya & Fatchurrahman, 1997:280).
- Muhkam
1.
Pengertian
Lafadh muhkam
ialah “lafadh yang menunjuk kepada makna sebagai mana dikehendaki oleh
sighat lafadh itu dan siyaqul kalam, akan tetapi ia tidak dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan dinasakh
pada saat Rasulullah Saw. masih hidup” (Yahya & Fatchurrahman, 1997:280).
Dalam Kamus Ilmu Ushul Fikih disebutkan definisi muhkam
adalah
اللفظ الذي ظهرت دلالة على معناه الوضعي بدون احتمال شيء
Yang maksudnya adalah lafadh yang petunjuknya nyata
terhadap makna yang tersusun dari lafadh itu dan tidak menerima adanya
kemungkinan yang lainnya (ta’wil, takhsis, nasakh) (Jumantoro & Samsul,
2005:218).
Dari
definisi-definisi yang tersebut diatas, dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa lafadh
muhkam itu adalah lafadh mufassar yang tidak dapat dinasakh. Ia seperti lafadh mufassar dari segi
terangnya dalalah (wadhihuud dalalah), akan tetapi dari segi dalalah maknanya adalah lebih
kuat dari pada dalalah makna lafadh mufassar. Lafadh muhkam tidak dapat dinasakh pada zaman Rasulullah
Saw. dan apalagi sesudahnya (Yahya &
Fatchurrahman, 1997:280).
Hal ini berlaku demikian lantaran ketentuan yang ditunjuk oleh lafadh muhkam
itu adakalanya:
a.
Mengenai hukum asasi yang tidak dirubah, sepeti beriman
kepada Allah, Rasul-rasul-Nya dan kitab-kitab-Nya.
b.
Mengenai induk keutamaan yang tidak berbeda lantaran
perbedaaan suasana dan keadaan. Misalnya berbakti kepada orang tua, berlaku
adil dan bersifat jujur.
c.
Mengenai hukum syar’i juz’i (hukum cabang) yang
ditetapkan oleh Syari’ agar hukum tersebut dilestarikan. Contohnya adalah
larangan untuk menerima kesaksian orang yang menuduh zina yang tidak sanggup
medatangkan empat orang saksi (Yahya & Fatchurrahman, 1997:280). Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surat
An-Nur ayat 4 :
“ Dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya”
Larangan menerima persaksian zina merupakan ketentuan
cabang syar’i, bukan ketentuan yang asasi atau menadasar. Meskipun
demikian Syari’ sendiri telah menetapkannya untuk dilestarikan atau
berlangsung untuk selamanya. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh lafadh abadan
pada akhir surat (Yahya & Fatchurrahman, 1997:280).
2.
Pembagian Lafadh Muhkam
Dilihat dari
sebab tidak dapat dimansukhkan, maka muhkam dibedakan menjadi dua macam, yaitu muhkam
lidzatihi dan muhkam lighairihi.
a.
Muhkam lidzatihi, yaitu “muhkam yang semata-mata karena arti yang
ditunjukinya itu tidak mungkin dapat dimansukhkan” (Muin dkk, 1986:66). Misalnya adalah keharusan beribadah hanya kepada Allah
swt semata dan berbuat baik kepada dua orang tua, sebagai mana yang
diperintahkan oleh Allah dalam surat al-Isra’ ayat 23 :
“Dan tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyebah selain dia dan hendaklah kamu berbuat
baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
b.
Muhkam lighairihi yaitu “muhkam karena disertai suatu lafadh yang
menunjukkan atas keabadian berlakunya, sehingga tidak dapat dimansukhkan” (Muin dkk, 1986:66). Seperti muhkam yang terdapat pada surat An-Nur ayat 4
di atas, bahwa tidak dapat diterima kesaksian orang yang berbuat jarimah
qadzaf untuk selama-lamanya karena pada lafadh tersebut disertai dengan
lafadh abadan (selama-lamanya).
3.
Hukum Lafadh Muhkam
Lafadh muhkam
wajib diamalkan secara qath’i. Hal ini disebabkan karena lafadh muhkam
itu tidak dapat dita’wilkan kepada arti lain di luar lafadhnya dan tidak dapat
pula dinasakh baik pada waktu Rasulullah masih hidup atau sesudah wafatnya
beliau. Pada zaman Rasulullah lafadh itu tidak dapat dinasakh karena lafadh itu
sendiri yang menghalanginya. Sedangkan tidak dapat dinasakh sesudah zaman
Rasulullah karena tidak seseorangpun sesudah beliau wafat yang mempunyai
kekuasaan untuk membuat syariat dan merubah hukum-hukum yang telah ditetapkan
dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan demikian hukum-hukum yang didatangkan oleh
al-Qur’an dan al-Hadis sepeninggal Rasulullah Saw. Adalah muhkam semuanya,
tidak dapat dinasakh atau dibatalkannya (Yahya & Fatchurrahman, 1997:281-282).
- Pertentangan Antara Mufassar Dan Muhkam
Muhkhtar Yahya dan Fatchurrahman (1997:284) mengatakan “Apabila terjadi perlawanan antara lafadh mufassar dengan
lafadh muhkam maka lafadh muhkam harus didahulukan”. Misalnya firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat
2:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.”
Ayat diatas
adalah mufassar karena saksi-saksi yang dapat diterima itu telah dijelaskan
sifat-sifatnya oleh ayat itu sendiri, yaitu dzawai adlin minkum, yang
artinya orang-orang yang bersifat adil, belum pernah berbuat dosa yang dapat mencacatkan
keadilan atau orang yang sudah pernah berbuat dosa, kemudian bertaubat. Ayat
tersebut berlawanan dengan firman Allah dalam surat an-nur ayat 4:
“Dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya”
Ayat diatas
adalah muhkam serta sudah tidak dapat dinasakh lagi. Karena ketiadaan diterima
persaksian orang yang menuduh zina dengan tanpa saksi tidak dapat dinormalisir,
sekalipun dengan taubat. Sesuai dengan ketentuan diatas, maka ayat terakhir inilah yang
didahulukan pengamalannya (Yahya & Fatchurrahman, 1997:284).
Sedangkan apabila
terjadi perlawanan antara lafadh nash dengan lafadh mufassar maka lafadh
mufassar harus didahulukan daripada lafadh nash. Hal ini berlaku demikian sebab
lafadh mufassar itu dalalahnya lebih jelas dari lafadh nash. Karena penafsiran
otentiknya (tafsir tasyri’inya) telah menuntut adanya kemungkinan untuk
dita’wilkan dan apalagi makna yang dikehendaki oleh lafadh mufassar itu sudah
tegas sekali (Yahya & Fatchurrahman, 1997:283). Misalnya sabda Rasulullah Saw:
المستحاضة تتوضأ
لكل صلاة
“Wanita
yang beristihadloh hendaklah berwudzu setiap kali sholat”
Lafadh ini
adalah lafadh nash yang berisikan petunjuk kewajiban berwudzu setiap hendak
sholat. Memang demikianlah makna yang dikehendaki baik oleh lafadh itu sendiri
maupun siyaqul kalam (Yahya & Fatchurrahman, 1997:283). Hadis
periwayatan ahmad ini berlawanan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi
lain yang berbunyi
المستحاضة تتوضأ
لوقت كل صلاة
“Wanita
yang beristihadloh hendaklah berwudlu untuk waktu setiap sholat”
Hadis
periwayatan yang kedua ini adalah berlafadh mufassar. Ia tidak mungkin dapat
dita’wilkan lagi karena Syari’ itu sendiri sudah memberikan tafsir otentik
lafadh likulli sholatin dengan liwaqti kulli sholatin. Lafadh likulli
sholatin pada hadis pertama sekalipun maknanya sudah sesuai dengan
pengertian menurut bahasa dan menurut siyaqul kalam, namun masih ada
kemungkinan dapat dita’wilkan pada arti yang lain. Sebab ia dapat diartikan
pada salah satu dari dua kemungkinan:
a.
Mewajibkan wudzu untuk setiap sholat (likulli sholatin)
biarpun dikerjakan dalam suatu waktu. Misalnya seorang berwudzu ketika hendak
sholat dzuhur. Kemudian apabila ia hendak mengerjakan sholat ashar yang dijamak
taqdim dengan sholat dzuhur atau sholat sunnah rawatib sesudah sholat dzuhur,
maka ia harus berwudzu lagi.
b.
Kewajiban wudzu untuk setiap sholat (liwaqti kulli
sholatin), walaupun dalam waktu itu seseorang menajalankan beberapa sholat.
Sedangkan tafsir
tasyri’i liwaqti kulli sholatin, pada hadis kedua menghilangkan kemungkinan
pertama dari hadis yang awal, karena ia mufassar. Oleh karena itu, hadis
periwayatan kedualah yang harus diamalkan. Yakni mewajibkan wudzu untuk sholat
dalam waktu itu dikerjakan beberapa sholat (Yahya &
Fatchurrahman, 1997:284).
BAB III
KESIMPULAN
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan:
Ø Mufassar
adalah suatu lafadh yang dengan sighatnya sendiri memberikan
petunjuk kepada maknanya yang terperinci sehingga dengan terperincinya tadi
tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadh tersebut.
Ø Mufassar terbagi menjadi dua yaitu mufassar lidzatihi dan
mufassar bighoirihi.
Ø Hukum mufassar adalah wajib
diamalkan sesuai dengan dalalah yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri atau sesuai dari penjelasan dari
syari’, kecuali ada dalil yang sharih yang menasakhkannya.
Ø Muhkam adalah lafadh
yang menunjuk kepada makna sebagai mana dikehendaki oleh sighat lafadh itu dan
siyaqul kalam, akan tetapi ia tidak dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan dinasakh
pada saat Rasulullah Saw. masih hidup.
Ø Muhkam terbagi menjadi dua yaitu muhkam lidzatihi dan
muhkam bighoirihi
Ø Hukum muhkam adalah wajib diamalkan secara qath’i.
Ø Apabila terjadi perlawanan antara lafadh mufassar dengan lafadh muhkam maka
lafadh muhkam harus didahulukan.
Ø Apabila terjadi perlawanan antara lafadh nash dengan lafadh mufassar maka
lafadh mufassar harus didahulukan daripada lafadh nash.
DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro, Totok & Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih.
Jakarta:Penerbit Amzah
Muin Dkk. 1986.Ushul Fiqh II. Jakarta: Departemen Agama Republik
Indonesia.
Yahya, Mukhtar & Fatchurrahman. 1997. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
salam brother Najmuddin. saya Roza Elliena, pelajar Universiti Islam Antarabangsa Malaysia. sekarang ini saya tengah buat assignment mengenai tajuk Al-zahir, al-mufassar & al-muhkam. boleh brother najmuddin share kan dengan saya article "Mufassar Dan Muhkam Dalam Ushul Fiqih" ini ? brother najmuddin boleh hubungi saya atau send article brother di email saya rozaelliena15@gmail.com .terima kasih ye :)
BalasHapus