Qashashul Qur'an (Kisah-Kisah Dalam Al-Qur'an) - Sang Pemburu Badai

Minggu, 15 Februari 2015

Qashashul Qur'an (Kisah-Kisah Dalam Al-Qur'an)

BAB I
PENDAHULUAN

            Kisah al-Qur’an bukanlah karya seni yang terpisah dalam hal subjek, metode penyajian, dan pengaturan kejadian-kejadiannya, sebagaimana yang ada pada kisah seni bebas yang bertujuan menunaikan penyajian seninya tanpa ikatan tujuan. Kisah adalah salah satu sarana al-Qur’an di antara sekian banyak sarananya yang mempunyai berbagai tujuan keagamaan. Al-Qur’an adalah kitab dakwah agama sebelum segala sesuatunya. Kisah merupakan salah satu sarana al-Qur’an untuk menyampaikan dakwah ini dan mengokohkannya. Kedudukan kisah dalam hal ini sama dengan gambaran-gambaran yang disajikannya tentang hari kiamat, nikmat surga dan adzab neraka. Sama dengan bukti-bukti yang diketengahkannya tentang hari berbangkit, untuk menunjukkan kekuasaan Allah. Juga sama dengan syariat-syariat yang dirincinya serta tamsil-tamsil yang dibuatnya, dan topik-topik lainnya yang disebutkan dalam al-Qur’an.
            Kisah al-Qur’an dalam temanya, metode penyajiaannya dan pengaturan kejadian-kejadiannya tunduk pada tujuan-tujuan agama. Pengaruh dari ketundukan ini terlihat menonjol melalui ciri-ciri tertentu. Akan tetapi, ketundukan yang bersifat total kepada tujuan agama ini, dan kesetiannya secara sempurna terhadap tujuan ini, tidak menghalangi keberadaan karakteristik seni dalam penyajiannya. Terutama keistimewaan al-Qur’an yang terbesar dalam menyampaikan ungkapan yaitu tashwir atau gambaran Qur’an (Quthb, 2004:275-276).
            Melalui makalah ini kami mencoba memabahas tentang Qashasul Qur’an secara ringkas namun komprehensif. Pembahasan lebih kami tekankan kepada etimologi dan terminologi, pembagian qashashul qur’an dari segi waktu dan segi materi, teknik pemaparan kisah dalam al-Qur’an, tujuan dan faedah kisah-kisah dalam al-Qur’an, pengulangan kisah dan hikmahnya, serta beberapa segi lainnya.
            Semoga makalah ini dapat mambantu kita dalam memahami al-Qur’an. Dan mendorong kita untuk semakin meningkatkan komitmen dalam mewujudkan nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan pribadi, keluarga, sosial, dan negara. Amin.


BAB II
QASHASUL QUR’AN

A.    Pengertian kisah
Dari segi bahasa, kata kisah berasal dari bahasa Arab al-Qashshu atau al-Qishshatu yang berarti cerita. Ia searti dengan tatabbau’ al-atsar, pengulangan kembali hal masa lalu (Izzan, 2005:210). Kata al-Qashash adalah bentuk masdar seperti yang tersebut dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 64, yang berbunyi:
“Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”
Sedang Qashash juga bisa berarti berita atau kisah (Izzan, 2005:210), seperti yang tercantum dalam surat Yusuf ayat 111, yang berbunyi:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Qashash al-Qur’an adalah pemberitaan al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona (Al-Qattan, 2000:435-436).

B.     Macam-Macam Kisah Dalam Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Dari al-Qur’an dapat diketahui beberapa kisah yang pernah dialami orang-orang jauh sebelum kita. Selain itu, al-Qur’an juga menceritakan beberapa peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah. Melihat dari itu, maka Kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur’an dapat dibagi menajadi dua macam, yaitu menurut waktu dan menurut materi (Syadali, 2003:27).
a.       Dari segi waktu
Ditinjau dari segi waktu, kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu:
Pertama, kisah hal ghaib yang terjadi pada masa lampau, seperti kisah tentang dialog Malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan khalifah di muka bumi dalam surat al-Baqarah, kisah tentang penciptaan alam semesta dalam surat al-Furqan, kisah tentang penciptaan Nabi Adam dan kehidupannya di surga sebagaimana terdapat dalam surat al-A’raf dan lain sebagainya.
Kedua, kisah hal ghaib yang terjadi pada masa kini, seperti kisah turunnya malaikat-malaikat pada malam Lailatul Qadar dalam surat al-Qadar, kisah tentang kehidupan mahluk-mahluk ghaib seperti setan, jin atau iblis sebagaimana diuangkapkan dalam surat al-A’raf dan lain sebagainya.
Ketiga, kisah-kisah hal ghaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti kisah tentang akan datangnya hari kiamat yang dijelaskan dalam surat al-Qariah, kisah tentang nasib Abu lahab kelak di akhirat yang dijelaskan dalam surat al-Lahab, kisah tentang kehidupan orang-orang di surga dan orang-orang yang hidup di neraka yang diungkapkan dalam surat al-Ghasiyah dan lain sebagainya (Syadali, 2003:27-28).


b.      Dari segi materi
Ditinjau dari segi materi, kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu:
Pertama, Kisah para nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembanganya serta akibat-akibat yang yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya, kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad dan Nabi-Nabi seta Rasul lainnya.
Kedua, Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah seorang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Talucdeabt dan Jalut, dua orang putra Adam, penghuni gua, Zulkarnain, Karun, orang-orang yang menangkap ikan pada hari sabtu (ashabus sabthi) dan lain sebagainnya.
Ketiga, Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah seperti perang Badar dan perang Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah al-Taubah, hijrah, isra’ dan lain sebagainya (Al-Qattan, 2000:436; Syadali, 2003:28-30).

C.    Teknik Pemaparan Kisah Dalam Al-Qur’an
Pemaran kisah dalam al-Quran memiliki cara yang sangat spesifik. Dikatakan demikian karena pendekatan yang digunakan menggunakan aspek seni dan keagamaan secara bersamaan, bahkan sangat dominan. Beberapa bukti bahwa  teknik pemaparan al-Qur’an itu bersifat spesifik itu adalah:
Pertama, ada banyak kisah yang dipaparkan al-Quran yang dimulai dari kesimpulan, lalu diikuti rinciannya, yakni dari fragmen pertama hingga terakhir. Misalnya,  kisah tentang perjalanan dakwah Nabi Yusuf yang diawali oleh mimpi dan dipilihnya Yusuf sebagai Nabi Allah dalam surat Yusuf ayat 6-7. Kisah tersebut berlanjut dengan penuturan fragmen-fragmen setelahnya (Izzan, 2005:212).
Kedua, kisah al-Quran diawali dengan ringkasan. Dalam hal ini, kisah dimulai dari ringkasan, lalu diikuti rinciannya dari awal hingga akhir. Kisah yang menggunakan pola ini antara lain kisah Ashabul Kahfi dalam surat al-Kahfi (Izzan, 2005:212).
Ketiga, al-Quran menggunakan pengungkapan adegan klimaks sebagai pembuka sebuah kisah. Pola pemaparan kisah yang berawal dari adegan klimaks ini dilanjutkan dengan perincian kisah dari awal hingga akhir. Misalnya, kisah nabi Musa dengan Firaun dalam surat al-Qashas yang diawali oleh adegan klimaks, yaitu keganasan Firaun (Izzan, 2005:213).
Keempat, kisah al-Quran tanpa didahului oleh pendahuluan sebagai mana lazimnya sebuah buku cerita. Secara umum, kata-kata pendahuluan digunakan pada kisah-kisah al-Quran apakah itu dengan menggunakan pola pertama, kedua, ketiga atau bentuk pertanyaan seperti kisah tentara bergajah dalam surat al-Fill. Sungguhpun demikian, ada juga kisah-kisah dalam al-Quran yang tidak didahului oleh pendahuluan. Kisah ini dimulai secara langsung dari inti materi kisah seperti kisah tentang Nabi Musa a.s. mencari ilmu yang diceritakan dalam surat al-Kahfi ayat 60-82. Dalam kisah tersebut, pembahasan langsung diarahkan pada inti materi kisah tanpa didahului oleh pendahuluan. Sekalipun pemaparan kisah-kisah ini tanpa dimulai oleh pendahuluan, namun di dalamnya dimuat dialog atau peristiwa yang mengandung daya-tarik-minat bagi pembaca atau pendengar untuk mengetahui kisah tersebut sampai tuntas (Izzan, 2005:214-215).
Kelima, kisah-kisah dalam al-Quran banyak yang disusun secara garis besar (global) karena kelengkapannya diserahkan kepada imajinasi manusia untuk terus menerus mencari jawabannya. Penelitian sejarawan terkemuka W. Montgemory Watt dalam buku Bell’s Introduction To The Qur’an, membuktikan bahwa al-Quran disusun dalam ragam bahasa lisan (oral), dan untuk memahaminya hendaklah pembaca menggunakan (tambahan) daya-imajinasi yang dapat melengkapi gerakan yang dilukiskan oleh lafal-lafalnya. Ayat-ayat yang mengandung unsur gaya bahasa ini, jika dibaca dengan penyertaan dramatic action yang tepat dan sesuai, niscaya akan dapat membantu pemahaman. Sebenarnya, gambaran gramatika yang sangata\ berkualitas ini merupakan ciri khas gaya bahasa al-Quran. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail tatkala membangun Ka’bah yang dituturkan dalam surat al-Baqarah ayat 27 merupakan salah satu buktinya (Izzan, 2005: 215).
Keenam, kisah al-Quran selalu ditutup oleh ajakan untuk merenungi nasehat dari kisah itu. Artinya, pemaparan kisah dalam al-Quran selalu disisipi oleh nasehat keagamaan. Nasehat ini berupa pengesaan Allah dan keharusan percaya adanya kebangkitan manusia dari kubur. Jadi, tema sentral dari ayat-ayat yang memuat kisah dalam al-Quran adalah kisah para Nabi dan umat terdahulu. Namun, secara perlahan-lahan, para pembaca atau pendengar diring ke ajaran-ajaran agama yang universal. Ini bisa dijadikan alat bukti bahwa komitmen kisah-kisah dalam al-Quran terhadap tujuan keagamaan sangatlah tinggi, yang tidak akan pernah ditemukan tandingannya (Izzan, 2005:216).

D.    Faedah Dan Tujuan Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an
Cerita atau kisah dalam al-Quran bukanlah rekayasa-gubahan yang hanya bernilai sastra, baik gaya bahasa maupun cara penggambaran peristiwanya. Memang, dalam dunia satra, cerita merupakan hasil telaah-renungan kesustraan murni. Karena itu, bentuk dan gaya tuturnya semata-mata menggambarkan seni bahasa. Tentu saja, gaya ini berbeda jauh dengan cerita dalam al-Qur’an yang merupakan salah satu media untuk mewujudkan tujuannya yang asli. Bagaimanapun dan sulit dipungkiri bahwa al-Qur’an adalah kitab da’wah dan kitab yang meyakinkan objeknya (Izzan, 2005:216).
Kisah-kisah dalam al-Qur’an secara umum bertujuan untuk mencipta kebenaran dan semata-mata untuk tujuan keagamaan. Jika dilihat dari keseluruhan kisah yang ada, tujuan serta faedah yang dimaksud dapat diperinci sebagai berikut:
1.      Menerangkan bahwa semua agama dan dasarnya hanya satu, dan itu semua berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh nabi-nabi dalam berdakwah itu hanyalah satu jalan dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga sama (Izzan, 2005:217).
3.      Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan agama yang digagas Nabi Ibrahim a.s., secara khusus. Juga, agama-agama bangsa Israil, dan menerangkan bahwa hubungan tersebut lebih erat daripada hubungan yang umum antara semua agama. Keterangan ini dikatakan secara berulang dalam cerita Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa a.s. (Izzan, 2005:217).
4.      Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa para nabi.
5.      Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebathilan dan para pembelanya.
6.      Membenarkan para Nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabdikan jejak dan peninggalannya.
7.      Menampakkan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi.
8.      Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang memberikan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menentang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah dan diganti.
9.      Kisah termasuk dalam salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa (Al-Qattan, 2000: 437).
10.  Menampakkah ahlakul karimah dan budi pekerti yang mulia.
11.  Menarik perhatian para pendengar yang diberikan pelajaran bagi mereka (Syadali, 2003:31).
12.  Menerangkan bahwa Allah pada akhirnya menolong para Nabi-Nya dan membinasakan orang-orang yang mendustakan.
13.  Membenarkan berita gembira dan peringatan, dan memaparkan contoh nyata dari pembenaran ini.
14.  Menerangkan nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada para Nabi dan orang-orang pilihan-Nya.
15.  Mengingatkan anak adam akan penyesatan yang dilakukuan oleh setan, menonjolkan permusuhan abadi antara setan dan manusia sejak bapak moyang mereka Adam (Quthb, 2004:290-294).

E.     Pengulangan Kisah dan Hikmahnya
Al-Qur’an tidak menceritakan sebuah kejadian dan peristiwa tertentu secara berurutan (kronologis), dan tidak pula memaparkannya secara panjang lebar. Al-Qur’an juga mengandung berbagai kisah yang diungkapkan secara berulang-ulang dalam beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam al-Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk gaya-tutur-wicara yang berbeda-beda. Di satu tempat, ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang di tempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang juga secara panjang lebar. Gaya tutur-wicara yang berbeda inilah yang sering menimbulkan perdebatan di kalangan orang yang meyakini dan orang-orang yang meragukan al-Qur’an. Mereka yang selalu meragukan al-Qur’an acapkali mempertanyakan mengapa kisah-kisah tersebut tidak tersusun secara kronologis dan sistematis sehingga lebih mudah dipahami. Bagi mereka, pengulangan kisah-kisah dalam al-Qur’an seperti menunjukkan inefektivitas dan inefesiensi (Izzan, 2005:210-211).
Menurut Manna’ Khalil al-Qattan (2000:438), penyajian dan penuturan kisah-kisah dalam al-Qur’an yang bervariasi sedemikian rupa memuat beberapa hikmah yang sangat berharga bagi manusia. Adapun hikmahnya antara lain:
1.      Menjelaskan ke-balaghah-an al-Qur’an dalam tingkat paling tinggi. Sebab diantara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan dalam sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbada
2.      Menunjukkan kehebatan mukjizat al-Qur’an. Sebab mengungkapkan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari Allah.
3.      Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat pada jiwa. Hal ini merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian.
4.      Perbedaan tujuan yang karena kisahnya itu diungkapkan. Maka sebagian dari maknanya diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna yang lain dikemukakan di tempat lain, sesuai dengan tuntutan keadaan (Al-Qattan, 2000: 438).

F.     Pengaruh Kisah-kisah al-Qur’an Dalam Pendidikan Dan Pengajaran
Di dalam al-Qur’an kita dapati banyak kisah para Nabi-nabi, Rasul-rasul dan Ummat-ummat dahulu kala. Maka yang dimaksudkan dengan kisah-kisah itu, ialah pengajaran-pengajaran dan petunjuk-petunjuk yang berguna bagi para penyuruh kebenaran dan bagi orang-orang yang diseru kepada kebenaran.
Lantaran inilah maka al-Qur’an tiada menguraikan kisahnya seperti kitab sejarah, tetapi  memberi petunjuk. Petunjuk itu bukan dalam mengetahui hari kelahiran Rasul atau keturunan, serta kajadian-kajadiannya. Tetapi petunjuk itu didapati dalam cara Rasul mengembangkan kebenaran dan dalam penderitaan-penderitaan yang dialami oleh para Rasul itu pula (Ash-Shiddiqy, 2002:146).
Tidak diragukan lagi bahwa kisah yang baik dan cermat akan digemari dan menembus relung jiwa manusia dengan mudah. Segenap perasaan mengikuti alur kisah tersebut tanpa merasa jemu atau kesal, serta unsur-unsurnya dapat dijelejahi akal sehingga ia akan memetik dari keindahan tamannya aneka ragam bunga dan buah-buahan.
Pelajaran yang disampaikan dengan metode talqin dan ceramah akan menimbulkan kebosanan, bahkan tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh generasi muda kecuali dengan sulit dan berat serta memerlukan waktu yang cukup lama pula. Oleh karena itu, maka uslub qasasi (narasi) sangat bermanfaat dan mengandung banyak faedah. Pada umumnya, anak-anak suka mendengarkan cerita-cerita, memperhatikan riwayat kisah, dan ingatannya segera menampung apa yang diriwayatkan kepadanya, kemudian ia menirukan dan mengisahkannya (Al-Qattan, 2000: 441).
Fenomena fitrah kejiwaan ini sudah seharusnya dimanfaatkan oleh para pendidik dan lapangan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang merupakan inti pengajaran dan soko guru pendidikan
Dalam kisah-kisah Qur’ani terdapat lahan subur yang dapat membantu kesuksesan para pendidik dalam melaksanakan tugasnya dan membekali mereka dengan bekal kependidikan berupa peri hidup para Nabi, berita-berita tentang umat dahulu, sunnatullah dalam kehidupan masyarakat dan hal ihwal bangsa-bangsa. Dan semua itu dikatakan dengan benar dan jujur. Para pendidik hendaknya mampu menyuguhkan kisah-kisah qur’ani itu dengan uslub bahasa yang sesuai dengan tingkat nalar pelajar dalam segala tingkatan (Al-Qattan, 2000: 441).      
Maka di antara maksud-maksud yang paling nyata dari kisah-kisah al-Qur’an ialah pengajaran yang tinggi yang menjadi cermin perbandingan bagi segala ummat. Di dalamnya kita dapati akibat kesabaran, sebagaimana sebaliknya kita dapati akibat keingkaran. Dan juga mengokohkan Muhammad, membuktikan kebenarannya. Muhammad adalah seorang ummy dan yang hidup dalam masyarakat yang ummy. Maka bagaimana ia dapat meriwayatkan sejarah-sejarah yang penting kalau bukan yang demikian itu dari wahyu. Selain itu juga memberi petunjuk kepada para penyeru, jalan-jalan yang harus mereka turuti dalam melaksanakan seruan dan dalam menghadapi kaum-kaum yang ingkar (Ash-Shiddiqy, 2002:146).

                                   


BAB III
KESIMPULAN

ü  Dari segi bahasa, kata kisah berasal dari bahasa Arab al-Qashshu atau al-Qishshatu yang berarti cerita.
ü  Sedangkan secara istilah Qashash al-Qur’an adalah pemberitaan al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
ü  Kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur’an dapat dibagi menajadi dua macam, yaitu menurut waktu dan menurut materi. Menurut waktu mencakup kisah hal ghaib yang terjadi pada masa lampau, pada masa kini dan yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Sedangkan menurut materi mencakup kisah para nabi, kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya.
ü  Pemaran kisah dalam al-Quran memiliki cara yang sangat spesifik karena pendekatan yang digunakan menggunakan aspek seni dan keagamaan secara bersamaan, bahkan sangat dominan.
ü  Kisah-kisah dalam al-Qur’an secara umum bertujuan untuk mencipta kebenaran dan semata-mata untuk tujuan keagamaan.
ü  Penyajian dan penuturan kisah-kisah dalam al-Qur’an yang berulang dan bervariasi sedemikian rupa memuat beberapa hikmah yang sangat berharga bagi manusia.
ü  Kisah di dalam al-Qur’an mempunyai maksud pengajaran-pengajaran dan petunjuk-petunjuk yang berguna bagi para penyuruh kebenaran dan bagi orang-orang yang diseru kepada kebenaran. Di antara maksud-maksud yang paling nyata dari kisah-kisah al-Qur’an ialah pengajaran yang tinggi yang menjadi cermin perbandingan bagi segala ummat. Di dalamnya kita dapati akibat kesabaran, sebagaimana sebaliknya kita dapati akibat keingkaran. Dan juga mengokohkan Muhammad, membuktikan kebenarannya.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2001. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. PT. Pustaka Litera Antar Nusa. Bogor.
Quthb, Sayyid. 2004. Keindahan Al-Qur’an Yang Menakjubkan. Robbani Press. Jakarta.
Izzan, Ahmad. 2005. Ulumul Qur’an; Telaah Tekstualitas Dan Kontekstualitas Al-Qur’an. Tafakur. Bandung.
Syadali, Ahmad Dkk. 1997. Ulumul Qur’an II; Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MDK. Pustaka Setia. Bandung.
Ash-Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbih. 2002. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. PT. Pustaka Rizki Putra. Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.