oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)
Catatan saya
kali ini adalah tentang perjalanan dalam kegiatan dialog lintas agama. Kegiatan
ini dikemas dalam “Semiloka Fundamentalisme Agama; Studi Kasus Kekerasan
Berbasis Agama” yang diselenggarakan oleh Dialog Center UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) dengan sponsor UEM
Jerman. Kegiatan lintas agama seperti ini bukan lah kegiatan yang pertama kali
saya ikuti. Tetapi kegiatan kali ini merupakan dialog lintas agama yang intens
karena diselenggarakan selama 3 hari di Wisma Sabda Mulia, di sebelah timur
lapangan Pancasila Kota Salatiga.
Menjadi
peserta dalam kegiatan ini adalah para perwakilan berbagai pimpinan keagamaan
seperti pendeta Gereja, Wihara, dan Pura; perwakilan organisasi seperti FKUB,
IPNU, IPPNU, PMII. Dan Gusdurians; perwakilan kampus seperti STIAB Samaratungga
Ampel, STT Sangkakala Getasan, STAB Syailendra, dan IAIN Salatiga; dan saya
sendiri satu-satunya yang mewakili LSM, yaitu Lembaga Desaku Maju. Ada sekitar
40 peserta dari berbagai usia, dengan usia paling tua 86 tahun yang berasalan
dari perwakilan gereja, dan untuk agama Islam sendiri semuanya diwakili oleh
kalangan muda (mahasiswa).
Bagi
sebagian kalangan, kegiatan lintas agama seperti ini masih menjadi sebuah
ke-haram-an atau pantangan. Tidak sedikit bagi mereka yang masih menganggap
sinis akan kegiatan seperti ini, sepeti dengan menuduhnya ada program
pemurtadan, program kelompok liberal, serta tuduhan-tuduhan yang lainnya. Maka
sah-sah saja bagi sebagian orang untuk kemudian berprasangka buruk, atau
kemudian menjadi anti terhadap kegiatan-kegiatan seperti itu. Bagi setiap orang
yang memiliki sebuah keyakinan atau aqidah tentunya mereka akan
berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi keyakinan mereka.
Begitupun dengan
saya, perasaan curiga juga sering kali muncul dalam mengikuti kegiatan seperti
ini. Tetapi hal itu bukan menjadi alasan saya untuk tidak mengikuti kegiatan
tersebut. Bukan karena merasa yakin aqidah saya tidak terganggu, tetapi karena
saya lebih yakin bahwa setiap agama mengajarkan perdamaian, mengajarkan
persaudaraan, dan tidak ada yang mengajarkan permusuhan. Selain itu juga,
bersahabat dengan orang non muslim juga bukan berarti sesuatu yang dilarang,
karena Nabi Muhammad sendiri mempunyai banyak tetangga dan sahabat akrab
yangnon muslim juga. Bahkan dengan mengikuti kegiatan seperti itu saya dapat
lebih mengenalkan apa itu Islam, apa itu ajaran Muhammad yang penuh kasih
sayang, yang akan menjelaskan kepada sebagian orang yang pada akhir-akhir ini
merasa sentiment terhadap orang Islam karena perilaku beberapa golongan
radikal.
Dr. Zainudin
dari Dialog Center UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dialog antar umat
beragama adalah cara yang paling bermatabt dalam menjalin perbedaan keyakinan
agama, sebab dalam dialog orang akan bertemu tatap muka untuk saling memahami
dan menghargai perbedaan, baik teologis maupun etnis, suku, bahasa, dan asal
usul. Melalui dialog antar iman, orang akan merasa bahwa empati dan toleransi
terhadap orang yang berbeda agama akan muncul sikap saling menghormati dan
menghargai perbedaan keyakinan orang lain.
Dalam berdialog
antar umat beragama beliau memberikan rumus agar hasilnya dapat sukses dan maksimal, yaitu harus dilakukan
dalam kesetaraan dam tidak boleh merasa paling dominan, sehingga semua pemeluk
agama pemeluk agama-agama bisa bertegur sapa dan toleransi. Kenyataan bahwa
hubungan agama-agama terjadi keretakan bisa diakibatkan karena pemeluk agama
masih tertutup dan belum mau terbuka, sehingga eksklusifitas keagamaan masih
sering muncul. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi keretakan antar umat
beragama perlu dilakukan langkah-langkah kongkrit yaitu keterbukaan komunikasi
social antar umat beragama dengan saling menghormati dan menghargai perbedaan
dalam kehidupan social.
Pada sesi
panel materi, kegiatan tersebut diawali oleh pemaparan tentang fudamentalisme
dari berbagai agama. Dari agama Islam diwakili Dr. Agus Muh Najib, M.Ag.
(Dialog Center UIN Sunan Kalijaga), agama Kristen diwakili Prof. Dr. John
Titally (Rektor UKSW Salatiga), agama Budha diwakili oleh Suranto, S.Ag., M.A.
(Dosen STAB Syailendra), dan agama Hindu diwakili oleh Rama Wikusatya Dharma
Telaga. Dari materi yang disampaikan hamper semuanya menjelaskan tentang
sejarah panjang fundamentalisme yang muncul dalam agamanya masing-masing, dan
bagaimana bahaya faham tersebut dalam bermasyarakat dan beragama. Hampir semua
panelis sepakat akan bahaya sebuah faham fundamentelis. Semua panelis juga
sepakat tentang bagaimana semua agama sejatinya menyebarkan akan sebuah
kedamaian, dan menolak akan tindakan kekerasan baik itu terhadap pemeluk
agamanya sendiri maupun terhadap pemeluk agama lain.
Akan tetapi
yang kemudian menjadi menarik bagi saya adalah apa yang disampaikan oleh
perwakilan dari agama Budha, Suranto S.Ag., M.A. Beliau menekankan bahwa
sejatinya dalam agama Budha sendiri lebih menekankan kepada pemahaman teks-teks
kitab suci secara murni, yang menunjang seseorang untuk lebih taat terhadap
ajaran agamanya. Mungkin bagi sebagian kalangan sikap seperi ini dapat dianggap
sebuah sikap fundamentalis. Sehingga apabila seseorang itu lebih akan berbakti
dengan sikap fundamentalis, maka itu sangat dianjurkan. Oleh karena itu, selama
faham fundemantalis hanya diimplementasikan dalam agamanya masing-masing maka
itu tidak menjadi masalah. Akan tetapi beliau juga memberikan catatan, yaitu
apabila efek dari fundamentalisme sudah masuk pada ranah kekerasan, maka hukum
pun juga harus ikut bertindak.
“Agama memang sumber pencerahan, tetapi jangan cemari
pencerahan itu dengan melakukan kejahatan atas nama agama. Belajarlah dari
keanekaragaman, karena tidak ada jaminan bahwa perdamaian hanya akan terjadi
ketika hanya ada satu agama yang berkembang. Menumbuhkan cinta kasih dalam
perbedaan menjadi akar keharmonisan” (Suranto, Dosen STAB Syailendra).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.