Jurnal dari Laporan Penelitian Kolektif IAIN Salatiga Tahun 2014
(Studi Kasus Pernikahan
Dengan Adat Jawa di Desa Joho Kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiri)
Oleh M. Najmuddin, Dkk.
Abstract
Syariat nikah dalam Islam sebenarnya
sangatlah simpel dan tidak terlalu rumit. Apabila sebuah ritual pernikahan
telah memenuhi rukun dan persyaratannya, maka sebuah pernikahan sudah dianggap
sah. Namun karena paradigma budaya yang terlalu disakralkan justru malah
menimbulkan kerumitan-kerumitan, baik sebelum pernikahan ataupun pada saat
pernikahan. Hal ini disebabkan diantaranya karena sesuatu yang telah menjadi
budaya atau adat istiadat.
Keywords : Pernikahan,
Adat Jawa, Hukum Islam, Hukum Positif Indonesia.
Pendahuluan
Hampir semua manusia
mengalami satu tahap kehidupan yang bernama pernikahan. Pernikahan atau
perkawinan merupakan sebuah upacara penyatuan dua jiwa menjadi sebuah keluarga
melalui akad perjanjian yang diatur oleh agama. Oleh karena itu pernikahan menjadi
sebuah seremonial yang agung dan
sakral.
Di Indonesia yang
mempunyai beragam suku dan budaya ternyata juga mempunyai aneka ragam adat
istiadat dan tradisi dalam pelaksanaan upacara pernikahan. Salah satunya adalah
suku Jawa. Suku jawa terutama untuk Jawa bagian tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam melaksanakan sebuah pernikahan banyak sekali dipengaruhi oleh
Adat istiadat yang berlangsung dari Keraton. Pada zaman dahulu pesta perkawinan
yang meriah hanyalah dilakukan oleh para bangsawan, khususnya Raja. Para
bangsawan atau priyayi itu sangatlah njlimet dalam melaksanakan sebuah pesta
pernikahan. Namun pada zaman sekarang adat istiadat tersebut telah banyak
dilakukan oleh orang dari kalangan biasa atau masyarakat umum (Hariwijaya, 2008:6).
Syariat nikah dalam
Islam sebenarnya sangatlah simpel dan tidak terlalu rumit. Apabila sebuah
ritual pernikahan telah memenuhi rukun dan persyaratannya, maka sebuah
pernikahan sudah dianggap sah. Namun karena paradigma budaya yang terlalu
disakralkan justru malah menimbulkan kerumitan-kerumitan, baik sebelum
pernikahan ataupun pada saat pernikahan. Hal ini disebabkan diantaranya karena
sesuatu yang telah menjadi budaya atau adat istiadat (LBM Al-Ma’ruf, tt:18).
Salah satu daerah yang
menggunakan adat istiadat Jawa dalam pernikahan adalah masyarakat Desa Joho
Kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiri. Di daerah tersebut adat pernikahan
Jawa sangatlah kental dilaksanakan. Upacara pernikahan yang dilaksanakan di
desa Joho dibagi dalam 3 tahap acara. Ketiga tahap tersebut yaitu, prosesi
upacara pra pernikahan, prosesi upacara pada waktu pernikahan dan prosesi
upacara pasca pernikahan.
Tentunya tradisi ini
merupakan sebuah ritual baru yang belum pernah ada pada zaman Nabi dan para
sahabat. Melihat adat istiadat dalam rangakaian upacara yang dilakukan oleh
masyarakat jawa ini ternyata dalam Islam tidaklah mengaturnya secara spesifik.
Kitab-kitab fiqih Klasik pun belum meberikan pandangan atau hukum dari model
adat istiadat yang dilakukan oleh orang jawa ini. Maka dari itu perlu untuk
diketahui bagaimana hukum Islam menghadapi hal seperti itu.
Berdasarkan di atas maka kami simpulkan ada 3 rumusan
permasalahan yang perlu diteiti dan dikaji. Ketiga rumusan masalah tersebut
adalah bagimanakah pelaksanaan upacara pernikahan menurut Islam? Bagimanakah pelaksanaan upacara pernikahan
dengan menggunakan tradisi Jawa di Desa Joho Kecamatan Pracimantoro Kabupaten
Wonogiri? Dan bagaimanakah upacara pernikahan dengan tradisi Jawa dalam
perspektif hukum Islam?.
Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan metode pendekatan fenomologi. Tim
peneliti dalam melakukan penelitian hadir secara langsung di Desa Joho
Kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiri dan mengikuti serta melihat upacara
pernikahan di desa tersebut. Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara,
observasi langsung, dan memanfaatkan dokumen yang berkaitan dengan obyek
penelitian.
Pernikahan Dalam Islam
Kata nikah secara bahasa bermakna kumpul atau berkumpul. Sedangkan arti nikah secara istilah menurut para fuqoha’
adalah “aqad yang mengandung ketentuan ketentuan hukum kebolehan
hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan
keduanya” (Al-Ghamrawi, tt: 319). Sedangkan M. Abu Israh memberikan
definisi nikah yang hampir mirip dengan Al-Ghamrawi, yaitu “aqad yang
memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri)
antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan meberi batas hak hak
bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masingnya” (Depag, 1983:
49).
Pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pernikahan dalam Islam termasuk hal yang disyariatkan oleh agama. Diantara
dalil yang mengsyariatkan nikah adalah dalam Surat Ar-Rum ayat 2:
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Islam sendiri tidak menentukan cara dan metode
bagaimana sebuah pernikahan itu harus dilaksanakan. Semuanya dikembalikan
kepada adat-istiadat yang berlangsung di daerah yang bersangkutan. Islam hanya
memberikan batas-batasan terhadap hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika
melaksanakan sebuah upacara pernikahan dan memberikan beberapa anjuran di
dalamnya (Sabiq, 2002:184-186).
Termasuk kegiatan yang
diperbolehkan dan disenangi oleh Islam adalah bernyanyi-nyanyi ketika upacara
pernikahan, guna menyenangkan dan membuat pengantin perempuan giat, asal saja
hiburannya sehat. Pesta perkawinan ini wajib dijauhkan dari acara yang tidak
sopan dan porno, campur gaul antara laki-laki dan perempuan. Begitu pula
perkataan yang keji dan tak pantas didengarkan. Dalam sebuah riwayat Amir bin
Sa’ad, ia berkata saya masuk ke rumah Quradhah bin Ka’ab ketika hari perkawinan
Abu Mas’ud Al-Anshari. Tiba-tiba beberapa anak perempuan bernyanyi-nyanyi. Lalu
saya bertanya: “Bukankah anda berdua adalah sahabat Rasulullah dan Pejuang
badr, mengapa ini terjadi di hadapan anda ?”. Maka jawab mereka: “Jika anda
suka, maka boleh mendengarnya bersama kami dan jika anda tak suka maka boleh
anda pergi. Karena kami diberi kelonggaran
untuk mengadakan hiburan pada acara perkawinan”. Hadis ini diriwayatkan
oleh An-Nasa’I dan Hakim (Sabiq,
2002:179).
Pernikahan Dalam Adat Jawa
Dalam hukum adat Jawa,
pernikahan bukan hanya merupakan periwtiwa penting bagi mereka yang masih hidup
saja, tetapi pernikahan atau perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat
berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh para
arwa-arwah leluhur oleh kedua belah pihak. Dan dari arwah-arwah inilah kedua
belah pihak beserta seluruh keluarganya mengharapkan juga restunya bagi
mempelai berdua, hingga mereka ini setelah menikah selanjutnya dapat hidup
rukun bahagia sebagai suami isteri sampai kakek nenek (Wignjodipoero, 1995:
122).
Bila suatu masyarakat memeluk agama Islam ataupun Kristen, maka terlihat
adanya pengaruh agama yang bersangkutan terhadap ketentuan-ketentuan tentang
perkawinan adat. Perkawinan secara Islam ataupun Kristen tidak memberikan
kewenangan turut campur yang begitu jauh dan
menentukan pada keluarga, kerabat dan persekutuan seperti dalam adat. Oleh
karena itu perkawinan menurut hukum Islam dan Kristen itu membuka jalan bagi mereka yang memeluk agama-agama tersebut
untuk menghindari kekuasaan-kekuasaan kerabat, keluarga dan persekutuan seperti
keharusan memilih istri dari “hula-hula” yang bersangkutan, keharusan exogami,
keharusan endogami dan lain sebagainya. Inilah sebabnya juga, bahwa
kekuatan-kekuatan pikiran tradisional serta kekuasaan-kekuasaan tradisional
dari pada para kepala adat serta para sesepuh-sesepuh kerabat sangat kurang
dapat menyetujui cara-cara perkawinan yang tidak memprhatikan
ketentuan-ketentuan adat.
Dalam perkembangan jaman proses pengaruh ini berjalan terus dan akhirnya ternyata, bahwa:
- Bagi yang beragama Islam, nikah menurut Islam itu menjadi satu bagian dari perkawinan adat keseluruhannya.
- Bagi yang beragama Kristen, hanya unsur-unsur dalam perkawinan adat yang betul-betul secara positif dapat digabungkan dengan agama Kristen saja yang masih dapat diturut (Wignjodipoero, 1995: 134-135).
Seperti sudah diuraikan di atas tadi, maka acara nikah menurut agama Islam ini merupakan bagian dari pada seluruh
upacara-upacara perkawinan adat. Dengan demikian, maka sebelum dan sesudah nikah, masih
terdapat upacara-upacara perkawinan adat yang di seluruh daerah hingga kini
senantiasa masih dilakukan dengan penuh khidmat.
Upacara-upacara adat
pada suatu pernikahan ini berakar pada adat istiadat serta
kepercayan-kepercayaan sejak dahulu kala. Sebelum agama Islam masuk di
Indonesia adat istiadat ini telah diikuti dan senantiasa dilakukan.
Upacara-upacara adat ini sudah mulai dilakukan pada hari-hari sebelum
pernikahan serta belangsung sampai hari-hari sesudah upacara pernikahan.
Upacara ini di berbagai daerah di Indonesia tidaklah sama sebab dilangsungkan
menurut adat kebiasaan di daerah masing-masing (Wignjodipoero, 1995: 137).
Adat Istiadat Dalam Pandangan Islam
Dalam istilah bahasa
arab, adat dikenal dengan istilah ‘adat atau ‘urf yang berarti
tradisi. Kedua itilah tersebut mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda.
Dalam pembahasan lain, ‘adat atau
‘urf dipahami sebagai sesuatu kebiasaan yang telah berlaku secara umum
di tengah-tengah masyarakat. Di seluruh penjuru negeri atau pada suatu
masyarakat tertentu yang berlangsung sejak lama (Fadal, 2008: 69).
Dari definisi tersebut,
para ulana menetapkan bahwa sebuah tradisi yang bisa dijadikan sebagai sebuah
pedoman hukum adalah:
1. Tradisi
yang telah berjalan sejak lama yang dikenal oleh masyarakat umum.
2. Diterima
oleh akal sehat sebagai sebuah tradis yang baik.
3. Tidak
bertentangan dengan nash al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.
Menurut para ulama’,
adat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum syara’
apabila tradisi tersebut telah berlaku secara umum di masyarakat tertentu.
Sebaliknya jika tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut
dilakukan.
Syarat lain yang
terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. Artinya, sebuah tradisi bisa
dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash
al-Qur’an maupun al-Hadis. Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi
syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat.
Nash yang dimaksudkan disinimaadalah nash yang bersifat qath’i (pasti),
yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak
memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
mengatakan bahwa pada saat Islam datang dahulu, masyarakat telam mempunyai adat
istiadat dan tradisi yang berbeda-beda. Kemudian Islam mengakui yang baik
diantaranya serta sesuai dengan tujuan-tujuan syara’ dan prisnsip-prinsipnya.
Syara’ juga menolak adat istiadat dan tradisi yang tidak sesuai dengan hukum
Islam. Disamping itu ada pula sebagian yang diperbaiki dan diluruskan, sehingga
ia menjadi sejalan dengan arah dan sasarannya. Kemudian juga banyak hal yang
telah dibiarkan oleh syara’ tanpa pembaharuan yang kaku dan jelas, tetapi ia
biarkan sebagai lapangan gerak bagi al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang
baik). Disinilah peran ‘urf yang menentukan hukumnya, menjelaskan
batasan-batasannya dan rinciannya (Al-Qardhawi, 1993: 19).
Memelihara ‘urf dalam sebagian keadaan juga dianggap sebagai
memelihara maslahat itu sendiri. Hal ini bisa disebut demikian karena
diantara maslahat manusia itu adalah mengakui terhadap apa yang mereka
anggap baik dan biasa, dan keadaan
mereka tersebut telah berlangsung selama bertahun-tahun dan dari satu generasi
ke generassi berikutnya. Sehingga ini menjadi bagian dari kehidupan sosial
mereka yang sekaligus sukar untuk ditinggalkan dan berat bagi mereka untuk
hidup tanpa kebiasaan tersebut (Al-Qardhawi, 1993: 21).
Pernikahan Dengan Adat Jawa Di Desa Joho
Upacara pernikahan yang
berlangsung di Desa Joho seperti yang sudah diutarakan sebelumnya merupakan
adat istiadat yang berlaku sudah sejak zaman dahulu. Yang pertama kali membawa
adat tersebut ke desa Joho adalah bapak Suratman (Alm) yang bertempat tinggal
di dusun Sriten yang termasuk salah satu dusun di desa Joho, kemudian adat
tersebut diikuti oleh masyarakat Joho dan sekitarnya. Namun ada yang
berpendapat bahwa adat istadat tersebut tidak pernah diketahui sejak kapan dan
siapa yang membawa adat tersebut ke desa Joho, yang beliau ketahui adalah adat
istiadat tersebut telah ada sejak beliau lahir. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa upacara pernikahan tersebut merupakan adat istiadat yang memang telah
mengakar di masyarakat dan menjadi pedoman bagi mereka.
Dalam temuan data yang
kami paparkan dalam Bab III diketahui bahwa prosesi upacara pernikahan yang
dilaksanakan di desa Joho dibagi dalam 3 tahap acara. Ketiga tahap tersebut
yaitu, prosesi upacara pra pernikahan, prosesi upacara pada waktu perniakahan
dan prosesi upacara pasca pernikahan.
Prosesi upacara yang
dilaksanakan pra acara pernikahan di desa Joho adalah Utusan, Salar, Nontoni, Nglamar, Ningseti, Dhapukan panitia,
Kumbakarnan, Jonggolan, Pasang tarub, Sasrahan, Siraman, Dodol dawet, Paes,
Midadareni, Nyantri, Nebus kembang mayang, Majemukan dan Tempuking damel.
Sedangkan prosesi upacara yang dilaksanakan pada saat acara pernikahan
adalah Pawiwahan, yaitu pelaksanaan tata cara adat
dengan mengundang para tamu yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah direncanakan
(acara resepsi). Dalam acara pawiwahan inilah dilaksanakan prosesi panggih,
yaitu mempertemukan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan di
depan pelaminan. Dalam prosesi panggih tersebut digunakanlah beberapa sarana
yang mana setiap barang atau sarana tersebut mempunyai makna dan tujuan
tertentu.
Sarana-sarana yang
digunakan tersebut diantaranya adalah:
a. Pasangan
(yang biasa digunakan untuk membajak sawah atau dalam istilah kita dinamakan garu)
yang mempunyai makna agar saat membangun rumah tangga bisa menjadikan dekat
lahir bathin, tidak melanggar keutamaan-keutamaan agama.
b. Daun
pisang raja yang mempunyai makna agar ketika membangun rumah tangga dipenuhi
dengan kewibawaan dan budi pekerti yang luhur.
c. Telor
ayam jawa yang mempunyai makna bahwa kedua pengantin telah terlepas dari
tanggungan orang tua, dan akan menjadi mandiri.
d. Bokor
setaman yang bermakna agar ketika berumah tangga menjadi keluarga yang
harmonis, menjadi keluarga yang bisa menjadi contoh bagi keluarga lain.
e. Pipisan
yang bermakna agar membangun rumah tangga hanya sekali itu saja selama
hidupnya.
f. Tilam
lampus yang bermakna agar dalam berumah tangga selalu dipenuhi dengan kasih
sayang di dunia hingga akhirat.
g. Clupak
(sentir yang menyala) yang bermakna agar dalam berumah tangga agar mendapat
cahaya yang menerangi kehidupan rumah tangga mereka.
h. Kendhi
berisi air jernih yang mengandung makna agar dalam kehidupan rumah tangga
mereka diberikan kejernihan pikiran.
Sedangkan prosesi upacara yang dilaksanakan pasca acara pernikahan
adalah Sepekenan, yaitu setelah
5 hari dari pernikahan, di rumah pengantin perempuan diadakan sepekanan atau
ngunduh mantu. Sedangkan acara di sepekanan adalah: Tasyakuran kedua pengantin
yang telah 5 hari mengarungi rumah tangga, asma sepuh, yaitu memberi nama
tambahan pada pengantin agar mudah
dikenal dan ngunduh pengantin, yaitu mengambil
kedua pengatin untuk dibawa ke rumah pengantin laki-laki.
Dari setiap prosesi pernikahan yang dilaksanakan di desa Joho tersebut
mempunyai filosofi dan makna yang sangat kental. Setiap bagian dari upacara
tersebut memberikan sebuah keagungan akan sebuah kearifan lokal. Setiap unsur
berisi dari prosesi berisikan do’a dan harapan akan kelanggengan dan
kebahagiaan kedua mempelai yang akan mengarungi bahtera rumah tangga.
Pernikahan
di Desa Joho Dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam Islam sendiri disebutkan bahwa sebuah tradisi yang bisa dijadikan
sebagai sebuah pedoman hukum adalah:
1.
Tradisi yang telah berjalan sejak lama yang dikenal oleh masyarakat
umum.
2.
Diterima oleh akal sehat sebagai sebuah tradisi yang baik.
3.
Tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.
Menurut para ulama’, adat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar
untuk menetapkan hukum syara’ apabila tradisi tersebut telah berlaku secara
umum di masyarakat tertentu. Sebaliknya jika tradisi tidak berlaku secara umum,
maka ia tidak dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan boleh atau
tidaknya tradisi tersebut dilakukan.
Syarat lain yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash.
Artinya, sebuah tradisi bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak
bertentangan dengan nash al-Qur’an maupun al-Hadis. Karena itu, sebuah tradisi
yang tidak memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan
hukum bagi masyarakat. Nash yang dimaksudkan disini adalah nash yang bersifat qath’i
(pasti), yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga
tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.
Melihat pada hal diatas maka dapat dikatakan bahwa adat istiadat yang
berada di Desa Joho merupakan adat istiadat yang dapat dijadikan sebagai
pedoman hukum dan dapat diakui oleh syara’. Hal ini dapat berlaku demikian
disebabkan oleh beberapa sebab, yaitu:
a.
Tradisi yang berlangsung di Desa Joho telah berlangsung sejak lama dan
dilaksanakan secara turun temurun. Sehingga adat istiadat ini merupakan produk
dari nenek moyang mereka yang kemudian mereka warisi dan dilaksanakan sampai
sekarang.
b.
Tradisi upacara pernikahan dengan adat Jawa yang dilaksanakan di Dea Joho merupakan tradisi yang baik dan
perlu dilestarikan. Ini seperti yang diungkapkan oleh para tokoh masyarakat
dalam wawancara yang kami lakukan. Dalam tradisi tersebut terkandung makna dan
filosofi yang bertujuan untuk memberikan rasa tentram dan bahagia serta harapan
yang baik bagi kehidupan mempelai. Tradisi tersebut juga memberikan pendidikan
yang baik bagi para generasi masyarakat dalam mewarisi tradisi dnenek moyang.
c.
Pelaksanaan tradisi yang dilaksanakan tersebut tidak ada yang
bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadis. Bahkan upacara pernikahan tersebut
merupakan sebuah acara yang sesui dengan tujuan dari sebuah walimah dalam
Islam, yaitu memberikan rasa kebahagiaan kepada kedua mempelai.
Maka dengan adanya sebab diatas sudah sesuai dengan ketentuan kaedah
ushul fiqh yaitu:
العادة المØكمة
Bahwa adat
istiadat dan tradisi yang terdapat dalam upacara pernikahan di Desa Joho sudah
dapat dijadikan sebagai sebuah pedoman. Sehingga keberadaan akan tradisi
tersebut telah mendapatkan legitimasi dari syara’.
Melihat pada prosesi upacara pernikahan dengan adat Jawa yang
dilaksanakan di desa Joho tersebut menunjukkan pemahaman masyarakat desa Joho
akan makna pernikahan sebagai pekerjaan yang mulia yang disyariatkan oleh agama.
Dalam berbagai ayat al-Quran dan hadis disebutkan bahwa tujuan dari adanya
pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah
serta untuk meneruskan keturunan dari seseorang. Maka pelaksanaan prosesi upacara di desa Joho tersebut
sudah sesuai dengan tujuan nikah yang disyariatkan dalam Islam seperti yang
tertuang dalam ayat al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.
Sedangkan dalam metode dan prosesi upacara pernikahan atau dikalangan
masyarakat Arab disebut sebagai walimah, Islam sendiri tidak menentukan cara
dan metode bagaimana sebuah walimah itu harus
dilaksnakan. Semuanya dikembalikan kepada adat-istiadat yang berlangsung di
daerah yang bersangkutan. Islam hanya memberikan batas-batasan terhadap hal-hal
yang tidak diperbolehkan ketika melaksanakan sebuah upacara pernikahan dan
memberikan beberapa anjuran di dalamnya.
Termasuk kegiatan yang
diperbolehkan dan disenangi oleh Islam adalah bernyanyi-nyanyi ketika upacara
pernikahan, guna menyenangkan dan membuat pengantin perempuan giat, asal saja
hiburannya sehat. Dan hal ini juga diterapakan dalam tradisi upacara pernikahan
di desa Joho. Prosesi upacara yang dilaksanakan di desa tersebut bertujuan
untuk memberikan hiburan dan ungkapan rasa kebahagiaan dari para tamu undangan
kepada kedua mempelai. Dengan adanya upacar pernikahan tersebut maka para tamu
undangan dapat ikut memberikan ucapan dan rasa kebahagiaan kepada mempelai
berdua.
Dalam Islam juga ditekankan bahwa dalam pesta perkawinan ini wajib
dijauhkan dari acara yang tidak sopan dan porno, campur gaul antara laki-laki
dan perempuan. Begitu pula perkataan yang keji dan tak pantas didengarkan. Dan
hal ini juga diterapkan dalam upcara pernikahan yang dilaksanakan di desa Joho.
Dalam pesta acara tersebut tidak terdapat hal-hal melanggar syariat Islam.
Bahkan dalam prosesi acara tersebut berisikan pujia-pujian kepada Tuhan yang
maha kuasa dan sanjungan dan doa kepada kedua mempelai.
Syariat nikah dalam Islam sebenarnya sangatlah simpel dan tidak terlalu
rumit. Apabila sebuah ritual pernikahan telah memenuhi rukun dan
persyaratannya, maka sebuah pernikahan sudah dianggap sah. Namun karena
paradigma budaya yang terlalu disakralkan justru malah menimbulkan
kerumitan-kerumitan, baik sebelum pernikahan ataupun pada saat pernikahan. Hal
ini disebabkan diantaranya karena sesuatu yang telah menjadi budaya atau adat
istiadat. Dalam hal ini lah masyarakat di desa Joho memandanga bahwa upacara
pernikahan yang mereka laksanakan bukanlah suatu keharusan yang harus ada dalam
sebuah pernikahan. Sehingga apabila ada masyarakat yang tidak melaksanakan
upacara tersebut maka tidak mendapatkan sanksi apa pun.
Penafsiran yang dilakukan oleh para ahli hukum Islam terhadap sebuah
keyakinanan masyarakat desa Joho terhadap adat istiadat tersebut memberikan
rincian sebagai berikut: apabila hal tersebut dilaksanakan karena didasari
anggapan keyakinan akan menimbulkan bencana jika tidak dilaksanakan, maka
hukumnya haram. Dan bila berkeyakinan bahwa yang memberi akibat adalah Allah,
maka hukumnya adalah makruh. Sedangkan kalau ditinjau dari segi barang-barang
yang digunakan dalam upacara tersebut jika tidak diambil kembali maka hukumnya
haram karena termasuk menyia-nyiakan harta tanpa guna atau disebut idho’atul
mal. Akan tetapi bila barang sesajen tadi diambil kembali dan dishadaqahkan
maka hukumnya adalah sunnah.
Dalam tradisi pernikahan masyarakat tersebut juga dikenal ritual
menaruh bunga diatas genting atau di depan pintu. Dan bungan-bunga tersebut
tidak boleh diambil sebelum layu atau kering. Jika dicermati secara lebih jauh
dalam tradisi tersebut terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh syara’, yaitu tasya’um
dan idho’atul mal. Tasya’um adalah meyakini akan terjadinya
kesialan sebab sesuatu yang tidak nyata. Sedangkan idho’atul mal adalah
menyia-nyiakan harta baik itu sedikit maupun banyak tanpa ada tujuan yang jelas
dan dibenarkan syara’. Akan tetapi jika tindakan tersebut tanpa dilandasi
keyakinan apapun maka hukumnya adalah makruh.
Pernikahan Di
Desa Joho Dalam Perspektif Hukum Positif
Pernikahan dalam keyakianan masyarakat desa Joho
adalah sebuah akad yang mempertemukan kedua pasang manusia untuk menjadi sebuah
keluarga dalam upacara yang sakral dan agung. Pemahaman masyarakat desa Joho
akan makna sebuah pernikahan tersebut adalah sesuai dengan makna dan arti
pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974,
yaitu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Pemahaman masyarakat tersebut juga
sudah sesuai dengan definisi nikah dalam Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Tujuan nikah seperti yang terdapat baik dalam
undang-undang perkawinan maupun juga dalam KHI adalah untuk melaksnakan sebuah
ibadah dan membentuk keluarga (rumah tangga) yang sakinah, mawaddah, dan rahmah
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Tujuan akan sebuah pernikahan yang agung tersebut juga berusaha diaplikasikan
oleh masyarakat dalam ritual dan prosesi upacara pernikahan yang mereka
laksanakan. Diantara ritual yang mereka laksanakan sebagai perantara mancapai
tujuan pernikahan adalah acara panggih. Dalam prosesi acara panggih tersebut
mempelai laik-laki dan perempuan dipertemukan. Dalam prosesi tersebut maka
dilaksnakanlah posesi adat jawa dengan menggunakan pasangan (yang biasa digunakan
untuk membajak sawah) yang disini mempunyai makna agar saat
membangun rumah tangga bisa menjadikan dekat lahir bathin, tidak melanggar
keutamaan-keutamaan agama.
Selain itu dalam upacara panggih juga
digunakan daun pisang raja yang mempunyai makna agar ketika membangun rumah
tangga dipenuhi dengan kewibawaan dan budi pekerti yang luhur. Kemudian ada
juga telor ayam jawa yang mempunyai makna bahwa kedua pengantin telah terlepas
dari tanggungan orang tua, dan akan menjadi mandiri dan bokor setamany yang
bermakna agar ketika berumah tangga menjadi keluarga yang harmonis, menjadi
keluarga yang bisa menjadi contoh bagi keluarga lain. Dan ada juga tilam lampus
yang bermakna agar dalam berumah tangga selalu dipenuhi dengan kasih sayang di
dunia hingga akhirat dan clupak (sentir yang menyala) yang bermakna agar dalam
berumah tangga agar mendapat cahaya yang menerangi kehidupan rumah tangga
mereka. Maka bisa dilihat dari hal-hal diatas bahwa kearifan lokal masyarakat
desa Joho berusaha menerapkan apa yang yang menjadi tujuan nikah baik seperti
yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis maupun dalam hukum positif di Indonesia.
Sedangkan untuk memenuhi persyaratan pencatatan perniakahan seperti
yang terdapat dalam pasal 2 UU Perkawinan dan pasal 5 KHI maka dalam tradisi
masyarakat di desa Joho juga terdapat tradisi jonggolan. Tradisi jonggolan
adalah prosesi dimana calon pengantin laki-laki dan perempuan melapor pada
KUA untuk memeriksa persyaratan pernikahan. Dan tradisi ini juga dilaksanakan
sebelum upacara perniakahan secara adat tersebut dilaksanakan.
Persetujuan kedua calon mempelai seperti yang disyaratkan oleh undang-undang
perkawinan pasal 6 dan ketentuan tentang peminangan seperti yang tertera dalam
pasal 11 KHI juga sudah dapat dilihat dalam prosesi upacara pra pernikahan,
yaitu dalam upacara utusan, salar dan nglamar. Prosesi Utusan,
yaitu orang yang diperintah orang tua calon pengantin laki-laki untuk
mengadakan musyawarah dengan orang tua calon pengantin perempuan, atau biasa
disebut dengan congkok. Sedangkan salar, yaitu berjalannya congkok
ke rumah orang tua calon pengantin perempuan untuk meminta keterangan apakah
perempuan yang akan dinikahi tersebut sudah dilamar orang atau belum. Hal ini
biasanya disebut dengan nakoake. Dan nglamar, yaitu melanjutkan
musyawarah yang mana orang tua dari calon pengantin laki-laki dan calon
pengantin perempuan yang telah sepakat mengenai rencana pernikahan anak-anak
mereka. Nglamar ini dilakukan oleh congkok atau yang lainnya
dengan menggunakan surat.
Maka bisa dilihat dari rangkaian upacara dan prosesi pernikahan dengan
adat Jawa di desa Joho merupakan sebuah kearifan lokal yang menjadi warisan
leluhur mereka dapat sesuai dan terserap dalam hukum positif di Indonesia,
seperti dalam undang-undang perkawinan dan kompilasi hukum Islam. Dengan
demikian ini menunjukkan bahwa adat istiadat yang ada di desa Joho sudah
selaras dengan apa yang menjadi hukum positif di Indonesia. Selain itu kekayaan
makna yang terkandung dalam setiap prosesi yang dilaksanakan menunjukkan betapa
hukum dan aturan yang mereka buat dan warisi memang benar-benar bertujuan untuk
mencapai apa yang menjadi pesan Tuhan mereka.
Penutup
Pernikahan termasuk
salah satu bentuk ibadah. Tujuan pernikahan bukan saja untuk menyalurkan
kebutuhan biologis, tetapi juga untuk menyambung keturunan dalam naungan rumah
tangga yang penuh kedamaian dan cinta kasih. Menurut ajaran Islam, menikah
adalah menyempurnakan agama. Oleh karena itu, barang siapa yang menuju kepada
suatu pernikahan, maka dia telah berusaha menyempurnakan agamanya, dan berarti
pula berjuang untuk kesejahteraan masyarakat.
Tradisi-tradisi yang selama ini
berjalan di masyarakat adalah bentuk pengejawentahan keinginan masyarakat dalam
menciptakan sebuah ritual yang luhur. Keinginan ini bertujuan memberkati sebuah
pernikahan akan menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
Tradisi yang telah berjalan baik ini seharusnya mendapatkan perhatian agar
tetap dijaga dan dilestarikan.
Daftar Pustaka
Al-Qur’anul
Karim dan Terjemahannya
Al-Ghamrawi,
Muhammad Zuhri. tt. As-Siroj Al-Wahhaj ‘Ala Matni Minhaj At-Tahlibin. Beirut:
Muassasah Lilkutub Ats-Tsaqafiah.
Al-Qardhawi, Yusuf. 1993. Keluasan Dan Keluesan
Hukum Islam. Semarang : Bina Utama.
Departemen Agama.
1983. Ilmu Fiqih Jilid II. Jakarta: Departemen Agama.
Fadal, Moh. Kurdi. 2008. Kaidah-Kaidah Fikih.
Jakarta: CV. Artha Rivera.
Hariwijaya,
Muhammad. 2008. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta:
Hanggar Kreator.
LBM Al-Ma’ruf. tt. Ketika
Hukum Fiqih Menjawab. Grobogan: LBM Al-Ma’ruf.
Sabiq, Sayyid.
2002. Fikih Sunnah 7. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Wignjodipoera, Soerojo. 1995. Pengantar dan
Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.
Wawancara dengan Kepala
Desa Joho, Irma Indari Puteri. Rabu, 15 November 2014. Di Desa Joho Kecamatan Pracimantoro
Kabupaten Wonogiri..
Wawancara dengan Sularni. Senin-Rabu, 13-15 November 2014. Di Desa Joho Kecamatan Pracimantoro
Kabupaten Wonogiri..
Wawancara dengan Parjo. Senin-Rabu, 13-15 November 2014. Di Desa Joho Kecamatan Pracimantoro
Kabupaten Wonogiri..
mantap artikelnya.
BalasHapussouvenir pernikahan murah blitar
Terimakasih....
Hapusbagus banget artikelnya bermanfaat sekali untuk muda-mudi agar lebih mengenal Islam dan untuk meluruskan niat karena semua bermula dari niat
BalasHapusAnaria Wedding - 0812 7537 5986
www.anariasouvenir.com
Menikah adalah tujuan dan impian Semua orang, Melalui HIS Graha Elnusa Wedding Package , anda bisa mendapatkan paket lengkap mulai dari fasilitas gedung full ac, full carpet, dan lampu chandeliar yg cantik, catering dengan vendor yang berpengalaman, dekorasi, rias busana, musik entertainment, dan photoghraphy serta videography.
BalasHapusKenyaman dan kemewahan yang anda dapat adalah tujuan utama kami.
Hubungi : 0822 – 9914 – 4728 (Rizky)
HIS balai sartika memiliki konsep One Stop Wedding Service, dengan konsep One Stop Wedding Service ini lebih memudahkan kak winda kedepannya dalam pemilihan vendor, yang sudah mencakup seluruh kebutuhan kak ina dari mulai :
BalasHapus-Gedung
-Catering
-Dekor
-Rias busana & Make up
-Fotografi
-Entertaiment
-MC
-Upacara Adat
-Wedding car
-Wedding Organizer & Wedding Consultant
Info lebih lanjut bisa hub Zulfa 089611648377 (WA)
Sampurasun Calon Pengantin Bandung!!
BalasHapusKini Balai Sartika Convention Hall, Buah Batu Bandung memiliki New Concept Design:
FULL CARPET, FULL AC & CHANDELIER
KELEBIHAN YANG DIDAPATKAN:
1. Ballroom Full AC Central, 2 Standing AC depan pelaminan dan 6 standing AC di titik tertentu
2. Gedung Full Carpet, Lampu Kristal
3. Terdapat 4 Ruang Rias Full AC, Full Karpet dan kamar mandi
4. Kursi 200 Buah & Sudah termasuk listrik 15.000 watt
5. Service dari Wedding Organizer & Wedding Consultant HIS Balai Sartika
6. Wedding Consultant Professional yang siap mendampingi Calon Pengantin
7. Security, Free Parkir dan Akses Tol & Jalan Mudah
8. Lucky Dip
9. Paket Fleksibel dapat berubah sesuai kebutuhan Calon Pengantin
10. Porsi Catering menyesuaikan kebutuhan Calon Pengantin.
Dapatkan juga spesial promo untuk booking bulan Oktober 2017!!!
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi :Zulfa (089611648377)
Haloo, aku mau bagi pengalaman pernikahan kakakku. Jadi waktu itu kakakku dan pasangannya sibuk kerja kan jadi memang susah untuk ngurusin sendiri, nah karena kakakku nyari tempat pernikahan yang memang aksesnya mudah jadi dia nyari yang tengah2 dan ga terlalu macet. Akhirnya kakakku mutusin buat nikah di Elnusa, letaknya kalau ga salah di Tb.Simatupang deket Citos. Nah disana ternyata sudah ada paketan weddingnya juga dan sudah ada WOnya. Waktu itu kakakku dibantu sama Kak Ali, nah disana bener2 dibantuin dari awal sampe akhiir. Walaupun kakakku dan pasangannya sibuk kerja tapi urusan pernikahannya ga sampai keteteran karena bener2 dibantuin. Jadi disana itu udah semua2nya diurusin, kakakku tinggal ngurusin souvernir dan undangan aja. Bahkan ada Wedding Plannernya gitu yang mengatur jadwal kakakku untuk visit2 vendor dan testfood, jadi bener2 bikin kakakku ga pusing mikirin pernikahannya. Dari awal kakakku persiapan acara sampai akhir acara bener2 ga dilepas sama WOnya, dan hal itu ngebuat mamahku ga terlalu banyak ikut campur. Jujur Pelayanannya bener2 bagus, walaupun kakakku dan pasangannya kadang suka banyak maunya tapi tuh kayak diturutin terus gituu. Alhamdulillah keluargaku dan kakakku puas sih nikah di HIS Graha Elnusa. Kalo kalian berminat aku ada nih kontaknya yang waktu itu bantuin kakakku, namanya Kak Ali, nomornya 087884761964. Semoga bisa membantu kaliaan
BalasHapusDear brides and grooms to be
BalasHapusSalam hangat dari HIS Seskoad Grand Ballroom Bandung.
Kami dengan bangga mempersembahkan venue terbaru kami yaitu “HIS Seskoad Grand Ballroom”, Gedung seskoad yang berletak strategis nan mewah yang menjadi favorit para calon pengantin ini kini berada di naungan HIS, untuk itu fasilitas yang terdapat di gedung seskoad grand ballroom kini berstandard seperti gedung HIS lainnya, “Ballroom full karpet eksklusif, AC, Lampu Kristal, dan design ruangan yang elegan&mewah”. Selain gedung, kami juga bekerjasama dengan banyak pilihan vendor ternama di Bandung, mulai dari catering, busana&MUA, dekorasi, music & entertainment, fotografi&videografi, MC, wedding car, hingga pelayanan yang kami miliki untuk membantu calon pengantin dari awal sampai akhir yaitu, Wedding Public Relations, Wedding Planner, dan Wedding Executor. Dengan sistem “One Stop Wedding Service”, Kami pastikan akan memberikan pelayanan terbaik dalam membantu dari awal hingga di hari Bahagia akang teteh
Untuk itu kami mengundang akang teteh calon pengantin, untuk datang ke pre-launching HIS Seskoad Ballroom kami, dan segera dapatkan HARGA PRE-LAUNCHING yang pasti akan sangat worth it dengan fasilitas dan pelayanan yang kami berikan serta BONUS FANTASTIS! untuk akang teteh calon pengantin Cuma di HIS SESKOAD GRAND BALLROOM.
For more info and detail call :
Wedding Public Relations HIS Seskoad Grand Ballroom
Jl. Gatot Subroto No. 96 Bandung.
Giyan : 082261170022 (WA)
INSTAGRAM : @his_seskoad @giyanti.hisseskoad
See u brides and grooms to be!
-HIS Wedding Venue Organizer-