Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri
A.
Pengertian
Hirabah yaitu sekelompok manusia yang membuat
keonaran, pertumpahan darah, merampas harta, merampas kehormatan, merampas
tatanan serta membuat kekacauan di muka bumi. Orang-orang seperti ini bisa
masuk kategori perampok dan penyamun. Abu Sujak (1972:57)
dalam kitabnya Fathu al-Qarib al-Mujib menyebut
tindak pidana Hirabah dengan qat’u thariq yang disebut dengan pembegalan di jalan. Pembegalan adalah merebut
sesuatu atau barang orang lain secara paksa dan menakut-nakuti, sewaktu-waktu
disertai penganiayaan atau membunuh pemilik barang tersebut. Adapun perbedaan
antara perampokan dan penyamunan adalah; jika tindak pidana hirabah
dilakukan di tempat yang ramai atau perkotaan sehingga si korban dapat meminta
pertolongan kepada orang yang berada disekitarnya, maka dinamakan perampokan.
Sedangkan penyamunan tindak pidananya dilakukan di tempat tersembunyi atau
pedesaan sehingga si korban tidak dapat meminta pertolongan kepada siapapun (Mas’ud dan Abidin, 2007:533-534).
Namun berbagai macam rumusan dikeluarkan oleh
para ulama’ terkait dengan penyamun atau qath’u thariq. Menurut Imam Malik
penyamun adalah penghambat jalan. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, penyamun
ialah menyatakan diri untuk mengambil barang orang atau untuk membunuh. Adapun
menurut Ulama Dzahiriyah, penyamun
berarti menakut-nakuti orang di jalan. Akan tetapi mereka sepakat bahwa
penyamun adalah orang yang mengangkat senjata dan menghambat di jalanan dengan
niat untuk mengambil harta orang lain.
Pada dewasa ini hirabah
disamakan dengan perampokan, penteroran, penyamunan, pembegalan dan
istilah-istilah lainnya. Pada dasarnya hirabah merupakan sebuah tindak
pidana yang mengambil harta orang lain dangan cara memaksa yang disertai
kekerasan dan secara terang-terangan baik diperkotaan maupun pedesaan, baik
ditempat yang sepi maupun ramai, asalkan tidak mengambil di dalam rumah si
korban. Karena pada intinya hirabah sangat berbeda dengan tindak pidana
pencurian, baik dari segi unsur khususnya maupun dari segi lainnya. Di dalam
kamus bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pencurian adalah mengambil hak milik
orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh pemiliknya,
sedangkan perampokan adalah mengambil hak milik orang lain dengan cara
terang-terangan dan terkadang disertai dengan sebuah kekerasan. Jadi, seseorang
yang keluar rumah dengan niat merampok (mengambil harta orang lain) dengan
menggunakan senjata dan disertai dengan gesekan fisik, maka orang tersebut
sudah bisa dikatakan muharibun (pelaku tindak pidana hirabah).
Al-Qur’an sebagai salah satu sumber hukum Islam telah menjelaskan dengan tegas
terkait dengan sanksi atau hukuman bagi para pelaku tindak pidana hirabah
ini, hal ini dijelaskan dalam Q.S. al-Maidah ayat 33
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar”
Teknis operasional perampokan itu ada beberapa kemungkinan, yaitu:
a. Seseorang pergi dengan
niat untuk nengambil harta secara terang-terangan dan mengadakan
intimidasi, namun ia tidak jadi mengambil harta dan tidak membunuh.
b. Seseorang berangkat dengan
niat untuk mengambil harta dengan terang terangan dan kemudian mengambil harta
termaksud tetapi tidak membunuh.
c. Seseorang berangkat dengan
niat merampok, kemudian membunuh tapi tidak mengambil harta korban.
d. Seseorang berangkat untuk
nermpok kemudian ia mengambil harta dan membunuh pemiliknya.
Keempat kemungkinan diatas
semuanya termasuk perampokan selama yang bersangkutan berniat untuk mengambil
harta dengan terang-terangan. Atas dasar ini para ulama mensyaratkan pada
seorang perampok harus mempunyai kekuatan fisik untuk memaksa. Bahkan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mensyaratkan seorang perampok harus membawa senjata tajam, sedangkan
menurut Imam Syafi’i yang penting seorang perampok harus mempunyai kekuatan fisik untuk
memaksa. Apabila perampok terdiri dari segerombolan manusia, maka seluruh
mereka di anggap sebagai perampok selama masing-masing melaksanakan perbuatan
langsung atau sebab. Hanya saja menurut imam syafi’i orang yang di sebut
sebagai perampok adalah orang yang melakukan perbuatan langsung. Adapun yang
tidak langsung disebut sebagai perampok dan kejahatannya termasuk kejahatan biasa yang diancam dengan hukuman ta’zir (Jazuli, 1997:87).
B. Unsur-unsur Hirabah
Unsur umum.
- al-Rukn al-Syar’i (Unsur Formil), yaitu adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan jarimah.
- Al-Rukn al-Madi (Unsur Material), yaitu adanya unsur perbuatan yang berbentuk jarimah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.
- Al-Rukn al-Adabi (Unsur MoriL), yaitu pelaku kejahatan adalah orang yang dapat memahami taklif, dalam artian pelaku kejahatan adalah mukallaf. Sehingga pelaku kejahatan dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.
Unsur Khusus
Yaitu, Unsur yang hanya berlaku didalam satu jarimah
dan tidak sama dengan unsur khusus jarimah lainnya, adapun di dalam
tindak pidana hirabah unsur khususnya adalah:
- Lokasi hirabah yang dilakukan oleh pelakunya harus di tempat yang jauh dari tempat keramaian. Semisal di padang rumput yang jauh, di gunung, atau tempat yang sangat jauh dari lokasi penduduk. Jika tindakan itu dilakukan di tempat keramaian, maka namanya bukan tindak pidana hirabah, akan tetapi perampasan biasa. Sebab yang disebut dengan hirabah adalah penyamunan, atau perampokan yang dilakukan di jalan-jalan. Akan tetapi, bila mereka melakukan tindakan pembunuhan, perampasan harta, dan teror di tempat-tempat keramaian, maka tindakan mereka dianggap sebagai hirabah dan berhak dijatuhi sanksi had. Ini adalah pendapat mayoritas ‘ulama Fiqh, Abu Hanifah, Abu Tsaur, dan lain-lain.
- Pelaku membawa senjata yang dapat digunakan untuk membunuh, semisal, pedang, senapan, golok, dan lain-lain yang bisa menghilangkan nyawa orang lain. Namun Imam Syafi’i dan Abu Tsaur menjelaskan bahwa jika mereka telah menggunakan tongkat-tongkat atau batu-batu maka mereka sudah termasuk dalam memanggul senjata juga.
- Dilakukan dengan cara terang-terangan. Mereka merampas harta dengan paksa dan terang-terangan, dan biasanya mereka memiliki markas. Jika mereka mengambil harta dengan cara sembunyi-sembunyi mereka disebut suraaq (pencuri-pencuri). Jika mereka merampas kemudian melarikan diri, mereka disebut penjambret.
C.
Pelaku Tindak Pidana Hirabah
Hirabah bisa dilakukan oleh sekelompok orang atau
perorangan yang mampu melakukannya. Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal
mensyaratkan pelaku membawa senjata atau barang yang sejenis dengannya, seperti
tongkat, batu, balok kayu. Imam Malik, Imam Syafi’I,
Ulama Dzahiriyah, dan Ulama Syi’ah Zaidiyah tidak mensyaratkan pelaku membawa
senjata. Menurut mereka, muharib cukup menghandalkan kekuatannya. Imam
Malik bahkan menganggap muharib cukup dilakukan dengan tipu daya tanpa
menggunakan kekuatan dan dalam keadaan tertentu menggunakan anggota tubuh,
seperti meninju dan memukul dengan kepalan tangan. Bisa dicontohkan muharib
yang melakukan dengan tipu daya, yaitu seperti kejadian perampokan sang pelaku
mengaku sebagai polisi.
Muharib adalah setiap pelaku langsung atau pelaku
tidak langsung tindak pidana hirabah. Barang siapa
mengambil harta, membunuh atau menakut-nakuti orang, ia adalah muharib
(perampok/pelaku gangguan
keamanan). Barang siapa membantu tindak pidana hirabah, baik dengan
memberi dorongan, membuat kesepakatan, atau membantu, ia adalah muharib. Muharib
(perampok/pengganggu keamanan) disyaratkan mukallaf dan terikat dengan hukum
islam. Syarat ini disepakati oleh para ulama kecuali ulama Dzahiriyah.
Mereka tidak mensyaratkan apapun selain mukallaf. Alasannya, kafir dzimmi
yang melakukan hirabah berarti merusak perjanjiannya. Jika di antara muharib ada anak belum dewasa atau orang gila, Imam
Abu Hanifah dan Ahmad menafikan hukuman hudud atas keduanya karena
mereka bukan orang yang berhak atas hukuman hudud. Hukuman hudud
juga dihapuskan atas orang selain keduanya daripada pelaku hirabah, baik
itu pelaku hirabah secara langsung atau tidak langsung, maupun orang
yang membantu melakukan hirabah.
D.
Pandangan Ulama’ Terhadap Tempat Berlakunya Hukuman Hirabah
Agar pelaku hirabah dijatuhi hukuman hudud,
Imam Abu Hanifah mensyaratkan hirabah terjadi di Negara
Islam. Jika hirabah terjadi di Negara non-Islam,
hukuman hudud tidak diwajibkan karena orang yang melaksanakan hukuman hudud
yaitu penguasa, tidak memiliki kekuasaan di Negara
tersebut, padahal di Negara itulah tindak
pidana terjadi. Pendapat ini juga dianut oleh ulama Imam
Syi’ah Zaidiyah. Sedangkan Imam Malik,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan ulama Dzahiriyah mewajibkan hukuman hudud,
baik atas hirabah yang terjadi di Negara Islam maupun di Negara
non-Islam, selama perbuatan tersebut dianggap terjadi (berstatus) tindak
pidana. Artinya,
perbuatan tersebut menimpa orang muslim atau orang kafir dzimmi yang mendapat jaminan keamanan dari beberapa
muslim (dzimmi musta’man) atau kafir dzimmi
secara umum mendapat jaminan keamanan
dari Negara).
Imam Abu Hanifah
mensyaratkan hirabah tidak terjadi di dalam kota atau jauh dari
pemukiman. Jika terjadi dikota, tidak ada hukuman hudud atas pelaku,
baik hirabah terjadi di siang hari maupun malam hari, baik bersenjata
maupun tidak. Pendapat ini di dasarkan pada istihsan. Imam Abu Hanifah
beralasan bahwa hirabah biasanya tidak terjadi di kota, tetapi dijalan
penghubung antara desa atau kota. Abu Yusuf berpendapat bahwa hirabah
yang terjadi baik di kota maupun di luar kota tetap akan di kenakan hukuman hudud,
Abu Yusuf beralasan demikian karena memegang atas hukum yang aslinya. pasir dan
kota. Tindak pidana hirabah
bisa terjadi di padang pasir maupun di kota. Akan tetapi, Imam Malik
mensyaratkan perbuatan tersebut terjadi didalam kondisi dimana korban tidak
mungkin meminta pertolongan. Jika korban dilarang meminta tolong dan
pertolongan sebenarnya mungkin didapat jika ia meminta tolong, perbuatan pelaku
dianggap hirabah.
Untuk dapat dikatagorikan sebagai hirabah,
Imam Syafi’i
mensyaratkan agar perbuatan tersebut, korban tidak
mungkin meminta pertolongan. Menurut kami, hirabah
itu juga bisa dikatagorikan jikalau jauhnya tempat kejadian dari kota dan
pemerintah, lemahnya orang yang ada di tempat kejadian, baik itu kerabat,
pemerintah, maupun korban sendiri karena dihalangi untuk meminta pertolongan.
Menurut penulis bahwa, tempat berlakunya hukuman terhadap perampokan itu bisa
saja terjadi di Negara Islam atau Negara non-muslim. Banyak perbedaan pendapat
tentang tempat berlakunya hukuman, disini penulis menanggapi juga kalau
perbedaan pendapat tersebut tidak salah satu sama lainnya, dikarenakan semuanya
itu mengeluarkan pendapat pada kasus kejadian dimana mereka berada. Bisa berlaku
hukuman di Negara Islam bisa juga berlaku hukuman di Negara non-Islam, andaikan
saja kalau pemerintah di Negara non-Islam tersebut mempunyai kekuasaan yang
kuat terhadap memberlakukan hukuman tersebut. Seperti kedua contoh yang tadi.
Bahwa contoh itu menunjukkan perampokan terjadi di Negara non-Islam, yaitu di
Negara Indonesia, yang mana di Negara Indonesia ini bukan hanya orang Islam
saja yang tinggal, tapi juga non-Islam.
E.
Hukuman Terhadap Tindak Pidana Hirabah
Mengenai hukuman
tindak pidana hirabah sudah dijelaskan oleh syara’ dan terdapat dalam
surat al-Maidah ayat 33. Didalam ayat ini menerangkan bahwa:
1. Jika mereka membunuh orang
yang setingkat dengan mereka dengan sengaja dan tanpa hak serta tidak mengambil
harta benda, maka mereka harus di hukum bunuh. Jika mereka membunuh tanpa
sengaja atau mirip sengaja atau membunuh sengaja orang yang tidak sederajat
dengan mereka, maka mereka tidak di bunuh.
2. Jika mereka membunuh dan
mengambil harta bena nisab pencurian atau lebih banyak, maka mereka dibunuh dan
digantung/disalib dengan kayu atau sejenisnya. Namun setelah mereka di
mandikan, dikafani dan disalati.
3. Jika mereka mengambil
harta benda nisab pencurian atau lebih banyak dari tempat penyimpanannya dan
tidak ada syubhat bagi mereka, namun tidak membunuh, maka tangan dan kaki
mereka di potong berlainan. Maksudnya, pertama kali tangan kanan dan kaki kiri
mereka dipotong. Jika mereka membegal lagi, maka tangan kanan dan kaki kiri
mereka dipotong. Jika tangan–tangan atau kaki kiri tidak ada, maka cukup
memotong aggota badan yang ada menurut pendapat yang lebih shahih.
4. Jika mereka menakut-nakuti
orang yang melewati jalan dan tidak merampas harta benda serta tidak membunuh
orang, maka mereka dipenjara di selain tempat mereka atau dibuang dan dita’zir.
Yang memenjara dan mena’zir mereka adalah pemerintah (Al-Bigha, 2002:424).
Yang
demikian itu, yakni hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana hirabah
merupakan suatu penghinaan untuk mereka di dunia, sehingga selain mereka yang
tadinya bermaksud jahat atau orang lain yang ingin melakukan kejahatan yang
sama akan tercegah untuk melakukan tindakan tersebut. Selain hukuman di dunia mereka juga akan menerima hukuman di akhirat
jika mereka tidak bertaubat, hukuman di akhirat berupa siksaan yang sangat
besar.
Dengan
demikian, belumlah habis hukuman yang mereka terima, karena di akhirat
perkaranya akan dibuka lagi dan akan diterimanya azab yang pedih (Hamka, 1982:297).
Ini membuktikan bahwa dosa orang-orang ini sangatlah besar. Di atas dunia
mereka membuat keonaran, kerusakan dan menimbulkan ketidaktentraman bagi
masyarakat sehingga mereka dihukum dengan cara yang setimpal sesuai dengan
hak-hak manusia, begitu juga di akhirat dia akan menerima balasan lagi karena
yang diperangi oleh mereka adalah Allah dan Rasul-Nya.
Adanya hukuman
yang telah mereka terima karena perbuatannya di dunia, ini bukan berarti
hukuman mereka berhenti di sini. Melainkan di akhirat nanti perkaranya akan
dibuka kembali dan akan diterimanya adzab yang sangat pedih. Ini bisa dijadikan
bukti yang sangat otoritatif bahwa perbuatan dan dosa-dosa mereka memang sangat
besar. Yakni apa yang telah Kusebutkan mengenai dibunuhnya mereka dan disalibnya
mereka serta tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang serta dibuangnya
mereka dari Negara tempat tinggalnya, hal tersebut merupakan kehinaan bagi
mereka di mata manusia dalam kehidupan dunia ini (Ad-Dimasyqi, 2003: 413). Hukuman pada ayat ini ditetapkan sedemikian
berat, karena dari segi gangguan keamanan yang dimaksud itu selain ditujukan
kepada umum juga kerap kali mengakibatkan pembunuhan, perampasan, pengrusakan
dan lain-lain. Oleh sebab itu kesalahan-kesalahan ini oleh siapapun tidak boleh
diberi ampunan. Orang-orang yang mendapat hukuman sebagaimana dimaksud pada
ayat ini selain dipandang hina di dunia, mereka di akhirat nanti diancam dengan
siksa yang amat besar (Al-Jawi, 2009:202).
F.
Pembuktian Tindak Pidana Hirabah
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa tindakan
pidana hirabah adalah merupakan salah satu tindak pidana yang proses
pembuktiannya harus dilakukan melalui gugatan korban pidana tersebut pada
hakim. Untuk itu pihak korban harus dapat membuktikan tindak pidana ini, adapun
alat bukti yang digunakan untuk tindak pidana hirabah ini adalah
kesaksian dan pengakuan. Alat bukti saksi yang di ajukan itu adalah dua orang
laki-laki, adapun untuk pembuktian melalui pengakuan, menurut jumhur jumhur
ulama cukup satu kali pengakuan saja, karena seseorang tidak mungkin mengakui
suatu perbuatan yang tidak dilakukannya. Namun ulama Mazhab Hambali dan Imam
Abu Yusuf mengatakan pengakuan itu harus dilakukan sebanyak dua kali.
G. Pelaksanaan Hukuman
Sesuai dengan Q.S. al-Maidah ayat 33 bahwa
hukuman orang yang melakukan jarimah hirabah adalah dengan dibunuh,
atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya dengan cara berselang-seling,
atau diasingkan dari tempat tinggal asalnya. Maka pelaksanaan hukumannya adalah
sebagai berikut:
Pertama: Hukum bunuh, yaitu dilakukan dengan cara sehebat-hebatnya dan berwibawa. Berdasarkan
hadits Rasulullah SAW. hendaklah kalau melakukan hukuman bunuh itu dengan cara
sebaik-baiknya, yaitu dengan cepat dan jitu.
Kedua: Hukum salib, yaitu dilakukan dengan membuat kayu palang, lalu pelaku hirabah
dinaikkan ke kayu palang itu, dan dibiarkan di sana sampai mati, atau dibunuh
setelah beberapa waktu dia disalib. Maksudnya ialah supaya terlebih dahulu
disaksikan oleh orang banyak. Barangkali hukuman yang kedua ini lebih berat
dari hukuman yang pertama. Dalam hal hukuman yang kedua ini para ulama’ masih
berselisih pendapat, apakah hukuman salib dilakukan dalam keadaan si pelaku
dalam keadaan masih hidup, lalu dibiarkan mati tanpa diberi minum, atau dibunuh
dengan tombak dan senjata lainnya, ataukah dibunuh terlebih dahulu kemudian
disalib, apakah masa penyalibannya selama tiga hari lalu diturunkan, ataukah
dibiarkan sampai sampai nanahnya keluar mengalir dari tubuhnya (Ad-Dimasyqi, 2003:411).
Ketiga: Dipotong tangan dan kakinya beselang -seling. Artinya, kalau
tangan kanannya dipotong , maka hendaklah kaki kirinya yang dipotong, begitu
pula sebaliknya. Orang ini boleh dibiarkan hidup dengan tangan atau kakinya
yang hilang sebelah menyebelah dan berpincang-pincang.
Keempat: Dibuang dari bumi. Ini adalah hukuman yang
seringa-ringannya dari keempat hukuman di atas, karena kesusahannya lebih
ringan dari antara gerombolan itu. Misalnya dia hanya turut membantu, yang
dapat ditilik dan diteliti dengan seksama oleh Hakim. Dalam hukuman
yang keempat ini para Ulama’-ulama’ Fiqh pun memberikan berbagai pendapat.
Sebagian mengatakan usir keluar dari negeri itu dan tidak boleh tinggal di sana
lagi. Kalau mereka berdua atau bertiga , maka dipisah-pisahkan tempat mereka
dibuang, supaya mereka tidak bisa bersekongkol lagi. Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa maksud dibuang dari bumi dalah dipenjarakan. Masukkanlah ke
dalam penjara, karena cara pembuangan ini telah masuk dalam masalah ijtihadiyah
juga, keduanya itu bisa dilakukan. Sebagian dari ulama’ lainnya mengatakan
bahwa makna yang dimaksud ialah “pelaku yang dibuang dari negeri tempat
tinggalnya ke negeri lain, atau hubungan muamalah dengannya diputuskan sama
sekali oleh sultan atau wakilnya, tidak boleh ada seorangpun yang bermuamalah
dengannya”. Tempat yang paling
relevan denga konteks kekinian adalah Nusakambangan yang lokasinya jauh,
terpencil dan tidak mudah untuk meninggalkannya serta jauh dari hiruk pikuk
kesibukan manusia (Syihab, 2001:78). Imam Hanafi ini juga berpendapat bahwa
makna dari diasingkan itu adalah dibuang sambil dipenjarakan. Hal ini telah
diaplikasikan di Indonesia yaitu terjadi tndak pidana perampokan (hirabah)
di Banda Aceh dan pelakunya di penjarakan di Semarang serta dipekerjakan di
belakang tembok penjara.
H.
Pengecualian Hukuman Terhadap Tindak Pidana Hirabah
Hukuman yang ada dalam
tindak pidana hirabah dapat terhapus karena sebab-sebab yang
menghapuskannya, hal ini sudah dijelaskan dalam Q.S. al-Maidah ayat 34,
“Kecuali orang-orang yang bertaubat (diantara
mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah
bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Di dalam ayat ini terdapat pengecualian bagi
mereka yang insyaf dan bertaubat kepada Allah sebelum tertangkap. Dia bertobat
dengan sebenar-benarnya taubat, tidak bercampur lagi dengan gerombolan penjahat
itu dan menarik diri dari kelompoknya serta betul-betul dia Tubatan Nasuha.
Tentu saja bukti taubat itu harus ditunjukkannya, yaitu dengan menyerahkan diri
kepada yang berkuasa, mengakui kesalahannya dan mulai memperbaiki hidup. Maka
hukuman-hukuman itu bolehlah tidak dilakukan lagi terhadap dirinya, setelah
Hakim menyelidiki bahwa telah benar taubatnya, baik taubat sendiri maupun dengan
semuanya. Jika Hakim melihat dan menimbang bahwa taubat mereka telah benar,
maka hukum tidak dijatuhkan lagi kepada mereka. Tetapi harta benda orang yang
telah mereka rusak dan rampas harus dan wajib diganti (Quthb, 2004:30).
Bila perampoknya bertobat
setelah ditangkap, maka tobatnya tidak dapat menghapuskan hukuman, baik hukuman
yang berkaitan dengan hak hamba. Hal ini disebabkan karena:
1.
Tobat sebelum ditangkap itu adalah tobat yang ikhlas, yakni muncul dari
hati nurani untuk menjadi orang yang benar. Sedangkan tobat setelah ditangkap
pada umumnya takut terhadap ancaman hukuman yang dikenakan kepadanya.
2. Tobat sebelum ditangkap
muncul karena kecenderungan perampok itu untuk meninggalkan perbuatan yang
membawa kerusakan di muka bumi, sedangkan tobat setelah ditangkap prinsip
kecenderungan ini tidak tampak karena tidak ada kesempatan lagi baginya untuk
mengubah atau melestarikan tingkah laku jahatnya.
Perampok
dianggap telah bertobat bilamana ia datang kepada imam dengan segala keikhlasan
dan ketaatan sebelum ditangkap. Apabila selain merampok ia juga minum khamr dan
atau mencuri, maka hukuman kedua tindak pidana yang terakhir ini tidak dapat
hapus karena tobatnya. Demikian juga menurut Imam Zhahiri, Imam Malik, dan
pendapat yang rajih dalam mazhab Syafi’i. Mereka beralasan bahwa ayat-ayat yang
mengancam pezina dan pencuri itu bersifat umum, yakni baik bertobat maupun
tidak (Jazuli, 1997:93). Dan juga berdasarkan kasus Ma’iz dan Ghamidiyah yang
datang kepada Nabi tetapi dijatuhi hukuman. Sehubungan dengan itu Rasulullah
SAW. bersabda:
لقد
تاب
توبة
لو
قسمت
على
سبعين
من
أهل
المدينة
لوسعتهم
“Ia
telah tobat yang sebenar-benarnya dan seandainya tobatnya itu dibagi-bagikan
kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya seluruh penduduk Madinah itu
akan mendapatkannya” (HR. Muslim dari Imran bin Hushein).
Menurut Imam Abu Hanifah taubat itu dapat
menghapuskan hukuman seluruh jarimah yang berkaitan dengan hak Allah berdasarkan suarat an-Nisa’ ayat 16 dan al-Maidah ayat
39.
Ada
pendapat ketiga, yaitu pendapat Inbu Taimiyah dan Ibnu Qayyim dari Madzhab
Hambali yang menyatakan bahwa tobat itu membersihkan diri dari maksiat dan
menghapuskan hukuman dalam tindak pidana yang berkaitan dengan Allah. Kecuali
bila pelaku maksiat ingin membersihkan diri dengan dijatuhi hukuman (Jazuli, 1997:94).
Hukuman yang diterapkan di Indonesia dalam hal
tobat ini selain tindak pidana perampokan, mirip dengan pendapat Imam Malik dan
pendapat yang rajih dalam Madzhab Syafi’i bahwa tobat tidak menghapuskan
hukuman.
Maka sudah jelas bahwa
para perampok, penyamun dan pengganggu keamanan yang hukumannya telah
dijelaskan pada ayat 33 di atas, jika mereka bertobat sebelum ditangkap oleh
pihak penguasa, maka bagi mereka tidak berlaku lagi hukuman-hukuman yang
tertera dalam ayat 33, yang menurut syari’at disebut “Hududullah”, dan juga
tidak dilakukan lagi terhadap mereka hukuman yang lain seperti had, hukum
sariqah dan hukum jinayah. Keringanan yang diberikan kepada orang yang
bertaubat itusesuai dengan sifat Allah Yang Maha Pengampun dan Maha penyayang.
I.
Penutup
Hirabah yang menjadi salah satu jarimah hudud yang hukumannya sangat
tegas merupakan sebuah tindak pidana yang sangat besar. Pelakunya diancam
dengan hukuman-hukuman yang oleh orang Barat dianggap tidak menjunjung
nilai-nilai hak asasi manusia, karena sanagt sadis dan mengerikan, padahal
tidak ada satupun hukuman di dunia ini yang mencerminkan terhadap nilai-nilai
hak asasi manusia. Namun, hukuman hudud yang sudah jelas di dalam
al-Qur’an bukan hanya sekedar sebagai pembalasan dan penistaan melainkan juga
sebagai pembelajaran yang bersifat edukatif. Hal itu terbukti dalam tindak
pidana hirabah ini, walaupun pelaku sudah melakukan hal yang sangat keji
seperti merampas baik jiwa maupun harta, mengganggu ketertiban umum, dan
membuat kerusakan di bumi, akan tetapi Allah sebagai Dzat Yang Maha Pengampun
dan Maha Penyayang memberikan toleransi terhadap pelaku tindak pidana hirabah
yang mau bertaubat sebelum ia tertangkap oleh penguasa atau pemerintah. Karena
sangat jarang seseorang yang masih mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk
melakukan kejahatan bertaubat dini, mereka masih ingin menikmati hasil dari
perampokan yang telah mereka lakukan.
Oleh karenanya bagi para
pelaku tindak pidana hirabah mendapatkan dispensasi hukuman yang
sifatnya berkaitan dengan Allah secara langsung dengan cara bertaubat atau
menyerahkan diri sebelum ditangkap.
Referensi
Al-Bigha, Muthofa Dieb, Al-Fiqh Al-Islamiy,
Surabaya, Insan Amanah, 2004.
Ad-Dimasyqi
Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir, Cet II, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2003.
Al-Jawi , Muhammad
Nawawi, Tafsir Al-Munir, Al-Haramain Jaya Indonesia, 2009.
An Na’im, Abdullah Ahmad,
Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta: LkiS, 2001.
Djazuli, A, Fiqh
Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Cet II, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1997.
Habibi, Perampokan dan
Pencurian, http://www.habibi_muah@yahoo.com/.
Hamka, Tafsir al-Azhar,
Juz VI, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
KEMENTERIAN AGAMA RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta: Widya Cahaya, 2011.
Mas’ud, Ibnu dan Zainal
Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi
Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.
Quthb, Sayyid, Tafsir
Fi Zhilail-Qur’an, Jakarta: Gema Insani,
2004.
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 2003.
اسمع يا اسرائيل. الرب الهنا رب واحد.
BalasHapusفتحب الرب الهك من كل قلبك ومن كل نفسك ومن كل قوتك.
( تثنية 6 : 4 - 5 )
انا انا الرب وليس غيري مخلص.
انا اخبرت وخلّصت واعلمت وليس بينكم غريب. وانتم شهودي يقول الرب وانا الله.
( اشعياء 43 : 11 - 12 )
لأرى خير مختاريك. لأفرح بفرح أمتك. لأفتخر مع ميراثك
( مزامير 106 : 5 )
اما هم المجتمعون فسألوه قائلين يا رب هل في هذا الوقت ترد الملك الى اسرائيل.
فقال لهم ليس لكم ان تعرفوا الازمنة والاوقات التي جعلها الآب في سلطانه.
لكنكم ستنالون قوة متى حل الروح القدس عليكم وتكونون لي شهودا في اورشليم وفي كل اليهودية والسامرة والى اقصى الارض
( أعمال الرسل 1 : 6 - 8 )
لاننا لم نتبع خرافات مصنعة اذ عرّفناكم بقوة ربنا يسوع المسيح ومجيئه بل قد كنا معاينين عظمته.
لانه اخذ من الله الآب كرامة ومجدا اذ اقبل عليه صوت كهذا من المجد الاسنى هذا هو ابني الحبيب الذي انا سررت به.
ونحن سمعنا هذا الصوت مقبلا من السماء اذ كنا معه في الجبل المقدس.
( 2 بطرس 1 : 16 - 18 )
لان غاية الناموس هي المسيح للبر لكل من يؤمن.
لان موسى يكتب في البر الذي بالناموس ان الانسان الذي يفعلها سيحيا بها.
واما البر الذي بالايمان فيقول هكذا لا تقل في قلبك من يصعد الى السماء اي ليحدر المسيح.
او من يهبط الى الهاوية اي ليصعد المسيح من الاموات.
لكن ماذا يقول.الكلمة قريبة منك في فمك وفي قلبك اي كلمة الايمان التي نكرز بها.
لانك ان اعترفت بفمك بالرب يسوع وآمنت بقلبك ان الله اقامه من الاموات خلصت.
لان القلب يؤمن به للبر والفم يعترف به للخلاص.
لان الكتاب يقول كل من يؤمن به لا يخزى.
لانه لا فرق بين اليهودي واليوناني لان ربا واحدا للجميع غنيا لجميع الذين يدعون به.
لان كل من يدعو باسم الرب يخلص.
( رومية 10 : 4 - 13 )
"Follow the most viral crime cases! Get complete and exclusive reports from the best investigative journalists only at https://wakbulu279.wixsite.com/berita-kriminal-news
BalasHapus