Adat Istiadat Dalam Pandangan Islam
Oleh. M. Najmuddin Huda
Dalam
istilah bahasa arab, adat dikenal dengan istilah ‘adat atau ‘urf yang
berarti tradisi. Kedua itilah tersebut mempunyai pengertian yang tidak jauh
berbeda. Dalam pembahasan lain, ‘adat atau ‘urf dipahami sebagai sesuatu
kebiasaan yang telah berlaku secara umum di tengah-tengah masyarakat. Di
seluruh penjuru negeri atau pada suatu masyarakat tertentu yang berlangsung
sejak lama (Fadal, 2008: 69).
Dari
definisi tersebut, para ulana menetapkan bahwa sebuah tradisi yang bisa
dijadikan sebagai sebuah pedoman hukum adalah:
1.
Tradisi
yang telah berjalan sejak lama yang dikenal oleh masyarakat umum.
2.
Diterima
oleh akal sehat sebagai sebuah tradis yang baik.
3.
Tidak
bertentangan dengan nash al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.
Menurut
para ulama’, adat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan
hukum syara’ apabila tradisi tersebut telah berlaku secara umum di masyarakat tertentu.
Sebaliknya jika tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut
dilakukan.
Syarat
lain yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. Artinya, sebuah tradisi
bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash
al-Qur’an maupun al-Hadis. Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi
syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi
masyarakat. Nash yang dimaksudkan disinimaadalah nash yang bersifat qath’i (pasti),
yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak
memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.
Namun
demikian, ulama’ masih melakukan penafshilan (perincian) mengenai hubungan
antara ‘urf atau ‘adat (tradisi) dengan syara’. Dalam beberapa
masalah, tradisi bisa dibenarkan meskipun bertantangan dengan nash.
Pertentangan ini secara khusus adalah mengenai bahasa, yakni antara bahasa yang
dipakai dalam nash al-Qur’an atau al-Hadis dengan bahasa yang lumrah digunakan
atau diungkapakan dalam msyarakat (Fadal, 2008: 69-70).
Sedangkan
jika ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf atau adat dibagi menjadi dua,
yaitu:
1.
‘Urf
Sahih, yaitu suatu hal yang baik yang
menjadi kebiasaan suatu masyarakat, tidak bertentangan dengan ajaran agama,
sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya pemberian pihak laki-laki kepada
calon istrinya dalam pelaksanaan pinangan dianggap sebagai hadiah, bukan mahar.
Ini seperti juga kebiasaan penduduk kota Baghdad dulunya untuk menyiapkan makan
siang bagi tukang yang bekerja dalam pembangunan rumah.
2.
‘Urf
Fasid (adat kebiasaan yang tidak benar),
yaitu suatu yang menjadi kebiasaan yang sampai pada penghalalan sesuatu yang
diharamkan oleh Allah (bertentangan dengan ajaran agama), undang-undang negara
dan sopan santun. Misalnya menyediakan hiburan perempuan yang tidak memelihara
aurat dan kehormatannya dalam sebuah acara atau pesta, dan akad perniagaan yang
mengandung riba (Effendi, 2008: 154-155).
Dr.
Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa pada saat Islam datang dahulu, masyarakat
telam mempunyai adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda. Kemudian Islam
mengakui yang baik diantaranya serta sesuai dengan tujuan-tujuan syara’ dan
prisnsip-prinsipnya. Syara’ juga menolak adat istiadat dan tradisi yang tidak
sesuai dengan hukum Islam. Disamping itu ada pula sebagian yang diperbaiki dan
diluruskan, sehingga ia menjadi sejalan dengan arah dan sasarannya. Kemudian
juga banyak hal yang telah dibiarkan oleh syara’ tanpa pembaharuan yang kaku
dan jelas, tetapi ia biarkan sebagai lapangan gerak bagi al-‘urf al-shahih (kebiasaan
yang baik). Disinilah peran ‘urf yang menentukan hukumnya, menjelaskan
batasan-batasannya dan rinciannya (Al-Qardhawi, 1993: 19).
Telah
dijelaskan diatas bahwa sebuah tradisi yang berjalan secara umum di
tengah-tengah masyarakat memeiliki kekuatan hukum bagi mereka. Artinya, tradisi
tersebut dapat dibenarkan untuk terus dipertahankan. Sebaliknya, jika sebuah
tradisi belum berlaku secara umum, maka tradisi tersebut tidak bisa dijadikan
sebagai ketetapan hukum. dalam al-Qur’an juga diceritakan mengenai sebagian
kebiasaan masyarakat Arab yang ditetapkan sebagai hukum. Diantaranya adalah
dalam surat an-Nur ayat 58, yaitu:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan
wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu,
meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang
subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah
sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan
tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu,
sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah
Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Memelihara
‘urf dalam sebagian keadaan juga
dianggap sebagai memelihara maslahat itu sendiri. Hal ini bisa disebut
demikian karena diantara maslahat manusia itu adalah mengakui terhadap
apa yang mereka anggap baik dan biasa, dan keadaan mereka tersebut telah berlangsung selama
bertahun-tahun dan dari satu generasi ke generassi berikutnya. Sehingga ini
menjadi bagian dari kehidupan sosial mereka yang sekaligus sukar untuk
ditinggalkan dan berat bagi mereka untuk hidup tanpa kebiasaan tersebut (Al-Qardhawi,
1993: 21).
Diantara
masalah yang bisa dijadikan sebagai ketetapan hukum adalah tradisi Mitoni.
Tradisi mitoni adalah tradisi yang dilakukan untuk selamatan tujuh bulan
dari kehamilan yang ibu atau ketika usia kandungan menginjak tujuh bulan.
Tradisi tersebut lumrah terjadi di daerah Jawa, sehingga tradisi tersebut dapat
dibenarkan terus berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ini disebabkan karena
disamping tradisi semcam itu tidak bertentangan dengan nash, ia juga dianggap
tradisi yang baik oleh masyarakat yang secara turun-temurun melestarikannya
lain (Fadal, 2008: 76).
Daftar Pustaka
Al-Qardhawi, Yusuf. 1993. Keluasan
Dan Keluesan Hukum Islam. Semarang : Bina Utama.
Effendi, M.
Zein Satria. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Kencana.
Fadal, Moh. Kurdi. 2008. Kaidah-Kaidah
Fikih. Jakarta: CV. Artha Rivera.
Cuman memang bahaya juga kalau tidak diimbangi dengan budaya baru yang lebih baik...
BalasHapus