Adat Istiadat Dalam Pandangan Islam - Sang Pemburu Badai

Sabtu, 27 Desember 2014

Adat Istiadat Dalam Pandangan Islam

Adat Istiadat Dalam Pandangan Islam
Oleh. M. Najmuddin Huda


Dalam istilah bahasa arab, adat dikenal dengan istilah ‘adat atau ‘urf yang berarti tradisi. Kedua itilah tersebut mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda. Dalam pembahasan lain, ‘adat  atau ‘urf dipahami sebagai sesuatu kebiasaan yang telah berlaku secara umum di tengah-tengah masyarakat. Di seluruh penjuru negeri atau pada suatu masyarakat tertentu yang berlangsung sejak lama (Fadal, 2008: 69).
Dari definisi tersebut, para ulana menetapkan bahwa sebuah tradisi yang bisa dijadikan sebagai sebuah pedoman hukum adalah:
1.        Tradisi yang telah berjalan sejak lama yang dikenal oleh masyarakat umum.
2.        Diterima oleh akal sehat sebagai sebuah tradis yang baik.
3.        Tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.
Menurut para ulama’, adat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum syara’ apabila tradisi tersebut telah berlaku secara umum di masyarakat tertentu. Sebaliknya jika tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut dilakukan.
Syarat lain yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. Artinya, sebuah tradisi bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an maupun al-Hadis. Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat. Nash yang dimaksudkan disinimaadalah nash yang bersifat qath’i (pasti), yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.
Namun demikian, ulama’ masih melakukan penafshilan (perincian) mengenai hubungan antara ‘urf atau ‘adat (tradisi) dengan syara’. Dalam beberapa masalah, tradisi bisa dibenarkan meskipun bertantangan dengan nash. Pertentangan ini secara khusus adalah mengenai bahasa, yakni antara bahasa yang dipakai dalam nash al-Qur’an atau al-Hadis dengan bahasa yang lumrah digunakan atau diungkapakan dalam msyarakat (Fadal, 2008: 69-70).
Sedangkan jika ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf atau adat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.        ‘Urf Sahih, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, tidak bertentangan dengan ajaran agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya pemberian pihak laki-laki kepada calon istrinya dalam pelaksanaan pinangan dianggap sebagai hadiah, bukan mahar. Ini seperti juga kebiasaan penduduk kota Baghdad dulunya untuk menyiapkan makan siang bagi tukang yang bekerja dalam pembangunan rumah.
2.        ‘Urf Fasid (adat kebiasaan yang tidak benar), yaitu suatu yang menjadi kebiasaan yang sampai pada penghalalan sesuatu yang diharamkan oleh Allah (bertentangan dengan ajaran agama), undang-undang negara dan sopan santun. Misalnya menyediakan hiburan perempuan yang tidak memelihara aurat dan kehormatannya dalam sebuah acara atau pesta, dan akad perniagaan yang mengandung riba (Effendi, 2008: 154-155).
Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa pada saat Islam datang dahulu, masyarakat telam mempunyai adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda. Kemudian Islam mengakui yang baik diantaranya serta sesuai dengan tujuan-tujuan syara’ dan prisnsip-prinsipnya. Syara’ juga menolak adat istiadat dan tradisi yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Disamping itu ada pula sebagian yang diperbaiki dan diluruskan, sehingga ia menjadi sejalan dengan arah dan sasarannya. Kemudian juga banyak hal yang telah dibiarkan oleh syara’ tanpa pembaharuan yang kaku dan jelas, tetapi ia biarkan sebagai lapangan gerak bagi al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang baik). Disinilah peran ‘urf yang menentukan hukumnya, menjelaskan batasan-batasannya dan rinciannya (Al-Qardhawi, 1993: 19).
Telah dijelaskan diatas bahwa sebuah tradisi yang berjalan secara umum di tengah-tengah masyarakat memeiliki kekuatan hukum bagi mereka. Artinya, tradisi tersebut dapat dibenarkan untuk terus dipertahankan. Sebaliknya, jika sebuah tradisi belum berlaku secara umum, maka tradisi tersebut tidak bisa dijadikan sebagai ketetapan hukum. dalam al-Qur’an juga diceritakan mengenai sebagian kebiasaan masyarakat Arab yang ditetapkan sebagai hukum. Diantaranya adalah dalam surat an-Nur ayat 58, yaitu:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
 Memelihara ‘urf  dalam sebagian keadaan juga dianggap sebagai memelihara maslahat itu sendiri. Hal ini bisa disebut demikian karena diantara maslahat manusia itu adalah mengakui terhadap apa yang mereka anggap baik dan biasa, dan  keadaan mereka tersebut telah berlangsung selama bertahun-tahun dan dari satu generasi ke generassi berikutnya. Sehingga ini menjadi bagian dari kehidupan sosial mereka yang sekaligus sukar untuk ditinggalkan dan berat bagi mereka untuk hidup tanpa kebiasaan tersebut (Al-Qardhawi, 1993: 21).
Diantara masalah yang bisa dijadikan sebagai ketetapan hukum adalah tradisi Mitoni. Tradisi mitoni adalah tradisi yang dilakukan untuk selamatan tujuh bulan dari kehamilan yang ibu atau ketika usia kandungan menginjak tujuh bulan. Tradisi tersebut lumrah terjadi di daerah Jawa, sehingga tradisi tersebut dapat dibenarkan terus berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ini disebabkan karena disamping tradisi semcam itu tidak bertentangan dengan nash, ia juga dianggap tradisi yang baik oleh masyarakat yang secara turun-temurun melestarikannya lain  (Fadal, 2008: 76).


Daftar Pustaka
Al-Qardhawi, Yusuf. 1993. Keluasan Dan Keluesan Hukum Islam. Semarang : Bina Utama.
Effendi, M. Zein Satria. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Kencana.
Fadal, Moh. Kurdi. 2008. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: CV. Artha Rivera.


1 komentar:

  1. Cuman memang bahaya juga kalau tidak diimbangi dengan budaya baru yang lebih baik...

    BalasHapus

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.