(Dalam
Pengajian Akbar Haflah Khotmil Qur,an dan Khaul Muassis Pondok Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin Jetis, Sabtu, 07 November 2015 M / 26 Muharram 1437 H)
Sumber : Ngaji Bareng, Kenduri Cinta
Hujan sejak siang cukup
merata dari Yogyakarta hingga Kabupaten Semarang. Perjalanan Cak Nun & Kiai
Kanjeng menuju Dusun Jetis Desa Gentan Susukan Kab Semarang cukup lancar.
Lokasi Maiyahan malam ini yang sejak sore diguyur hujan deras sudah reda saat
Cak Nun dan para narasumber lain memasuki panggung dan diiringi shalawat Badar.
Inilah Maiyahan “Ngaji Bareng Cak Nun, Gus Yusuf & Kiai Kanjen”
dalam rangka Haflah Khotmil Qur'an dan Haul Pondok Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.
Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin Jetis merupakan lembaga pendidikan pesantren salaf. Pesantren ini
menyelenggarakan pendidikan mulai dari tingkat RA/TK, MI dan juga madrasah
diniyah. Madrasah diniyah ada 3 tingkatan, yaitu Awaliyah, Wustho & Ulya. Tingkatan
Wustho dan Ulya merupakan persamaan dari tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Jumlah santri
di pesantren ini kurang lebih 250 santri baik putra maupun putri yang tersebar
di 3 komplek pesantren. Dalam menyelenggarakan pendidikan tersebut, pesantren
berupaya keras untuk menjalankan asas kemandirian, tanpa meminta bantuan kepada
pemerintah atau pihak lain.
Sebagai kekuatan budaya
santri, Pondok Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis juga menjalankan
tradisi santri sebagaimana yang lazim di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama’
(NU), seperti kegiatan khaul, akhirussanah, khotmil qur’an dan lain-lain. Malam
ini khususnya acara dilangsungkan dalam rangka Khotmil Qur’an dan Khaul Muasssis
pesanten.
Melalui ngaji bareng Cak
Nun, Gus Yusuf dan Kiai Kanjeng, pesantren berharap agar dapat memperkuat
pemahaman akan khotmil qur’an dalam perspeltif yang lebih luas. Selain itu, diharapkan dapat membentengi para
santri, civitas akademis pesantren, dan para jama’ah yang hadir dengan ilmu,
pemahaman, dan sikap yang tepat dalam menghadapi berbagai aliran-aliran yang
diwarnai oleh kesempitan berfikir diantaranya menyangkut soal-soal khilafiyah.
Dalam konteks
kelangsungan lemabaga pendidikan pesantren di masa kini, penyelenggara juga
berharap Cak Nun dapat memberikan wawasan tentang bagaimana pesantren
menghadapi situasi dimana minat masyarakat untuk mengsekolahkan putra-putrinya
di pesantren menurun adanya. Mungkin karena merasa bahwa masa depan anak-anak
mereka kurang cukup terang dengan mondok di pesantren.
Masyarakat dusun jetis
pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, tanah sangat subur ditambah
dengan air gunung yang melimpah. Dari desa yang subur dan sejuk ini, Pondok Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis berharap dapat melahirkan santri-santri
dengan kualitas yang baik dan mampu merespon tantangan zaman dengan
sebaik-baiknya. Kesempatan kehadiran Cak Nun, Gus Yusuf dan Kiai Kanjeng juga dimaksudkan agar memberikan
bekal kepada para santri, ustadz dan masyarakat umum untuk menyadari tantangan
masa depan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan.
“Nggak perlu khawatir,
pertahankan terus salaf-nya Pesantren ini, nanti orang akan kembali ke salaf
ini. Orang khawatir masa depan anaknya tidak cerah kalau memondokkannya di
pesantren itu karena mereka pikir kalau anak sekolah di luar pesantren pasti
cerah. Padahal tidak juga. Kalau ngomong sugih, sekarang yang paling cepat sugih
adalah perampok dan koruptor. Nah, harus kita pastikan adalah tauhid kita, juga
tauhid anak-anak kita, kepada Allah. Kalau itu bisa kita tegakkan, mereka akan
kembali ke pesantren Salaf," tegas Cak Nun di awal Maiyahan malam ini.
Hanya beberapa menit di
awal, Cak Nun sudah melontarkan poin-poin yang amat padat melalui logika-logika
sederhana, mendasar, tapi jarang dibayangkan atau disimulasi. Di antaranya,
Qari yang melantunkan al-Quran diminta membawakan lagu yang sesuai dengan
hatinya sendiri, tidak harus mengikut yang mana-mana, alias berdaulat. Ternyata
lantunan yang murni lebih enak didengar. "Asalkan melantunkan al-Quran
dengan hati yang ikhlas dan murni, insyaAllah bagus, terasa, dan sampai ke hati
kita," ujar Cak Nun.
Prinsip yang selanjutnya
dipaparkan Cak Nun adalah meskipun seseorang adalah ulama ia mungkin salah
mungkin benar. "Anda pun demikian, mungkin salah, mungkin benar. Yang
pasti benar adalah Rasulullah. Karena manusia seperti kita mungkin benar
mungkin salah, maka ojo petentengan saling golek salah, tapi carilah
kemungkinannya dalam menambah keyakinan kita." Di samping itu, Cak Nun
mengajak kita untuk berani sedikit menafsirkan al-Qur'an. Mengapa? Sebab,
seperti tertera jelas dalam ayat awal surat al-Baqarah "dzalikal kitabu
la roiba fiihi hudan lil muttaqin." Al-quran adalah petunjuk bagi
orang yang bertakwa. Artinya, supaya mendapatkan petunjuk, jadilah orang-orang
yang bertakwa. Bertakwalah, sehingga ketika membaca al-Quran walaupun sedikit,
kita akan mendapatkan hidayah atau petunjuk. Selain itu, dengan sedikit
"berani" menafsirkan, insyaAllah kita akan mendapatkan hidayah. Alif
lam mim biasanya diartikan 'hanya Allah yang tahu maksud-nya'. Cak Nun
bertanya, "Kalau misal alif lam mim saya artikan alif itu tegak, lam
berarti rukuk, dan mim berarti sujud, apakah boleh? (Ragu-ragu mereka menjawab,
tapi kemudian dijawab boleh)." Jadi, menafsirkan Al-Quran adalah salah
satu jalan agar kita mendapatkan hidayah Allah. Apalagi kita juga memahami
bahwa ayat-ayat Allah ada tiga jenisnya: literer, kauniyah, dan diri manusia.
Halaman pesantren yang
terletak di sebuah desa berjarak 10 kilometer dari jalan besar yang
menghubungkan Boyolali dengan Semarang sangat padat oleh hadirin. Masyarakat
umum maupun para santri di pesantren ini. Sebuah kesempatan langka berjumpa
dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng. "Merupakan berkah bagi kita untuk bisa
ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng malam ini," ujar Gus Yusuf
Chudlori dari Ponpes API Tegalrejo Magelang yang malam ini juga menjadi
narasumber. Sejak ketemu di ruang transit, Gus Yusuf sangat tawadhlu tapi juga
dekat dengan Cak Nun. Beberapa tahun lalu Gus Yusuf datang ke Maiyahan Mocopat
Syafaat untuk ngangsu kawruh kepada Cak Nun ihwal bagaimana menghadapi
gerakan-gerakan yang gampang mengafirkan orang lain sesama muslim, menuduh
syirik terhadap tradisi dan budaya berlaku di masyarakat. Malam ini pun Gus
Yusuf masih menunjukkan concern yang sama. Ia berpesan agar orangtua bisa
menghormati para ulama dan mau belajar kepada mereka agar mereka menjadi santri
yang berjiwa nusantara.
Maiyah adalah sebuah
peradaban, dan seperti pernah dikatakan Mas Sabrang, sebuah peradaban dikatakan
tinggi apabila mampu memahami peradaban lainnya. Terasa sekali bahwa sedari
awal penjelasan-penjelasan Cak Nun adalah cara-cara cerdas dalam memahami kebekuan
dan kekakuan tafsir dan penghayatan kita terhadap al-Quran selama ini, dan
beliau menawarkan terobosan. Pun demikian halnya, dalam memahami dan menyikapi
kesempitan-kesempitan berpikir dan sikap beragama yang diisi oleh kepengikutan
buta berikut konstelasi politiknya, Maiyah sudah sangat komplet
menganalisisnya, dan menawarkan jalan keluar atau penyikapan khususnya bagi
Jamaah Maiyah. Tidak ada klaim, tapi dilihat dari pemikiran-pemikiran yang
dilontarkan Cak Nun kepada para jamaah khususnya, sesungguhnya yang digarap
oleh Cak Nun adalah kaliber-kaliber peradaban manusia.
Berapapun jumlah orang
yang datang ke Maiyahan bersama masyarakat, yang dalam kenyataannya selalu
sangat banyak, senantiasa ada satu yang khas: pandangan mata mereka sangat kuat
melekat dengan panggung. Mereka sangat menikmati, mengikuti, dan menyimak apa
yang disampaikan Cak Nun dan narasumber lainnya, sangat menikmati musik
KiaiKanjeng dari satu nomor ke nomor lainnya. Pandangan mata mereka seperti
menyiratkan sesuatu yang selama ini mereka cari, atau sesuatu yang mungkin
tidak mereka temukan di tempat lain. Depan panggung hingga jalan, kanan-kiri
panggung, juga di atas lantai dua bangunan di sisi kanan panggung, semuanya
padat oleh hadirin. Baru saja mereka bertepuk tangan selepas Mas Doni
membawakan lagunya Maroon Five 'One More Night'.
Saat melihat para
personel KiaiKanjeng memainkan alat musiknya, sementara di kanan-kirinya penuh
dengan orang, jamaah, atau hadirin, seperti tanpa ada batas seperti pada
umumnya pementasan, terlihat sekali bahwa 'maqam' KiaiKanjeng adalah maqam
integral dengan masyarakat, umat, dan orang-orang. Kiai Kanjeng melayani
masyarakat dengan mengolah 'semesta simbol' berupa lagu-lagu dan lirik untuk
mengisi kebutuhan batin manusia akan kekayaan jiwa, agar manusia segar dan
penuh kembali sehingga siap menjalankan kembali visi dan tugasnya sebagai
khalifatullah. Apalagi, di Maiyahan tak hanya hati yang disentuh, tapi juga
pikiran yang disemai dengan terobosan-terobosan pemikiran. Itu semua berlangsung
di tengah mainstream media-media yang tidak menyuguhkan apa-apa selain
jalan-jalan menuju dehumanisasi.
Asiknya Maiyahan salah
satunya adalah saat dibuka dialog. Sering sekali melalui dialog ini muncul
respons-respons Cak Nun sangat tidak terduga, cerdas, dan tak terbayangkan
sebelumnya. Lewat dialog pula sensibilitas Cak Nun sangat bicara sehingga dapat
menemukan sesuatu yang tak tampak pada penanya. Seperti barusan, Cak Nun
meminta penanya itu nembang Jawa, dan ternyata suaranya enak. Atas
pertanyaannya sendiri, Cak Nun memberikan jawaban yang bijak dan menenteramkan.
Pertanyaannya mewakili kegelisahan orang awam yang ingin belajar al-Quran tapi
belum bisa dan merasa belum pantas, suatu soal yang sebenarnya memperlihatkan
kerendahan hati orang kecil. "Tidak perlu cemas, Allah yang berhak
menilai hati manusia, apakah dia akan masuk surga atau tidak,...".
Sebelum Cak Nun
menjelaskan mengapa tadi meminta Qari melantunkan ayat al-Qur’an dengan lagu
yang otentik, juga pernah seperti muncul polemik baca al-Qur’an lagu Jawa, ialah
agar kita melakukan kedaulatan itu dengan baik. Lakukan saja. Tidak usah
terlalu dilabeli. Label itu yang membuat bertengkar. Pemdatan-pemadatan
identitas itulah yang seringkali memerangkap untuk tidak saling memahami atau
menerima.
Waktu sudah menunjukkan
pukul 01.25 WIB. Jamaah masih bertahan. Gus Yusuf barusan diminta Cak Nun
merespons. Gus Yusuf menjelaskan mengenai apa yang dimaksud bid'ah dan
bagaimana posisi-nya dalam Islam. Cak Nun pun juga melengkapinya dengan
sejumlah prinsip mengenai ibadah mahdhoh dan ibadah muamalah. Selebihnya, Cak
Nun mengajak jamaah berpikir, kalau kita berantem sesama orang Islam, dengan
orang yang beda pemahaman, apakah itu dibuat untuk berantem ataukah bagaimana.
Artinya, apakah semua itu apa bukan adu domba dan pemecahbelahan. Apakah bukan
memang orang Islam dibikin rapuh. Cak Nun lalu berpesan kepada Pak Camat untuk
benar-benar tepat dan bijak dalam menyikapi konflik seperti itu di dalam
masyarakat. "Saya senang acara malam ini dimaksudkan untuk membentengi
diri kita dari kemungkinan konflik itu. Sepanjang kita sama-sama bertauhid, kita
adalah ikhwah/bersaudara. Ingatlah bahwa kita punya tidak kekuatan: alamnya
kaya raya, hebat manusia-manusianya, dan kita orang-orang yang beragama Islam.
Karena ketiga kelebihan itulah kita diincar untuk dipecahbelah. Maka Pak Bupati
dan Pak Camat harus memastikan bahwa masyarakat di daerah-daerah itu kompak,
dan tidak gampang dihasut-diadudomba," pesan Cak Nun.
Memasuki akhir Maiyyahan,
Cak Nun mengajak semua hadirin untuk meneguhkan ‘perkawinan bak temanten anyar’
malam ini dengan tembang Lir-Ilir aransemen Kiai Kanjeng. Gus Yusuf dan
narasumber lain tampak larut dalam tembang ini, dan kemudian semuanya kepala
khusyuk ketika Cak Nun melantunkan do’a agar Allah mengampuni dosa kita, membukakan
pintu-pintu kebaikan dan keberkahan. Dan lantunan shalawat badar memuncaki
nomer Lir-Ilir ini. Sebuah nomor magis yang terhimpun dalam album Menyorsong
Rembulan.
Di penghujung pertemuan
malam ini, Cak Nun meminta Gus Yusuf memimpin do’a. Maiyyahan sudah berakhir,
dan jama’ah kembali ke tempat masing-masing, Kiai Kanjeng mengantarkan
kepulangan mereka dengan beberapa nomer lagu.
(Beberapa kalimat telat diedit oleh penulis dari blog aslinya tanpa mengurangi makna dan masksudnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.