Rangkuman Ngaji Aswaja & Kebangsaan bareng Cak Nun, Gus Yusuf & Kiai Kanjeng - Sang Pemburu Badai

Selasa, 10 November 2015

Rangkuman Ngaji Aswaja & Kebangsaan bareng Cak Nun, Gus Yusuf & Kiai Kanjeng


(Dalam Pengajian Akbar Haflah Khotmil Qur,an dan Khaul Muassis Pondok Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis, Sabtu, 07 November 2015 M / 26 Muharram 1437 H)

Sumber : Ngaji Bareng, Kenduri Cinta 
 



Hujan sejak siang cukup merata dari Yogyakarta hingga Kabupaten Semarang. Perjalanan Cak Nun & Kiai Kanjeng menuju Dusun Jetis Desa Gentan Susukan Kab Semarang cukup lancar. Lokasi Maiyahan malam ini yang sejak sore diguyur hujan deras sudah reda saat Cak Nun dan para narasumber lain memasuki panggung dan diiringi shalawat Badar. Inilah Maiyahan “Ngaji Bareng Cak Nun, Gus Yusuf & Kiai Kanjen” dalam rangka Haflah Khotmil Qur'an dan Haul Pondok Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.

Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis merupakan lembaga pendidikan pesantren salaf. Pesantren ini menyelenggarakan pendidikan mulai dari tingkat RA/TK, MI dan juga madrasah diniyah. Madrasah diniyah ada 3 tingkatan, yaitu Awaliyah, Wustho & Ulya. Tingkatan Wustho dan Ulya merupakan persamaan dari tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Jumlah santri di pesantren ini kurang lebih 250 santri baik putra maupun putri yang tersebar di 3 komplek pesantren. Dalam menyelenggarakan pendidikan tersebut, pesantren berupaya keras untuk menjalankan asas kemandirian, tanpa meminta bantuan kepada pemerintah atau pihak lain.

Sebagai kekuatan budaya santri, Pondok Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis juga menjalankan tradisi santri sebagaimana yang lazim di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama’ (NU), seperti kegiatan khaul, akhirussanah, khotmil qur’an dan lain-lain. Malam ini khususnya acara dilangsungkan dalam rangka Khotmil Qur’an dan Khaul Muasssis pesanten.
Melalui ngaji bareng Cak Nun, Gus Yusuf dan Kiai Kanjeng, pesantren berharap agar dapat memperkuat pemahaman akan khotmil qur’an dalam perspeltif yang lebih luas.  Selain itu, diharapkan dapat membentengi para santri, civitas akademis pesantren, dan para jama’ah yang hadir dengan ilmu, pemahaman, dan sikap yang tepat dalam menghadapi berbagai aliran-aliran yang diwarnai oleh kesempitan berfikir diantaranya menyangkut soal-soal khilafiyah.

Dalam konteks kelangsungan lemabaga pendidikan pesantren di masa kini, penyelenggara juga berharap Cak Nun dapat memberikan wawasan tentang bagaimana pesantren menghadapi situasi dimana minat masyarakat untuk mengsekolahkan putra-putrinya di pesantren menurun adanya. Mungkin karena merasa bahwa masa depan anak-anak mereka kurang cukup terang dengan mondok di pesantren.

Masyarakat dusun jetis pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, tanah sangat subur ditambah dengan air gunung yang melimpah. Dari desa yang subur dan sejuk ini, Pondok Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis berharap dapat melahirkan santri-santri dengan kualitas yang baik dan mampu merespon tantangan zaman dengan sebaik-baiknya. Kesempatan kehadiran Cak Nun, Gus Yusuf  dan Kiai Kanjeng juga dimaksudkan agar memberikan bekal kepada para santri, ustadz dan masyarakat umum untuk menyadari tantangan masa depan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan.



Nggak perlu khawatir, pertahankan terus salaf-nya Pesantren ini, nanti orang akan kembali ke salaf ini. Orang khawatir masa depan anaknya tidak cerah kalau memondokkannya di pesantren itu karena mereka pikir kalau anak sekolah di luar pesantren pasti cerah. Padahal tidak juga. Kalau ngomong sugih, sekarang yang paling cepat sugih adalah perampok dan koruptor. Nah, harus kita pastikan adalah tauhid kita, juga tauhid anak-anak kita, kepada Allah. Kalau itu bisa kita tegakkan, mereka akan kembali ke pesantren Salaf," tegas Cak Nun di awal Maiyahan malam ini.

Hanya beberapa menit di awal, Cak Nun sudah melontarkan poin-poin yang amat padat melalui logika-logika sederhana, mendasar, tapi jarang dibayangkan atau disimulasi. Di antaranya, Qari yang melantunkan al-Quran diminta membawakan lagu yang sesuai dengan hatinya sendiri, tidak harus mengikut yang mana-mana, alias berdaulat. Ternyata lantunan yang murni lebih enak didengar. "Asalkan melantunkan al-Quran dengan hati yang ikhlas dan murni, insyaAllah bagus, terasa, dan sampai ke hati kita," ujar Cak Nun.

Prinsip yang selanjutnya dipaparkan Cak Nun adalah meskipun seseorang adalah ulama ia mungkin salah mungkin benar. "Anda pun demikian, mungkin salah, mungkin benar. Yang pasti benar adalah Rasulullah. Karena manusia seperti kita mungkin benar mungkin salah, maka ojo petentengan saling golek salah, tapi carilah kemungkinannya dalam menambah keyakinan kita." Di samping itu, Cak Nun mengajak kita untuk berani sedikit menafsirkan al-Qur'an. Mengapa? Sebab, seperti tertera jelas dalam ayat awal surat al-Baqarah "dzalikal kitabu la roiba fiihi hudan lil muttaqin." Al-quran adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa. Artinya, supaya mendapatkan petunjuk, jadilah orang-orang yang bertakwa. Bertakwalah, sehingga ketika membaca al-Quran walaupun sedikit, kita akan mendapatkan hidayah atau petunjuk. Selain itu, dengan sedikit "berani" menafsirkan, insyaAllah kita akan mendapatkan hidayah. Alif lam mim biasanya diartikan 'hanya Allah yang tahu maksud-nya'. Cak Nun bertanya, "Kalau misal alif lam mim saya artikan alif itu tegak, lam berarti rukuk, dan mim berarti sujud, apakah boleh? (Ragu-ragu mereka menjawab, tapi kemudian dijawab boleh)." Jadi, menafsirkan Al-Quran adalah salah satu jalan agar kita mendapatkan hidayah Allah. Apalagi kita juga memahami bahwa ayat-ayat Allah ada tiga jenisnya: literer, kauniyah, dan diri manusia.

Halaman pesantren yang terletak di sebuah desa berjarak 10 kilometer dari jalan besar yang menghubungkan Boyolali dengan Semarang sangat padat oleh hadirin. Masyarakat umum maupun para santri di pesantren ini. Sebuah kesempatan langka berjumpa dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng. "Merupakan berkah bagi kita untuk bisa ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng malam ini," ujar Gus Yusuf Chudlori dari Ponpes API Tegalrejo Magelang yang malam ini juga menjadi narasumber. Sejak ketemu di ruang transit, Gus Yusuf sangat tawadhlu tapi juga dekat dengan Cak Nun. Beberapa tahun lalu Gus Yusuf datang ke Maiyahan Mocopat Syafaat untuk ngangsu kawruh kepada Cak Nun ihwal bagaimana menghadapi gerakan-gerakan yang gampang mengafirkan orang lain sesama muslim, menuduh syirik terhadap tradisi dan budaya berlaku di masyarakat. Malam ini pun Gus Yusuf masih menunjukkan concern yang sama. Ia berpesan agar orangtua bisa menghormati para ulama dan mau belajar kepada mereka agar mereka menjadi santri yang berjiwa nusantara.

Maiyah adalah sebuah peradaban, dan seperti pernah dikatakan Mas Sabrang, sebuah peradaban dikatakan tinggi apabila mampu memahami peradaban lainnya. Terasa sekali bahwa sedari awal penjelasan-penjelasan Cak Nun adalah cara-cara cerdas dalam memahami kebekuan dan kekakuan tafsir dan penghayatan kita terhadap al-Quran selama ini, dan beliau menawarkan terobosan. Pun demikian halnya, dalam memahami dan menyikapi kesempitan-kesempitan berpikir dan sikap beragama yang diisi oleh kepengikutan buta berikut konstelasi politiknya, Maiyah sudah sangat komplet menganalisisnya, dan menawarkan jalan keluar atau penyikapan khususnya bagi Jamaah Maiyah. Tidak ada klaim, tapi dilihat dari pemikiran-pemikiran yang dilontarkan Cak Nun kepada para jamaah khususnya, sesungguhnya yang digarap oleh Cak Nun adalah kaliber-kaliber peradaban manusia.

Berapapun jumlah orang yang datang ke Maiyahan bersama masyarakat, yang dalam kenyataannya selalu sangat banyak, senantiasa ada satu yang khas: pandangan mata mereka sangat kuat melekat dengan panggung. Mereka sangat menikmati, mengikuti, dan menyimak apa yang disampaikan Cak Nun dan narasumber lainnya, sangat menikmati musik KiaiKanjeng dari satu nomor ke nomor lainnya. Pandangan mata mereka seperti menyiratkan sesuatu yang selama ini mereka cari, atau sesuatu yang mungkin tidak mereka temukan di tempat lain. Depan panggung hingga jalan, kanan-kiri panggung, juga di atas lantai dua bangunan di sisi kanan panggung, semuanya padat oleh hadirin. Baru saja mereka bertepuk tangan selepas Mas Doni membawakan lagunya Maroon Five 'One More Night'.

Saat melihat para personel KiaiKanjeng memainkan alat musiknya, sementara di kanan-kirinya penuh dengan orang, jamaah, atau hadirin, seperti tanpa ada batas seperti pada umumnya pementasan, terlihat sekali bahwa 'maqam' KiaiKanjeng adalah maqam integral dengan masyarakat, umat, dan orang-orang. Kiai Kanjeng melayani masyarakat dengan mengolah 'semesta simbol' berupa lagu-lagu dan lirik untuk mengisi kebutuhan batin manusia akan kekayaan jiwa, agar manusia segar dan penuh kembali sehingga siap menjalankan kembali visi dan tugasnya sebagai khalifatullah. Apalagi, di Maiyahan tak hanya hati yang disentuh, tapi juga pikiran yang disemai dengan terobosan-terobosan pemikiran. Itu semua berlangsung di tengah mainstream media-media yang tidak menyuguhkan apa-apa selain jalan-jalan menuju dehumanisasi.

Asiknya Maiyahan salah satunya adalah saat dibuka dialog. Sering sekali melalui dialog ini muncul respons-respons Cak Nun sangat tidak terduga, cerdas, dan tak terbayangkan sebelumnya. Lewat dialog pula sensibilitas Cak Nun sangat bicara sehingga dapat menemukan sesuatu yang tak tampak pada penanya. Seperti barusan, Cak Nun meminta penanya itu nembang Jawa, dan ternyata suaranya enak. Atas pertanyaannya sendiri, Cak Nun memberikan jawaban yang bijak dan menenteramkan. Pertanyaannya mewakili kegelisahan orang awam yang ingin belajar al-Quran tapi belum bisa dan merasa belum pantas, suatu soal yang sebenarnya memperlihatkan kerendahan hati orang kecil. "Tidak perlu cemas, Allah yang berhak menilai hati manusia, apakah dia akan masuk surga atau tidak,...".

Sebelum Cak Nun menjelaskan mengapa tadi meminta Qari melantunkan ayat al-Qur’an dengan lagu yang otentik, juga pernah seperti muncul polemik baca al-Qur’an lagu Jawa, ialah agar kita melakukan kedaulatan itu dengan baik. Lakukan saja. Tidak usah terlalu dilabeli. Label itu yang membuat bertengkar. Pemdatan-pemadatan identitas itulah yang seringkali memerangkap untuk tidak saling memahami atau menerima.

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.25 WIB. Jamaah masih bertahan. Gus Yusuf barusan diminta Cak Nun merespons. Gus Yusuf menjelaskan mengenai apa yang dimaksud bid'ah dan bagaimana posisi-nya dalam Islam. Cak Nun pun juga melengkapinya dengan sejumlah prinsip mengenai ibadah mahdhoh dan ibadah muamalah. Selebihnya, Cak Nun mengajak jamaah berpikir, kalau kita berantem sesama orang Islam, dengan orang yang beda pemahaman, apakah itu dibuat untuk berantem ataukah bagaimana. Artinya, apakah semua itu apa bukan adu domba dan pemecahbelahan. Apakah bukan memang orang Islam dibikin rapuh. Cak Nun lalu berpesan kepada Pak Camat untuk benar-benar tepat dan bijak dalam menyikapi konflik seperti itu di dalam masyarakat. "Saya senang acara malam ini dimaksudkan untuk membentengi diri kita dari kemungkinan konflik itu. Sepanjang kita sama-sama bertauhid, kita adalah ikhwah/bersaudara. Ingatlah bahwa kita punya tidak kekuatan: alamnya kaya raya, hebat manusia-manusianya, dan kita orang-orang yang beragama Islam. Karena ketiga kelebihan itulah kita diincar untuk dipecahbelah. Maka Pak Bupati dan Pak Camat harus memastikan bahwa masyarakat di daerah-daerah itu kompak, dan tidak gampang dihasut-diadudomba," pesan Cak Nun.

Memasuki akhir Maiyyahan, Cak Nun mengajak semua hadirin untuk meneguhkan ‘perkawinan bak temanten anyar’ malam ini dengan tembang Lir-Ilir aransemen Kiai Kanjeng. Gus Yusuf dan narasumber lain tampak larut dalam tembang ini, dan kemudian semuanya kepala khusyuk ketika Cak Nun melantunkan do’a agar Allah mengampuni dosa kita, membukakan pintu-pintu kebaikan dan keberkahan. Dan lantunan shalawat badar memuncaki nomer Lir-Ilir ini. Sebuah nomor magis yang terhimpun dalam album Menyorsong Rembulan.
Di penghujung pertemuan malam ini, Cak Nun meminta Gus Yusuf memimpin do’a. Maiyyahan sudah berakhir, dan jama’ah kembali ke tempat masing-masing, Kiai Kanjeng mengantarkan kepulangan mereka dengan beberapa nomer lagu.

(Beberapa kalimat telat diedit oleh penulis dari blog aslinya tanpa mengurangi makna dan masksudnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.