Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)
Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin merupakan sebuah pesantren yang telah berumur
lebih dari setengah abad. Seperti yang dikemukakan oleh Pengasuh Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin Kiyai Rozi Toha (09 Mei 2015), pesantren ini
didirikan oleh kakek beliau yang bernama KH. Danusyiri. KH. Danusyiri sendiri
pada mulanya adalah seorang pendatang di dusun Jetis. Beliau adalah putra dari
KH. Muhammad Rozi, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Huda Petak yang masih berada di
Kecamatan Susukan. Jika dirunut dari silsilah keturunan, KH. Muhammad Rozi
merupakan keturunan dari Mbah Mlangi, salah seorang ulama’ yang menjadi tangan
kanan Pangeran Diponegoro. Mbah Mlangi yang mempunyai nama asli Kiyai Nur Iman
ini dimakamkan di Mlangi, Sleman, Yogyakarta.
Danusyiri
kecil dilahirkan di Desa Petak Desa Sidoarjo Kecamatan Susukan. Nama kecil
beliau adalah Ahmad Basuni. Ketika berhaji ke Makkah kemudian nama beliau
diganti dengan Danusyiri. Danusyiri memulai thalabul ilmi-nya dengan
kedua orang tuanya. Dari orang tuanya, Danusyiri kecil belajar berbagai
macam-macam ilmu pesantren, seperti nahwu, fiqih, aqidah, tarikh dan lain
sebagainya. Setelah kenyang menyerap ilmu dari orang tuanya, maka Danusyiri
melanjutkan pencarian ilmunya dengan menjadi santri di Tegal, Grabagan yang
diasuh Mbah Kiyai Hisyam. Di pesantren tersebut Danusyiri tinggal selama
beberapa tahun. Selain ke Tegal Grabagan, KH. Danusyiri juga pernah mengenyam
pendidikan pesantren di Desa Plumbon Kecamatan Suruh, yang diasuh oleh KH.
Hasyim.
Setelah
menamatkan pendidikan di pesantren KH. Hasyim, kemudian Danusyiri melakukan
tuntunan sunnah rasul yaitu dengan mempersunting Nyai Fathimah, putri dari
seorang tohoh Masyarakat di Babadan Tengaran. Dari pernikahan tersebut KH.
Danusyiri dikaruniai 4 putra dan 4 putri. Karena tuntutan dakwah dan permintaan
Lurah Desa Gentan, pada tahun 1943 Danusyiri hijrah dari dusun Petak ke Jetis.
Dusun Jetis merupakan salah satu dusun yang masih dalam wilayah kecamatan
Susukan yang berjarak + 1,5 kilometer dari Petak.
Kiyai
Rozi menambahkan, selain aktif berdakwah KH. Danusyiri juga ikut berjuang
melawan penjajahan Belanda, baik pada masa agresi Belanda ke I, masa Pendudukan
Jepang dan agresi Belanda ke II. Sewaktu masih berada di Petak, KH. Danusyiri
sudah menjadi komandan perang yang memimpin para gerilyawan baik yang terdiri
dari unsur santri maupun masyarakat desa. Karena perlawanan yang sangat begitu
hebat menyebabkan pasukan Belanda marah dan melakukan pengeboman terhadap
Masjid Petak yang pada saat itu dijadikan sebagai markas pejuang kemerdekaan
dari kecamatan Susukan dan sekitarnya. Ketika Danusyiri sudah bertempat tinggal,
pasukan penjajah juga menjadikan dusun Jetis sebagai obyek serangannya. Hal
tersebut menyebabkan KH. Danusyiri beserta keluarga dan para santrinya
mengungsi ke desa Karang Kepoh di wilayah kabupaten Boyolali Kota.
Setelah
dirasa cukup aman, KH. Danusyiri beserta para keluarga dan santrinya kembali ke
dusun Jetis. Kedatangannya ke dusun Jetis untuk kedua kalinya beliau gunakan
untuk memulai menata kembali pesantren yang pernah dirintisnya. Pada mulanya
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin hanya lah sebuah surau atau masjid kampung
biasa. Tetapi lambat laun semakin banyak santri yang ingin bermukim disitu.
Melihat kondisi tersebut maka KH. Danusyiri memulai membangun pesanten yang
berada disebelah masjid tersebut. Pesantren yang dibangun pertama kali tersebut
juga merupakan sebuah bangunan sederhana yang terbuat dari papan kayu.
Setelah
KH. Danusyiri wafat pada tahun 1964, kepemimpinan pondok pesantren kemudian
diteruskan oleh salah seorang putranya yang bernama Dzofari atau yang kemudian
lebih dikenal dengan nama Muhammad Toha. Nama yang terakhir ini menurut Kiyai
Rozi Toha merupakan nama yang beliau dapatkan ketika berhaji ke Makkah. Sebagai
salah seorang dari keluarga pesantren, Toha mulai menimba ilmu dari orangtuanya
semenjak kecil. Dibawah asuhan kedua orangtuanya, Toha kecil mulai mendapatkan
dasar-dasar pendidikan agama Islam. Selain itu Toha kecil juga menyenyam
pendidikan di salah satu pesantren di Punduh Kabupaten Magelang.
Kiyai
Rozi Toha menambahkan, setelah menginjak dewasa ayahnya kemudian diambil
menjadi menantu oleh seorang kiyai yang masih terhitung pamannya sendiri, yaitu
KH. Jufri. KH. Jufri merupakan putra dari KH. Abdul Djalil yang merupakan
menantu dari KH. M. Rozi yang juga kakek dari KH. M. Toha. Dari pernikahan
tersebut, KH. M. Toha dikaruniai 5 orang putra putri.
Selain
menjadi seorang Kiyai, KH. Muhammad Toha juga pernah berprofesi menajadi pegawai
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Susukan. Beliau adalah seorang ulama’ yang
wawasannya sangat luas dan paham dengan persoalan pemerintahan. Pada masa
kepemimpinan beliau inilah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang pada
mulanya hanya mempunyai bangunan untuk asrama putra, kemudian juga dibangun
untuk asrama putri. Pada mulanya santri putri masih bermukim di rumah KH. Toha,
baru kemudian tahun 1986 dibuatkan lah asrama tersendiri yang permanen.
Setelah
beliau wafat pada tahun 1982, estafet kepimpinanan pesantren diteruskan oleh
dua orang putranya, yaitu KH. Mubarok Toha dan KH. Anis Toha. KH. Mubarok Toha
merupakan alumnus Pondok Pesantren Al-Muayyad Solo dan UNU Jakarta. Beliau
pernah berprofesi menjadi guru, dan menjadi anggota DPRD Kabupaten Semarang
dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bersama dengan saudara-saudaranya, KH.
Mubarok Toha ikut membesarkan PPP di wilayah Kabupaten Semarang pada masa Orde
Baru. Akan tetapi setelah terjadi prahara nasional dengan diturunkannya KH.
Abdurrahman Wahid dari posisinya sebagai Presiden, keluarga pesantren ini
sepakat untuk uzlah (mengasingkan diri) dari dunia perpolitikan dan
kembali konsentrasi ke dunia dakwah dan pendidikan pesantren.
Dibantu
dengan saudara-saudaranya, yaitu KH. Anis Toha, K. Huda Toha, K. Rozi Toha dan
keponakannya K. Ulin Nuha, KH. Mubarok Toha berusaha untuk mengembangkan lagi
pesantrennya agar dapat menjawab tuntutan zaman. Pada masa beliau inilah Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pesantren
yang pada mulanya hanya mempunyai satu komplek, kemudian karena bertambahnya
para santri maka dibangun lagi komplek yang kedua dan ketiga. Komplek kedua
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin atau kemudian yang lebih dikenal dengan
istilah PPRT II masih berada satu dusun dengan komplek pertama atau yang
kemudian lebih dikenal dengan PPRT I atau PPRT induk. Jarak antara keduanya +
400 meter. PPRT II diasuh oleh KH. Anis Toha, yang merupakan putera kedua dari
KH. Toha. Sedangkan komplek yang ketiga atau yang kemudian dikenal dengan PPRT
III berada di dusun yang berbeda dengan PPRT I dan II. PPRT III berada di dusun
Gumuk yang masih berada dalam wilayah Desa Gentan, yang berjarak + 700
meter dari PPRT Induk. PPRT III diasuh oleh K. Munawari Al-Hafidz, salah satu
alumni dari PPRT Induk dan pernah menjadi santri yang langsung berguru kepada
KH. M. Toha.
Menurut
Kiyai Ulin Nuha (09 Mei 2015), pada mulanya Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin merupakan pesantren yang
mempunyai konsentrasi pada pendalaman kitab kuning. Untuk memenuhi tuntutan
zaman, maka kemudian didirikanlah lembaga pendidikan formal berupa Madrasah Ibtida’iyyah
(MI) yang berada dibawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama’. Setelah
itu juga didirikan Madrasah Diniyah Tingkat Wustho (MDW) dan Madrasah Diniyah
Tingkat Ulya (MDU) yang ijazahnya disetarakan dengan SMP untuk tingkat wustho
dan SMA untuk tingkat ulya. Madrasah tersebut saat ini dipimpin oleh K. Ulin
Nuha. Selain itu, beberapa tahun kemudian juga didirikan Madrasah Diniyah
Awaliyah, yang merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang siswanya adalah
santri atau masyarkat yang pada waktu paginya menimba ilmu di sekolah formal
luar pesantren.
Seperti
yang diungkapkan oleh K. Ulin Nuha, selain dibekali dengan pendidikan
keagamaan, santri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin juga diberikan
ketrampilan yang lain, seperti komputer, jahit menjahit, tata boga, perikanan,
dan yang lainnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan keahlian yang dapat
membantu para santri untuk terjun di masyarakat nantinya. Selain itu, pesantren
ini juga sering mengadakan pelatihan atau seminar dan kegiatan lainnya yang
bekerjasama dengan masyarakat, intansi pemerintah atau organisasi lainnya.
Setelah
ditinggal wafat oleh ketiga pengasuhnya, saat ini Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin diasuh oleh K. Rozi Toha dan K. Ulin Nuha sebagai pengasuh pesantren
induk, K. Zaid Zuhdi sebagai pengasuh PPRT II dan K. Munawari Al-Hafidz pada
PPRT III. Saat ini Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin mempunyai santri putra
putri + 250 orang yang terbagi di 3 komplek pondok pesantren. Adapun
susunan organisasi Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah sebagai berikut:
Pengasuh : K. M. Muh. Rozi Thoha
K. M.
Ulin Nuha
K.
Munawari Al-Hafidz
K. M.
Zaid Zuhdi
Dawan Pertimbangan : Agus M. Najmuddin Huda (Gus Uud)
Ustadz Abdurrohman
Ustadz M. Triyono Djablawy
Ketua : M. Ja’farin
Sekertaris :
M. Taufiq Maulana
Muqtafaiz
Bendahara :
M. Asyrofi
Seksi-Seksi :
Seksi Pendidikan : Mahfudz Fauzi
Muhammad
Aris
M. Nur
Saifullah Khuzain
Seksi Keamanan : Ahmad Pujiyanto
M. Agus Munir
Abdul Khamid
Seksi
Penerangan : M. Nur Huda
Ali
Ma’ruf (Jatim)
Seksi Kebersihan : Ahmad Sulthon
Ahmad
Sholihan
Muqtafaiz
Seksi Pengairan & Humas : Mahfudz Fauzi
Habil Alwi
Faroqith Raudloh
Seksi Koperasi :
Ali Ma’ruf
Seksi
Kesenian & Rebana : Lutfil Hakim
Alfatihah.. mugi sedoyo ingkang sampun kapundut kolowau digolongaken dados wali2nipun gusti Allah.
BalasHapusSalam ta'dhim kagem beliau2 poro masayikh PPRT kami dr cucu Simbah Kyai Abdus Sauman Babadan