Islam Liberal:
Diaspora Rekonstruksi Dan Perkembangan Paradigma Pemikiran Islam
Diaspora Rekonstruksi Dan Perkembangan Paradigma Pemikiran Islam
Foto diambil dari mozaik.inilah.com
A.
Pendahuluan
Selama roda zaman
masih berputar, pemikiran
manusia tidak akan pernah
berhenti, tak terkecuali
pemikiran keagamaan, khususnya
Islam. Pemikiran kegamaan Islam
akan terus berjalan
mengikuti alur perjalanan zaman. Dan ini merupakan sunnatullah
yang harus dijalani oleh manusia. Oleh karena itu
perkembangan pemikiran Islam
tidak dapat dihindarkan
meskipun sumber utama Islam adalah teks-teks dari Tuhan, karena
teks-teks tersebut tidak lebih dari deretan huruf dan onggokan ayat yang tidak
mempunyai arti tanpa dibaca dan diinterpretasikan manusia. Manusia sebagai
makhluk yang berperadaban, selalu
menuntut dan memunculkan
fenomena fenomena baru yang selalu membawa problem dan
membutuhkan pemecahan. Oleh karena itu pemikiran manusia,
termasuk pemikiran keagaman
Islam tidak akan
pernah berhenti dan tidak akan pernah sepi di manapun berada.
Sebenarnya perkembangan pemikiran
Islam di Indonesia
tidak bisa dilepaskan begitu
saja dari perkembangan
pemikiran keagamaan yang terjadi
di Amerika, Eropa,
maupun di Jazirah
Arab. Di benua
Amerika telah lama berkembang pemikiran
keagamaan yang mengarah
pada rekontekstualisasi doktrin agama,
pemikiran tentang perlunya
dialog antaragama, dialog intereligius
dan dialog praksis.
Sementara di Eropa
telah pula berkembang pemikiran keagamaan yang sangat "radikal"
yakni pemikiran tentang perlunya reaktualisasi
pemikiran keagamaan khususnya
di kalangan katolik dan
Protestan.
Lahirnya pemikiran Islam
Liberal di kalangan
pemikir dan intelektual Indonesia tidak dapat
terlepas dari pengaruh
dari para pemikir
Barat yang menggagas liberalisasi
Islam. Gerakan liberalisasi pemikiran
Islam yang akhir-akhir
ini semakin marak,
sebenarnya lebih berunsur
pengaruh eksternal daripada perkembangan
alami dari dalam
tradisi pemikiran Islam.
Pengaruh eksternal itu dengan
mudah dapat ditelusur
dari trend pemikiran
liberal di Barat dan dalam
tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang
bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada
era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya
Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam
buku ini ia
menjelaskan premis dan titik tolak
perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan.
Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan
ternyata tidak lebih daripada alat untuk
mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal. Binder menjelaskan:
“Liberal government is the product of a continuous process of rational
discourse…. Political Liberalism
in this sense,
is indivisible. It
will either prevail worldwide, or it will have to be defended
by nondiscursive action”.
Pengaruh para pemikir Barat ini sangat pesat merasuk terutama
melalui dua buku yang mengupas secara
khusus keterkaitan Islam dengan liberalisme. Buku tersebut
adalah Liberal Islam:
A Sourcbook, hasil
suntingan Charles Kurzman, dan
karya Leonard Binder
berjudul Islamic Liberalis:
A Critique of Development Ideologies. Fakta
ini didukung oleh
seorang lagi penulis
dan pendukung Islam Liberal, Greg Barton, dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Barton
menggariskan prinsip dasar
yang dipegang oleh
kelompok Islam liberal yaitu:
(a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad;
(b) Komitmen terhadap rasionalitas
dan pembaharuan (agama);
(c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme
agama-agama; (d) Pemisahan agama dari partai politik dan kedudukan negara yang
nonsektarian.[1]
B.
Diskursus Islam Liberal
Menurut Imam Musthofa dalam Sketsa Pemikiran Islam Liberal, Tidak
mudah untuk mendefinisikan apa itu „Islam liberal‟. Salah seorang
pemerhati Islam liberal sekelas Charles Kurzman saja
tidak mau masuk terlalu jauh pada pendefinisan Islam
liberal. Dalam bukunya “Wacana Islam
Liberal,” dia memulai pengantarnya dengan
membantah istilah “Islam
liberal”, yang merupakan judul
bukunya sendiri. Menurutnya ungkapan Islam Liberal (Liberal Islam) mungkin terdengar seperti kontradiksi dalam
peristilahan (a contradictionin terms).
Kurzman tidak menjelaskan
secara rinci apa
yang dimaksud dengan Islam Liberal. Untuk menghindari
definisi itu, ia mengutip sarjana hukum India, Ali Asghar
Fyzee yang menulis,
“kita tidak perlu
menghiraukan nomenklatur, tetapi
jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu “Islam
Liberal.”[2]
Pengertian “Islam Liberal“
yang dipakai Kurzman
(termasuk Barton) berbeda yang
dipakai Binder. Tema
liberalisme Islam yang
diangkat Binder merupakan tema
yang mengangkat dialog
terbuka antara dunia
Islam dengan dunia Barat, antara pemikiran Islam dan Pemikiran Barat. Dalam
konteks dialog tersebut, yang terjadi bukan hanya menarik akar-akar trend
“Liberalisme Islam”sampai ke dunia
Barat, melainkan sebagai
proses take and
give yang saling mengisi dan
menangani
persoalan-persoalan kemodernan, transformasi
sosial, dan tradisi lokal (dalam
konteks Binder, tradisi Arab). Maka
tokoh-tokoh yang diangkat adalah
Ali Abd Roziq,
Abdullah Laroi, Thariq
al-Bisyri, Muhammad Imarah, Muhammad
Arkoun, dan Sumir
Amin, yang berdialog
secara kritisdengan pemikir
liberalisme Barat, sosialisme,
mexisme dan dengan postmodernisme.
Sementara istilah “liberal” yang dipakai Kurzman dan Barton mengacu
kepada yang disebut
“konteks Islami” dari
pandangan-pandangan liberal di sebagian
kalangan intelektual Muslim.
Kurzman tidak melihat
Barat sebagai faktor yang
mempengaruhi kemunculan trend “liberal” dan tidak juga sebagai mitra dialog
yang mempunyai kontribusi dalam kemunculan trend tersebut. Sebagai tolok
ukur sebuah pemikiran
Islam disebut “liberal”,
Kurzman menyebut enam agenda
Islam Liberal. Yaitu
demokrasi sebagai lawan
dari paham teokrasi, hak-hak
perempuan, kebebasan berpikir,
hak-hak non-Muslim dan gagasan
kemajuan.
Terhadap enam tema
di atas, Kurzman
memperkenalkan tiga model pembacaan liberal
terhadap Islam (syari‟ah).
- Liberal Syari‟ah. Model ini beranggapan bahwa sebenarnya syari‟ah itu sendiri sejak awalnya sudah liberal jika ditafsirkan apa adanya. Liberalisme Islam merupakan “fitrah” Islam. Alasannya adalah Islam sejak dari awal sudah mempunyai solusi umum atas problem-problem kontemporer. Mengenai pluralisme agama-agama, kalangan liberal syari‟ah biasanya merujuk kepada pengalaman masyarakat Nabi Muhammad saw di Madinah yang terumus dalam “Piagam Madinah”. Salah satu prototype liberal syari‟ah ini adalah Nurcholish Majid (Cak Nur).
- Silent Syari‟Ah. Model pembacaan ini berasumsi bahwa Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer. Islam liberal dimungkinkan terjadi pada masalah-masalah tertentu yang tidak ada presedennya dalam Islam baik secara normatif maupun historis. Karena Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer, maka diperlukan kreatifitas, terutama yang menyangkut bidang muamalah.
- Interpreted Syariah. Model pembacaan ini berasumsi bahwa Islam membuka kemungkinan liberal pada masalah-masalah yang dimungkinkan munculnya penafsiran (interpretable). Mereka mengedepankan suatu epistimologi yang menekankan perlunya keragaman di dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Dari susut pandang Barat, mereka lebih dekat dengan sensibilitas liberalisme Barat. Mereka membela pemahaman tentang kebenaran yang memerlukan dialog. Dengan kata “dialog” berarti terus menerus mempelajari agama, bukan sebagai “kata benda”, melainkan sebagai “kata kerja”. Karena itu mereka mendukung sikap demokratis dalam beragama, karena demokrasi merupakan suatu penerimaan terhadap perbedaan pendapat di dalam menafsirkan agama.[3]
Pada dasarnya, latar
belakang pemikiran liberal
Islam mempunyai akar yang
jauh sampai di
masa keemasan Islam
(the golden age
of Islam). Teologi rasional Islam
yang dikembangkan oleh
Mu'tazilah dan para
filsuf, seperti alKindi,
al-Farabi, Ibn Sina,
Ibn Rusyd dan
sebagainya, selalu dianggap
telah mampu menjadi perintis
perkembangan kebudayaan modern
dewasa ini. Charless Kurzman
menyebutkan bahwa Islam
liberal muncul sekitar abad ke-18 di kala kerajaan Turki
Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughaltengah berada di gerbang keruntuhan.
Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan
permurnian, kembali kepada
Al-Quran dan sunnah. Bersamaan dengan
ini muncullah cikal
bakal paham liberal
awal melalui Syah Waliyullah di
India, 1703-1762, menurutnya
Islam harus mengikuti
adat lokal suatu tempat
sesuai dengan kebutuhan
pcnduduknya. Hal ini
juga terjadi dikalangan Syi'ah.
Ada Muhammad Bihbihani
di Iran, 1790,
mulai berani mendobrak pintu
ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
Ide ini terus
bergulir. Rifa'ah Rafi'
al-Tahtawi di Mesir,
1801-1873 memasukkan
unsur-unsur Eropa dalam
pendidikan Islam. Sebelum
dikirim ke Sorbonne, Perancis
oleh Muhammad Ali,
yang saat itu
menjadi kepala negara Mesir,
Tahtawi adalah seorang
tradisionalis. Dia adalah
salah seorang anggota delegasi pertama
dari negara Muslim
yang dikirim ke
Barat. Dari sini
bisa dikatakan bahwa tradisi
pengiriman Muslim ke
Barat adalah mengikuti
tradisi tahtawi. Hampir semasa dengan Tahtawi, di Rusia muncul
Shihabuddin Marjani (1818-1889) dan Ahmad
Makhdun di Bukhara,
1827-1897, memasukkan mata pelajaran sekuler ke dalam kurikulum
pendidikan Islam.
Di India ada Sir Sayyid
Ahmad Khan (1817-1918) yang membujuk kaum Muslimin agar mengambil kebijakan
bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada tahun 1877
ia membuka suatu
kolese yang kemudian
menjadi Universitas Aligarh
(1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of Islamberusaha mewujudkan
seluruh nilai liberal
yang dipuja di
Inggris pada masa Ratu
Victoria. Amir Ali
memandang bahwa Nabi
Muhammad adalah Pelopor Agung Rasionalisme.
Di Mesir muncullah
M. Abduh (1849-1905)
yang banyak mengadopsi pemikiran mu'tazilah berusaha
menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf.
Abduh adalah murid
al-Afghani yang paling
menonjol, tapi pengaruhnya melebihi
gurunya karena latar
belakang keagamaannya. Muhammad
Abduh dan Al-AFghani merupakan
tokoh pembaruan Islam yang beraliran liberal awal. Setelah revolusi
Arab oleh murid-murid al-Afghani yang dipimpin oleh Ahmad Arabi, saat itu Abduh
jadi Syeikh al-Azhar, maka Abduh diasingkan
ke Beirut. Hasil
revolusi Arab adalah
Mesir dikendalikan oleh Inggris.[4]
C.
Islam Liberal Dalam Wacana Cendikiawan Indonesia
Dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, liberalisasi Islam
sudah ditanamkan sejak zaman
penjajahan Belanda. Tetapi,
secara sistematis, dari dalam tubuh
organisasi Islam, Liberalisasi Islam di Indonesia, bisa dikatakan
dimulai pada awa
tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan
Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish
Madjid, secara resmi
menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam.
Dalam makalahnya yang
berjudul “Keharusan Pembaruan
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholish Madjid
menyatakan: “pembaruan harus dimulai
dengan dua tindakan
yang saling erat hubungannya,
yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari
nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.
Nostalgia, atau orientasi
dan kerinduan pada masa
lampau yang berlebihan,
harus diganti dengan pandangan ke
masa depan. Untuk itu diperlukan suatu
proses liberalisasi.”.[5]
Dalam definisi yang sering digunakan oleh Cendikiawan Muslim
Indonesia, Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam
yang salah satu landasannya adalah Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi
Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas
teksteks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa
bertahan dalam segala cuaca. Ijtihad yang mereka tekankan tidak lain dan tidak
bukan merupakan upaya untuk memperbarui fiqih.
Fiqih yang selama ini dipakai oleh umat Islam dianggap sebagai
faktor kemunduran dan keterbelakangan umat Islam saat ini. Salah satu kritik
yang kerap dilontarkan adalah fiqih bersikap diskriminatif terhadap nonmuslim.
Banyak konsep fiqih yang menempatkan penganut agama lain lebih rendah daripada
umat Islam, sehingga berimplikasi meng-excludeatau mendiskriditkan mereka.
Selain itu fiqih Islam selalu memposisikan wanita sebagai subordinate terhadap
laki-laki. Oleh sebab karekternya ini maka fiqih Islam mendesak untuk
direformasi atau rekonstruksi. Untuk merekonstruksi fiqih Islam ini harus
dimulai dari kerangka metodologi yang digunakan untuk menghasilkan fiqih ini,
yaitu ushul fiqih. Kalangan Islam liberal, khusunya JIL berusaha untuk
menghasilkan fiqih baru, dan untuk mengghasilkan fiqih baru mereka menggunakan
metode ijtihad hasil kreasi mereka.[6]
Ulil Abshar Abdalla, Kordinator Jaringan Islam Liberal berusaha merekonstruksi
format hirarkhis epistimologi Islam dalam Ushul Fiqih. Secara eksplisit ia
menggugat format hirarkhi dalam ushul fiqih yaitu Al-Quran, Sunnah, ijma’ dan
qiyas. Kemudian ia menawarkan format baru dengan urutan yang berbeda dari
format Syafi’i yang selama ini dipakai oleh para ulama. Ulil mendudukkan akal
pada posisi pertama, disusul dengan Al-Quran, Sunnah, kemudian Ijma’.
Tokoh JIL lain yang menyerukan pembaruan Ushul fiqih adalah Abdul Moqsith
Ghazali (kontributor JIL) mengatakan “Mestinya, metodologi Islam klasik
diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya.
Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan
bahkan kerapuhan metodologi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang
sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir
ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan”. Dengan
alasan di atas maka Moqsith mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’,
yaitu:
- Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);
- Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat);
- Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama‘ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik).[7]
Menurut Media Zainul bahri, ada 4 macam faktor yang paling signifikan yang
memunculkan gerakan JIL secara agresif. Pertama, konteks global. Kemunculan Islam liberal
Indonesia tak bisa
dilepaskan dari perkembangan global
ketika banyak negara di
planet bumi ini mengalami
perubahan besar dan
mendasar, terutama tuntutan demokratisasi
dalam kehidupan sosial, politik
dan keagamaan. Agama,
di alam demokrasi, harus
diredefinisikan untuk sesuai dengan
tuntutan kehidupan progresif. Dalam pengertian
inilah, para pemikir Muslim Indonesia, termasuk
tokoh-tokoh JIL, mengidolakan para
sarjana Barat dan Timur ahli Islam yang dianggap progresif dan liberal
seperti Abdullah Ahmad
an-Naim, Farid Esack, Hasan
Hanafi, Arkoun, Abid al-Jabiri, Hamid
Abu Zayd, Abdul
Karim Soroush, Muhammad Syahrur,
dan lain-lain. Pemikiran
keislaman mereka dianggap cocok dengan
perubahan dunia yang
sedang terjadi saat itu.
Kedua, era
reformasi, dengan tumbang rezim
Orde Baru (1998),
membuka kran kebebasan berekspresi
dan berpendapat. Dalam kehidupan
keagamaan, banyak muncul paham
Islam garis keras
yang diimpor dari Timur
Tengah, suatu model
Islam yang sebenarnya tidak
cocok dengan Indonesia. Pada momen
ini skripturalisme dan fundamentalisme Islam
menguat. Kemunculan JIL tidak
semata karena eforia reformasi, melainkan
juga usaha untuk melawan
fundamentalisme dan formalisme Islam itu. Karena itu, relevan
ungkapan Luthfi bahwa salah satu
misi Islam liberal
adalah mengembalikan
semangat kebangkitan
pemikiran Islam yang
sejak satu abad
silam telah dibajak oleh
konservatisme dan fundamentalisme agama.
Benar, di dunia Islam
telah satu abad,
tapi di Indonesia
baru beberapa tahun saja
fundamentalisme Islam menguat.
Secara politik, rezim
otoriter Orde Baru (Orba)
yang berkuasa 32
tahun telah mengontrol kegiatan
sosial-politik umat Islam di pusat supaya
tetap terjaga kemurniannya. Karena
itu, menurut Daniel S.
Lev, perubahan secara
signifikan lebih mudah dilakukan
di „pinggiran‟ daripada
di pusat. Masa reformasi
adalah masa ketika sejarah terbuka untuk perubahan besar
karena negara sedang lemah,
suasana sosial, politik dan
intelektual sangat labil,
dan masyarakat mengharapkan perubahan. Angin segar perubahan bagi
Muslim Indonesia dengan perspektif „Islam
liberal,‟ „Islam progresif, Islam kultural
atau Islam rasional sesungguhnya telah
lama dihembuskan oleh tokoh-tokoh sarjana Muslim seperti Cak Nur, Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), dan
Harun Nasution. Bahkan mereka, terutama
Cak Nur dan Gus Dur,
berani menjadi oposisi pemerintah Orba.
Di masa reformasi,
JIL sebagai bayi yang
baru lahir bersama
para raksasa tokoh Islam
di atas memiliki keleluasaan untuk
menyebarkan pandangan keislaman
liberal.
Ketiga, Sejak
tahun 1990an diskursus
Islam intelektual telah menyebar
luas di banyak IAIN
(beberapa sekarang berubah
menjadi (UIN) di Indonesia.
Hal ini terjadi
karena banyak dosen IAIN
yang telah pulang
dari sekolah di Barat. Selain
membawa gelar master dan
doktor, mereka juga
membawa isu-isu baru
seperti Islam dan
pluralisme, Islam dan demokrasi,
Islam dan hak
asasi manusia, Islam dan konsep nation-state, Islam dan
dialog antar-agama dan
lain-lain. Penting dicatat bahwa
dengan sumber daya manusia
unggul, IAIN dan
UIN di kota-kota besar di
Indonesia memainkan peran
yang sangat signifikan dalam
mengembangkan kajian
teoritis studi-studi keislaman
(Islamic studies) di satu
sisi, dan menyebarkan gagasan Islam
moderat, bahkan Islam
liberal di sisi lain.
Tokoh-tokoh UIN, terutama
di Jakarta dan Yogyakarta,
setelah Harun Nasution dan
Mukti Ali, seperti
Azyumardi Azra dan Abdul
Munir Mulkhan dengan
isu Islam kultural Indonesia,
Komaruddin Hidayat dan Amin Abdullah dengan diskursus Hermeneutik, Din
Syamsuddin dan Bahtiar Effendi dengan
politik Islam Indonesia,
dan Nasaruddin Umar dengan
isu Islam dan kesetaraan gender, adalah para
penopang yang kuat bagi eksistensi dan masa keemasan JIL
pada periode 2000an.
Mereka dimanfaatkan‟ JIL untuk
menjadi para kontributor utama
dalam acara-acara yang digelar JIL.
Keempat, Islam
kultural yang toleran selama ini
dikampanyekan oleh NU, Muhammadiyah dan
Paramadina, bagi JIL adalah
bagian dari kehidupan keseharian dan keislamannya. Para tokoh dan simpatisan
JIL hampir seluruhnya adalah
anak-anak muda yang dibesarkan
di lingkungan NU dan
Muhammadiyah. Mereka tidak semata merasa berkewajiban menjaga
Islam kultural tetapi juga ingin mengembangkannya
menjadi Islam aintelektual dengan
spektrum lebih luas. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa
tiga figur senior, yaitu
Harun Nasution dengan Islam
rasional, Cak Nurdengan
Islam peradaban dan kemodernan,
dan Gus Dur dengan
pribumisasi Islam, dijadikan
ikonikon yang banyak
diapresiasi oleh tokoh-tokoh JIL.[8]
Kehadiran sekelompok anak
muda yang tergabung
dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) menyebarkan gagasan pemikiran liberal
telah mengundang respon beragam dari berbagai kalangan cendekiawan dan intelektual
Muslim di Indonesia.
Melalui semangat revivalisme yang diusungnya
lewat serangkaian gagasan
dan ide pembaharuan, seperti revitalisasi
ijtihad, pluralisme dan
relativisme (agama), kebebasan
beragama, kebebasan berekspresi
hingga sekularisasi telah membuat
kebanyakan Muslim di
Indonesia mengalami kegerahan dan
telah menimbulkan dampak
yang amat luas,
khususnya dalam menyikapi pelbagai
persoalan keagamaan yang
selama ini diyakini sebagai permanent thesis
(qath’iyyat), namun dilabrak dengan begitu mudah dan
leluasanya lewat berbagai
penafsiran baru yang
sangat berlawanan dan kontradiktif.
Pada satu sisi, kehadiran kelompok JIL ini seolah hendak
melanjutkan lokomotif pembaharuan yang dulunya dihela oleh Nurcholis Madjid
(Cak Nur) pada tahun 70-an bersama Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Ahmad Wahib,
Djohan Effendi, Dawam Rahardjo dan lainnya yang
tergabung dalam kelompok Limited Group bentukan mantan Menteri Agama RI, Mukti Ali. Namun di
sisi lain, berbagai gagasan yang diwacanakan JIL melalui publikasinya, lebih
menampakkan bahwa JIL lebih dirasa liberal ketimbang pendahulunya, Cak Nur dkk.
Terma Islam liberal
sendiri menurut para
pengusungnya menunjukkan kepada
sebuah tren di
kalangan Muslim tertentu
yang berpandangan bahwa pemahaman
“teks” ajaran Islam
haruslah dilengkapi dan
diiringi dengan “konteks”
yang melingkupinya saat diinterpretasikan, sebab sebuah “teks”
tidak sepenuhnya mampu menjelaskan makna dan maksud dari wahyu. Sebagaimana
istilah Islam liberal juga diamini para pendukungnya sebagai sebuah
intrepretasi ajaran Islam yang
punya perhatian lebih
terhadap berbagai persoalan
modern, seperti demokrasi,
kebebasan berfikir serta
promosi Hak Asasi Manusia (HAM). Kesemua interpretasi Islam yang selaras
dengan zaman itu hanya bisa dituntaskan dengan membuka kembali selebar-lebarnya
pintu ijtihad dengan menawarkan penafsiran Islam baru yang lebih senafas dengan
zaman.
Tak sebatas menyuarakan perlunya dibuka kembali pintu ijtihad,
JIL juga
aktif menyuarakan pluralisme
dan relativisme (agama), membela kelompok minoritas semisal
Jamaah Ahmadiyah, kebebasan beragama hingga sekularisasi yang memisahkan ranah
agama dengan politik. Sungguhpun demikian, kehadiran JIL dengan segala gagasan
liberal yang banyak
berlawanan dengan pemahaman
mainstreamkaum Muslimin ini, tidak sepi dari kritik dan tanggapan.
Segala respon, kritik dan tanggapan
atas kehadiran JIL
ini mencapai puncaknya manakala koordinator JIL, Ulil
Absar Abdalla menulis sebuah artikel yang
bertajuk “Menyegarkan Kembali
Pemahaman Islam” yang dimuat
pada Harian Kompas,
18 November 2002
hingga berbuntut panjang pada
fatwa hukuman mati
bagi Ulil yang
dikeluarkan oleh Forum Ulama Umat
Islam (FUUI) atas ide liberal yang diangkat Ulil dalam tulisannya tersebut.[9]
D.
Penutupnya mana ?
Mari kita susun bersama-sama............
[1] Imam
Musthofa. Sketsa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia. (Online). Jurnal STAIN
Jurai Siwo Metro. Hlm: 2-3
[2]Ibid.
Hlm: 4.
[3] Ibid.Hlm:
5-6.
[4] Ibid.
Hlm: 7-8.
[5] Adian
Husaini. Liberalisasi Islam di Indonesia. (Makalah Online).
[6] Imam
Musthofa. Ijtihad Jaringan Islam Liberal: Sebuah Upaya Merekonstruksi Ushul
Fiqih. Hlm: 1.
[7] Ibid.
Hlm: 5.
[8] Media
Zainul Basri. Ruh Hidup dalam Jasad Kaku: Mengenang Peran Intelektual Jaringan
Islam Liberal (JIL) dalam Diskursus Islam Indonesia. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.
[9] Hamdiah
A. Latif. Mengkritisi Jaringan Islam Liberal (JIL): Antara Spirit Revivalisme,
Liberalisme dan Bahaya Sekularisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.