Implementasi Dana Desa Dalam Otonomi Daerah Untuk Kemajuan Bangsa - Sang Pemburu Badai

Sabtu, 30 Mei 2015

Implementasi Dana Desa Dalam Otonomi Daerah Untuk Kemajuan Bangsa

Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri (Julius Hisna)




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur desentralisasi di Negara Republik Indonesia, dimana UU ini telah member kewenangan kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskreksi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan keleluasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan yang kuat. Otonomi daerah seyogyanya dilakukan oleh pemerintah daerah ditingkat provinsi/kabupaten dan kota. Akan tetapi esensi dari pembangunan daerah itu dimulai dari pemerintahan yang paling bawah yaitu pemerintah desa. Akan tetapi dalam pelaksanaan pembangunan desa sangatlah tergantung dengan pendapatan asli desa dan swadaya, oleh karena itu jika pembangunan desa hanya mengandalakan dari sumber dana yang ada maka sulit rasanya realisasi untuk pembangunan desa.
Setelah berjalan beberapa tahun maka terbentuklah UU No 6 tahun 2014 yang mengatur tentang desa, dimana dalam UU tersebut desa mendapatkan kucuran dana maksimal sebesar 1 M untuk kemandirian desa. Dana yang diberikan oleh pemerintah ke desa sangatlah berfariasi, dimana pemberian dana tersebut melihat dari luas wilayah desa dan banyaknya jumlah penduduk, adapun fariasi dana yang diberikan pemerintah sebesar 1-1,4 M. Pemberian dana sebesar 1 M ini disambut sangat antusias oleh pemerintah baik desa maupun pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan PP No 60 tahun 2014 tentang dana desa, maka disebutkan bahwa dana desa yang akan dikucurkan langsung kepada pemerintah desa bersumber dari APBN.  
Dengan disahkannya UU yang mengatur tentang pemberian dana 1 M ke desa secara langsung maka timbullah pro dan kontra dikalangan masyarakat, dimana banyak sekali yang tidak setuju akan adanya pemberian dana sebesar 1 M secara langsung kepada kepala desa hal ini disebabkan pola pengawasan yang masih sangat lemah, bias saja dana sebesar itu disalah gunakan oleh kepala desa untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan yang lain hal semacam inilah yang ditakutkan oleh kalangan masyarakat. Ada juga yang setuju dengan pemberian langsung dana sebesar 1 M, pemberian dana ini guna percepatan pembangunan daerah yang seyogyanya pembangunan daerah diawali dari kemandirian desa. Jika pembangunan dan kemandirian desa sudah terlakansa maka secara otomatis kemajuan suatu daerah akan terlihat, hal ini juga untuk menjawab UU tentang desentralisasi, dimana daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan pembangunan daerahnya sendiri.
.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas setidaknya ada 3 hal yang dapat dijadikan sebagai rumusan masalah, yaitu:
1.             Bagaimanakah hubungan antara Desa dan otonomi daerah ?
2.             Bagaimanakah pengaturan keuangan daerah dan alokasi dana Desa ?
3.             Bagaimanakah pendapat para pihak terhadap adanya alokasi dana Desa ?  dan Bagaiamanakah mengimplementasikan dana Desa untuk kemandirian daerah?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Desa dan Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dan dalam UU No.32 Tahun 2004 prinsip pelaksanaan otonomi daerah adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam undang-undang. Sebagaimana diketahui bahwa pemunculan “ Pemerintah Daerah” di Indonesia tidak terjadi begitu saja. Indonesia dengan nama awal “ Negara Kesatuan Republik Indonesia” sangat identik dengan sentralistik, kekuasaan terpusat. Pergeseran sentralistik kearah desentralisasi, konsekuensinya ditandai dengan pelaksanaan local government, yang memiliki tiga esensi, yaitu :
1.             Pemerintah daerah sebagai organ yang melaksanakan urusan dan fungsi yang desentralisasi;
2.             Sebagai pemerintahan daerah yang mengacu pada fungsi yang dijalankan dalam kerangka desentraliasi;
3.             Sebagai daerah otonom lokasi dimana lokalitas berada dan membentuk kesatuan hukum sendiri yang meskipun tidak berdaulat tetapi memiliki hak untuk mengurus dirinya-sendiri (Muluk 2006:63).
Otonomi daerah sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah sejak wacana itu ada memperoleh sambutan positif dari semua pihak, dengan segenap harapan bahwa melaui otonomi daerah akan dapat merangsang terhadap adanya upaya untuk menghilangkan praktek-praktek sentralistik yang pada satu sisi dianggap kurang menguntungkan bagi daerah dan penduduk lokal. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Proses desentralisasi yang telah berlangsung telah memberikan penyadaran tentang pentingnya kemandirian daerah yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal. Meskipun pada saat ini kebijakan yang ada masih menitik-beratkan otonomi pada tingkat Kabupaten/Kota, namun secara esensi sebenarnya kemandirian tersebut harus dimulai dari level pemerintahan ditingkat paling bawah, yaitu desa. Pemerintah desa diyakini lebih mampu melihat prioritas kebutuhan masyarakat dibandingkan Pemerintah Kabupaten yang secara nyata memiliki ruang lingkup permasalahan lebih luas dan rumit. Untuk itu, pembangunan pedesaan yang dilaksanakan harus sesuai dengan masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki, aspirasi masyarakat dan prioritads pembangunan pedesaan yang telah ditetapkan. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan daerahnya. Salah satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap pengembangan wilayah pedesaaan adalah adanya anggaran pembangunan secara khusus yang dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pembangunan wilayah pedesaan, yakni dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD). Inilah yang kemudian melahirkan suatu proses baru tentang desentralisasi desa diawali dengan digulirkannya Alokasi Dana Desa (ADD) (Rosalinda, 2014:4).
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dinamakan dengan Desa adalah “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan”.
Dengan demikian, desa harus dipahami sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak dan kekuasaan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Artinya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi tetap memberikan dasar menuju self governing community, yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Berdasarkan pemahaman ini, desa memiliki posisi strategis yang memerlukan perhatian seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah.
Apabila dipahami lebih seksama, desa merupakan tempat bertemunya arus kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, desa merupakan tempat terwujudnya kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Dalam arti ini, desa mempunyai posisi strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat (Maryunani, 2004:1).
Dianutnya konsep desentralisasi, khususnya otonomi dengan segala variannya telah membawa bangsa dan Negara RI dalam suasana yang memungkinkan daerah untuk menganut dan mengurus kepentingan daerahnya sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat namun masih dalam kerangka NKRI. Konsep desentralisasi dalam hal ini adalah otonomi dalam tataran teori mapun prakteknya tidak serta merta dapat dipisahkan dari persoalan yang berhubungan dengan keuangan atau finansial.  Otonomi yang dalam persepektif UU No. 33 Tahun 2004, diklasifikasikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat, mengandung makna bahwa hak, wewenang serta kewajiban tersebut untuk “membiayai”atau bagir manan menggunakan istilah “membelanjai” diri sendiri (Fauzan, 2006: 287).

B.     Keuangan Daerah dan Alokasi Dana Desa
Dalam rangka membiayai penyelenggaraan aktivitas pemerintahannya, daerah harus mempunyai sumber- sumber pendapatan sendiri, baik karena adanya penyerahan urusan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah seperti pajak dan retribusi daerah maupun sumber-sumber pendapatan yang secara turun temurun memang telah dikelola dan di urus oleh daerah. Kewenangan untuk mendapatkan sumber- sumber penerimaan melalui mekanisme “pemungutan” bukan sekedar untuk mendapatkan dana sebagai upaya membiayai tetapi lebih dari itu merupakan pertanda yang mencerminkan adanya kebebasan dan kemandirian menentukan cara-cara dalam rangka mengatur dan mengurus semua urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan (Fauzan, 2006: 287).
Dalam pelaksanaan otonomi daerah pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk memberikan sumber dana kepada desa, supaya pembangunan desa lebih cepat terealisasi serta berguna bagi kemandirian daerah. Dimana memang esensi kemandirian sebuah daerah adalah dari pembangunan sebuah desa, jika pembangunan desa berjalan dengan baik dan cepat maka tidak menutup kemungkinan kemandirian daerah kabupaten/kota bias terealisasi dengan baik. Selain itu PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa sangat jelas mengatur tentang pemerintahan desa, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh pemerintah kabupaten untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya. Guna mewujudkan otonomi daerah dan pembangunan daerah yang dimulai dari desa maka pemerintah desa mempunyai sumber-sumber pembiayaan untuk memajukan sebuah desa.
Pemerintah daerah juga harus mempunyai kemampuan untuk menentukan secara objektif kebutuhan akan keuangan (fiscal need) yang di perlukan untuk membiayai penyelenggaraan dan menyediakan pelayanan yang di perlukan masyarakat daerah. Artinya pemerintah daerah harus dapat melakukan perhitungan-perhitungan yang matang dan rasional mengenai rencana kegiatan-kegiatan yang akan di laksanakn sehubungan dengaan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah, berdasarkan rencana kegiatan tersebut,pemerintah daerah harus dapat menentukan secara tepat dan objektif rencana pembiayaan masing-masing kegiatan, sehingga akan di ketahui kebutuhan keuangan (fiscal need) yang di perlukan dalam satu tahun (Fauzan, 2006: 294).
Pemerintah pusat harus dapat memberikan subsidi yang adil dan terukur kepada masing-masng daerah untuk membiayai kekurangan dana (fiscal gap) yang merupakan selisih antara fiscal need dengan fiscal capacity, artinya pemerintah pusat harus secara cermat melihat kondisi objektif dari suatu daerah sehingga dalam menentukan besarnya subsidi harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang dapat diterima oleh daerah penerima subsidi.
Beberapa kelemahan dalam program yang pernah ada sebelumnya dapat di jumpai dalam mekanisme pemberian bantuan dana dari  pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berupa DAU, antara lain sebagai berikut:
1.             Ketidak adilan dalam pembagian DAU;
2.             Kurang transparannya emerintah pusat dalam membagi DAU ke daerah, padahal jika di lihat dari rumus DAU dalam UU No 25 Tahun 1999 tersebut di perkirakan semua daerah memiliki kepastian jumlah yang di terima. Namun dalam implementasinya rumusan-rumusan tersebut tidaklah pasti dan masih terbukanya lobi-lobi daerah dalam upaya memperbesar DAU;
3.              Masih adanya perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tentang penggunaan DAU. Bagi pemerintah pusat perhitungan pendapatan daerah untuk DAU berdasarkan selisih antara kebutuhan daerah dan potensi daerah, dengan memasukkan variable jumlah penduduk, luas wilayah, penduduk miskin dsb. Sedangkan daerah dalam kenyataannya, justru mengukur DAU dari APBD  yang antara lain merupakan komponen gaji, non-gaji , dan pembangunan sehingga yang terjadi adalah tidak adanya keterkaitan dalam penggunaan DAU antara pusat dan daerah;
4.             Masih kurang transparannya pemerintah pusat dalam membagi hasil DAU (Fauzan, 2006:297)
Setelah berjalan beberapa tahun maka terbentuklah UU No 6 tahun 2014 yang mengatur tentang desa, dimana dalam UU tersebut desa mendapatkan kucuran dana maksimal sebesar 1 M untuk kemandirian desa. Dana yang diberikan oleh pemerintah ke desa sangatlah berfariasi, dimana pemberian dana tersebut melihat dari luas wilayah desa dan banyaknya jumlah penduduk, adapun fariasi dana yang diberikan pemerintah sebesar 1-1,4 M. Pemberian dana sebesar 1 M ini disambut sangat antusias oleh pemerintah baik desa maupun pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan PP No 60 tahun 2014 tentang dana desa, maka disebutkan bahwa dana desa yang akan dikucurkan langsung kepada pemerintah desa bersumber dari APBN (Atmojo, 2014:1).  

C.    Implementasi Dana Desa Untuk Kemajuan Bangsa
Dengan disahkannya UU yang mengatur tentang pemberian dana 1 M ke desa secara langsung maka timbullah pro dan kontra dikalangan masyarakat, dimana banyak sekali yang tidak setuju akan adanya pemberian dana sebesar 1 M secara langsung kepada kepala desa hal ini disebabkan pola pengawasan yang masih sangat lemah, bisa saja dana sebesar itu disalah gunakan oleh kepala desa untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan yang lain hal semacam inilah yang ditakutkan oleh kalangan masyarakat. Ada juga yang setuju dengan pemberian langsung dana sebesar 1 M, pemberian dana ini guna percepatan pembangunan daerah yang seyogyanya pembangunan daerah diawali dari kemandirian desa. Jika pembangunan dan kemandirian desa sudah terlakansa maka secara otomatis kemajuan suatu daerah akan terlihat, hal ini juga untuk menjawab UU tentang desentralisasi, dimana daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan pembangunan daerahnya sendiri..
Melihat Pro dan Kontra yang ada, saya melihat bahwa sebenarnya  UU Desa membawa harapan dan peluang besar. Cita-cita pemerataan pembangunan sebagai capaian mimpi dari kemerdekaan bisa terwujud. Ragam tantangan yang disinggung sebelumnya bisa dikonversi menjadi peluang. UU ini memberikan peluang bagi daerah untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa. Desa benar-benar menjadi subjek, tak lagi sekedar objek. Karena selama ini, desa hanya selalu menjadi obyek pembangunan dan eksploitasi dari sistem pembangunan nasional. Padahal, segenap sumber daya agraria dan termasuk sumber daya manusia di pedesaan. Desa menjadi sumber pangan nasional tetapi tidak mendapatkan prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional. UU ini secara progresif berupaya menurunkan semangat desentralisasi sampai ke tingkat desa, tak hanya di daerah. Dengan bahasa lain, UU Desa merupakan langkah maju dalam pembangunan pedesaan dan sebuah capaian riil dari desentralisasi di level grass root.
Undang-Undang Desa ini juga diharapkan bisa memajukan adat istiadat dan budaya masyarakat desa, membangun sistem pemerintahan lebih efektif dalam kerangka pelayanan masyarakat, memajukan perekonomian masyarakat desa serta memupus kesenjangan pembagunan nasional. Untuk mengoptimalkan peluang tersebut, maka strategi yang perlu diperjuangkan adalah mendidik rakyat desa, supaya memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan dirinya (self help) dan memobilisasi semua sumber daya yang ada di desa. Penguatan kapasitas masyarakat desa dengan cara mendorong mereka untuk terlibat langsung dalam mengontrol dan mengawasi pemerintah desa, menjadi kata kunci untuk mencapai masyarakat desa yang makmur, adil dan demokratis. Tanpa itu, masyarakat desa tetap terbelit dalam persoalan jeratan kemiskinan.
Untuk menciptakan semua itu, ada beberapa hal yang menurut saya harus bisa dilaksanakan agar dapat tercipta pengelolaan dana desa yang akuntabel, transparan dan sesuai dengan yang diamanahkan dalam Undang-undang. Dengan mempertimbangkan  kelemahan dan kelebihan dari sistem desentralisasi dan pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah pada masa sekarang serta kekurangan SDM dari penyelenggara pemerintahan desa sendiri, maka tata penyelenggaraan UU Desa nantinya harus dapat menjamin:
1.             Pendistribusian kewenangan yang adil dan rasional antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal memungut dan menggunakan sumber-sumber pendapatan pemerintah;
2.             Pembagiaan yang adil dan memadai di antara pemerintah daerah yang satu dengan yang lainnya atas sumber-sumber pendapatan dalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan, pelayanan umum dan pembangunan.
3.             Kemandirian daerah dalam menentukan cara mengatur dan mengurus  kepentingan masyarakat dan daerah yang bersangkutan;
4.             Keterlibatan segenap komponen masyarakat daerah  dalam menentukan besarnya distribusi dana pertimbangan maupun dana bagi hasil, serta dalam menentukan kriteria atau variabel yang akan di pergunakan sebagai rumus penentuan besarnya dana bantuan dari pemerintah pusat, hal tersebut merupakan pencerminan pelaksanaan daerah yang merupakan konsekuensi negara kesatuan yang didesentralisasikan;
5.             Dana Desa diarahkan untuk pemberian insentif kepada pemerintah daerah untuk turut mengsukseskan program-program nasional yang bersifat prioritas.
6.             Adanya audit dan pengawasan yang berkesinambungan untuk mencegah penyelewengan dari penggunaan dana desa serta menjamin penggunaannya sesuai dengan yang telah diagendakan.







BAB III
PENUTUP

Dari pemaparan diatas setidaknnya bisa disimpulkan beberapa hal yang juga menjadi rekomendasi:
1.             UU Desa membawa harapan dan peluang besar. Cita-cita pemerataan pembangunan sebagai capaian mimpi dari kemerdekaan bisa terwujud. Ragam tantangan yang disinggung sebelumnya bisa dikonversi menjadi peluang. UU ini memberikan peluang bagi daerah untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa. UU ini secara progresif berupaya menurunkan semangat desentralisasi sampai ke tingkat desa, tak hanya di daerah. Undang-Undang Desa ini juga diharapkan bisa memajukan adat istiadat dan budaya masyarakat desa, membangun sistem pemerintahan lebih efektif dalam kerangka pelayanan masyarakat, memajukan perekonomian masyarakat desa serta memupus kesenjangan pembagunan nasional. Untuk mengoptimalkan peluang tersebut, maka strategi yang perlu diperjuangkan adalah mendidik rakyat desa, supaya memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan dirinya (self help) dan memobilisasi semua sumber daya yang ada di desa.
2.             Untuk menciptakan semua itu, ada beberapa hal yang menurut saya harus bisa dilaksanakan agar dapat tercipta pengelolaan dana desa yang akuntabel, transparan dan sesuai dengan yang diamanahkan dalam Undang-undang. Dengan mempertimbangkan  kelemahan dan kelebihan dari sistem desentralisasi dan pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah pada saat sekarang serta kekurangan SDM dari penyelenggara pemerintahan desa sendiri, maka tata penyelenggaraan UU Desa nantinya harus dapat menjamin:
a.       Pendistribusian kewenangan yang adil dan rasional antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal memungut dan menggunakan sumber-sumber pendapatan pemerintah;
b.      Pembagiaan yang adil dan memadai di antara pemerintah daerah yang satu dengan yang lainnya atas sumber-sumber pendapatan dalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan, pelayanan umum dan pembangunan.
c.       Kemandirian daerah dalam menentukan cara mengatur dan mengurus  kepentingan masyarakat dan daerah yang bersangkutan;
d.      Keterlibatan segenap komponen masyarakat daerah  dalam menentukan besarnya distribusi dana pertimbangan maupun dana bagi hasil, serta dalam menentukan kriteria atau variabel yang akan di pergunakan sebagai rumus penentuan besarnya dana bantuan dari pemerintah pusat, hal tersebut merupakan pencerminan pelaksanaan daerah yang merupakan konsekuensi negara kesatuan yang didesentralisasikan;
e.       Dana Desa diarahkan untuk pemberian insentif kepada pemerintah daerah untuk turut mensukseskan program-program nasional yang bersifat prioritas.
f.       Adanya audit dan pengawasan yang berkesinambungan untuk mencegah penyelewengan dari penggunaan dana desa serta menjamin penggunaanny sesuai dengan yang telah diagendakan.


Daftar Pustaka

Fauzan, Muhammad. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah; Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah. Yogyakarta: UII Press.
Maryunani. 2004. Alokasi Dana Desa [ADD] Sebagai Alat Penetapan Dana Perimbangan Keuangan Pemerintah Kabupaten-Desa. Malang: LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Muluk, Khoirul.2006. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah.Malang: Bayumedia Publishing.
Rosalinda, Okta. 2014. Jurnal Ilmiah: Pengelolaan Alokasi Dana Desa (Add) Dalam Menunjang Pembangunan Pedesaan (Studi Kasus : Desa Segodorejo dan Desa Ploso Kerep, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang). Malang: Universitas Brawijaya.
Atmojo, Muhammad Eko. 2014. Implementasi Program Dana Desa 1 Miliar Untuk Mewujudkan Kemandirian Daerah. (Online). (http://muhammadekoatmojo.blogspot.com/2014/11/implementasi-program-dana-desa-1-miliar.html, Diakses 13 Mei 2015).
Kompasiana.Com. 2014. Alokasi Dana Desa Dan Tantangannya. (Online). (http://politik.kompasiana.com/2014/08/07/alokasi-dana-desa-dan-tantangannya-667544.html, Diakses 13 Mei 2015).
Kementerian Hukum dan HAM. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Jakarta: KemenkumHam.
Kementerian Hukum dan HAM. 2014. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Jakarta: KemenkumHam


*Makalah ini disampaikan dalam Debat Kontitusi Mahasiswa Nasional Antar Perguruan Tinggi tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 24-26 Mei 2015.

1 komentar:

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.