Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)
A.
Sejarah
Peradilan Zaman Nabi SAW
Keberadaan Nabi
SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep
ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias
politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan
eksekutif (sulţah
tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus.
Sementara itu,
Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai
undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di
Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat
baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban
unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang
muslim,
Beberapa
riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang
sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai
contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah
ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang
memperebutkan hidhār atau jidār rumah mereka. Nabi juga
diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada
sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan
persengketaan mereka. agaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk
menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus
sebagai pelaksana qadlā. Dalam kasus lain, saat Nabi
SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan
Madinah –termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada
para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang
al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas
jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan
berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada
diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang
terdapat dalam al-Quran. Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan
suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya
secara eksplisit dalam al-Quran.
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat
sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat
bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu
tertentu maupun mencari tempat tertentu pula.
Dalam
Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencakup
proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga
lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi
Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan
secara umum) dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.
Hisbah
didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik ketika telah mulai
ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam
perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah
menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya muhtasib) yang bertugas
menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa
untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin
dikerjakan. Dan
ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman
Rasulullah. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar
Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan
kemudian menegurnya.
Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim
juga telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi
pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh,
sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah
mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas
dirinya sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil
olehku maka inilah hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.
B. Sejarah Peradilan Islam di Masa Khulafa
al-Rasyidun
1.
Peradilan Islam Pada Periode Abu Bakar RA
Saat Abu Bakar
RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang
berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan
hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan
membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hokum
Abu Bakar RA
membagi Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap
wilayah tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr
ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu
juga melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr
tersebut ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan
legislatif).
2.
Peradilan Islam pada periode Khalifah Umar RA
Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan
dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga
mulai sibuk dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan
Romawi. Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua
masalah peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang
berada di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara
kekuasaan eksekutif dan yudikatif terjadi. Dalam pemisahan yang dilakukan
Umar RA adalah pemisahan yang sesungguhnya, sehingga kekuasaan eksekutif
benar-benar dapat diadili oleh kekuasaan yudikatif.
Menurut Doktor ‘Athiyyah, peradilan pada masa Khalifah Umar RA
adalah sesuatu yang mudah, luas, serta bebas dari administrasi yang banyak
seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Hakim pada masa itu tidak
memerlukan panitera, juga sekretaris. Pada masa itu juga tidak diperlukan untuk
mengkodifikasi hukum-hukum peradilan, karena semua hukum keluar di balik hati
seorang hakim.[17] Hukum acara juga tidak diperlukan. Ini
karena peradilan masih berada pada awal-awalnya dilahirkan. Belum ada pemikiran
untuk ke situ. Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai pelaksana hukum,
dalam arti mereka juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya pemutus hukum.
3.
Peradilan Islam pada periode Khalifah Utsman RA
Sistem
pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA,
karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang
sudah tertata rapi. Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah
Utsman bin Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk
peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk
berperkara.
4.
Peradilan Islam pada periode Khalifah Ali bin Abi Thalib RA
Setelah
meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai
khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga
berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas
peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan
orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu,
ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari
orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang
yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa
dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping
mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.
Pada masa tabi’in ini, para ahli fiqh baik dari kalangan sahabat
maupun tabi’in telah tersebar di berbagai ibu kota karena semakin luas daerah
penaklukan. Maka Khalifah mengangkat hakim untuk ibu kota dan menyerahkan
kepada hakim-hakim itu kekuasaan mengangkat hakim-hakim daerah. Para hakim
dibatasi wewenangnya. Hakim tidak mempunyai hak untuk mengawasi putusan-putusan
hakim yang lain. Hakim ibu Negara sendiri tidak bisa membatalkan
putusan-putusan hakim daerah. Yang berhak berhak membatalkan putusan tersebut
hanyalah Khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan instruksi daripadanya.
Tugas para hakim di masa itu hanya mengeluarkan vonis dalam perkara-perkara
yang diserahkan kepadanya. Tentang pelaksana hukuman, maka kadang-kadang
diawasi sendiri oleh hakim, atau diawasi oleh orang-orang yang ditunjuk oleh
hakim. Pada masa itu belum ada hakim yang khusus yang memutuskan perkara
pidana dan hukuman penjara. Kekuasaan ini dipegang oleh Khalifah sendiri.
Adapun peradilan di masa Bani ‘Umayyah mempunyai dua ciri khusus,
antara lain :
- Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada nash atau ijma’. Pada waktu itu madzhab-madzhab yang empat belum lagi lahir dan belum menjadi pengikat bagi putusan-putusan hakim. Para hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-sunnah.
- Lembaga peradilan pada masa itu belum lagi dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Putusan-putusan meraka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas penguasa-penguasa sendiri. Dari sudut lain, Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim-hakim yang menyeleweng.
Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, kepala negara yang kedelapan dari
Dinasti Umawiyah, menentukan lima keharusan bagi para hakim :
a) Harus tahu apa yang telah terjadi sebelum dia.
b) Harus tidak mempunyai kepentingan pribadi.
c) Harus tidak mempunyai rasa dendam.
d) Harus mengikuti jejak para imam.
e) Dan harus mengikutsertakan para ahli cerdik dan pandai.
Pada masa itu tentang putusan-putusan hakim terhadap suatu perkara
belum disusun dan dibuktikan secara sempurna. Dan teknis pengajuan perkaranya
adalah orang yang berperkara mengajukan perkaranya kepada hakim, lalu hakim
memeriksa, meneliti, kemudian kedua belah pihak yang berperkara dihadapkan ke
muka sidang, laluhakim memberikan putusannya.
Selain itu, di samping badan peradilan dibentuk pula badan
peradilan mazhalim yang difungsikan untuk menangani pengaduan masyarakat
terhadap tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat Negara,
termasuk hakim. Peradilan mazhalim ini biasanya dikepalai oleh khalifah
sendiri. Kemudian pada masa bani abbasiyah perubahan-perubahan yang telah
dimulai oleh bani umayyah dikembangkan lagi lebih lanjut.
D. Peradilan Pada Masa Abbasiyah
Di bawah ini
beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam bidang peradilan, antara
lain, adalah:
1. Lembaga Qadiy
al-Qudat (Mahkamah Agung)
Lembaga Qadiy
al-Qudat yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan. Kalau untuk
zaman sekarang bisa disebut Mahkamah Agung. Badan hukum ini diputuskan
pendiriannya sejak masa Harun al-Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara
dengan tugas sebagai pengangkat hakim-hakim daerah. Abu Yusuf dikenal sebagai orang pertama yang dipanggil
sebagai qadi al-qudah (hakim agung). Jabatan hakim agung itu diembannya
selama tiga periode kekhalifahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, yaitu pada masa
Pemerintahan Khalifah Al-Hadi, Al-Mahdi, dan Harun Al-Rasyid. Pada masa
khalifah Harun Al-Rasyid Abu yusuf diberikan
suatu kehormatan, bahwa semua keputusan mahkamah baik di Barat maupun
Timur harus bersandar kepadanya.
2. Wilayah Hisbah
Wilayah hisbah
dari dua kata, yaitu kata wilayah
dan hisbah, yang secara harfiah
diartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh
perhitungan. Upaya
pendefinisian wilayah hisbah telah
banyak dilakukan seperti yang dikutip oleh alFarakhi, yaitu menyuruh berbuat
baik apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar
apabila nyata perbuatan itu dikerjakan.
Lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi
untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. Lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah
melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada
di bawah lembaga peradilan (qadha). Pada masa ini kewenangan mengangkat
muhtasib sudah tidak lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan
kepada qadhi al-qudhah, baik mengangkat
maupun memberhentikannya.
Sistem
penerapan wilayah hisbah, muhtasib
tidak berhak untuk memutuskan hukum sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat bertindak dalam hal-hal
skala kecil dan pelanggaran moral yang jika dianggap perlu muhtasib dapat
memberikan hukuman ta’zir terhadap pelanggaran moral. Berdasarkan hal ini
kewenangan muhtasib lebih mendekati
kewenangan polisi, tetapi bedanya, ruang gerak
muhtasib hanyalah soal kesusilaan dan keselamatan masyarakat umum,
sedangkan untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak
termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu,
muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan
perdagangan dalam kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah gangguan
dan hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan masjid, dan mencegah
kemungkaran seperti minum-minuman keras, perjudian, dan lain-lain
3. Wilayah
Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)
Lembaga ini dipisahkan dari wilayah peradilan. Awalnya,
penanganan masalah segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan
oleh lembaga pemerintah yang masuk perkara al-mazalim waktu itu
ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya
lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah
menunjuk seorang wakil yang disebut Qadi al-Mazalim atau Sahib
al-Mazalim.
Kedudukan badan
ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi
al-madhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan
oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang
dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding.
Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak
masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara
penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun
anak-anak dari orang yang berkuasa.
Sebagian dari
perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang
diajukan oleh seseorang yang teraniaya.
Badan ini memiliki mahkamat al-madhalim. Sidangnya selalu
dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang: Para pembela dan pembantu
sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga meluruskan penyimpangan-penyimpangan
hukum, Para hakim, Para fuqaha’ tempat rujukan qadhi al-madhalim bila
menghadapi kesulitan, Para katib, Dan saksi.
Pemegang jabatan ini sendiri tidak mesti seorang hakim, memang hakim lebih
didahulukan karena pemahamannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan
hukum. Namun khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa,
amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat sehingga
kebobrokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat lembaga
ini kadang kala adalah seorang menteri peperangan. Selain itu, tugas Nazar
al-Mazalim adalah:
a.
Mengawasi penegakan hukum
yang dijalankan oleh khalifah/wali terhadap warga negara, pegawai
perpajakan/departemen tertentu, jika mereka menyalahgunakan wewenangnya.
b.
Mengawasi terhadap
distribusi bantuan pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan,
keterlambatan atau mungkin tidak sampainya bantuan tersebut.
c.
Membantu qadhi
melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan.
d.
Mengawasi atau menjaga
keberlangsungan praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan barang hasil
curian pada orang yang berhak.
Pada masa Abbasiyah juga
ditentukan syarat-syarat qadhi al-mazalim yang menangani persoalan al-siyasat
al-syari’at. Adapun para ahli dibidang itu mengemukakan syarat-syarat qadhi
al-mazalim sebagai berikut:
- Berkemampuan tinggi (jalil al-qadr)
- Berkemampuan melaksanakan keputusan (nafiz al-amr)
- Memiliki wibawah dan pengaruh besar (‘azhim al-haibat)
- Terkenal bersih dan lurus (zhahir al-iffat)
- Tidak serakah (qalil al-thama’)
- Sangat wara’.
4. Al-Nidham
Al-Madhalim
Al-Nidham Al-Madhalim adalah yaitu lembaga yang diberi tugas memberikan penjelasan dan
pembinaan dalam hukum, menegakkan ketertiban hukum yang berada dalam wilayah
pemerintahan ataukah yang berada dalam lingkungan masyarakat serta memutuskan
perkara-perkara hukum.
5. Badan Arbitrase
Pada masa ini, di samping Lembaga Pengadilan, ada juga
hakam-hakam (badan arbitrase) yang memutuskan perkara antara orang-orang yang
mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah
pihak. Nazhab tahkim ini, dibenarkan oleh Islam.
Undang-undang modern pun telah banyak mengambilnya.
6. Hakim
Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah
ketika masa Khulafa’ al-Rashidin dan masa Ummayah mereka memegang
kekuasaan Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi
terlibat dalam urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan
memeriksa perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap
perkara yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh
khalifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti
mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan
persoalan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak
memiliki kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang
terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan keahlian
dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa’
al-Rashidin yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli
hukum.
Pada pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha
mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada
masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya
ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan
formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim
itu pada akhirnya memiliki otorita dan independenitas yang tinggi. Kalau dalam
masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu luasnya, maka dalam masa
ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu di samping memperhatikan
urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan urusan wakaf, dan menunjukkan
pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang para
hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazalim)
yang dilakukan oleh penguasa, qishas, hisbah, pemalsuan mata uang dan bait
al-mal (kas negara). Salah seorang hakim yang terkemuka pada saat itu
adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat oleh al-Makmun.
Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa, kedudukan
peradilan selain untuk menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga
memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-anak di bawah umur, orang
yang tak cakap bertindak secara hukum, seperti anak yatim, orang gila, orang
failit, dan lain-lain, serta mengurus harta-harta warisan, wakaf, menjadi wali
bagi wanita-wanita yang tidak memiliki wali dan memperhatikan
kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan dan memeriksa
keadaan-keadaan saksi agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan yang tidak.
Pada awalnya, di tiap-tiap daerah diangkat seorang hakim.
Akan tetapi pada masa akhir kekuasaan Abbasiyah jumlah Qadiy al-Qudat
tidak hanya satu, melainkan lebih dari satu hal ini disebabkan munculnya
beberapa pusat kekuasaan baru baik di Mesir (Dinasti Fathimiyyah) di India
(Dinasti Mughal) di Iran (Dinasti Safawiy) di Teluk Balkan (Dinasti Ilkhan)
sehingga di masing-masing tempat itu terdapat seorang Qadli al-Qudhat yang
memiliki otorita hukum untuk menangani perkara banding yang diajukan kepadanya
dalam batas wilayah negri tersebut. Bahkan pada masa dinasti Mamluk di Mesir
setiap mazhab memiliki seorang Qadiy al-Qudat yang wewenangnya hanya
terbatas di kalangan pengikut mazhabnya saja.
Persidangan-persidangan
pengadilan pada masa Abbasiyah dilaksanakan di suatu majelis yang luas, yang
memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan
pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara Dan dalam
waktu yang sama diadakan beberapa perbaikan, seperti menghimpun putusan-putusan
secara teliti dan sempurna. Bagi para qadhi atau ulama’ memiliki
pakaian husus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa
khalifah Harun al-Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat
umum. Dalam pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang
pembantu atau pengawal khusus yang mengatur waktu berkunjung dan waktu
pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.