Sejarah Peradilan Islam Dari Masa Nabi Sampai Abbasiyah - Sang Pemburu Badai

Selasa, 02 Agustus 2016

Sejarah Peradilan Islam Dari Masa Nabi Sampai Abbasiyah

Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)


A.     Sejarah Peradilan Zaman Nabi SAW
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus.
Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim,
Beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh  Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār  atau jidār rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. agaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadlā. Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah –termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran. Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran.
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula.
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.
            Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan. Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.
            Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.


B.     Sejarah Peradilan Islam di Masa Khulafa al-Rasyidun
1.        Peradilan Islam Pada Periode Abu Bakar RA
Saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hokum
Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).

2.        Peradilan Islam pada periode Khalifah Umar RA
Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif terjadi. Dalam pemisahan yang dilakukan Umar RA adalah pemisahan yang sesungguhnya, sehingga kekuasaan eksekutif benar-benar dapat diadili oleh kekuasaan yudikatif.
Menurut Doktor ‘Athiyyah, peradilan pada masa Khalifah Umar RA adalah sesuatu yang mudah, luas, serta bebas dari administrasi yang banyak seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Hakim pada masa itu tidak memerlukan panitera, juga sekretaris. Pada masa itu juga tidak diperlukan untuk mengkodifikasi hukum-hukum peradilan, karena semua hukum keluar di balik hati seorang hakim.[17] Hukum acara juga tidak diperlukan. Ini karena peradilan masih berada pada awal-awalnya dilahirkan. Belum ada pemikiran untuk ke situ. Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai pelaksana hukum, dalam arti mereka juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya pemutus hukum.

3.        Peradilan Islam pada periode Khalifah Utsman RA
Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi. Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk berperkara.

4.        Peradilan Islam pada periode Khalifah Ali bin Abi Thalib RA
Setelah meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.

Pada masa tabi’in ini, para ahli fiqh baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in telah tersebar di berbagai ibu kota karena semakin luas daerah penaklukan. Maka Khalifah mengangkat hakim untuk ibu kota dan menyerahkan kepada hakim-hakim itu kekuasaan mengangkat hakim-hakim daerah. Para hakim dibatasi wewenangnya. Hakim tidak mempunyai hak untuk mengawasi putusan-putusan hakim yang lain. Hakim ibu Negara sendiri tidak bisa membatalkan putusan-putusan hakim daerah. Yang berhak berhak membatalkan putusan tersebut hanyalah Khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan instruksi daripadanya. Tugas para hakim di masa itu hanya mengeluarkan vonis dalam perkara-perkara yang diserahkan kepadanya. Tentang pelaksana hukuman, maka kadang-kadang diawasi sendiri oleh hakim, atau diawasi oleh orang-orang yang ditunjuk oleh hakim. Pada masa itu belum ada hakim yang khusus yang memutuskan perkara pidana dan hukuman penjara. Kekuasaan ini dipegang oleh Khalifah sendiri.
Adapun peradilan di masa Bani ‘Umayyah mempunyai dua ciri khusus, antara lain :
  1. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada nash atau ijma’. Pada waktu itu madzhab-madzhab yang empat belum lagi lahir dan belum menjadi pengikat bagi putusan-putusan hakim. Para hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-sunnah.
  2. Lembaga peradilan pada masa itu belum lagi dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Putusan-putusan meraka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas penguasa-penguasa sendiri. Dari sudut lain, Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim-hakim yang menyeleweng.
Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, kepala negara yang kedelapan dari Dinasti Umawiyah, menentukan lima keharusan bagi para hakim :
a) Harus tahu apa yang telah terjadi sebelum dia.
b) Harus tidak mempunyai kepentingan pribadi.
c) Harus tidak mempunyai rasa dendam.
d) Harus mengikuti jejak para imam.
e) Dan harus mengikutsertakan para ahli cerdik dan pandai.
Pada masa itu tentang putusan-putusan hakim terhadap suatu perkara belum disusun dan dibuktikan secara sempurna. Dan teknis pengajuan perkaranya adalah orang yang berperkara mengajukan perkaranya kepada hakim, lalu hakim memeriksa, meneliti, kemudian kedua belah pihak yang berperkara dihadapkan ke muka sidang, laluhakim memberikan putusannya.
Selain itu, di samping badan peradilan dibentuk pula badan peradilan mazhalim yang difungsikan untuk menangani pengaduan masyarakat terhadap tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat Negara, termasuk hakim. Peradilan mazhalim ini biasanya dikepalai oleh khalifah sendiri. Kemudian pada masa bani abbasiyah perubahan-perubahan yang telah dimulai oleh bani umayyah dikembangkan lagi lebih lanjut.


D.     Peradilan Pada Masa Abbasiyah
Di bawah ini beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam bidang peradilan, antara lain, adalah:

 1.      Lembaga Qadiy al-Qudat (Mahkamah Agung)
Lembaga Qadiy al-Qudat yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan. Kalau untuk zaman sekarang bisa disebut Mahkamah Agung. Badan hukum ini diputuskan pendiriannya sejak masa Harun al-Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara dengan tugas sebagai pengangkat hakim-hakim daerah. Abu Yusuf dikenal sebagai orang pertama yang dipanggil sebagai qadi al-qudah (hakim agung). Jabatan hakim agung itu diembannya selama tiga periode kekhalifahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, yaitu pada masa Pemerintahan Khalifah Al-Hadi, Al-Mahdi, dan Harun Al-Rasyid. Pada masa khalifah Harun Al-Rasyid Abu yusuf diberikan  suatu kehormatan, bahwa semua keputusan mahkamah baik di Barat maupun Timur harus bersandar kepadanya. 

 2.      Wilayah Hisbah
      Wilayah hisbah dari dua kata, yaitu kata  wilayah dan  hisbah, yang secara harfiah diartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.  Upaya pendefinisian  wilayah hisbah telah banyak dilakukan seperti yang dikutip oleh alFarakhi, yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata perbuatan itu dikerjakan.
      Lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. Lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada di bawah lembaga peradilan (qadha). Pada masa ini kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada  qadhi al-qudhah, baik mengangkat maupun memberhentikannya.
      Sistem penerapan  wilayah hisbah,  muhtasib  tidak berhak untuk memutuskan hukum sebagaimana halnya pada  wilayah qadha,  muhtasib hanya dapat bertindak dalam hal-hal skala kecil dan pelanggaran moral yang jika dianggap perlu muhtasib dapat memberikan hukuman ta’zir terhadap pelanggaran moral. Berdasarkan hal ini kewenangan  muhtasib lebih mendekati kewenangan polisi, tetapi bedanya, ruang gerak  muhtasib hanyalah soal kesusilaan dan keselamatan masyarakat umum, sedangkan untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu,  muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan dalam kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah gangguan dan hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan masjid, dan mencegah kemungkaran seperti minum-minuman keras, perjudian, dan lain-lain

3.      Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)
Lembaga ini dipisahkan dari wilayah peradilan. Awalnya, penanganan masalah segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang masuk perkara al-mazalim waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut Qadi al-Mazalim atau Sahib al-Mazalim.
Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi al-madhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding.  Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa.
Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.
      Badan ini memiliki mahkamat al-madhalim. Sidangnya selalu dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang: Para pembela dan pembantu sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum, Para hakim, Para fuqaha’ tempat rujukan qadhi al-madhalim bila menghadapi kesulitan, Para katib, Dan saksi.
Pemegang jabatan ini sendiri tidak mesti seorang hakim, memang hakim lebih didahulukan karena pemahamannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Namun khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa, amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat sehingga kebobrokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat lembaga ini kadang kala adalah seorang menteri peperangan. Selain itu, tugas Nazar al-Mazalim adalah:
a.       Mengawasi penegakan hukum yang dijalankan oleh khalifah/wali terhadap warga negara, pegawai perpajakan/departemen tertentu, jika mereka menyalahgunakan wewenangnya.
b.      Mengawasi terhadap distribusi bantuan pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan, keterlambatan atau mungkin tidak sampainya bantuan tersebut.
c.       Membantu qadhi melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan.
d.      Mengawasi atau menjaga keberlangsungan praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan barang hasil curian pada orang yang berhak.
Pada masa Abbasiyah juga ditentukan syarat-syarat qadhi al-mazalim yang menangani persoalan al-siyasat al-syari’at. Adapun para ahli dibidang itu mengemukakan syarat-syarat qadhi al-mazalim sebagai berikut:
  1. Berkemampuan tinggi (jalil al-qadr)
  2. Berkemampuan melaksanakan keputusan (nafiz al-amr)
  3. Memiliki wibawah dan pengaruh besar (‘azhim al-haibat)
  4. Terkenal bersih dan lurus (zhahir al-iffat)
  5. Tidak serakah (qalil al-thama’)
  6. Sangat wara’.
 4.      Al-Nidham Al-Madhalim
Al-Nidham Al-Madhalim adalah yaitu lembaga yang diberi tugas memberikan penjelasan dan pembinaan dalam hukum, menegakkan ketertiban hukum yang berada dalam wilayah pemerintahan ataukah yang berada dalam lingkungan masyarakat serta memutuskan perkara-perkara hukum.

5.      Badan Arbitrase
Pada masa ini, di samping Lembaga Pengadilan, ada juga hakam-hakam (badan arbitrase) yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Nazhab tahkim ini, dibenarkan oleh Islam. Undang-undang modern pun telah banyak mengambilnya.

6.      Hakim
Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa Khulafa’ al-Rashidin dan masa Ummayah mereka memegang kekuasaan Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak memiliki kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan keahlian dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa’ al-Rashidin yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.
Pada pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otorita dan independenitas yang tinggi. Kalau dalam masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu luasnya, maka dalam masa ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu di samping memperhatikan urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan urusan wakaf, dan menunjukkan pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang para hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas, hisbah, pemalsuan mata uang dan bait al-mal (kas negara). Salah seorang hakim yang terkemuka pada saat itu adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat oleh al-Makmun.
Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa, kedudukan peradilan selain untuk menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-anak di bawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara hukum, seperti anak yatim, orang gila, orang failit, dan lain-lain, serta mengurus harta-harta warisan, wakaf, menjadi wali bagi wanita-wanita yang tidak memiliki wali dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan dan memeriksa keadaan-keadaan saksi agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan yang tidak.     
Pada awalnya, di tiap-tiap daerah diangkat seorang hakim. Akan tetapi pada masa akhir kekuasaan Abbasiyah jumlah Qadiy al-Qudat tidak hanya satu, melainkan lebih dari satu hal ini disebabkan munculnya beberapa pusat kekuasaan baru baik di Mesir (Dinasti Fathimiyyah) di India (Dinasti Mughal) di Iran (Dinasti Safawiy) di Teluk Balkan (Dinasti Ilkhan) sehingga di masing-masing tempat itu terdapat seorang Qadli al-Qudhat yang memiliki otorita hukum untuk menangani perkara banding yang diajukan kepadanya dalam batas wilayah negri tersebut. Bahkan pada masa dinasti Mamluk di Mesir setiap mazhab memiliki seorang Qadiy al-Qudat yang wewenangnya hanya terbatas di kalangan pengikut mazhabnya saja.
Persidangan-persidangan pengadilan pada masa Abbasiyah dilaksanakan di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara Dan dalam waktu yang sama diadakan beberapa perbaikan, seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna. Bagi para qadhi atau ulama’ memiliki pakaian husus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa khalifah Harun al-Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat umum. Dalam pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang pembantu atau pengawal khusus yang mengatur waktu berkunjung dan waktu pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.