Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri (Julius Hisna)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur desentralisasi
di Negara Republik Indonesia, dimana UU ini telah member kewenangan kepada
daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Pemberian otonomi daerah
seluas-luasnya berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskreksi) kepada
daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar
tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan
keleluasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan yang kuat.
Otonomi daerah seyogyanya dilakukan oleh pemerintah daerah ditingkat
provinsi/kabupaten dan kota. Akan tetapi esensi dari pembangunan daerah itu
dimulai dari pemerintahan yang paling bawah yaitu pemerintah desa. Akan tetapi
dalam pelaksanaan pembangunan desa sangatlah tergantung dengan pendapatan asli
desa dan swadaya, oleh karena itu jika pembangunan desa hanya mengandalakan
dari sumber dana yang ada maka sulit rasanya realisasi untuk pembangunan desa.
Setelah
berjalan beberapa tahun maka terbentuklah UU No 6 tahun 2014 yang mengatur
tentang desa, dimana dalam UU tersebut desa mendapatkan kucuran dana maksimal
sebesar 1 M untuk kemandirian desa. Dana yang diberikan oleh pemerintah ke desa
sangatlah berfariasi, dimana pemberian dana tersebut melihat dari luas wilayah
desa dan banyaknya jumlah penduduk, adapun fariasi dana yang diberikan
pemerintah sebesar 1-1,4 M. Pemberian dana sebesar 1 M ini disambut sangat
antusias oleh pemerintah baik desa maupun pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan
PP No 60 tahun 2014 tentang dana desa, maka disebutkan bahwa dana desa yang
akan dikucurkan langsung kepada pemerintah desa bersumber dari APBN.
Dengan
disahkannya UU yang mengatur tentang pemberian dana 1 M ke desa secara langsung
maka timbullah pro dan kontra dikalangan masyarakat, dimana banyak sekali yang
tidak setuju akan adanya pemberian dana sebesar 1 M secara langsung kepada
kepala desa hal ini disebabkan pola pengawasan yang masih sangat lemah, bias
saja dana sebesar itu disalah gunakan oleh kepala desa untuk kepentingan
pribadi maupun kepentingan yang lain hal semacam inilah yang ditakutkan oleh
kalangan masyarakat. Ada juga yang setuju dengan pemberian langsung dana
sebesar 1 M, pemberian dana ini guna percepatan pembangunan daerah yang seyogyanya
pembangunan daerah diawali dari kemandirian desa. Jika pembangunan dan
kemandirian desa sudah terlakansa maka secara otomatis kemajuan suatu daerah
akan terlihat, hal ini juga untuk menjawab UU tentang desentralisasi, dimana
daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan pembangunan
daerahnya sendiri.
.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas setidaknya ada 3 hal yang dapat dijadikan sebagai rumusan
masalah, yaitu:
1.
Bagaimanakah
hubungan antara Desa dan otonomi daerah ?
2.
Bagaimanakah
pengaturan keuangan daerah dan alokasi dana Desa ?
3.
Bagaimanakah
pendapat para pihak terhadap adanya alokasi dana Desa ? dan Bagaiamanakah mengimplementasikan dana
Desa untuk kemandirian daerah?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Desa dan Otonomi Daerah
Otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dan dalam UU No.32 Tahun 2004
prinsip pelaksanaan otonomi daerah adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur urusan pemerintahan diluar
yang menjadi urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam undang-undang.
Sebagaimana diketahui bahwa pemunculan “ Pemerintah Daerah” di Indonesia tidak
terjadi begitu saja. Indonesia dengan nama awal “ Negara Kesatuan Republik
Indonesia” sangat identik dengan sentralistik, kekuasaan terpusat. Pergeseran
sentralistik kearah desentralisasi, konsekuensinya ditandai dengan pelaksanaan local
government, yang memiliki tiga esensi, yaitu :
1.
Pemerintah
daerah sebagai organ yang melaksanakan urusan dan fungsi yang desentralisasi;
2.
Sebagai
pemerintahan daerah yang mengacu pada fungsi yang dijalankan dalam kerangka
desentraliasi;
3.
Sebagai
daerah otonom lokasi dimana lokalitas berada dan membentuk kesatuan hukum
sendiri yang meskipun tidak berdaulat tetapi memiliki hak untuk mengurus
dirinya-sendiri (Muluk 2006:63).
Otonomi
daerah sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat-Daerah sejak wacana itu ada memperoleh sambutan positif dari
semua pihak, dengan segenap harapan bahwa melaui otonomi daerah akan dapat
merangsang terhadap adanya upaya untuk menghilangkan praktek-praktek
sentralistik yang pada satu sisi dianggap kurang menguntungkan bagi daerah dan
penduduk lokal. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang
ditetapkan dalam Undang-Undang. Proses desentralisasi yang telah berlangsung
telah memberikan penyadaran tentang pentingnya kemandirian daerah yang bertumpu
pada pemberdayaan potensi lokal. Meskipun pada saat ini kebijakan yang ada
masih menitik-beratkan otonomi pada tingkat Kabupaten/Kota, namun secara esensi
sebenarnya kemandirian tersebut harus dimulai dari level pemerintahan ditingkat
paling bawah, yaitu desa. Pemerintah desa diyakini lebih mampu melihat
prioritas kebutuhan masyarakat dibandingkan Pemerintah Kabupaten yang secara
nyata memiliki ruang lingkup permasalahan lebih luas dan rumit. Untuk itu,
pembangunan pedesaan yang dilaksanakan harus sesuai dengan masalah yang
dihadapi, potensi yang dimiliki, aspirasi masyarakat dan prioritads pembangunan
pedesaan yang telah ditetapkan. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Pemerintah
daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan daerahnya. Salah
satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap pengembangan wilayah pedesaaan
adalah adanya anggaran pembangunan secara khusus yang dicantumkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pembangunan wilayah
pedesaan, yakni dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD). Inilah yang kemudian
melahirkan suatu proses baru tentang desentralisasi desa diawali dengan digulirkannya
Alokasi Dana Desa (ADD) (Rosalinda, 2014:4).
Dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 yang dinamakan dengan Desa adalah “kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan
adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya dalam PP Nomor 72 Tahun
2005 Tentang Desa, bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa, adalah “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan”.
Dengan demikian, desa harus dipahami sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki hak dan kekuasaan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat. Artinya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi tetap
memberikan dasar menuju self governing community, yaitu komunitas yang mengatur
dirinya sendiri. Berdasarkan pemahaman ini, desa memiliki posisi strategis yang
memerlukan perhatian seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah.
Apabila dipahami lebih seksama, desa merupakan tempat bertemunya arus
kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, desa merupakan
tempat terwujudnya kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat dalam
melaksanakan pembangunan. Dalam arti ini, desa mempunyai posisi strategis dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat
(Maryunani, 2004:1).
Dianutnya konsep desentralisasi, khususnya otonomi dengan
segala variannya telah membawa bangsa dan Negara RI dalam suasana yang
memungkinkan daerah untuk menganut dan mengurus kepentingan daerahnya sesuai
dengan aspirasi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat namun masih dalam
kerangka NKRI. Konsep
desentralisasi dalam hal ini adalah otonomi dalam tataran teori mapun
prakteknya tidak serta merta dapat dipisahkan dari persoalan yang berhubungan
dengan keuangan atau finansial. Otonomi
yang dalam persepektif UU No. 33 Tahun 2004, diklasifikasikan sebagai hak,
wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah
dan kepentingan masyarakat setempat, mengandung makna bahwa hak, wewenang serta
kewajiban tersebut untuk “membiayai”atau bagir manan menggunakan istilah
“membelanjai” diri sendiri (Fauzan, 2006: 287).
B.
Keuangan Daerah dan Alokasi Dana Desa
Dalam
rangka membiayai penyelenggaraan aktivitas pemerintahannya, daerah harus
mempunyai sumber- sumber pendapatan sendiri, baik karena adanya penyerahan
urusan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah seperti pajak dan retribusi
daerah maupun sumber-sumber pendapatan yang secara turun temurun memang telah
dikelola dan di urus oleh daerah. Kewenangan untuk mendapatkan sumber- sumber
penerimaan melalui mekanisme “pemungutan” bukan sekedar untuk mendapatkan dana
sebagai upaya membiayai tetapi lebih dari itu merupakan pertanda yang
mencerminkan adanya kebebasan dan kemandirian menentukan cara-cara dalam rangka
mengatur dan mengurus semua urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan
(Fauzan, 2006: 287).
Dalam
pelaksanaan otonomi daerah pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk memberikan
sumber dana kepada desa, supaya pembangunan desa lebih cepat terealisasi serta
berguna bagi kemandirian daerah. Dimana memang esensi kemandirian sebuah daerah
adalah dari pembangunan sebuah desa, jika pembangunan desa berjalan dengan baik
dan cepat maka tidak menutup kemungkinan kemandirian daerah kabupaten/kota bias
terealisasi dengan baik. Selain itu PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa sangat
jelas mengatur tentang pemerintahan desa, termasuk didalamnya tentang kewajiban
yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh pemerintah kabupaten untuk merumuskan
dan membuat peraturan daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bagian
dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya. Guna
mewujudkan otonomi daerah dan pembangunan daerah yang dimulai dari desa maka
pemerintah desa mempunyai sumber-sumber pembiayaan untuk memajukan sebuah desa.
Pemerintah
daerah juga harus mempunyai kemampuan untuk menentukan secara objektif
kebutuhan akan keuangan (fiscal need) yang di perlukan untuk membiayai
penyelenggaraan dan menyediakan pelayanan yang di perlukan masyarakat daerah.
Artinya pemerintah daerah harus dapat melakukan perhitungan-perhitungan yang
matang dan rasional mengenai rencana kegiatan-kegiatan yang akan di laksanakn
sehubungan dengaan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah, berdasarkan
rencana kegiatan tersebut,pemerintah daerah harus dapat menentukan secara tepat
dan objektif rencana pembiayaan masing-masing kegiatan, sehingga akan di
ketahui kebutuhan keuangan (fiscal need) yang di perlukan dalam satu
tahun (Fauzan, 2006: 294).
Pemerintah
pusat harus dapat memberikan subsidi yang adil dan terukur kepada masing-masng
daerah untuk membiayai kekurangan dana (fiscal gap) yang merupakan
selisih antara fiscal need dengan fiscal capacity, artinya
pemerintah pusat harus secara cermat melihat kondisi objektif dari suatu daerah
sehingga dalam menentukan besarnya subsidi harus didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan yang dapat diterima oleh daerah penerima subsidi.
Beberapa
kelemahan dalam program yang pernah ada sebelumnya dapat di jumpai dalam
mekanisme pemberian bantuan dana dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berupa DAU, antara lain
sebagai berikut:
1.
Ketidak
adilan dalam pembagian DAU;
2.
Kurang
transparannya emerintah pusat dalam membagi DAU ke daerah, padahal jika di
lihat dari rumus DAU dalam UU No 25 Tahun 1999 tersebut di perkirakan semua
daerah memiliki kepastian jumlah yang di terima. Namun dalam implementasinya
rumusan-rumusan tersebut tidaklah pasti dan masih terbukanya lobi-lobi daerah
dalam upaya memperbesar DAU;
3.
Masih adanya perbedaan persepsi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tentang penggunaan DAU. Bagi
pemerintah pusat perhitungan pendapatan daerah untuk DAU berdasarkan selisih
antara kebutuhan daerah dan potensi daerah, dengan memasukkan variable jumlah
penduduk, luas wilayah, penduduk miskin dsb. Sedangkan daerah dalam
kenyataannya, justru mengukur DAU dari APBD
yang antara lain merupakan komponen gaji, non-gaji , dan pembangunan
sehingga yang terjadi adalah tidak adanya keterkaitan dalam penggunaan DAU
antara pusat dan daerah;
4.
Masih
kurang transparannya pemerintah pusat dalam membagi hasil DAU (Fauzan,
2006:297)
Setelah
berjalan beberapa tahun maka terbentuklah UU No 6 tahun 2014 yang mengatur
tentang desa, dimana dalam UU tersebut desa mendapatkan kucuran dana maksimal
sebesar 1 M untuk kemandirian desa. Dana yang diberikan oleh pemerintah ke desa
sangatlah berfariasi, dimana pemberian dana tersebut melihat dari luas wilayah
desa dan banyaknya jumlah penduduk, adapun fariasi dana yang diberikan
pemerintah sebesar 1-1,4 M. Pemberian dana sebesar 1 M ini disambut sangat
antusias oleh pemerintah baik desa maupun pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan PP No 60 tahun 2014 tentang dana desa, maka disebutkan bahwa dana
desa yang akan dikucurkan langsung kepada pemerintah desa bersumber dari APBN (Atmojo,
2014:1).
C.
Implementasi Dana Desa Untuk Kemajuan Bangsa
Dengan
disahkannya UU yang mengatur tentang pemberian dana 1 M ke desa secara langsung
maka timbullah pro dan kontra dikalangan masyarakat, dimana banyak sekali yang
tidak setuju akan adanya pemberian dana sebesar 1 M secara langsung kepada
kepala desa hal ini disebabkan pola pengawasan yang masih sangat lemah, bisa
saja dana sebesar itu disalah gunakan oleh kepala desa untuk kepentingan
pribadi maupun kepentingan yang lain hal semacam inilah yang ditakutkan oleh
kalangan masyarakat. Ada juga yang setuju dengan pemberian langsung dana
sebesar 1 M, pemberian dana ini guna percepatan pembangunan daerah yang
seyogyanya pembangunan daerah diawali dari kemandirian desa. Jika pembangunan
dan kemandirian desa sudah terlakansa maka secara otomatis kemajuan suatu
daerah akan terlihat, hal ini juga untuk menjawab UU tentang desentralisasi,
dimana daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan
pembangunan daerahnya sendiri..
Melihat
Pro dan Kontra yang ada, saya melihat bahwa sebenarnya UU Desa membawa harapan dan peluang besar.
Cita-cita pemerataan pembangunan sebagai capaian mimpi dari kemerdekaan bisa
terwujud. Ragam tantangan yang disinggung sebelumnya bisa dikonversi menjadi
peluang. UU ini memberikan peluang bagi daerah untuk menjadikan desa sebagai
pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa. Desa
benar-benar menjadi subjek, tak lagi sekedar objek. Karena selama ini, desa
hanya selalu menjadi obyek pembangunan dan eksploitasi dari sistem pembangunan
nasional. Padahal, segenap sumber daya agraria dan termasuk sumber daya manusia
di pedesaan. Desa menjadi sumber pangan nasional tetapi tidak mendapatkan
prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional. UU ini secara progresif
berupaya menurunkan semangat desentralisasi sampai ke tingkat desa, tak hanya
di daerah. Dengan bahasa lain, UU Desa merupakan langkah maju dalam pembangunan
pedesaan dan sebuah capaian riil dari desentralisasi di level grass root.
Undang-Undang
Desa ini juga diharapkan bisa memajukan adat istiadat dan budaya masyarakat
desa, membangun sistem pemerintahan lebih efektif dalam kerangka pelayanan
masyarakat, memajukan perekonomian masyarakat desa serta memupus kesenjangan
pembagunan nasional. Untuk mengoptimalkan peluang tersebut, maka strategi yang
perlu diperjuangkan adalah mendidik rakyat desa, supaya memiliki kemampuan
untuk mengorganisasikan dirinya (self help) dan memobilisasi semua
sumber daya yang ada di desa. Penguatan kapasitas masyarakat desa dengan cara
mendorong mereka untuk terlibat langsung dalam mengontrol dan mengawasi
pemerintah desa, menjadi kata kunci untuk mencapai masyarakat desa yang makmur,
adil dan demokratis. Tanpa itu, masyarakat desa tetap terbelit dalam persoalan
jeratan kemiskinan.
Untuk
menciptakan semua itu, ada beberapa hal yang menurut saya harus bisa
dilaksanakan agar dapat tercipta pengelolaan dana desa yang akuntabel,
transparan dan sesuai dengan yang diamanahkan dalam Undang-undang. Dengan
mempertimbangkan kelemahan dan kelebihan
dari sistem desentralisasi dan pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah
pada masa sekarang serta kekurangan SDM dari penyelenggara pemerintahan desa
sendiri, maka tata penyelenggaraan UU Desa nantinya harus dapat menjamin:
1.
Pendistribusian
kewenangan yang adil dan rasional antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal
memungut dan menggunakan sumber-sumber pendapatan pemerintah;
2.
Pembagiaan
yang adil dan memadai di antara pemerintah daerah yang satu dengan yang lainnya
atas sumber-sumber pendapatan dalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsi
pemerintahan, pelayanan umum dan pembangunan.
3.
Kemandirian
daerah dalam menentukan cara mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dan daerah yang
bersangkutan;
4.
Keterlibatan
segenap komponen masyarakat daerah dalam
menentukan besarnya distribusi dana pertimbangan maupun dana bagi hasil, serta
dalam menentukan kriteria atau variabel yang akan di pergunakan sebagai rumus
penentuan besarnya dana bantuan dari pemerintah pusat, hal tersebut merupakan
pencerminan pelaksanaan daerah yang merupakan konsekuensi negara kesatuan yang
didesentralisasikan;
5.
Dana
Desa diarahkan untuk pemberian insentif kepada pemerintah daerah untuk turut
mengsukseskan program-program nasional yang bersifat prioritas.
6.
Adanya
audit dan pengawasan yang berkesinambungan untuk mencegah penyelewengan dari
penggunaan dana desa serta menjamin penggunaannya sesuai dengan yang telah
diagendakan.
BAB
III
PENUTUP
Dari pemaparan diatas setidaknnya bisa disimpulkan beberapa hal
yang juga menjadi rekomendasi:
1.
UU
Desa membawa harapan dan peluang besar. Cita-cita
pemerataan pembangunan sebagai capaian mimpi dari kemerdekaan bisa terwujud.
Ragam tantangan yang disinggung sebelumnya bisa dikonversi menjadi peluang. UU
ini memberikan peluang bagi daerah untuk menjadikan desa sebagai pusat
pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa. UU ini secara
progresif berupaya menurunkan semangat desentralisasi sampai ke tingkat desa,
tak hanya di daerah. Undang-Undang Desa ini juga diharapkan bisa memajukan adat
istiadat dan budaya masyarakat desa, membangun sistem pemerintahan lebih
efektif dalam kerangka pelayanan masyarakat, memajukan perekonomian masyarakat
desa serta memupus kesenjangan pembagunan nasional. Untuk mengoptimalkan
peluang tersebut, maka strategi yang perlu diperjuangkan adalah mendidik rakyat
desa, supaya memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan dirinya (self help)
dan memobilisasi semua sumber daya yang ada di desa.
2.
Untuk
menciptakan semua itu, ada beberapa hal yang menurut saya harus bisa
dilaksanakan agar dapat tercipta pengelolaan dana desa yang akuntabel,
transparan dan sesuai dengan yang diamanahkan dalam Undang-undang. Dengan
mempertimbangkan kelemahan dan kelebihan
dari sistem desentralisasi dan pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah
pada saat sekarang serta kekurangan SDM dari penyelenggara pemerintahan desa
sendiri, maka tata penyelenggaraan UU Desa nantinya harus dapat menjamin:
a.
Pendistribusian
kewenangan yang adil dan rasional antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal
memungut dan menggunakan sumber-sumber pendapatan pemerintah;
b.
Pembagiaan
yang adil dan memadai di antara pemerintah daerah yang satu dengan yang lainnya
atas sumber-sumber pendapatan dalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsi
pemerintahan, pelayanan umum dan pembangunan.
c.
Kemandirian
daerah dalam menentukan cara mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dan daerah yang
bersangkutan;
d.
Keterlibatan
segenap komponen masyarakat daerah dalam
menentukan besarnya distribusi dana pertimbangan maupun dana bagi hasil, serta
dalam menentukan kriteria atau variabel yang akan di pergunakan sebagai rumus
penentuan besarnya dana bantuan dari pemerintah pusat, hal tersebut merupakan
pencerminan pelaksanaan daerah yang merupakan konsekuensi negara kesatuan yang
didesentralisasikan;
e.
Dana
Desa diarahkan untuk pemberian insentif kepada pemerintah daerah untuk turut
mensukseskan program-program nasional yang bersifat prioritas.
f.
Adanya
audit dan pengawasan yang berkesinambungan untuk mencegah penyelewengan dari
penggunaan dana desa serta menjamin penggunaanny sesuai dengan yang telah
diagendakan.
Daftar
Pustaka
Fauzan,
Muhammad. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah; Kajian Tentang Hubungan Keuangan
Antara Pusat Dan Daerah. Yogyakarta: UII Press.
Maryunani.
2004. Alokasi Dana Desa [ADD] Sebagai Alat
Penetapan Dana Perimbangan Keuangan Pemerintah Kabupaten-Desa. Malang: LPEM Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya.
Muluk,
Khoirul.2006. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah.Malang: Bayumedia
Publishing.
Rosalinda,
Okta. 2014. Jurnal Ilmiah: Pengelolaan Alokasi Dana Desa (Add) Dalam
Menunjang Pembangunan Pedesaan (Studi Kasus : Desa Segodorejo dan Desa Ploso
Kerep, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang). Malang: Universitas
Brawijaya.
Atmojo,
Muhammad Eko. 2014. Implementasi Program Dana Desa 1 Miliar Untuk Mewujudkan
Kemandirian Daerah. (Online). (http://muhammadekoatmojo.blogspot.com/2014/11/implementasi-program-dana-desa-1-miliar.html, Diakses 13 Mei 2015).
Kompasiana.Com.
2014. Alokasi Dana Desa Dan Tantangannya. (Online). (http://politik.kompasiana.com/2014/08/07/alokasi-dana-desa-dan-tantangannya-667544.html, Diakses 13 Mei 2015).
Kementerian
Hukum dan HAM. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa. Jakarta: KemenkumHam.
Kementerian
Hukum dan HAM. 2014. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa. Jakarta: KemenkumHam
*Makalah ini disampaikan dalam Debat Kontitusi Mahasiswa Nasional Antar Perguruan Tinggi tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 24-26 Mei 2015.
terima kasih, sangat terbantu
BalasHapus