Bertoleransi Terhadap Agama Penghayat & Aliran
Kepercayaan
Beberapa saat yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) yang
memutuskan bahwa dalam kolom agama di KTP nantinya bisa diganti dengan
Pengahayat atau Kepercayaan. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa kata 'agama'
dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Administrasi
Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan". Dengan
putusan ini, maka penghayat dan aliran kepercayaan bisa dicatat dalam kolom
KTP.
Putusan MK ini sampai saat ini masih dianggap kontroversial,
bahkan sempat mendapat penolakan dari MUI, Ormas Islam dan beberapa kalangan
lain. Dikutip dari Republika.co.id, KH. Maruf Amin selaku Ketua MUI mengatakan
bahwa MUI bersama Ormas menolak putusan MK karena tidak memperhatikan
kesepakatan politik sebagai dasar dari solusi kebangsaan. Menurut beliau, MK
mengerluarkan putusan mengenai aliran kepercayaan agar masuk dalam kolom agama di KTP sebagai
identitas adalah hal yang menyalahi kesepakatan. Sedangkan NU seperti yang
disampaikan salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas
kepada Republika.co.id bersikap lebih lunak, dengan menerima dan menghormati
keputusan MK, walaupun ada sebagian tokohnya masih memberikan catatan terkait
putusan itu.
Dalam hal ini, penulis akan memberikan beberapa pandangan
dan pendapat terkait pengalaman penelitian yang pernah penulis lakukan.
Dalam Stdudy Agama-Agama, kita
mengenal bahwa ada 2 macam agama dilihat dari segi turunnya, yaitu Agama Ardhi
dan Agama Samawi. Agama Ardi adalah
agama yang tumbuh dan berkembang di bumi, kitab sucinya bukan berupa wahyu tapi
hasil karya dan perenungan seorang tokoh agama yang bersangkutan. Agama Samawi,
adalah agama yang turun dari atas. Maksudnya kitab sucinya berupa wahyu yang
diturunkan Tuhan kepada Rasul untuk sekalian manusia.
Penghayat atau Kepercayan sendiri bagi sebagian kalangan
dimasukkan dalam salah satu dari dua macam agama diatas, karena ada
kemiripan-kemiripan di dalamnya atau merupakan aliran sempalan dari sebuah
agama. Sehingga ketika ada pencatatan, maka akan dimasukkan ke dalam agama
induknya. Tetapi tidak sedikit Tokoh yang mengatakan bahwa penghayat atau
penganut kepercayaan tidak termasuk diantara 2 macam pembagian agama diatas.
Atau ada yang mengatakan bahwa Penghayat atau Kepercayaan minus unsur-unsur
untuk disebut sebagai sebuah agama, seperti tidak ada Kitab Suci atau tidak ada
keyakinan adanya Dzat yang suci. Sehingga menurut pendapat kedua inilah
Pengahayat atau Aliran Kepercayan harus berdiri sendiri, dan tidak dimasukkan
ke dalam agama yang sudah ada. Dan kejadian seperti pendapat kedua ini lah yang
banyak penulis temui di lapangan.
Pernah beberapa kali dikontrak oleh beberapa lembaga untuk
melakukan penelitian, mengharuskan penulis bertemu dengan beberapa kelompok
masyarakat penganut kepercayaan atau penghayat. Baik pertemuan itu karena
memang berkaitan dengan tema penelitian di lakukan, maupun dengan tema lainnya.
Diantara beberapa daerah masyarakat kelompok kepercayaan yang pernah penulis
temui adalah di Wonogiri, Sragen, dan Magelang. Dan saat ini pun penulis sedang
melakukan penelitian pada kelompok masyarakat penganut kepercayaan dan
penghayat di Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Semarang berkaitan dengan proses
pernikahan dan pencatatannya.
Dari berbagai pertemuan tersebut, ada beberapa hal yang penulis
temukan; Pertama, kelompok masyarakat penghayat atau aliran kepercayaan
sering terpaksa untuk mengikuti berbagai praktek keagamaan yang telah
ditentukan oleh pemerintah, padahal berbeda dengan keyakinan yang mereka
pegang. Sebagai contoh adalah menurut pemerintah kelompok kepercayaan tersebut
didefinisikan sebagai pemeluk agama Islam. Konsekuensinya, dalam praktek
pernikahan mereka diharuskan mengikuti aturan yang ada dalam UU Perkawinan No 1
tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Padahal praktek yang diyakini dalam
kelompok mereka berbeda dengan yang pemerintah yakini. Akibatnya prosesi
pernikahan tidak sedikit yang harus dilakukan 2 kali, berdasarkan keyakinan
pemerintah dan keyakinan kelompok mereka.
Kedua, kelompok masyarakat penghayat dan aliran
kepercayaan masih belum merasa terdampingi oleh pemerintah melalui peran
Kementerian Agama seperti agama lainnya. Di Kementerian Agama sendiri sudah ada
Dirjen Bimas Islam, Kristen, Budha, dan agama lain yang diakui di Indonesia.
Tetapi untuk Dirjen Bimas yang khusus memberikan bimbingan dan pendampingan
bagi kelompok masyarakat penghayat dan aliran kepercayaan belum ada. Walaupun menurut
Kemenag sendiri Penghayat dan Aliran
Kepercayaan telah mendapatkan pembinaan dari Direktorat Kepercayaan Terhadap
Tuhan YME dan Tradisi Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi
tentu saja untu melakukan pembinaan terhadap 187 Kelompok Masyarakat Penghayat
dan Aliran Kepercayaan se-Indonesia yang diakui oleh pemerintah tidak akan
berjalan maksimal. Padahal sebagai warga negara Indonesia, mereka juga taat
membayar pajak, serta mengikuti peraturan-peraturan pemerintah yang berlaku.
Ketiga, sebagai sebuah bagian dari sejarah, mereka
meyakini bahwa Aliran Kepercayaan dan Penghayat telah ada dan tumbuh di
Indonesia berabad-abad yang lalu. Lebih dahulu dibanding Agama Kristen, Katolik,
dan Konghucu yang datang belakangan. Bahkan sebagian dari mereka mengatakan,
kepercayaan mereka telah ada ada sebelum agama Islam masuk.
Keempat, ketiadaan pengakuan pemerintah akan
eksistensi Penghayat dan Aliran Kepercayaan sebagai sebuah agama atau
kepercayaan tersendiri membuat kekhawatiran bahwa suatu saat nanti ideologi kelompok
mereka akan punah. Orang-orang tidak
akan tertarik, atau ikut masuk menjadi bagian dari kelompok masyarakat
tersebut. Padahal selama ini banyak dari mereka yang terbuka untuk menerima
warga baru. Bisa saja kelompok masyarakat ini kedepannya hanya akan menjadi
sebuah objek penelitian, sebagai sebuah tradisi yang terancam punah.
Melihat kenyataan diatas maka sebenarnya putusan MK untuk
menetapkan Penghayat dan Aliran Kepercayaan masuk dalam kolom KTP adalah suatu
keputusan yang tepat. Sebagai warga negara yang pluralis kita harus dengan
legowo menerimanya. Tentunya keputusan MK disini masih harus ditindaklanjuti
dengan berbagai peraturan pelaksana yang dapat memastikan mana penghayat dan
aliran kepercayaan yang dapat dimasukkan dalam kolom KTP. Harus ada
kriteria-kriteria tertentu. Dan tentu saja untuk menentukan ini semua masih
perlu sebuah kajian yang panjang.
Jetis, 03 Desember 2017 / 14 Rabiul Awal 1939 H
Emangnya di Sragen bener masih ada to, Mas?
BalasHapus