Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)
BAB I
Pendahuluan
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan masyarakat adalah
poligami karena selalu mengundang pandangan yang kontroversial. Poligami adalah
ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu
yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan
bersifat poligami. Kebalikan poligami adalah monogami yaitu ikatan perkawinan
yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Istilah lainnya adalah
monogini. Dalam realitas sosiologis di masyarakat, monogami lebih banyak
dipraktekkan karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan
bentuk perkawinan yang saling menjanjikan kedamaian.
Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru
dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islam lah yang membawa ajaran tentang
poligami, bahkan ada yang secara ekstrim menuduh Islam sebagai ajaran yang
membawa poligami dan kalau tidak ada Islam maka poligami tidak dikenal dalam
sejarah manusia. Mahmud Syaltut (W. 1936), ulama asal Mesir secara tegas
menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam dan juga menolak bahwa
poligami ditetapkan oleh syariah. Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan,
masyarakat manusia telah mengenal dan mempraktekkan poligami, seperti masyarkat Yunani, Persia, dan Mesir (Mulia,
2004:43-45).
Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan
masyarakat terhadap kaum perempuan. Pada masa dimana masyarakat memandang
kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur. Sebaliknya pada
masa masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan terhormat, pologami
pun berkurang. Jadi, perkembangan poligami mengalami pasang surut mengikuti
tinggi rendahnya kedudukan dan derajat perempuan dimata masyarakat.
Ketika Islam datang poligami tidak serta merta dihapuskan. namun setelah
ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang
radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang
dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal, yaitu membatasi jumlah bilangan istri
hanya sampai empat. Selain itu juga ditetapkan syarat yang sangat ketat bagi
poligami, yaitu harus mampu berlaku
adil. Dengan demikian terlihat bahwa praktek poligami di masa Islam sangat
berbeda dengan praktek poligami sebelumnya. perbedaan itu sangat menonjol dalam
batasan jumlah istri dan pada syarat poligami (Mulia, 2004:46-48).
BAB II
Poligami Dalam Perspektif Islam
Pada asalnya dalam perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ini sesuai
firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dan juga ayat 129:
“Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kedua ayat tersebut di atas dengan jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan
dalam Islam pun adalah monogami. Kebolehan poligami yaitu apabila syarat-syarat
yang dapat menjamin keadilan suami kepada istri terpenuhi. Dan syarat keadilan
ini, menurut isyarat ayat 129 diatas terutama dalam hal membagi cinta, tidak
akan dapat dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat
pintu kemungkinan untuk berpoligami, atau beristri lebih dari seorang perempuan,
sepanjang persyaratan keadilan di antara istri dapat di penuhi denagn baik.
Karena hukum Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana pelaksanaannya agar
poligami dapat dilaksanakan manakala memang diperlukan dan tidak merugikan dan
tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap istri maka hukum Islam di Indonesia
perlu mengatur dalam merincinya (Rofiq, 1998:169-170).
Ketika syarat-syarat tadi sudah terpenuhi maka seorang laki-laki boleh
beristri lebih dari satu sampai empat sesuai kesepakatan ulama’. Pembatasan poligami
maksimal empat orang istri dalam waktu bersamaan, didasarkan kepada hadis
Galian ibn Salamah, riwayat dari Abdudullah ibn ‘Umar:
أن غيلان بن سلامة اسلم وله عشر نسوة فاسلمن معه فأمره
النبي صلى الله عليه وسلم أن يتخير منهن أربعا
“Sesungguhnya
Gailan ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang istri. Mereka
bersama-sama dia masuk Islam. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar
memilih empat orang saja di antar mereka (dan menceraikan yang lainnya)”
(riwayat Ahmad, Al-Tirmidzi, dan disahihkan Ibn Hiban) (Rofiq, 1998:177).
Dalam pembahasan kitab fiqih klasik, berbagai argumen dikemukakan untuk
pemberlakuan poligami secara umum. Salah satunya adalah argumen yang menyatakan
bahwa laki-laki mempunyai potensi seksual yang lebih besar dan tidak dapat
menahan dirinya ketika istrinya sedang haid atau melahirkan anak. Dalam rentang
waktu ini mereka harus mempunyai lebih dari seorang istri sehingga mereka tidak
terdorong melakukan seks di luar nikah. Dengan argumen tersebut fuqaha
menafsirkan klausa yang mengizinkan poligami sebagai klausa yang memiliki
kekuatan hukum, sebab ia bersifat konkret dan spesifik. Klausa yang menuntut
keadilan hanya mereka anggap sebagai rekomendasi bagi nurani sang suami bahwa
ia harus berlaku adil, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum. Belakangan,
jaminan persyaratan berlaku adil ditentukan oleh slip gaji atau kemampuan
secara matteriil semata. Dalam kitab al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah
disebutkan bahwa keadilan diukur dari materi, sedangkan keadilan beradasarkan
cinta kasih tidak menjadi pertimbangan. Untuk memperkuat argumen ini dipakai
ayat 129 surat an-Nisa’ (Munti & Anisah, 2005:105).
Pada abad ke-19, para pembaharu atau modernis memberi tafsir yang berbeda
terhadap ayat-ayat diatas, seperti Muhammad Abduh dari Mesir. Menurutnya,
walaupun diperbolehkan dalam al-Qur’an poligami adalah sebuah konsesi bagi
kondisi-kondisi sosial yang mendesak. Konsesi ini diberikan dengan sangat
enggan karena disertai dengan pernyataan mengenai syarat berlaku adil bagi
suami. Muhammad Abduh menekankan bahwa bentuk perkawinan yang ideal dalam
al-Qur’an adalah monogami sehingga ketentuan poligami harus dibatasi dan
dipersulit. Poligami hanya diberlakukan dalam kondisi khusus, bukan untuk
segala kondisi. Dalam kaitan ini institusi pengadilan digunakan untuk
pengendalian poligami. Kiranya latar pemikiran inilah yang melatarbelakangi
pengaturan poligami dalam UU Perkawinan. Adanya konsep monogami terbuka,
pembatasan poligami dengan alasan dan syarat-syarat serta mesti ada izin dari
pengadilan, sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal diatas bila ditelusuri
lebih jauh tidak terdapat dalam khazanah fiqih klasik, tetapi berasal dari
pemikirankelompok modernis pembaharu Islam, seperti yang diwakili oleh Muhammad
Abduh (Munti & Anisah, 2005:105-106).
Dalam persepektif metodologis, pengaturan ketentuan hukum mengenai poligami
yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin pengadial
agama, setelah dibuktikan kemaslahatan. Yaitu terwujudnya cita-cita dan tujuan
perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi yang diridhai
allah SWT. Dan di dasarkan pada cinta dan kasihsayang (mawaddah dan rohmah).
Karena itu segala persoalan yang di mungkinkan akan menjadi penghalang bagi
terwujudnya tujuan perkawinan tersebut harus dihilangkan atau setidaknay di
kurangi. Ini sejalan dengan kaidah usul:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari
madarat (kerusakan atau kesusahan) harus di dahulukan dari pada mengambil
manfaat (kemaslahatan)” (Rofiq, 1998:176).
BAB III
Poligami Dalam Perspektif Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
A. Landasan Hukum Poligami
Seperti dalam fiqih Islam, dalam buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga
mengatur tentang masalah poligami. Dalam KHI juga menyebutkan syarat dan
batasan berpoligami seperti yang telah ditentukan dalam kitab-kitab fiqih. Hal
ini terlihat dalam ayat 1-3 pasal 55 KHI yang berbunyi:
1.
Beristeri
lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
2.
Syarat
utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
ister-isteri dan anak-anaknya.
3.
Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri
dari seorang (Depag, 2000:33).
Adapun latar belakang dari ketentuan poligami ini diambil dari penafsiran
kebanyakan ulama dalam Kitab Tafsir maupun Kitab Fiqih yang dapat dikatakan
sama sekali tidak ada perdebatan terhadap pemberlakuan poligami, artinya
menyetujui institusi poligami dan legitimasi dari al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat
3. Dalam kebanyakan kitab fiqih disebutkan bahwa umat Islam sepakat mengenai
kebolehan seorang laki-laki untuk menikahi perempuan maksimal empat orang.
Kalimat ini langsung dikutip dalam pasal 55 KHI persis sebagaimana dinyatakan dalam kitab-kitab
salaf. Penafsiran yang tekstual dan rigid dari ayat ini diambil begitu saja
menjadi ketentuan hukum tanpa melihat konteks turunnya ayat dan ideal moral
yang ada dibaliknya. Ayat 3 surat an-Nisa’ ini juga dibaca secara terpisah dari
ayat-ayat lain yang pada dasarnya satu rangkaian yang saling berhubungan (Munti
& Anisah, 2005:103).
Sedangkan dalam UU Perkawinan ketentuan diperbolehkannya poligami diatur
dalam pasal 3 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
1) Pada dasarny dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang pria hanya boleh mempunyai seorang suami.
2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Kesindo,
2006:40).
B. Alasan-Alasan Poligami
Karena pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri, maka poligami atau seorang suami beristri dari dari seorang
perempuan diperbolehakn apabil dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
dan pengadilan telah memberi izin. Adapun alasan-alasan yang menjadi pedoman
oleh pengadilan untuk dapat memberi izin poligami, ditegaskan dalam pasal 4
ayat 2 UU Perkawinan dan pasal 57 KHI, yaitu:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badanm atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan (Depag, 2000:34, Kesindo, 2006:41).
Apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut diatas, adalah mengacu pada
tujuan pokok perkawinan itu dilaksanakan, yaitu membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau dalam
rumusan komlikasi, yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Jika ketiga hal tersebut
diatas menimpa satu keluarga atau pasangan suami istri, sudah barang tentu
kehampaan dan kekosongan manis dan romantisnya kehidupan rumah tangga yang
menerpanya. Misalnya, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya atau suami tidak
dapat menjalankan kewajibannya- tentu akan terjadi kepincangan yang mengganggu
laju bahtera rumah tangga yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan seksual,
hanyalah sebagian dari tujuan perkawian, namun ia akan mendatangkan pengaruh
besar, manakala tidak terpenuhi. Demikian juga, apabila isteri mandapat cacat
badan atau penyakit yang tidak bisa di sembuhkan. Akan halnya alasan ketiga,
tidak setiap pasangan suami istri, yang istrinya tidak dapat melahirkan
keturunan memilih alterantif untuk berpoligami. Mereka kadang menempuh cara
mengangkat anak asuh. Namun jika suami ingin berpoligami, adalah wajar dan
masuk akal. Karena keluarga tanpa ada anak tidaklah lengkap (Rofiq,
1998:169-171-172).
C. Syarat-Syarat Berpoligami
Selain alasan-alasan diatas, untuk poligami syarat-syarat dibawah ini harus
di penuhi. Menurut ketentuan pasal 5 UU Perkawinan dijelaskan:
1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana di maksud
dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus di penuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka/
2) Persetujuan yang di maksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak di perlukan
bagi suami apabila istri/ istri-istrinya tidak mungkin di mintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar
istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan (Kesindo, 2006:41).
Lihat juga pasal 58 KHI (Depag, 2000:34-35).
Demikian syarat-syarat pokok di perbolehkannya melakukan poligami bagi
sorang suami. Rincian lebih lanjut dari kualifikasi persyaratan tersebut, di
uraikan dalam prosedur pelaksanaan poligami berikut ini.
D. Prosedur Berpoligami
Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan “Apabila
suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepada pengadilan” (Sosroatmodjo & Aulawi,
1978: 119). Dalam KHI diatur dalam pasal 56 yang berbunyi:
1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan
Agama.
2) Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan menurut
tatacara sebagaimana diatur dalam bab VIII peraturan pemerintah no.9 tahun
1975.
3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa
izin dari pengadial agama, tidak mempunyai kekuatan hokum (Depag, 2000:34).
Pasal 57 kompilasi menyatakan:
Pengadilan Agama hanya memberiak izin kepada
suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan (Depag, 2000:34).
Pengadilan agama setelah menerima permohonan izin poligami, kemudian
memeriksa;
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi (Pasal 41a) ialah meliputi pasal 57 KHI di atas.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan atau
tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu
harus diucapkan di depan siding pengadialn.
c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak, dengan
memperlihatkan:
i.
Surat keterangan mengenai penghasilan suami
yang di tandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
ii.
Surat keterangan pajak penghasilan, atau
iii.
Surat keterangan lain yang dapat di terima
oleh pengadilan.
Lihat juga pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan jo.
Pasal 58 ayat (1) KHI (Depag, 2000:34-35, Kesindo, 2006:41).
Dalam ayat (2) pasal 58 KHI ditegaskan:
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41
huruf b PP No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat di berikan
secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan
tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang
Pengadilan Agama (Depag, 2000:34-35).
Apabila karena sesuatu dan lain hal si istri atau istri-istri tidak mungkin
diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang di maksud pada ayat (1) huruf
a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/istri-istrinya
tidak mungkin di minta persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istri-istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Lihat juga pasal 58 ayat 3 KHI (Depag,
2000:35).
Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa
izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal 43 PP No. 9 Tahun 1975). Jadi
pada dasarnya, pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974).
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur
dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, pengadilan agama dapat menetapkan pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan
pengadilan agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila keputusan hukum yang mempunyai
kekuatan tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan pasal
44 PP No. 9 Tahun 1975, pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya
izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43 (PP No. 9 Tahun 1975) (Sosroatmodjo
& Aulawi, 1978: 131, Rofiq, 1998:175).
E. Sanksi-Sanksi
Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanan poligami seperti telah
diuraikan di atas mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami
dan pegawai pencatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan pasal-pasal di atas dikenai sanksin pidana. Masalah ini diatur dalam
bab IX pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975:
1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka:
a.
Barang siapa yang melanggar ketentuan yang di
atur dalam pasal 3, pasal 10 ayat (3), pasal 40 Peraturan Pemerintah ini
dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima
ratus rupiah).
b.
Pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang
diatur dalam pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 12, 44 peraturan Pemerintah ini
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda dengan
setinggi-tingginya Rp 7.500,- ( tujuh ribu lima ratus rupiah).
2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran (Sosroatmodjo
& Aulawi, 1978: 131, Rofiq, 1998:175-176).
BAB IV
Penutup
Alhamdulillahirabbil‘alamin, berkat usaha keras bersama dari teman-teman
satu kelompok, tugas pembuatan makalah ini dapat selesai dengan tanpa ada
halangan suatu apapun. Tentunya dalam pembuatan Makalah ini masih banyak
kekurangan yang perlu diperbaiki. Dari itu, kami memohon dengan sangat kepada ibu Dosen dan teman-teman pembaca untuk selalu membimbing kami agar Makalah
kami menjadi lebih baik lagi.
Demikian ada kurang dan
lebihnya, atas nama segenap anggota kelompok senantiasa mohon ma'af yang sebesar-besarnya. Dan
akhirnya semoga Makalah ini selalu membawa kemanfaatan bagi kita semua . Amin.
Daftar Putaka
-. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Surabaya: Kesindo Utama.
Departemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Mulia, Siti Musdah. 2004. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Munti, Ratna Batara & Hindun Anisah. 2005. Posisi Perempuan Dalam
Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: LBH-APIK..
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sosroatmodjo, Arso & Ahmad Wasit Aulawi. 1978. Hukum Perkawinan Di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.