Poligami Dalam Perspektif Islam, KHI Dan UU Perkawinan - Sang Pemburu Badai

Selasa, 02 Agustus 2016

Poligami Dalam Perspektif Islam, KHI Dan UU Perkawinan

Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)


BAB I
Pendahuluan

Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan masyarakat adalah poligami karena selalu mengundang pandangan yang kontroversial. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Kebalikan poligami adalah monogami yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Istilah lainnya adalah monogini. Dalam realitas sosiologis di masyarakat, monogami lebih banyak dipraktekkan karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang saling menjanjikan kedamaian.
Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islam lah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang secara ekstrim menuduh Islam sebagai ajaran yang membawa poligami dan kalau tidak ada Islam maka poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Mahmud Syaltut (W. 1936), ulama asal Mesir secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan oleh syariah. Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat manusia telah mengenal dan mempraktekkan poligami, seperti  masyarkat Yunani, Persia, dan Mesir (Mulia, 2004:43-45).
Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan. Pada masa dimana masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur. Sebaliknya pada masa masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan terhormat, pologami pun berkurang. Jadi, perkembangan poligami mengalami pasang surut mengikuti tinggi rendahnya kedudukan dan derajat perempuan dimata masyarakat.
Ketika Islam datang poligami tidak serta merta dihapuskan. namun setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal, yaitu membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Selain itu juga ditetapkan syarat yang sangat ketat bagi poligami,  yaitu harus mampu berlaku adil. Dengan demikian terlihat bahwa praktek poligami di masa Islam sangat berbeda dengan praktek poligami sebelumnya. perbedaan itu sangat menonjol dalam batasan jumlah istri dan pada syarat poligami (Mulia, 2004:46-48).
BAB II
Poligami Dalam Perspektif Islam

Pada asalnya dalam perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ini sesuai firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dan juga ayat 129:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kedua ayat tersebut di atas dengan jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam Islam pun adalah monogami. Kebolehan poligami yaitu apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada istri terpenuhi. Dan syarat keadilan ini, menurut isyarat ayat 129 diatas terutama dalam hal membagi cinta, tidak akan dapat dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, atau beristri lebih dari seorang perempuan, sepanjang persyaratan keadilan di antara istri dapat di penuhi denagn baik. Karena hukum Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana pelaksanaannya agar poligami dapat dilaksanakan manakala memang diperlukan dan tidak merugikan dan tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap istri maka hukum Islam di Indonesia perlu mengatur dalam merincinya (Rofiq, 1998:169-170).
Ketika syarat-syarat tadi sudah terpenuhi maka seorang laki-laki boleh beristri lebih dari satu sampai empat sesuai kesepakatan ulama’. Pembatasan poligami maksimal empat orang istri dalam waktu bersamaan, didasarkan kepada hadis Galian ibn Salamah, riwayat dari Abdudullah ibn ‘Umar:
أن غيلان بن سلامة اسلم وله عشر نسوة فاسلمن معه فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يتخير منهن أربعا
“Sesungguhnya Gailan ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang istri. Mereka bersama-sama dia masuk Islam. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja di antar mereka (dan menceraikan yang lainnya)” (riwayat Ahmad, Al-Tirmidzi, dan disahihkan Ibn Hiban) (Rofiq, 1998:177). 
Dalam pembahasan kitab fiqih klasik, berbagai argumen dikemukakan untuk pemberlakuan poligami secara umum. Salah satunya adalah argumen yang menyatakan bahwa laki-laki mempunyai potensi seksual yang lebih besar dan tidak dapat menahan dirinya ketika istrinya sedang haid atau melahirkan anak. Dalam rentang waktu ini mereka harus mempunyai lebih dari seorang istri sehingga mereka tidak terdorong melakukan seks di luar nikah. Dengan argumen tersebut fuqaha menafsirkan klausa yang mengizinkan poligami sebagai klausa yang memiliki kekuatan hukum, sebab ia bersifat konkret dan spesifik. Klausa yang menuntut keadilan hanya mereka anggap sebagai rekomendasi bagi nurani sang suami bahwa ia harus berlaku adil, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum. Belakangan, jaminan persyaratan berlaku adil ditentukan oleh slip gaji atau kemampuan secara matteriil semata. Dalam kitab al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah disebutkan bahwa keadilan diukur dari materi, sedangkan keadilan beradasarkan cinta kasih tidak menjadi pertimbangan. Untuk memperkuat argumen ini dipakai ayat 129 surat an-Nisa’ (Munti & Anisah, 2005:105).
Pada abad ke-19, para pembaharu atau modernis memberi tafsir yang berbeda terhadap ayat-ayat diatas, seperti Muhammad Abduh dari Mesir. Menurutnya, walaupun diperbolehkan dalam al-Qur’an poligami adalah sebuah konsesi bagi kondisi-kondisi sosial yang mendesak. Konsesi ini diberikan dengan sangat enggan karena disertai dengan pernyataan mengenai syarat berlaku adil bagi suami. Muhammad Abduh menekankan bahwa bentuk perkawinan yang ideal dalam al-Qur’an adalah monogami sehingga ketentuan poligami harus dibatasi dan dipersulit. Poligami hanya diberlakukan dalam kondisi khusus, bukan untuk segala kondisi. Dalam kaitan ini institusi pengadilan digunakan untuk pengendalian poligami. Kiranya latar pemikiran inilah yang melatarbelakangi pengaturan poligami dalam UU Perkawinan. Adanya konsep monogami terbuka, pembatasan poligami dengan alasan dan syarat-syarat serta mesti ada izin dari pengadilan, sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal diatas bila ditelusuri lebih jauh tidak terdapat dalam khazanah fiqih klasik, tetapi berasal dari pemikirankelompok modernis pembaharu Islam, seperti yang diwakili oleh Muhammad Abduh (Munti & Anisah, 2005:105-106).
Dalam persepektif metodologis, pengaturan ketentuan hukum mengenai poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin pengadial agama, setelah dibuktikan kemaslahatan. Yaitu terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi yang diridhai allah SWT. Dan di dasarkan pada cinta dan kasihsayang (mawaddah dan rohmah). Karena itu segala persoalan yang di mungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut harus dihilangkan atau setidaknay di kurangi. Ini sejalan dengan kaidah usul:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari madarat (kerusakan atau kesusahan) harus di dahulukan dari pada mengambil manfaat (kemaslahatan)” (Rofiq, 1998:176).



BAB III
Poligami Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

A.     Landasan Hukum Poligami
Seperti dalam fiqih Islam, dalam buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur tentang masalah poligami. Dalam KHI juga menyebutkan syarat dan batasan berpoligami seperti yang telah ditentukan dalam kitab-kitab fiqih. Hal ini terlihat dalam ayat 1-3 pasal 55 KHI yang berbunyi:
1.      Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
2.      Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
3.      Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang (Depag, 2000:33).
Adapun latar belakang dari ketentuan poligami ini diambil dari penafsiran kebanyakan ulama dalam Kitab Tafsir maupun Kitab Fiqih yang dapat dikatakan sama sekali tidak ada perdebatan terhadap pemberlakuan poligami, artinya menyetujui institusi poligami dan legitimasi dari al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3. Dalam kebanyakan kitab fiqih disebutkan bahwa umat Islam sepakat mengenai kebolehan seorang laki-laki untuk menikahi perempuan maksimal empat orang. Kalimat ini langsung dikutip dalam pasal 55 KHI persis  sebagaimana dinyatakan dalam kitab-kitab salaf. Penafsiran yang tekstual dan rigid dari ayat ini diambil begitu saja menjadi ketentuan hukum tanpa melihat konteks turunnya ayat dan ideal moral yang ada dibaliknya. Ayat 3 surat an-Nisa’ ini juga dibaca secara terpisah dari ayat-ayat lain yang pada dasarnya satu rangkaian yang saling berhubungan (Munti & Anisah, 2005:103).
Sedangkan dalam UU Perkawinan ketentuan diperbolehkannya poligami diatur dalam pasal 3 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
1)      Pada dasarny dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang pria hanya boleh mempunyai seorang suami.
2)      Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Kesindo, 2006:40).

B.     Alasan-Alasan Poligami
Karena pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, maka poligami atau seorang suami beristri dari dari seorang perempuan diperbolehakn apabil dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan pengadilan telah memberi izin. Adapun alasan-alasan yang menjadi pedoman oleh pengadilan untuk dapat memberi izin poligami, ditegaskan dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan dan pasal 57 KHI, yaitu:
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b.      Istri mendapat cacat badanm atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan (Depag, 2000:34, Kesindo, 2006:41).
Apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut diatas, adalah mengacu pada tujuan pokok perkawinan itu dilaksanakan, yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau dalam rumusan komlikasi, yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Jika ketiga hal tersebut diatas menimpa satu keluarga atau pasangan suami istri, sudah barang tentu kehampaan dan kekosongan manis dan romantisnya kehidupan rumah tangga yang menerpanya. Misalnya, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya atau suami tidak dapat menjalankan kewajibannya- tentu akan terjadi kepincangan yang mengganggu laju bahtera rumah tangga yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan seksual, hanyalah sebagian dari tujuan perkawian, namun ia akan mendatangkan pengaruh besar, manakala tidak terpenuhi. Demikian juga, apabila isteri mandapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa di sembuhkan. Akan halnya alasan ketiga, tidak setiap pasangan suami istri, yang istrinya tidak dapat melahirkan keturunan memilih alterantif untuk berpoligami. Mereka kadang menempuh cara mengangkat anak asuh. Namun jika suami ingin berpoligami, adalah wajar dan masuk akal. Karena keluarga tanpa ada anak tidaklah lengkap (Rofiq, 1998:169-171-172).

C.     Syarat-Syarat Berpoligami
Selain alasan-alasan diatas, untuk poligami syarat-syarat dibawah ini harus di penuhi. Menurut ketentuan pasal 5 UU Perkawinan dijelaskan:
1)      Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana di maksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus di penuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c.       Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap  istri-istri dan anak-anak mereka/
2)      Persetujuan yang di maksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak di perlukan bagi suami apabila istri/ istri-istrinya tidak mungkin di mintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan (Kesindo, 2006:41).
Lihat juga pasal 58 KHI (Depag, 2000:34-35).
Demikian syarat-syarat pokok di perbolehkannya melakukan poligami bagi sorang suami. Rincian lebih lanjut dari kualifikasi persyaratan tersebut, di uraikan dalam prosedur pelaksanaan poligami berikut ini.

D.    Prosedur Berpoligami
Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan “Apabila suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan” (Sosroatmodjo & Aulawi, 1978: 119). Dalam KHI diatur dalam pasal 56 yang berbunyi:
1)      Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2)      Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam bab VIII peraturan pemerintah no.9 tahun 1975.
3)      Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadial agama, tidak mempunyai kekuatan hokum (Depag, 2000:34).
Pasal 57 kompilasi menyatakan:
Pengadilan Agama hanya memberiak izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan (Depag, 2000:34).
Pengadilan agama setelah menerima permohonan izin poligami, kemudian memeriksa;
a.       Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi (Pasal 41a) ialah meliputi pasal 57 KHI di atas.
b.      Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan atau tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan siding pengadialn.
c.       Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan  memperlihatkan:
                                                   i.        Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang di tandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
                                                 ii.        Surat keterangan pajak penghasilan, atau
                                                iii.        Surat keterangan lain yang dapat di terima oleh pengadilan.
Lihat juga pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal 58 ayat (1) KHI (Depag, 2000:34-35, Kesindo, 2006:41).
Dalam ayat (2) pasal 58 KHI ditegaskan:
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat di berikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama (Depag, 2000:34-35).
Apabila karena sesuatu dan lain hal si istri atau istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang di maksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/istri-istrinya tidak mungkin di minta persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istri-istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Lihat juga pasal 58 ayat 3 KHI (Depag, 2000:35).
Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal 43 PP No. 9 Tahun 1975). Jadi pada dasarnya, pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974).
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, pengadilan agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila keputusan hukum yang mempunyai kekuatan tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975, pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43 (PP No. 9 Tahun 1975) (Sosroatmodjo & Aulawi, 1978: 131, Rofiq, 1998:175).

E.     Sanksi-Sanksi
Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanan poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai pencatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas dikenai sanksin pidana. Masalah ini diatur dalam bab IX pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975:
1)      Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
a.         Barang siapa yang melanggar ketentuan yang di atur dalam pasal 3, pasal 10 ayat (3), pasal 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
b.        Pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 12, 44 peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda dengan setinggi-tingginya Rp 7.500,- ( tujuh ribu lima ratus rupiah).
2)      Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran (Sosroatmodjo & Aulawi, 1978: 131, Rofiq, 1998:175-176).


BAB IV
Penutup


Alhamdulillahirabbil‘alamin, berkat usaha keras bersama dari teman-teman satu kelompok, tugas pembuatan makalah ini dapat selesai dengan tanpa ada halangan suatu apapun. Tentunya dalam pembuatan Makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Dari itu, kami memohon dengan sangat kepada ibu Dosen dan teman-teman pembaca untuk selalu membimbing kami agar Makalah kami menjadi lebih baik lagi.
            Demikian ada kurang dan lebihnya, atas nama segenap anggota kelompok senantiasa mohon ma'af yang sebesar-besarnya. Dan  akhirnya semoga Makalah ini selalu membawa kemanfaatan bagi  kita semua . Amin.


Daftar Putaka

-. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Surabaya: Kesindo Utama.
Departemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Mulia, Siti Musdah. 2004. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Munti, Ratna Batara & Hindun Anisah. 2005. Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: LBH-APIK..
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sosroatmodjo, Arso & Ahmad Wasit Aulawi. 1978. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.