Hikmah Poligami Dalam Pandangan Al-Qur'an (Tafsir Surat An-Nisa 1-4) - Sang Pemburu Badai

Selasa, 02 Agustus 2016

Hikmah Poligami Dalam Pandangan Al-Qur'an (Tafsir Surat An-Nisa 1-4)

Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)

BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan masyarakat adalah poligami karena selalu mengundang pandangan yang kontroversial. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Kebalikan poligami adalah monogami yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Istilah lainnya adalah monogini. Dalam realitas sosiologis di masyarakat, monogami lebih banyak dipraktekkan karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang saling menjanjikan kedamaian.
Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islam lah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang secara ekstrim menuduh Islam sebagai ajaran yang membawa poligami dan kalau tidak ada Islam maka poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Mahmud Syaltut (W. 1936), ulama asal Mesir secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan oleh syariah. Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat manusia telah mengenal dan mempraktekkan poligami, seperti  masyarkat Yunani, Persia, dan Mesir (Mulia, 2004:43-45).
Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan. Pada masa dimana masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur. Sebaliknya pada masa masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan terhormat, poligami pun berkurang. Jadi, perkembangan poligami mengalami pasang surut mengikuti tinggi rendahnya kedudukan dan derajat perempuan dimata masyarakat.
Ketika Islam datang poligami tidak serta merta dihapuskan. namun setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal, yaitu membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Selain itu juga ditetapkan syarat yang sangat ketat bagi poligami,  yaitu harus mampu berlaku adil. Dengan demikian terlihat bahwa praktek poligami di masa Islam sangat berbeda dengan praktek poligami sebelumnya. perbedaan itu sangat menonjol dalam batasan jumlah istri dan pada syarat poligami (Mulia, 2004:46-48).
BAB II
HUKUM DAN HIKMAH POLIGAMI
(TAFSIR AHKAM SURAT AN-NISA 1-4)

A.    Surat An-Nisa Ayat 1-2
1.        Ayat Al-Qur’an
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.

2.        Asbababun Nuzul
Diriwayatkan dari Suddi dari Imam Mujahid bahwa pada waktu itu banyak terjadi di kalangan orang-orang yang apabila menguasai anak yatim yang memiliki harta selalu diputar balikkan. Mereka biasa mengambil kambing yang gemuk milik anak yatim kemudian diganti dengan kambing yang kurus. Apabila mereka mendapatkan teguran, dijawab “aku mengambil (meminjam) kambing sudah aku kembalikan dengan kambing pula”. Demikian juga harta benda yang lain. sehubungan dengan perbuatan mereka itu Allah menurunkan ayat ke 2 ini sebagai teguran terhadap mereka. selain itu mengabarkan pula bahwa perbuatan yang mereka lakukan terhadap anak yatim itu adalah dosa besar (Mahali, 1989:219).

3.      Penjelasan Ayat
Dalam ayat ini Allah berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya bertaqwa kepada Allah, hanya menyembah-Nya tanpa menyekutukan sesuatu kepada-Nya, seraya memperingatkan mereka akan kekuasan-Nya yang telah menciptkan mereka semua dari seorang diri yaiu Nabi Adam dan menciptkan istrinya, Hawa. Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri Nabi Adam sewaktu dia tidur. Dari kedua mahluk itu Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan yang banyak tersebar di seluruh pelosok dunia menjadi bangsa yang berbeda-beda warna kulitnya, sifat-sifatnya dan bahas-bahasanya.
Selanjutnya Allah berfirman, bertaqwalah kamu kepada Allah yang kamu mempergunakan nama-Nya dalam percakapan, bertanya dan meminta satu kepada yang lain. Dan Allah juga menyuruh  manusia untuk menjaga silaturahmi, karena sesungguhnya Allah mengawasi segala perbuatan dan tindak-tanduk kita (Ibnu Katsier, 1990: 302).
Jumhur ulama sepakat bahwa makna an-nafsul wahidah adalah Nabi Adam. Al-Qaffal mengatakan bahwa makna yang dimaksud dalam ayat itu ialah sesungguhnya Allah telah menciptakan setiap orang diantara kelian berasal dari satu jiwa. Kemudian Dia menjadikan istri untuknya yang Dia ciptakan dari dirinya, sama sebagai manusianya dan sejenis (Al-Maraghi, 1993: 317)
Dalam ayat selanjutnya Allah berfirman memerintahkan kepada orang-orang menyerahkan kepada anak-anak yatim harta mereka jika mereka sudah mencapai dewasa (baligh). Allah juga melarang memakan harta anak yatim atau mencampur baurkannya dengan hartanya sendiri. Karena itu Allah berfirman janganlah kamu memakan harta anak yatim dengan yang baik, yaitu memakan harta harta halalmu sendiri. Perbuatan yang demikian itu merupakan dosa yang besar (Ibnu Katsier, 1990: 304).

B.     Surat An-Nisa Ayat 3
1.        Ayat Al-Qur’an
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

2.        Asbabun Nuzul
Diriwayatkan dalam hadis riwayat Imam Bukhori dari Ibrahim bin Musa dari Hisyam dari Ibnu Juraij dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah bahwa pada waktu itu ada seorang lelaki yang menguasai anak yatim, yang kemudian dikawin. Dia mengadakan perserikatan harta untuk berdagang dengan wanita yatim yang menjadi tanggungjawabnya itu. oleh sebab itu di dalam perkawinan dia tidak memberi apa-apa dan menguasai seluruh harta perserikatan itu, sehingga wanita itu tidak mempunyai kekuasaan sama sekali terhadap harta miliknya yang telah diserikatkan. Sehubungan dengan itu Allah Swt menurunkan ayat ke 3 sebagai teguran, saran dan peringatan bagi mereka yang menikahi anak-anak yatim (Mahali, 1989:219).

3.        Penjelasan Ayat
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim perermpuan yang berada di bawah perwalianmu yang kamu ingin mengawininya, maka carilah wanita lain untuk menjadi istrimu, dua, tiga, atau empat sesuka hatimu. Namun jika terhadap istri-istri yang lebih dari satu itu kamu takut tidak dapat berlaku adil dalam perlakuan terhadap mereka mengenai pelayanan, pakaian, tempat, giliran bermalam dan lain-lain, maka hendaklah kamu beristrikan satu orang saja atau cuku dengan budak-budak yang kamu miliki.
Hadis yang juga memperbolehkan berpoligami sampai empat orang adalah hadis tentang kisah Ghailan bin Ahmad Ats-Tsaqafi. Pada waktu ghailan masuk Islam dia mempunyai istri berjumlah 10 orang yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Oleh Rasulullah, Ghailan diperintahkan untuk memilih empat dari sepuluh istrinya dan menceraikan yang lain. menurut Al-Baihaqi bahwa dengan hadis tentang kisah Ghailan itu Rasulullah jelas-jelas melarang umatnya memiliki istri lebih dari empat. Kalau tidak , pasti Rasulullah tidak akan menyuruh Ghailan menceraikan keenam istrinya yang sudah dinikahinya sebelum dia masuk Islam dan juga bersama-sama dia masuk Islam (Ibnu Katsier, 1990: 304-305).\

C.    An-Nisa ayat 4
1.        Ayat Al-Qur’an
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

2.        Asbabun Nuzul
Ayat ke 4 ini turun sehubungan dengan kebiasaan para bapak (wali) menggunakan dan menerima mahar (mas kawin) dengan tanpa seizin putrinya (anak yang menjadi tanggungjawabnya yang dinikahkan). Sehubungan dengan kebiasaan seperti itu Allah Swt menurunkan ayat ini sebagai larangan atas perbuatan mereka tersebut. Alhasil wali tidak boleh menggunakan maskawin milik putri yang dikawinkannya (Mahali, 1989:220).
Diriwayatkan oleh Husyaim dari Saiyar dari Abi Saleh bahwa ayat ke 4 ini turun untuk mencegah kebiasaan bahwa seorang ayah tidak menyerahkan mas kawin kepada putrinya yang dinikahkan tetapi diambilnya sendiri. Hal ini bertentangan dengan perintah Allah dalam ayat tersebut (Ibnu Katsier, 1990: 306).

3.        Penjelasan Ayat
Dalam ayat keempat ini Allah memerintahkan hendaklah kamu memberi mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi yang besar kecilnya ditetapkan menurut persetujuan kedua belah pihak dan diberikannya dengan Ikhlas dan senang hati. Kemudian digunakannya atau dimakannya sebagai barang yang halal, sedap dan lezat. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Imam Ali berkata “jika seseorang diantara kamu merasakan sesuatu (mengenai kesehatannya) hendaklah ia memintakan dari istrinya 3 dirham guna dibelikan madu dan dicampurkan dengan air hujan. Kemudia diminumnya sebagai minuman yang lezat, sedap dan obat yang berkah” (Ibnu Katsier, 1990: 306).

D.    Kandungan Hukum Surat An-Nisa Ayat 1-4 Tentang Poligami
1.        Hukum Poligami
Pada asalnya dalam perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ini sesuai firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3 diatas dan juga ayat 129:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kedua ayat tersebut di atas dengan jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam Islam pun adalah monogami. Kebolehan poligami yaitu apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada istri terpenuhi. Dan syarat keadilan ini, menurut isyarat ayat 129 diatas terutama dalam hal membagi cinta, tidak akan dapat dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, atau beristri lebih dari seorang perempuan, sepanjang persyaratan keadilan di antara istri dapat di penuhi dengan baik. Karena hukum Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana pelaksanaannya agar poligami dapat dilaksanakan manakala memang diperlukan dan tidak merugikan dan tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap istri maka hukum Islam di Indonesia perlu mengatur dalam merincinya (Rofiq, 1998:169-170).
Mengenai hukum poligami dalam Islam, menurut Imam Syafi’i berdasarkan sunnah Rasulullah tidak diperbolehkan seorang beristri lebih dari empat. Pendapat itu telah menjadi ijma’ oleh para ulama’, terkecuali segolongan Ulama Syi’ah yang berpendapat bahwa seorang laki-laki boleh beristrikan lebih dari empat orang sampai sembilan. Bahkan ada diantara mereka yang tidak membatasi dengan sesuatu bilangan. Mereka ini bersandarkan kepada perbuatan Rasulullah yang beristrikan lebih dari empat orang sampai sembilan bahkan sampai sebelas istri dan wafat meninggalkan sembilan janda. Akan tetapi alasan itu ditolak oleh mayoritas ulama Islam dan bersandar kepada beberapa hadits Rasulullah sepeti hadits Ghailan. Mereka berpendapat bahwa apa yang diperbuat Rasulullah itu adalah merupakan kekhususan bagi beliau sebagai rasul (Ibnu Katsier, 1990: 304).
Dalam pembahasan kitab fiqih klasik, berbagai argumen dikemukakan untuk memberlakuan poligami secara umum. Salah satunya adalah argumen yang menyatakan bahwa laki-laki mempunyai potensi seksual yang lebih besar dan tidak dapat menahan dirinya ketika istrinya sedang haid atau melahirkan anak. Dalam rentang waktu ini mereka harus mempunyai lebih dari seorang istri sehingga mereka tidak terdorong melakukan seks di luar nikah. Dengan argumen tersebut fuqaha menafsirkan klausa yang mengizinkan poligami sebagai klausa yang memiliki kekuatan hukum, sebab ia bersifat konkret dan spesifik. Klausa yang menuntut keadilan hanya mereka anggap sebagai rekomendasi bagi nurani sang suami bahwa ia harus berlaku adil, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum. Belakangan, jaminan persyaratan berlaku adil ditentukan oleh slip gaji atau kemampuan secara matteriil semata. Dalam kitab al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah disebutkan bahwa keadilan diukur dari materi, sedangkan keadilan beradasarkan cinta kasih tidak menjadi pertimbangan. Untuk memperkuat argumen ini dipakai ayat 129 surat an-Nisa’ (Munti & Anisah, 2005:105).
Pada abad ke-19, para pembaharu atau modernis memberi tafsir yang berbeda terhadap ayat-ayat diatas, seperti Muhammad Abduh dari Mesir. Menurutnya, walaupun diperbolehkan dalam al-Qur’an, poligami adalah sebuah konsesi bagi kondisi-kondisi sosial yang mendesak. Konsesi ini diberikan dengan sangat enggan karena disertai dengan pernyataan mengenai syarat berlaku adil bagi suami. Muhammad Abduh menekankan bahwa bentuk perkawinan yang ideal dalam al-Qur’an adalah monogami sehingga ketentuan poligami harus dibatasi dan dipersulit. Poligami hanya diberlakukan dalam kondisi khusus, bukan untuk segala kondisi. Dalam kaitan ini institusi pengadilan digunakan untuk pengendalian poligami. Kiranya latar pemikiran inilah yang melatarbelakangi pengaturan poligami dalam UU Perkawinan. Adanya konsep monogami terbuka, pembatasan poligami dengan alasan dan syarat-syarat serta mesti ada izin dari pengadilan, sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal diatas bila ditelusuri lebih jauh tidak terdapat dalam khazanah fiqih klasik, tetapi berasal dari pemikirankelompok modernis pembaharu Islam, seperti yang diwakili oleh Muhammad Abduh (Munti & Anisah, 2005:105-106).
Dalam persepektif metodologis, pengaturan ketentuan hukum mengenai poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin pengadial agama, setelah dibuktikan kemaslahatan. Yaitu terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi yang diridhai allah SWT. Dan di dasarkan pada cinta dan kasihsayang (mawaddah dan rohmah). Karena itu segala persoalan yang di mungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut harus dihilangkan atau setidaknay di kurangi. Ini sejalan dengan kaidah usul:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari madarat (kerusakan atau kesusahan) harus di dahulukan dari pada mengambil manfaat (kemaslahatan)” (Rofiq, 1998:176).

2.        Berbagai Keistimewaan Poligami Ketika Diperlukan
Pada prinsipnya kebahagian berumah tangga bagi seorang suami hanya apabila mempunyai seorang istri saja, karena bentuk rumah tangga seperti itu adalah yang paling sempurna, yang harusnya dipelihara oleh setiap individu dan diyakini. Tetapi, terkadang memang ada beberapa kondisi yang dialami seseorang yang mendorong menyimpang dari ketentuan tersebut karena ada kemaslahatan-kemaslahatan penting yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangganya, atau kemaslahatan umatnya. Sehingga poligami bagi dirinya tidak bisa ditinggalkan lagi. Kondisi-kondisi tersebut diantaranya ialah sebagai berikut :
a.       Bila suami beristrikan seorang wanita mandul, sedangkan ia sangat mengharapkan anak. Termasuk kemaslahatan sang istri dan kemaslahatan mereka (sumi istri), hendaknya sang suami menetapkan istri pertamanya, kemudian mengawini wanita lain. Terlebih lagi jika status sang suami sebagai orang terpandang dan memiliki kekayaan, misalnya seorang raja atau amir.
b.      Bila istri telah tua, dan mencapai umur tidak haid lagi, kemudian sang suami berkeinginan mempunyai anak, dan ia mampu memberikan nafkah kepada lebih dari seorang istri, mampu pula menjamin kebutuhan anak-anaknya, termasuk pendidikan mereka.
c.       Bila sang suami tidak cukup hanya mempunyai seorang istri, demi terpeliharanya kehormatan diri (agar tidak berzina) karena kapabilitas seksualnya memang mendorongnya untuk berpoligami, sedang sang istri kebalikannya. Atau biasa juga karena masa haid sang istri, umpamanya terlalu panjang, hingga memakan waktu sebagian besar dari bulannya. Sehingga kini posisi sang suami dihadapkan pada dua alternatif,. Terkadang ia harus kawin lagi, atau terjerumus ke dalam berbuatan zina yang akibatnya menyia-nyiakan agama, harta benda dan kesehatannya. Akibatnya hal ini lebih berbahaya bagi sang istri dibandingkan apabila sang suami memadunya dengan istri lain yang disertai keadilan sang suami terhadap semuanya, sebagai mana yang menjadi syarat dibolehkannya poligami dalam islam.
d.      Bila dari hasil sensus kaum wanita lebih banyak dari kaum pria, dalam suatu Negara, dengan perbandingan yang mencolok. Hal itu bisa terjadi setelah suatu Negara baru saja mengalami peperangan yang banyak menewaskan kaum pria. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada jalan lain bagi wanita dalam mencari kasab, kecuali hanya dengan menjual diri (kehormatan) yang akibatnya jelas akan membuat wanita itu hidup sengsara, karena ia harus menjamin nafkah diri dan anak-anaknya yang telah kehilangan seorang ayah sebagai penanggung kebutuhan mereka. Terlebih lagi jika hal itu terjadi setelah melahirkan dan dalam masa penyusuan, sungguh mengharukan.
Pemandangan-pemandangan yang kita saksikan tentang bercampurnya antara kaum wanita dengan pria di pabrik-pabrik, tempat-tempat perbelanjaan, dan tempat umum lainnya akan banyak membawa dampak yang menjerumus kepada tindak pemerkosaan, pezinaan dan perbuatan amoral lainnya. Sehingga banyak sekali wartawati inggris yang memberikan ulasan, bahwa dekadensi moral yang melanda dunia sekarang ini tidak ada pemecahnya kecuali dibolehkan poligami. Disamping itu perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum wanita itu sendiri. Mereka secara fitrah akan menolak mentah-mentah hal tersebut.
Ringkasnya, poligami bertentangan dengan citra kasih sayang dan ketenangan jiwa dalam hidup bersama dengan wanita, sedangkan hal-hal tersebut merupakan tiang-tiang penyangga kebahagian hidup berumah tangga. Oleh karena itu, tidak sepatutnya seorang muslim mengajukan diri untuk melakukan poligami, kecuali dalam keaadaan darurat dan disertai kepercayan diri untuk berbuat adil, seperti yang diperintahkan Allah SWT. Jika persyaratan tersebut tidak ada pada diri seseorang yang bermaksud melakukan poligami, maka perbuatannya itu hanyalah perbuatan aniaya terhadap dirinya sendiri, terhadap istri dan bangsanya.

3.        Hikmah Poligami Yang Dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad saw. Selalu memelihara kemaslahatan dalam memilih setiap wanita yang akan dijadikan istrinya. Untuk itu, beliau memilih kabilah-kabilah terbesar untuk bersemenda (berpoligami) dengannya. Kemudian beliau mengajari para pengikutnya, seperti bagaimana cara menghormati kaum wanita dan memuliakan istri-istrinya, serta berlaku adil terhadap mereka.
Ketika Nabi Saw. wafat, beliau meninggalkan Sembilan istri sebagai ummahatul mukminin (ibu-ibu kaum mukminin). Mereka bertugas mengajari istri-istri kaum mukminin tentang hukum-hukum yang khusus untuk kaum wanita yang harus mereka ketahui, langsung dari kaum wanita sendiri, bukan dari kaum pria. Dan seandainya Nabi saw. Hanya meninggalkan seorang istri pastilah manfaatnya tidak akan seperti beliau meninggalkan Sembilan istri (mengingat fungsi mereka yang sangat penting).
Singkatnya dalam berpoligami, Nabi saw. tidak bermaksud seperti yang dikehendaki oleh seorang raja, amir, dan hartawan yang hanya ingin bersenang-senang dengan wanita. Sebab kalau saja beliau bermaksud demikian, niscaya beliau akan memilih wanita-wanita tercantik dan perawan, seperti yang pernah beliau sarankan kepada salah seorang sahabat yang mengawini seorang janda.




BAB III
PENUTUP


Alhamdulillahirabbil‘alamin, berkat usaha keras bersama dari teman-teman satu kelompok, tugas pembuatan makalah ini dapat selesai dengan tanpa ada halangan suatu apapun. Tentunya dalam pembuatan Makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Dari itu, kami memohon dengan sangat kepada Bapak Dosen dan teman-teman pembaca untuk selalu membimbing kami agar Makalah kami menjadi lebih baik lagi.
            Demikian ada kurang dan lebihnya, atas nama segenap anggota kelompok senantiasa mohon ma'af yang sebesar-besarnya. Dan  akhirnya semoga Makalah ini selalu membawa kemanfaatan bagi  kita semua . Amin.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim Dan Terjemah
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-MaraghiJuz IV. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Ibnu Katsier. 1990. Tafsir Ibnu Katsier Jilid II. Suarabaya: PT. Bina Ilmu.
Mahali, A. Mudjab. 1989. Asbabun Nuzul; Studi Pendalaman Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers.
Mulia, Siti Musdah. 2004. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Munti, Ratna Batara & Hindun Anisah. 2005. Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: LBH-APIK.
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.