Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan masyarakat adalah
poligami karena selalu mengundang pandangan yang kontroversial. Poligami adalah
ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu
yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan
bersifat poligami. Kebalikan poligami adalah monogami yaitu ikatan perkawinan
yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Istilah lainnya adalah
monogini. Dalam realitas sosiologis di masyarakat, monogami lebih banyak
dipraktekkan karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan
bentuk perkawinan yang saling menjanjikan kedamaian.
Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru
dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islam lah yang membawa ajaran tentang
poligami, bahkan ada yang secara ekstrim menuduh Islam sebagai ajaran yang
membawa poligami dan kalau tidak ada Islam maka poligami tidak dikenal dalam
sejarah manusia. Mahmud Syaltut (W. 1936), ulama asal Mesir secara tegas
menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam dan juga menolak bahwa
poligami ditetapkan oleh syariah. Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan,
masyarakat manusia telah mengenal dan mempraktekkan poligami, seperti masyarkat Yunani, Persia, dan Mesir (Mulia,
2004:43-45).
Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan
masyarakat terhadap kaum perempuan. Pada masa dimana masyarakat memandang
kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur. Sebaliknya pada
masa masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan terhormat, poligami
pun berkurang. Jadi, perkembangan poligami mengalami pasang surut mengikuti
tinggi rendahnya kedudukan dan derajat perempuan dimata masyarakat.
Ketika Islam datang poligami tidak serta merta dihapuskan. namun setelah
ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang
radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang
dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal, yaitu membatasi jumlah bilangan istri
hanya sampai empat. Selain itu juga ditetapkan syarat yang sangat ketat bagi
poligami, yaitu harus mampu berlaku
adil. Dengan demikian terlihat bahwa praktek poligami di masa Islam sangat
berbeda dengan praktek poligami sebelumnya. perbedaan itu sangat menonjol dalam
batasan jumlah istri dan pada syarat poligami (Mulia, 2004:46-48).
BAB II
HUKUM DAN HIKMAH POLIGAMI
(TAFSIR
AHKAM SURAT AN-NISA 1-4)
A.
Surat An-Nisa Ayat 1-2
1.
Ayat Al-Qur’an
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah
dosa yang besar.
2.
Asbababun Nuzul
Diriwayatkan dari Suddi dari Imam Mujahid bahwa pada waktu itu banyak
terjadi di kalangan orang-orang yang apabila menguasai anak yatim yang memiliki
harta selalu diputar balikkan. Mereka biasa mengambil kambing yang gemuk milik
anak yatim kemudian diganti dengan kambing yang kurus. Apabila mereka
mendapatkan teguran, dijawab “aku mengambil (meminjam) kambing sudah aku
kembalikan dengan kambing pula”. Demikian juga harta benda yang lain.
sehubungan dengan perbuatan mereka itu Allah menurunkan ayat ke 2 ini sebagai
teguran terhadap mereka. selain itu mengabarkan pula bahwa perbuatan yang
mereka lakukan terhadap anak yatim itu adalah dosa besar (Mahali, 1989:219).
3.
Penjelasan Ayat
Dalam ayat ini Allah berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya
bertaqwa kepada Allah, hanya menyembah-Nya tanpa menyekutukan sesuatu
kepada-Nya, seraya memperingatkan mereka akan kekuasan-Nya yang telah
menciptkan mereka semua dari seorang diri yaiu Nabi Adam dan menciptkan
istrinya, Hawa. Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri Nabi Adam
sewaktu dia tidur. Dari kedua mahluk itu Allah menciptakan manusia laki-laki
dan perempuan yang banyak tersebar di seluruh pelosok dunia menjadi bangsa yang
berbeda-beda warna kulitnya, sifat-sifatnya dan bahas-bahasanya.
Selanjutnya Allah berfirman, bertaqwalah kamu kepada Allah yang kamu
mempergunakan nama-Nya dalam percakapan, bertanya dan meminta satu kepada yang
lain. Dan Allah juga menyuruh manusia untuk
menjaga silaturahmi, karena sesungguhnya Allah mengawasi segala perbuatan dan
tindak-tanduk kita (Ibnu Katsier, 1990: 302).
Jumhur ulama sepakat bahwa makna an-nafsul wahidah adalah Nabi Adam. Al-Qaffal
mengatakan bahwa makna yang dimaksud dalam ayat itu ialah sesungguhnya Allah
telah menciptakan setiap orang diantara kelian berasal dari satu jiwa. Kemudian
Dia menjadikan istri untuknya yang Dia ciptakan dari dirinya, sama sebagai
manusianya dan sejenis (Al-Maraghi, 1993: 317)
Dalam ayat selanjutnya Allah berfirman memerintahkan kepada orang-orang
menyerahkan kepada anak-anak yatim harta mereka jika mereka sudah mencapai
dewasa (baligh). Allah juga melarang memakan harta anak yatim atau mencampur
baurkannya dengan hartanya sendiri. Karena itu Allah berfirman janganlah kamu
memakan harta anak yatim dengan yang baik, yaitu memakan harta harta halalmu
sendiri. Perbuatan yang demikian itu merupakan dosa yang besar (Ibnu Katsier,
1990: 304).
B.
Surat An-Nisa Ayat 3
1.
Ayat Al-Qur’an
Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
2.
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan dalam hadis riwayat Imam Bukhori dari Ibrahim bin Musa dari
Hisyam dari Ibnu Juraij dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah bahwa
pada waktu itu ada seorang lelaki yang menguasai anak yatim, yang kemudian
dikawin. Dia mengadakan perserikatan harta untuk berdagang dengan wanita yatim
yang menjadi tanggungjawabnya itu. oleh sebab itu di dalam perkawinan dia tidak
memberi apa-apa dan menguasai seluruh harta perserikatan itu, sehingga wanita
itu tidak mempunyai kekuasaan sama sekali terhadap harta miliknya yang telah
diserikatkan. Sehubungan dengan itu Allah Swt menurunkan ayat ke 3 sebagai
teguran, saran dan peringatan bagi mereka yang menikahi anak-anak yatim
(Mahali, 1989:219).
3. Penjelasan Ayat
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa jika kamu takut tidak dapat berlaku
adil terhadap anak yatim perermpuan yang berada di bawah perwalianmu yang kamu
ingin mengawininya, maka carilah wanita lain untuk menjadi istrimu, dua, tiga,
atau empat sesuka hatimu. Namun jika terhadap istri-istri yang lebih dari satu
itu kamu takut tidak dapat berlaku adil dalam perlakuan terhadap mereka
mengenai pelayanan, pakaian, tempat, giliran bermalam dan lain-lain, maka
hendaklah kamu beristrikan satu orang saja atau cuku dengan budak-budak yang
kamu miliki.
Hadis yang juga memperbolehkan berpoligami sampai empat orang adalah hadis
tentang kisah Ghailan bin Ahmad Ats-Tsaqafi. Pada waktu ghailan masuk Islam dia
mempunyai istri berjumlah 10 orang yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Oleh
Rasulullah, Ghailan diperintahkan untuk memilih empat dari sepuluh istrinya dan
menceraikan yang lain. menurut Al-Baihaqi bahwa dengan hadis tentang kisah
Ghailan itu Rasulullah jelas-jelas melarang umatnya memiliki istri lebih dari
empat. Kalau tidak , pasti Rasulullah tidak akan menyuruh Ghailan menceraikan
keenam istrinya yang sudah dinikahinya sebelum dia masuk Islam dan juga
bersama-sama dia masuk Islam (Ibnu Katsier, 1990: 304-305).\
C. An-Nisa ayat 4
1.
Ayat Al-Qur’an
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
2.
Asbabun Nuzul
Ayat ke 4 ini turun sehubungan dengan kebiasaan para bapak (wali)
menggunakan dan menerima mahar (mas kawin) dengan tanpa seizin putrinya (anak
yang menjadi tanggungjawabnya yang dinikahkan). Sehubungan dengan kebiasaan
seperti itu Allah Swt menurunkan ayat ini sebagai larangan atas perbuatan
mereka tersebut. Alhasil wali tidak boleh menggunakan maskawin milik putri yang
dikawinkannya (Mahali, 1989:220).
Diriwayatkan oleh Husyaim dari Saiyar dari Abi Saleh bahwa ayat ke 4 ini
turun untuk mencegah kebiasaan bahwa seorang ayah tidak menyerahkan mas kawin
kepada putrinya yang dinikahkan tetapi diambilnya sendiri. Hal ini bertentangan
dengan perintah Allah dalam ayat tersebut (Ibnu Katsier, 1990: 306).
3. Penjelasan Ayat
Dalam ayat keempat ini Allah memerintahkan hendaklah kamu memberi mas kawin
kepada wanita yang kamu nikahi yang besar kecilnya ditetapkan menurut
persetujuan kedua belah pihak dan diberikannya dengan Ikhlas dan senang hati.
Kemudian digunakannya atau dimakannya sebagai barang yang halal, sedap dan
lezat. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Imam Ali berkata “jika
seseorang diantara kamu merasakan sesuatu (mengenai kesehatannya) hendaklah ia
memintakan dari istrinya 3 dirham guna dibelikan madu dan dicampurkan dengan
air hujan. Kemudia diminumnya sebagai minuman yang lezat, sedap dan obat yang
berkah” (Ibnu Katsier, 1990: 306).
D. Kandungan Hukum Surat An-Nisa Ayat 1-4 Tentang
Poligami
1.
Hukum Poligami
Pada asalnya dalam perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ini sesuai
firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3
diatas dan juga ayat 129:
“Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kedua ayat tersebut di atas dengan jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan
dalam Islam pun adalah monogami. Kebolehan poligami yaitu apabila syarat-syarat
yang dapat menjamin keadilan suami kepada istri terpenuhi. Dan syarat keadilan
ini, menurut isyarat ayat 129 diatas terutama dalam hal membagi cinta, tidak
akan dapat dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat
pintu kemungkinan untuk berpoligami, atau beristri lebih dari seorang perempuan,
sepanjang persyaratan keadilan di antara istri dapat di penuhi dengan baik. Karena hukum Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana pelaksanaannya
agar poligami dapat dilaksanakan manakala memang diperlukan dan tidak merugikan
dan tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap istri maka hukum Islam di
Indonesia perlu mengatur dalam merincinya (Rofiq, 1998:169-170).
Mengenai hukum poligami dalam Islam, menurut Imam Syafi’i berdasarkan
sunnah Rasulullah tidak diperbolehkan seorang beristri lebih dari empat.
Pendapat itu telah menjadi ijma’ oleh para ulama’, terkecuali segolongan Ulama
Syi’ah yang berpendapat bahwa seorang laki-laki boleh beristrikan lebih dari
empat orang sampai sembilan. Bahkan ada diantara mereka yang tidak membatasi dengan sesuatu bilangan. Mereka ini bersandarkan
kepada perbuatan Rasulullah yang beristrikan lebih dari empat orang sampai
sembilan bahkan sampai sebelas istri dan wafat meninggalkan sembilan janda. Akan tetapi
alasan itu ditolak oleh mayoritas ulama Islam dan bersandar kepada beberapa
hadits Rasulullah sepeti hadits Ghailan. Mereka berpendapat bahwa apa yang
diperbuat Rasulullah itu adalah merupakan kekhususan bagi beliau sebagai rasul (Ibnu Katsier, 1990: 304).
Dalam pembahasan kitab fiqih klasik, berbagai argumen dikemukakan untuk memberlakuan poligami secara umum. Salah satunya adalah argumen yang
menyatakan bahwa laki-laki mempunyai potensi seksual yang lebih besar dan tidak
dapat menahan dirinya ketika istrinya sedang haid atau melahirkan anak. Dalam
rentang waktu ini mereka harus mempunyai lebih dari seorang istri sehingga
mereka tidak terdorong melakukan seks di luar nikah. Dengan argumen tersebut
fuqaha menafsirkan klausa yang mengizinkan poligami sebagai klausa yang
memiliki kekuatan hukum, sebab ia bersifat konkret dan spesifik. Klausa yang
menuntut keadilan hanya mereka anggap sebagai rekomendasi bagi nurani sang
suami bahwa ia harus berlaku adil, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum.
Belakangan, jaminan persyaratan berlaku adil ditentukan oleh slip gaji atau
kemampuan secara matteriil semata. Dalam kitab al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib
al-Arba’ah disebutkan bahwa keadilan diukur dari materi, sedangkan keadilan beradasarkan
cinta kasih tidak menjadi pertimbangan. Untuk memperkuat argumen ini dipakai
ayat 129 surat an-Nisa’ (Munti & Anisah, 2005:105).
Pada abad ke-19, para pembaharu atau modernis memberi tafsir yang berbeda
terhadap ayat-ayat diatas, seperti Muhammad Abduh dari Mesir. Menurutnya,
walaupun diperbolehkan dalam al-Qur’an, poligami adalah sebuah konsesi bagi
kondisi-kondisi sosial yang mendesak. Konsesi ini diberikan dengan sangat
enggan karena disertai dengan pernyataan mengenai syarat berlaku adil bagi
suami. Muhammad Abduh menekankan bahwa bentuk perkawinan yang ideal dalam
al-Qur’an adalah monogami sehingga ketentuan poligami harus dibatasi dan
dipersulit. Poligami hanya diberlakukan dalam kondisi khusus, bukan untuk
segala kondisi. Dalam kaitan ini institusi pengadilan digunakan untuk
pengendalian poligami. Kiranya latar pemikiran inilah yang melatarbelakangi
pengaturan poligami dalam UU Perkawinan. Adanya konsep monogami terbuka,
pembatasan poligami dengan alasan dan syarat-syarat serta mesti ada izin dari
pengadilan, sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal diatas bila ditelusuri
lebih jauh tidak terdapat dalam khazanah fiqih klasik, tetapi berasal dari
pemikirankelompok modernis pembaharu Islam, seperti yang diwakili oleh Muhammad
Abduh (Munti & Anisah, 2005:105-106).
Dalam persepektif metodologis, pengaturan ketentuan hukum mengenai poligami
yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin pengadial
agama, setelah dibuktikan kemaslahatan. Yaitu terwujudnya cita-cita dan tujuan
perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi yang diridhai
allah SWT. Dan di dasarkan pada cinta dan kasihsayang (mawaddah dan rohmah).
Karena itu segala persoalan yang di mungkinkan akan menjadi penghalang bagi
terwujudnya tujuan perkawinan tersebut harus dihilangkan atau setidaknay di
kurangi. Ini sejalan dengan kaidah usul:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari
madarat (kerusakan atau kesusahan) harus di dahulukan dari pada mengambil
manfaat (kemaslahatan)” (Rofiq, 1998:176).
2.
Berbagai Keistimewaan Poligami Ketika
Diperlukan
Pada prinsipnya kebahagian berumah tangga bagi seorang suami hanya apabila
mempunyai seorang istri saja, karena bentuk rumah tangga seperti itu adalah
yang paling sempurna, yang harusnya dipelihara oleh setiap individu dan
diyakini. Tetapi, terkadang memang ada beberapa kondisi yang dialami seseorang
yang mendorong menyimpang dari ketentuan tersebut karena ada
kemaslahatan-kemaslahatan penting yang berkaitan dengan kehidupan rumah
tangganya, atau kemaslahatan umatnya. Sehingga
poligami bagi dirinya tidak bisa ditinggalkan lagi. Kondisi-kondisi tersebut
diantaranya ialah sebagai berikut :
a.
Bila
suami beristrikan seorang wanita mandul, sedangkan ia sangat mengharapkan anak.
Termasuk kemaslahatan sang istri dan kemaslahatan mereka (sumi istri),
hendaknya sang suami menetapkan istri pertamanya, kemudian mengawini wanita
lain. Terlebih lagi jika status sang suami sebagai orang terpandang dan
memiliki kekayaan, misalnya seorang raja atau amir.
b.
Bila
istri telah tua, dan mencapai umur tidak haid lagi, kemudian sang suami
berkeinginan mempunyai anak, dan ia mampu memberikan nafkah kepada lebih dari
seorang istri, mampu pula menjamin kebutuhan anak-anaknya, termasuk pendidikan
mereka.
c.
Bila
sang suami tidak cukup hanya mempunyai seorang istri, demi terpeliharanya
kehormatan diri (agar tidak berzina) karena kapabilitas seksualnya memang
mendorongnya untuk berpoligami, sedang sang istri kebalikannya. Atau biasa juga
karena masa haid sang istri, umpamanya terlalu panjang, hingga memakan waktu sebagian
besar dari bulannya. Sehingga kini posisi sang suami dihadapkan pada dua
alternatif,. Terkadang ia harus kawin lagi, atau terjerumus ke dalam berbuatan
zina yang akibatnya menyia-nyiakan agama, harta benda dan kesehatannya. Akibatnya
hal ini lebih berbahaya bagi sang istri dibandingkan apabila sang suami
memadunya dengan istri lain yang disertai keadilan sang suami terhadap
semuanya, sebagai mana yang menjadi syarat dibolehkannya poligami dalam islam.
d.
Bila
dari hasil sensus kaum wanita lebih banyak dari kaum pria, dalam suatu Negara,
dengan perbandingan yang mencolok. Hal itu bisa terjadi setelah suatu Negara
baru saja mengalami peperangan yang banyak menewaskan kaum pria. Dalam keadaan
seperti itu, tidak ada jalan lain bagi wanita dalam mencari kasab,
kecuali hanya dengan menjual diri (kehormatan) yang akibatnya jelas akan
membuat wanita itu hidup sengsara, karena ia harus menjamin nafkah diri dan
anak-anaknya yang telah kehilangan seorang ayah sebagai penanggung kebutuhan
mereka. Terlebih lagi jika hal itu terjadi setelah melahirkan dan dalam masa
penyusuan, sungguh mengharukan.
Pemandangan-pemandangan
yang kita saksikan tentang bercampurnya antara kaum wanita dengan pria di
pabrik-pabrik, tempat-tempat perbelanjaan, dan tempat umum lainnya akan banyak
membawa dampak yang menjerumus kepada tindak pemerkosaan, pezinaan dan
perbuatan amoral lainnya. Sehingga banyak sekali wartawati inggris yang
memberikan ulasan, bahwa dekadensi moral yang melanda dunia sekarang ini tidak
ada pemecahnya kecuali dibolehkan poligami. Disamping itu perbuatan-perbuatan
tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum wanita itu sendiri. Mereka secara
fitrah akan menolak mentah-mentah hal tersebut.
Ringkasnya,
poligami bertentangan dengan citra kasih sayang dan ketenangan jiwa dalam hidup
bersama dengan wanita, sedangkan hal-hal tersebut merupakan tiang-tiang
penyangga kebahagian hidup berumah tangga. Oleh karena itu, tidak sepatutnya
seorang muslim mengajukan diri untuk melakukan poligami, kecuali dalam keaadaan
darurat dan disertai kepercayan diri untuk berbuat adil, seperti yang
diperintahkan Allah SWT. Jika persyaratan tersebut tidak ada pada diri seseorang
yang bermaksud melakukan poligami, maka perbuatannya itu hanyalah perbuatan
aniaya terhadap dirinya sendiri, terhadap istri dan bangsanya.
3.
Hikmah Poligami Yang Dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad
saw. Selalu memelihara kemaslahatan dalam memilih setiap wanita yang akan
dijadikan istrinya. Untuk itu, beliau memilih kabilah-kabilah terbesar untuk
bersemenda (berpoligami) dengannya. Kemudian beliau mengajari para pengikutnya,
seperti bagaimana cara menghormati kaum wanita dan memuliakan istri-istrinya,
serta berlaku adil terhadap mereka.
Ketika Nabi
Saw. wafat, beliau meninggalkan Sembilan istri sebagai ummahatul mukminin
(ibu-ibu kaum mukminin). Mereka bertugas mengajari istri-istri kaum
mukminin tentang hukum-hukum yang khusus untuk kaum wanita yang harus mereka
ketahui, langsung dari kaum wanita sendiri, bukan dari kaum pria. Dan
seandainya Nabi saw. Hanya meninggalkan seorang istri pastilah manfaatnya tidak
akan seperti beliau meninggalkan Sembilan istri (mengingat fungsi mereka yang
sangat penting).
Singkatnya
dalam berpoligami, Nabi saw. tidak bermaksud seperti yang dikehendaki oleh seorang
raja, amir, dan hartawan yang hanya ingin bersenang-senang dengan wanita. Sebab
kalau saja beliau bermaksud demikian, niscaya beliau akan memilih wanita-wanita
tercantik dan perawan, seperti yang pernah beliau sarankan kepada salah seorang
sahabat yang mengawini seorang janda.
BAB III
PENUTUP
Alhamdulillahirabbil‘alamin, berkat usaha keras bersama dari teman-teman
satu kelompok, tugas pembuatan makalah ini dapat selesai dengan tanpa ada
halangan suatu apapun. Tentunya dalam pembuatan Makalah ini masih banyak
kekurangan yang perlu diperbaiki. Dari itu, kami memohon dengan sangat kepada Bapak
Dosen dan teman-teman
pembaca untuk selalu membimbing kami agar Makalah kami menjadi lebih baik lagi.
Demikian ada kurang dan
lebihnya, atas nama segenap anggota kelompok senantiasa mohon ma'af yang
sebesar-besarnya. Dan akhirnya semoga
Makalah ini selalu membawa kemanfaatan bagi
kita semua . Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim Dan Terjemah
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-MaraghiJuz IV. Semarang:
PT. Karya Toha Putra.
Ibnu Katsier. 1990. Tafsir Ibnu Katsier Jilid II. Suarabaya: PT.
Bina Ilmu.
Mahali, A. Mudjab. 1989. Asbabun Nuzul; Studi Pendalaman Al-Qur’an.
Jakarta: Rajawali Pers.
Mulia, Siti Musdah. 2004. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Munti, Ratna Batara & Hindun Anisah. 2005. Posisi Perempuan Dalam
Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: LBH-APIK.
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.