Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)
Pendahuluan
Di kalangan umat Islam ada pendapat bahwa
Islam adalah agama yang komprehenif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan
ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Oleh karenanya,
dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan
Islam, dan tidak perlu, atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat.
Sistem ketatanegaraan dan politik Islami yang harus diteladani adalah sistem
yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad dan empat Al-Khulafa
al-Rasyidin.
Sayyid
Qutb berpendapat, bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan amat lengkap sebagai
suatu sistem kehidupan yang tidak saja meliputi tuntunan moral dan peribadatan,
tetapi juga sistem politik termasuk bentuk dan ciri-cirinya, sistem masyarakat,
sistem ekonomi dan sebagainya.
Pemikiran
politik islam pada zaman pertengahan merupakan bukti akan kayanya khazanah
Islam dalam bidang kepemerintahan dan ketatanegaraan. Pendapat dari para juris
dan cendikia pada zaman itu menawarkan konsep yang beragam tentang pilihan
berpolitik. Ini tentunya menunjukkan bahwa tingkat keilmuan Islam dalam bidang
politik pun tidak kalah dengan teori-teori yang selama ini kita kenal dari barat.
Dan yang
mejadi keunggulan lagi adalah, dasar ijtihad para cendikia itu selalu merujuk
kepada zaman Nabi dan empat orang khalifah sesudahnya yang hidup beberpa abad
sebelum para juris dan cendikia itu menelurkan penemuannya. Sistem perpolitikan
yang diajarkan oleh Nabi kemudian dilanjutkan oleh khulafaur rosyidin menjadi
bahan untuk mereka olah yang kemudian menghasilkan produk-produk teori dan
sistem perpolitikan yang tidak kalah hebatnya dengan teori-tori barat. Ini juga
menunjukkan bahwa sistem perpolitikan dalam Islam telah ada sebelum dan telah
maju sebelum barat mengenal akan itu.
Dalam makalah
ini kami mencoba menyajikan tentang khazanah pembahasan politik dan
ketatanegaraan pada zaman pertengahan. Obyek-obyek pembahasan mengenai proses
terbentuknya negara sampai bentuk negara tersebut adalah ruang lingkup yang
kami tekankan dalam makalah kami. Selain itu juga banyak pendapat-pendapat para juris dan cendikia yang kami kutip
disini, dengan harapan dapat menjadi perbandingan dan pertimbangan, serta
menambah khazanah keilmuan kita.
Pemikiran Politik Islam Zaman Pertengahan
Pembahasan
mengenai pemikiran politik Islam pada zaman pertengahan oleh para
cendikiawan-cendikiawan muslim setidaknya dapat dirumuskan menjadi sembilan
pokok pembahasan, yaitu; Proses terbentuknya negara, Unsur-unsur dan
sendi-sendi negara, Eksistensi lembaga pemerintahan, Pengangkatan kepala negara,
Syarat-syarat kepala negara, Tugas dan tujuan pemerintahan, Pemberhentian
kepala negara, Sumber kekuasaan, dan Bentuk pemerintahan. Dan diantara cendikiawan-cendikiawan muslim yang ikut meramaikan pemikiran tentang politik Islam (siyasah)
pada abad pertengahan adalah al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu
Taimiyah, Imamul Haramain al-Juwaini, al-Baghdadi dann Ibnu Hazm.
- Proses Terbentuknya Negara
Tidak semua cendikiawan pada masa pertengahan yang memikir tentang proses
terbentuknya Negara. Diantara yang ikut melakukan pembahasan tentang teori
terbentuknya suatu Negara adalah al-Mawardi, al-Ghazali dan Ibnu khaldun.
a.
Al-Mawardi : menurutnya manusia itu adalah mahluk sosial, tidak mungkin seseorang mampu mecukupi hajat hidupnya sendirian, kecuali
berhubungan dengan yang lain. Al-Mawardi melihat sisi urgensi perlunya manusia
berkumpul dan bekerjasama dari sisi penciptaan manusia oleh Allah Swt. Manusia
adalah mahluk lemah dan paling banyak kebutuhannya. Untuk itu perlu memerlukan
kerjasama. Usaha manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya lahir dan batin
yang memerlukan bantuan orang lain adalah bukti kelemahannya. Meski begitu,
Allah tidak membiarkan posisi manusia yang lemah itu. Dia mengaruniainya dengan
sesuatu yang dapat membimbingnya untuk memperoleh kebahagiaan, yaitu akal. Akal
berperan menunjukkan jalan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ditambahkan oleh al-Mawardi bahwa perbedaan (kemampuan fisik, otak,
pengetahuan, keahlian, bakat dan sebagainya) menjadi faktor pendorong tolong
menolong dan kerjasama diantara manusia.[1]
b. Al-Ghazali : menurutnya manusia itu diciptakan oleh Allah tidak bisa hidup seorang
diri, ia butuh berkumpul bersama yang lain, mahluk jenisnya itu. Dan urgensi
mengapa manusia suka berkumpul karena didorong oleh dua sebab. Pertama, kebutuhan
untuk mempertahankan keturunan (reproduksi). Kedua, untuk mengadakan
kerjasama atau tolong-menolong (ta’awun) dalam rangka memperoleh makanan dan
mempertahankan hidup, pakaian dan tempat tinggal untuk melindungi dari panas
dan dingin, dan melindungi harta dan keluarga dan harta dari segala macam
gangguan dan pendidikan anak.[2]
c.
Ibnu Khaldun : baginya organisasi kemasyarakatan bagi umat
manusia adalah suatu keharusan. Hal ini telah dinyatakan oleh para filosof
bahwa manusia itu menurut tabiatnya adalah mahluk politik atau mahluk sosial. Organisasi
kemasyarakatan itu, menurut para filosof, disebut kota, al-madina (Arab),
polis (latin). Sedangkan urgensi perlunya manusia berkumpul dan bekerjasama
menurut Ibnu Khaldun adalah karena kemampuan manusia yang terbatas, memaksanya
untuk bekerjasama dengan orang lain. Karena itu, organisasi kemasyarakatan
adalah adalah suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi mereka tidak
akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagai khalifahnya
untuk memakmurkan dunia ini. Kemampuan berfikir dan keterampilan tangan akan
menimbulkan perbedaan pengetahuan, keahlian dan bakat tangan diantara mereka.
Karena itu mereka harus tolong menolong. Dan untuk mewujudkannya memerlukan
organisasi kemasyarakatan bagi mereka, yang oleh Ibnu Khaldun disebut umran (peradaban). Setelah organisasi kemasyarakatan
terbentuk dan peradaban merupakan suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat
membutuhkan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah
dan pemisah antara para anggota masyarakat. Kehadiran raja sebagai penengah, pemisah
sekaligus hakim itu merupakan suatu keharusan bagi kehidupan bersama dalam
suatu masyarakat atau negara. Dengan kata lain, jabatan raja adalah suatu
lembaga alami bagi kehidupan bernegara.[3]
- Unsur-Unsur dan Sendi-Sendi Negara
Sudah menjadi
pendapat yang universal bahwa
unsur-unsur negara yang pokok adalah adanya kumpulan manusia atau masyarakat,
yang dalam kajian ilmu politik disebut rakyat, adanya wilayah tertentu dan
adanya pemerintahan atau pemimpin. Pendapat inilah yang juga menjadi pegangan
para cendikiawan muslim pada abad pertengahan. Akan tetapi mereka berbeda
pendapat tentang sendi-sendi negara itu.
a. Al-Mawardi : menurutnya, setelah terbentuknya negara, ia harus memiliki beberapa
unsur-unsur sebagai sendinya dalam rangka menjamin kerjasama dan ikatan-ikatan
sesama anggota masyarakat dalam fungsi kehidupan. Sendi-sendi itu adalah: pertama,
berlandaskan agama yang berfungsi untuk mengendalikan diri dari godaan hawa
nafsu dan menjadi tiang penyangga bagi kemaslahatan dan keutuhan negara. Kedua,
negara harus memiliki raja yang perkasa. Ia berperan mengintegrasikan
keinginan-keinginan rakyat yang beragam, membimbing negara merealisir tujuannya, memelihara
agama, melindungi keamanan dan sumber rezeki rakyat. Raja adalah khalifah atau
imam. Ketiga, keadilan yang menyeluruh. Terwujudnya keadilan akan
menciptakan persatuan, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negeri, yang
akhirnya mengamankan kedudukan penguasa. Keadilan harus dimulai dari diri
sendiri yang tercermin pada melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan,
kemudian berlaku adil terhadap orang lain yang mencakup berlaku adil terhadap
bawahan, berlaku adil terhadap atasan dan berlaku adil terhadap sesama. Keempat, keamanan negara yang
merupakan dari keadilan. Dan aniaya adalah produk dari ketidakadilan. Kelima,
wilayah yang memiliki tanah subur. Keenam, harapan yang optimis.[4]
b. Al-Ghazali : dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup rakyatnya, negara
memerlukan sejumlah unsur yang menjamin tegaknya sebuah negara, yaitu:
pertanian, penggembalaan, perburuan, pertambangan, pemintalan, pembangunan dan
politik (siyasah). Politik disini adalah yang berhungan dengan pengelolaan
negara, pengaturan kerjasama antar warga negara untuk menjamin kepentingan bersama, menyelesaikan
sengketa antara mereka dan melindungi ancaman dan bahaya yang datang dari luar.
Dalam bidang politik ini memerlukan, pertama ahli pengukur tanah, kedua
militer untuk memelihara keamanan dan ketertiban negara, ketiga kehakiman
untuk menyelesaikan perselisihan dan pertikaian antara warga negara, dan keempat
adalah hukum, yaitu undang-undang yang memelihara moral
masyarakat yang harus mereka patuhi agar tidak terjadi perselisihan dan
pelanggaran hak, yaitu undang-undang Tuhan di bidang muamalah. Untuk mengatur
itu semua dibutuhkan seorang raja atau kepala negara yang bertugas mengelola
segala urusan rakyat dan negara.[5]
- Eksistensi Lembaga Pemerintahan
Pemerintahan
atau disebut juga dengan Imamah atau Khalifah adalah kepemimpinan umum bagi
umat Islam dalam urusan agama dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Nabi
SAW. Dan pendapat para cendikiawan muslim abad pertengahan mengenai fungsi
keberadaan lembaga pemerintahan dan dasar otoritas mendirikannya adalah;
a. Al-Mawardi : menurutnya Imamah dijabat oleh khalifah atau pemimpin (al-rais),
atau raja (al-mulk), atau penguasa (al-sulthan), atau kepala
negara (qaid al-daulat) yang kepadanya diberikan label agama. Inilah
yang tampak dalam pendahuluan kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyyat[6]
الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين
وسياسة الدنيا، وعقدها لمن يقوم بها في الأمة
Yang maksudnya adalah bahawa sesungguhnya
Allah menjadikan bagi umat seorang pemimpin untuk menggantikan fungsi Nabi (al-nubuwwat)
untuk melindungi agama (Khirasat ad-Din) dan Allah mempercayakan
kepadanya memegang kekuasaan memegang kekuasaan politik (Siyasat Al-Dunya)
untuk mengelola urusan agama yang
disyariatkan dan mengatur terwujudnya kemaslahatan ummat.
Sedangkan teori tentang kontrak (‘ahd)
yang membawa kepada terbentuknya lembaga Imamah adalah bahwa Imamah itu
dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur
dunia. Dan dasar pembentukan bagi umat, menurut al-Mawardy adalah wajib secara
ijmak walaupun ada perbedaan tentang dasar kewajiban itu sendiri apakah berdasarkan
akal atau berdasarkan hukum agama (bi al-syara’). Pendapat pertama
mengatakan bahwa kewajiban itu berdasarkan akal dengan alasan bahwa manusia itu
adalah mahluk sosial. Dalam berhubungan dan pergaulan diantara mereka mungkin
terjadi perselisihan, permusuhan dan dan penganiayaan. Karenanya diperlukan
seorang pemimpin yang akan mencegah dari hal-hal tersebut. Jadi secara logika
manusia membutuhkan pemerintahan. Seandainya tidak ada penguasa niscaya
masyarakat menjadi kacau balau dan menjadi perusak. Pendapat kedua mengatakan
bahwa kewajiban adanya imamah berdasarkan hukum agama (bi al-syara’)
karena eksistensi Imamah adalah untuk melaksanakan syariat. Ini sejalan dengan
kaidah ushul fiqh yang berbunyi[7]
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Yang maksudnya adalah bahwa eksistensi syariat
itu akan bisa berdiri dan berjalan sebagaimana mestinya apabila memang
dijalankan oleh seorang pemimpin dengan pemerintahannya. Maka adanya
pemerintahan itu wajib karena untuk menegakkan syariat itu sendiri.
Sedangkan kewajiban penetapan adanya Imamah
itu sendiri adalah fardhu kifayah (kaewajiban kolektif) yang mana jika
ada di antara anggota masyarakat yang melakukannya maka gugurlah kewajiban itu
dari seluruh anggota masyarakat.[8]
b. Al-Ghazali : senada dengan al-Mawardi, al-Ghazali juga berpendapat bahwa pembentukan
khalifah adalah wajib syar’i. Dasarnya ijma’ umat, dan kategori wajibnya
fardhu kifayah. Ijma’ umat itu menurut al-Ghazali terdapat dalam
historis umat Islam, yaitu terjadinya ijma’ pengangkatan seorang khalifah yang
menggantikan Nabi setelah beliau wafat. Konsep ijma’ menurut al-Ghazali adalah
konsensus seluruh ulama dan masyarakat awam dalam waktu yang tidak terbatas.
Menurutnya, ijma’ umat terhadap perlunya imamah dimaksudkan dalam rangka
memelihara syariat dan ketertiban agama, yang demikian tidak terwujud kecuali
ada penguasa yang ditaati. Selain alasan tersebut, al-Ghazali juga mengemukakan
alasan lain, yaitu menurutnya manusia itu cenderung bermasyrakat agar mereka
bisa kerjasama dan tolong menolong itu sering terjadi persaingan dan
pertentangan, maka untuk mengatasinya diperlukan pemerintah atau penguasa,
untuk melayani kepentingan rakyat. Pemikiran al-Ghazali tersebut mengandung
arti bahwa agama dan politik, dunia dan akhirat mempunyai kaitan erat yang tak
dapat dipisahkan.
Al-Ghazali merumuskan teori hubungan antara
agama dan politik yang sangat dekat dan saling bergantung. Agama adalah dasar
dan sultan (kekuasaan politik) adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan
runtuh dan suatu dasar tnapa penjaga akan hilang.
Dan al-Ghazali mendefinisikan siyasat sebagai
usaha memperbaiki kehidupan rakyat dengan membimbing mereka ke jalan yang lurus
yang menyelamatkan mereka di dunia dan di akhirat. Politik baginya adalah alat
untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pengertian ini lebih luas dari pengertian
politik sekarang yang hanya berkaitan dengan urusan sekuler (duniawi).[9]
c. Ibnu Khaldun : seperti halnya al-Mawardi dan al-Ghazali, Ibnu Khaldun
berpendapat bahwa pembentukan pemerintahan (imamah) dan pengangkatan kepala
negara (imam) adalah suatu keharusan. Para sahabat nabi dan para tabi’in telah
membuat konsensus umum (ijma’) bahwa mendirikan pemerintahan adalah wajib
menurut hukum. Jika pembentukan imamah itu atas petunjuk syariat, yakni dengan
cara ijma’, maka wajibnya adalah fardhu kifayah. Bagaimana cara
pembentukannya itu menjadi wewenang dan tanggung jawab ahlul halli wal ‘aqdi.
Bila ia sudah terbentuk, setiap individu wajib menunjukkan ketaatan
kepadanya.[10]
d. Imamul Haramain Al-Juwaini : berbeda dengan al-Mawardi, al-Juwaini berpendapat
bahwa kewajiban mendirikan Imamah itu hanya berdasrkan ijma’ saja, bukan atas
dasar perintah nash atau wahyu karena Imamah tidak masuk dalam prinsip i’tiqod
(keyakinan). Al-Haramain berkesimpulan bahwa tidak ada nash dari Nabi yang
menetapkan seseorang untuk menjadi Imam atau Khalifah susudahnya. Jadi
pembentukan Imamah berdasarkan ijma’, bukan karena pertimbangan nash.
Ijma’ dalam pemikirannya adalah kesepakatan ulama’ seluruh umat tentang hukum
yang berkesesuaian dengan kebiasaan. Pendapat ini berbeda dari konsep ijma’
menurut ulama’ pendahulunya, yaitu kesepakatan seluruh umat.
e. Ibnu Taimiyah : berbeda dengan juris sunni, Ibnu Taimiyah tidak
mengemukakan metode ijma’ sebagai alasan wajib mendirikan imamah. Ia lebih
menekankan kepada upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia dan melaksanakan
syariat Islam. Menurutnya, kesejahteraan manusia tidak dapat diwujudkan kecuali
dengan bermasyarakat. Untuk mengaturnya
tidak bisa tanpa pemimpin.
Menegakkan pemerintahan bagi Ibnu Taimiyah
karena jaran agama. Dibentuknya pemerintahan itu dimaksudkan untuk mengabdi
kepada Allah. Pengadilan dengan pimpinan kepada Allah dan Rosul-Nya merupakan
pendekatan diri kepada Allah. Jadi pemerintahan adalah alat mengabdi kepada
Allah, bukan alat untuk mencari kedudukan dan materi. Mendirikan negara menurut
Ibnu Taimiyah bukan karena pertimbangan ijma’. Tetapi karena perintah agama
untuk mewujudkan kesejehteraan umat, mencegah perbuatan-perbuatan yang
merugikan, menegakkan keadilan, menggalang persatuan dalam kehidupan
bermasyarakat, dan untuk melaksanakan syariat Islam. Untuk realisasinya
memerlukan kekuasaan dan pemimpin.[11]
- Pengangkatan Kepala Negara
Pengangkatan kepala negara dengan sistem pemilihan
merupakan materi yang menjadi obyek utama pembahasan para juris sunni pada abad pertengahan.
a. Al-Baghdadi : beliau mengatakan bahwa tidak ada kesepakatan pendapat tentang pengangkatan
cara kepala negara; apakah dengan dengan sistem penunjukan atau pemilihan. Pada
umumnya kelompok sunni, termasuk Mu’tzailah dan Khawarij, menetapkan dengan
cara pemilihan. Ini dilakukan denga ijtihad yang bertanggung jawab oleh mereka
yang memenuhi syarat melakukannya untuk memilih seseorang yang pantas untuk
menduduki jabatan itu. Tapi menurutnya boleh juga dengan cara penunjukan. Dan
pengangkatan Imam secar wasiat menurutnya juga sah, tapi hukumnya tidak wajib.
Khalifah terpilih menurut al-Baghdadi harus
dibaiat oleh para pemilih sebagai bukti terjadinya kontrak diantara kedua belah
pihak.
Mengenai jumlah imam yang berkuasa, ia berbeda
dengan al-Baqillani. Ia dapat menerima dua Imam secara simultan karena wilayah
mereka terbagi; dipisahkan oleh laut seperti daulah Umayah di Spanyol dan
daulah Abbasiyah di Baghdad. [12]
b. Al-Mawardi : menurutnya pemerintahan terbentuk melalui dua kelompok umat: pertama,
ahlul ikhtiyar yaitu mereka yang berhak memilih dan kedua, ahlul imamat yaitu
orang-orang yang berhak memangku kepala negara.
Ahlul Ikhtiyar adalah mereka yang memenuhi kualifikasi,
yaitu: 1) Berlaku adil dengan segala persyaratannya dalam segala tindak dan
tingkah laku; 2) Berilmu pengetahuan yang dengannya dapat mengetahui siapa yang
berhak menjadi kepala negara menurut syarat-syarat yang ditentukan; 3) Memiliki
wawasan dan kearifan.
Dengan kulitas ini mereka dapat menentukan
pilihan kepada seorang yang lebih pantas diangkat jadi kepala negara dan mampu
mengelola urusan negara dan rakyat.
Dan untuk mengangkat kepala negara, menurut
al-Mawardi tersapat dua cara: pertama, cara pemilihan oleh Ahlul
Khalli Wal ‘Aqdi, yakni para ulama’, cendikiawan dan pemuka masyarakat atau
disebut juga Ahlul Ikhtiyar. Kedua cara penunjukan atau
wasiat oleh kepala negara yang sedang berkuasa.
Menurut al-Mawardi, salah satu tugas terpenting dari Ahlul
Khalli Wal ‘Aqdi adalah mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap
kandidat kepala negara apakah ia telah memenuhi persyaratan. Jika telah
memenuhi syarat si calon di minta kesediaannya lalu ditetapkan sebagai kepala
negara dengan ijtihad atas dasar ridha dan pemilihan yang diikuti dengan
pembaiatan. Dalam pemabaiatan tidak ada paksaan. Rakyat yang telah memabaiat
harus mentaaatinya. Tetapi jika ada di antara pemilih yang tidak setuju kepada
kepala negara terpilih, karena pengangkatannya harus atas dasar persetujuan dan
pemilihan, maka jabatan kepala negara harus diserahkan kepada orang yang
dipandang lebih berhak memegang jabatan terhormat itu. Mayoritas ulama’ fiqh
dan teologi sepakat bahwa imamah dibentuk atas dasar persetujuan oleh Ahlul
Ikhtiyar. Pendapat al-Mawardi menunjukkan bahwa proses pengangkatan kepala
negara merupakan persetujuan dua belah pihak; antara pemilih dan yang dipilih
sebagai suatu hubungan dua pihak dalam mengdakan perjanjian atas dasar
sukarela. Konsekuensinya kedua belah pihak mempunyai kewajiban dan hak secara
timbal balik. Dengan demikian, al-Mawardi telah merumuskan teori kontrak sosial
dalam ketatanegaraan. Sedangkan dasar pembenaran pengangkatan kepala negara
dengan cara penunjukan oleh penguasa yang sedang berkuasa didasarkan kepada
ijma’, yaitu kesepakatan umat untuk mengangkat dua khaliafah; Abu Bakar dan
Umar.
Menurut al-Mawardi, calon yang akan dipilih menjadi
pemimpin harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada saat itu. Dan
al-mawardi juga tidak dapat menerima adanya dua orang yang berkuasa dalam satu
waktu di dunia Islam.[13]
c. Imamul Haramain Al-Juwaini : penetapan imamah adalah dengan cara pemilihan. Dan
tidak disyaratkan adanya ijma’ dalam pengangkatan kepala negara, tapi hal itu
mesti dilakukan walapun belum ada ijma’ umat dan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi atas
pengangkatan itu. Jumlah pemilih juga tidak menjadi ukuran sahnya suatu
pemilihan. Al-Haramain dapat menerima pengangkatan imam oleh seseorang dari
anggota Ahlul Halli Wa ‘Aqdi.
Seperti al-Baghdadi, al-Haramain juga dapat
menerima dua orang kepala negara yang berkuasa pada waktu yang sama di dalam
wilayah yang luas, berjauhan dan terpisah. Sedangkan dalam dalam wilayah yang
sempit, hanya boleh satu imam atas dasar ijma’.[14]
- Syarat-Syarat Kepala Negara
Para juris sunni
mencita-citakan terwujudnya pelaksanaan syariat Islam, keadilan dan
kesejahteraan rakyat melalui kekuasaan politik dan pemerintahan. Hal ini
tercermin dalam syarat-syarat kepala negara yang mereka kemukakan.
a. Al-Baghdadi : orang yang berhak memegang jabatan khlaifah harus memiliki kualitas
berikut: 1) Berilmu pengetahuan, minimal untuk mengetahui apakah undang-undang
yang dibuat para mujtahid sah menurut hukum agama dan peraturan peraturan
lainnya; 2) Bersifat jujur dan saleh; 3) Bertindak adil dalam menjalankan
segala tugas pemerintahan dan berkemampuan mengelola administrasi; 4) Berasal
dari keturunan Quraisy. Pendapat terakhir ini sesuai dengan hadits bahwa
pemimpin itu harus dari orang Qurasy dan mereka belum pernah terbukti gagal
melaksanakannya.[15]
b. Al-Mawardi : seorang khalifah harus memenuhi kualifikasi berikut: 1) Adil dengan
segala persyaratannya; 2) berilmu pengetahuan agar ia mampu berijtihad; 3)
Sehat pendengaran dan penglihatannya serta lisan; 4) memiliki anggota tubuh
yang sempurna; 5) Berwawasan luas untuk mengatur rakyat dan mengelola
kemaslahatan umum; 6) Keberanian untuk melindungi rakyat dan menghadapi musuh;
7) Dari keturunan Quraisy.[16]
c. Imam Al-Haramain Al-Juwaini : syarat seorang kepala negara adalah: 1) Seorang
Mujtahid, sehingga ia tidak butuh minta fatwa kepada orang lain dalam beberapa
hal; 2) Mampu mengurus kemaslahatan segala sesuatu dan memeliharanya dengan
baik; 3) Punya kelebihan dalam mengatur militer dan mempertahankan pertahanan;
4) Memiliki kepentingan yang luas untuk
memeikirkan kepentingan kaum muslimin; 5) Memilikki sifat lemah lembut; 6)
Menegakkan hukum bagi pelanggar hukum; 7) Muslim laki-laki yang merdeka.[17]
d. Al-Ghazali : syarat seorang kepala negara adalah: 1) Laki-laki dewasa (baligh);
2) Berakal sehat; 3) Sehat pendengaran dan penglihatan; 4) Merdeka; 5) Dari
suku Quraisy; 6) Punya keekuasaan yang nyata (al-najdat); 7) Memiliki
kemampuan (kifayat); 8) Wara’; 9) Berilmu.
Menurut al-Ghazali, wanita, orang buta,
anak-anak, orang fasik, orang jahil dan pembeo tidak boleh menjadi seorang
kepala negara. Tetapi apabia yang menjadi penguasa adlah seorang yang fasik,
maka berlakulah hukum terhadap rakyatnya, sebagaimana tetap berlaku suatu
pemerintahan yang diperoleh dengan jalan kudeta.[18]
e. Ibnu Hazm : syarat-syarat pemegang jabatan imamah adalah: 1) Dari kalangan Quraisy;
2) Baligh; 3) Laki-laki; 4) Muslim; 5) Paling menonjol dalam masyarakatnya,
mengetahuai huku-hukum agama, secara keseluruhan takwa kepada Allah, tidak
dikenal berbuat fasik. Bahwa disamping seseorang memenuhi syarat-syarat
tersebut, maka sangat diutamakan kalau ia ahli di dalam bidang keagamaan
tertentu seeperti maslah ibadah, politik dan hukum, untuk dapat menunaikan
kewajiban-kewajibannya sehingga tidak merusak sedikit pun dari hal-hal
tersebut, menjauhi dosa-dosa besar, baik dikala sendirian maupun dihadapan umum
dan seandainya melakukan dosa-dosa kecil tidak diketahui orang.
Keempat sifat ini tidak disukai ada pada orang
yang memegangnya, maka kepemimpinan sah tetapi tidak boleh dipatuhi. Dan
mentaati dia selama dia taat kepada Allah adalah wajib, sedangkan menentang dia
karena dia tidak mentaati Allah juga wajib.[19]
f. Ibnu Khaldun : Disamping kepala negara harus dipilih oleh Ahlul
Halli Wal ‘Aqdi, kepala negara juga harus memenuhi lima persyaratan: 1)
Berilmu Pengetahuan; 2) Al-Kifayat; 3) Berlaku Adil; 4) Sehat panca
Indra; 5) Keturunan Quraisy.[20]
- Tugas Dan Tujuan Pemerintahan
Pembentuakan
pemerintahan atau khalifah dalam pandangan para juris sunni wajib berdasarkan
hukum agama sebagai pengganti tugas kenabian mengatur kehidupan dan urusan umat
baik keduniaan maupun keagamaan dan untuk memelihara agama.
a.
Al-Baghdadi : berpendapat
bahwa pemerintah bertujuan melaksanakan undang-undang dan peraturan, melaksanakan
hukuman bagi para pelanggar hukum, mengatur militer, mengelola pajak dan
mengurus lembaga perkawinan. [21]
1.
Mempertahankan dan memelihara agama menurut prinsip-prinsipnya yang
ditetapkan dan apa yang menjadi ijmak oleh salaf (generasi
pertama umat islam).
2.
Melaksanakan kepastian hukum diantara pihak-pihak yang bersengketa
atau berperkara. Dan berlakunya keadilan
universal antara pihak yang menganiaya dan dianiaya.
3.
Melindungi wilayah Islam
dan memelihara kehormatan kehormatan rakyat agar merka aman baik jiwa maupun
raga.
4.
Memelihara hak-hak rakyat dan hukum-hukum Tuhan.
5.
Membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh.
6.
Jihad terhadap orang-orang yang menentang Islam
setelah adanya dakwah agar mereka mengakui eksistensi Islam.
7.
Memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan syara’,
nash, dan ijtihad.
8.
Mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif.
9.
Meminta pendapat dan pandangan orang-orang terpercaya.
10.
Dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah dan kepala
negara harus langsung menanganinya dan meneliti keadaan yang sebenarnya.
c. Al-Ghazali : Tugas dan tujuan lembaga pemerintahan adalah lembaga yang memiliki kekuasaan
dan menjadi alat untuk melaksankan syari’at, mewujudkan kemaslahatan rakyat, menjamin
ketertiban urusan dunia dan urusan agama.[23]
d. Ibnu Taimiyah : tugas dan tujuan utama pemerintahan adalah untuk
melaksanakan syari’at islam demi terwujudnya kesejahteraan umat, lahir batin,
serta tegakknya keadilan dan amanah dalam masyarakat.[24]
e. Ibnu Hazm : tujuan yang diharapkan (pada imam) ialah ia dapat membimbing masyarakat
dengan sifat yang tidak lemah, keras diu dalam menghadpai kemungkaran, tetapi
tidak kasar dan tidak melanggar yang wajib dan selalu waspada dan tidak lengah,
berjiwa berani, tidak kikir mempergunakan harta yang menjadi haknya dan tidak
berlaku boros tehadap harta yang bukan haknya. Tegasnya, seorang Imam harus
bisa menegakkan hukum-hukum al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasul, sehingga dengan
demikian segala kebaikan dapat terhimpun pada tingkah lakunya.[25]
- Pemberhentian Kepala Negara
Para juris sunni tidak
ada yang membicarakan bagaimana cara dan
mekanisme pemberhentian kepala Negara. Mereka hanya membahas
kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan terjadinya hal itu.
a.
Al-Baghdadi : menjelaskan
bahwa seorang imam yang tanpa cacat dan tindakannya tidak bertentangan dengan
syari’at umat wajib mendukung dan mentaatinya.
Tapi apabila ia menyimpang dari ketetapan syari’at, masyarakat harus memilih
diantara dua tindakan, mengembalikan ia kepada kebaikan atau mencopot dan
menberikan jabatannya pada orang lain. [26]
b.
Al-Mawardi : kepala Negara yang cacat keadilannya, dan sesuatu menimpa
fisiknya sehingga tidak mampu
menjalankan roda pemerintahan boleh diberhentikan. Kepala Negara dikatakan
cacat keadilannya apabila ia melakukan perbuatan yang salah dan fasiq, keluar
dari jalan yang benar, perbuatan dan keyakinannya bercampur dengan hal-hal
tercela dan munkar lantaran menurut hawa nafsu. Sedangkan yang dimaksud sesuatu
yang menimpa fisiknya adalah 1)
Kehilangan panca indra; 2) Kehilangan
organ tubuh; 3) Kehilangan
kebebasan untuk bertindak karena menjadi tawanan.
Jika kepala Negara yang fasiq kembali bersikap
adil, maka ia tidak boleh melaksanakan jabatannya kecuali dengan kontrak sosial
yang baru. Artinya, kepala
Negara yang fasiq harus disingkirkan dan tidak lagi sah menduduki jabatan itu.
Jika kepala Negara berada dalam tawanan
maka rakyat harus memilih orang lain yang memiliki kekuatan.[27]
c. Al-Juwaini : kepala negara yang diangkat melalui pemilihan tidak
boleh memberhentikannya kecuali ada suatu peristiwa atau perubahan dalam dirinya
yang membolehkan untuk itu. Apabila dia fasiq atau fajir (perbuatan
dosa dan tidak berlaku adil), maka pemberhentiannya adlah mungkin. Dikatakan
mungkin karena tidak ada dasar hukum(ketetapan) untuk memberhentikannya.
Pengunduran diri seorang kepala negara bila ia tidak lagi merasa mampu meikul
tanggung jawab kedudukannya, juga adalah mungkin. Pendapat al-Juwaini yang
tidak tegas dalam maslah ini , karena hal tersebut sangat tergantung pada hasil
ijtihad apakah diberhentikan atau tidak.[28]
- Sumber kekuasaan
Sumber kekuasaan dibagi menjadi beberapa
teori, Yaitu sebagai berikut:[29]
a.
Teori ketuhanan.
Menurut teori
ini kekuasaan berasal dari tuhan(devine right kings). Penguasa bertahta
atas kehendak tuhan sebagai pemberi kekuasaan.
b.
Teori kekuatan.
Teori ini
menyatakan bahwa kekuasaan politik beasal dari kekuatan dalam persaingan
kelompok. Negara dibentuk oleh kelompok yang menang, dan kekuatanlah yang
membentuk kekuasaan dan pembuat hukum.
c.
Tori kontrak sosial.
Teori kontrak
sosial adalah teori yang menerangkan bahwakekuasaan diperoleh melalui
perjanjian mesyarakat. Artinya kekuasaan politik bersumber dari rakyat dan
legitimasinya berasal dari perjanjian masyarakat.
Al-Baghdadi,
Al-Mawardi
lebih condong kepada paham teori kontrak sosial. Artinya, bagi mereka sumber kekuasaan berasal dari
masyarakat. Hal ini karena gagasan mereka tentang proses pembentukan Negara
adalah atas dasar kehendak manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik
untuk berkumpul disuatu tempat dalam rangka kerja sama dan tolong menolong
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi, tabiat manusia yang demikian merka
kaitkan dengan keyakina agama. Sebagai ciptaan dan kehendak tuhan atas manusia.
Berbeda dengan
pandangan Al-Ghazali
yang lebih condong pada teori ketuhanan. Dengan mendasarkan pada ayat 59 surat
an-Nisa yang memerintahkan orang-orang mu’min taat pada allah, kepada rasulNya
dan kepada para pemimpin, dan ayat 26 surat ali imron yang menegaskan bahwa
allah memberikan kerajaan(kekuasaan) kepada yang ia kehendaki.
Al-Ghazali mendukung adagium yang mengatakan bahwa kepala Negara atau sultan
merupakan bayangan allah diatas muka bumiNya. Karena itu rakyat harus wajib
mengikuti dan menaatinya, tidak boleh menentangnya. Alur pemikiran ini menurut
Muhammad Jalal Syraraf dan Ali Al-Mu’thi Muhammad, mengandung arti bahwa
kekuasaan kepala Negara itu muqaddas(suci). System pemerintahan dalam pemikiran
Al-Ghazali adalah teokrasi. Tapi walaupun sesorang menjadi sultan atau kepala Negara atas kehendak allah,
namun menurut al- ghazali, ia juga harus mendapat tafwidh (penyerahan kekuasaan) dan tauliyat
(pengankatan dari orang lain).
Pendapat Ibn Taimiyah
dapat ditinjau dari dua sudut pandangan. Bila didasarkan pada penolakan
terhadap doktrin syi’ah tentang adanya nash penetapan ali sebagai imam sesudah
nabi, maka ini berarti ia menerima system pemilikan, dan sumber kekuasaan
adalah rakyat. Tapi bila dilihat pada pendapatnya, ”makhluk
adalah hamba allah dan para pemimpin adalah wakil-wakil allah atas
hamba-hambaNya dan mereka juga merupakan adalah wakil-wakil hamba-hamba allah
Allah atas diri mereka sendiri”, dan dukungannya terhadap ungkapan bahwa sultan
adalah bayangan allah diatas muka bumiNya , bisa
mengandung arti bahwa sumber kekuasaan berasal dari allah.[30]
- Bentuk pemerintahan
Apabila dikaitkan
dengan bentuk bentuk pemerintahan yang ada dan yang bberkembang sekarang,
pemikiran politik dari beberapa tokoh sunni kasik memiliki kecondongan yang
berbeda-beda.
a.
Al-ghozali : lebih
condong kepada bentuk pemerintahan monarki. Hal ini didasarkan pada pendapatnya
bahwa sesorang yang akan menjadi kepala Negara harus mendapatkan tafwidh dari
pemegang kekuasaan, dan inilah yang berlaku saat itu. Pemikir-pemikir lain pun
juga dapat digolongan kedalam alur pemikiran al-Ghazali. Penggolongan
ini didasarkan pada penolakan mereka terhadap doktrin politik Syiah
dan doktrin politik Khawarij yang
bebas dan terbuka. Sebab untuk menyebut mereka cenderung kepada bentuk atau
macam pemerintahan lain,
aristokrasi dan demokrasi misalnya, tidak terlihat indikasi pemikiran mereka
yang mengarah kesana.[31]
b.
Ibn Khaldun :
corak pemerintahan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Al-Mulk Al-Thabi’iy,
suatu pemerintahan yang mengikuti hawa nafsu, sewenang-wenag dan monopoli.
2.
Al-Mulk Al-Siyasiy, pemerintahan yang mengendalikan kepada rekayasa akal pikiran
dalam mewujudkan kemaslahatan dunia dan menghapuskan kemlaratan.
3.
Khilafah
atau Imamah, pemerintahan yang mengikuti ajaran agama dalam mewujudkan
kemaslahatan dunia dan akhirat. Karena hal ihwal dunia harus mengikuti
ketentuan syara’ untuk kemaslahatan hidup diakhirat.[32]
Daftar Putaka
Pulungan, J.
Suyuthi. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Sjadzali,
Munawir. 1990. Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. UI-Press.
Jakarta.
Musa, M. Yusuf. 1990. Politik Dan Negara Dalam Islam. Al-Ikhlas.
Surabaya.
Al-Mawardi. t.t. Ahkam
Al-Sulthaniya. Dar Al-Fikr. Beirut.
Al-Subky, Tajuddin. 1991. Al-Asybah Wa Al-Nadhair. Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Madinah.
Al-Syirazi, Abu Ishaq. 1998. Al-Muhadzab., Darul
Fikr. Beirut.
[1] J. Suyuthi
Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002, hlm. 219-221
[3] Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, UI-Press, Jakarta, 1990, hlm. 99-101.
[18] Abu Ishaq Al-Syirazi, Al-Muhadzab, Darul
Fikr, Beirut, 1998, Juz 3, hlm 343.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.