Peranan Pondok Pesantren Edi Mancoro Dalam Penangan Konflik Sosial di Masyarakat (Laporan Field Trip Pesantren For Peace ke Pondok Pesantren Edi Mancoro) - Sang Pemburu Badai

Jumat, 06 November 2015

Peranan Pondok Pesantren Edi Mancoro Dalam Penangan Konflik Sosial di Masyarakat (Laporan Field Trip Pesantren For Peace ke Pondok Pesantren Edi Mancoro)







       Profil Pondok Pesantren Edi Mancoro

Pondok Pesantren Edi Mancoro berasal dari dua kata, yaitu Edi dan mancoro. Kata Edi artinya Bagus dan Mancoro yang berarti bersinar. Dengan demikian, bila digabung arinya menjadi sebuah pesantren yang diharapkan menjadi sebuah sinar yang bagus dan memancar ke seluruh penjuru dunia.
Semula tepatnya pada akhir 80-an hingga awal 90-an, Pesantren Edi Mancoro hanya sebuah tempat untuk pendidikan dan latihan LSM Desaku Maju. H H Mahfud Ridwan, Lc. lajyang memulai awal pendirian dan mengasuh pesantren yang berdiri pada 25 Desember 1989 itu. Pendiri pesantren yang tergabung dalam Yayasan Desaku Maju dimotori oleh para aktivis 80-an. Diantaranya KH Mahfudz Ridwan Lc, KH Muhammad HM Sholeh BA, Matori Abdul Jalil, Zainal Arifin BA. Pada 2013, pengelolaan pesantren menginduk kepada Yayasan Edi Mancoro yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.[1]
Adapun wilayah kerja pesantren, awalnya terfokus pada dimensi religius yang bersifat normatif dan ekslusif daripada dimensi kemasyarakatan yang bersifat praktis, humanis, dan inklusif. Namun seiring berjalannya waktu yang menuntut dinamika masyarakat yang cepat dan beragam, selanjutnya pesantren ini pun hadir sebagai institusi yang responsif, proaktif, serta akomodatif.
Di samping dimensi keagamaan, keberadaan pondok pesantren yang berlokasi di Dusun Bandungan, Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang ini juga berusaha melakukan upaya yang berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan yang kompleks dan pemberdayaannya. Semua itu dilakukan demi terbentuknya masyarakat yang madani, yakni masyarakat yang lebih mengutamakan keadilan, kebersamaan, dan manafikan sekat-sekat penghalang atas dasar agama, ras, suku, golongan, serta etnis yang selama ini ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Visi dan misi pesantren, lanjutnya, meliputi membentuk santri yang berwawasan keagamaan secara mendalam dalam konteks ke-Indonesiaan yang plural. Pesantren yang jaraknya dekat dengan Rawa Pening ini bersifat non profit, independen, dan mandiri dalam menentukan kebijakan dan garis perjuangannya.
Pondok Pesantren Edi Mancoro mempunyai beberapa program, diantaranya adalah :
a.       Melakukan kajian dan studi ke-Islaman secara intensif dan berkesinambunagan baik dalam prespektif tekstual yang bersifat normatif maupun dalam prespektif kontekstual ke-Indonesiaan.
b.      Menyelenggarakan diskusi-diskusi ilmiah, dialog keagamaan, dialog kemasyarakatan lintas SARA bagi seluruh komponen masyarakat Indonesia yang plural.
c.       Melakukan sosialisasi sekaligus pribuminisasi atas hasil kajian-kajian di atas bagi komunitas masyarakat pada umumnya.
d.      Menyelenggarakan diklat, kursus kilat bagi aktifitas pesantren dan kemasyarakatan dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
e.       Membentuk jaringan kerja sama antar pesantren, institusi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan seluruh komunitas strategis di masyarakat.[2]

          Edi Mancoro dan Inisiatif Perdamaian
Menurut Gus hanif, Pondok Pesantren Edi Mancoro adalah institusi yang responsif, proaktif, serta akomodatif. Selain berkonsentrasi dalam bidang keagamaan, Edi Mancoro juga berusaha melakukan upaya yang berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan yang kompleks dan pemberdayaannya. Semua itu dilakukan demi terbentuknya masyarakat yang madani, yakni masyarakat yang lebih mengutamakan keadilan, kebersamaan, dan manafikan sekat-sekat penghalang atas dasar agama, ras, suku, golongan, serta etnis yang selama ini ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Gus Hanif[3] juga memaparkan, bahwa yang selama ini dilakukan oleh Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam merespon persoalan yang terjadi di masyarakat tidak berorientasi kepada hasil. Setiap kegiatan yang dilakukan selalu berkonsentrasi kepada proses yang dilaksanakan. Dari setiap proses yang ada tersebut kemudian di kawal oleh pesantren, dan hasilnya adalah masayarakat sendiri yang akan menentukannya.
Salah satu peran yang ditampilkan Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam bidang advokasi adalah pendampingan terhadap berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat. Pendampingan tersebut dapat dilihat dari berbagai kasus yang terjadi di masyarakat yang kemudian dibantu penanganannya oleh pesantren. Pendampingan tersebut tidak hanya dilakukan sekali, tetapi dilakukan secara berkelanjutan dan bertahap.
Selain pendampingan dan advokasi, Pondok Pesantren Edi Mancoro juga sering mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang toleransi, moderatisme, HAM, dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut dilakukan oleh pesantren sebagai salah satu tanggung jawab mereka terhadap perdamaian umat. Dianatara kegiatan tersebut adalah pondok pesantren melakukan kegiatan  dialog lintas agama, diskusi dan silaturahmi antar agama yang bertujuan untuk menanamkan toleransi serta mempererat persaudaraan antar agama di tanah air.
Inisiatif perdamaian yang diaplikasikan oleh Pondok Pesantren Edi mancoro dalam kegiatan-kegiatannya diantaranya adalah sebagai berikut:
a.         Pendampingan korban Kedung Ombo.
b.         Pemberdayaan yayasan kristen PERU di Salatiga.
c.         Penguatan pemberdayaan masyarakat dengan terbentuknya 63 kelompok kecil yang ada di masyarakat.
d.        Pembentukkan forum GEDANGAN.
e.         Pembentukkan forum lintas iman SOBAT.
f.          Pendampingan konflik gereja dan umat islam di sekitar Salatiga dan Kab. Semarang.
g.         Pendampingan konflik Temanggung.
h.         Halaqoh ulama’ dan santri.[4]
Pelaksanaan kegiatan-kegiatan diatas bukan berarti tanpa halangan. Menurut Gus Hanif, banyak kalangan yang menentang konsep, pemikiran dan gerak langkah yang selama ini dilakukan oleh Pondok Pesantren Edi Mancoro. Banyak kritik keras dan hujatan yang diarahkan kepada KH. Mahfudz Ridwan terhadap gagasannya yang banyak dipandang tidak lumrah oleh masyarakat. Tetapi hal tersebut dipahami oleh KH. Mahfudz Ridwan sebagai sebuah perbedaan pandangan dan pendapat yang harus diterima. Hal tersebut juga menjadi salah satu hal yang menyemangati dirinya untuk lebih banyak memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang arti toleransi dan moderat.

          Peranan Edi Mancoro Dalam Penangan Konflik Secara Damai
Pondok Pesamtren Edi Mancoro banyak sekali memberikan peran dalam penanganan dan pencegahan konflik yang terjadi di masyarakat. Diantara hal tersebut adalah kasus waduk Kedongombo, pencegahan kerusuhan reformasi 1998 di Salatiga, fasilitasi bantuan sembako dari Vatikan bekerjasama dengan Gereja, dan lain sebagainya.
Kasus Waduk Kedung Ombo merupakan salah satu kasus yang menyita perhatian Pengasuh Pondok Pesantren, KH. Mahfudz Ridwan. Kasus waduk kedung ombo bermula dari proyek Kedung Ombo dimulai tahun 1985, yang menuntut pembebasan lahan yang cukup luas di daerah Kedung Ombo Jawa Tengah. Proyek yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengamanan dan pengendalian banjir di Jawa Tengah ini membutuhkan areal kurang lebih 5.898 hektare, yang terdiri dari lahan 1.500 tanah perhutani, 730 sawah, 2.655 tanah tegalan, 985 hektare tanah pekarangan dan 30 hektare tanah kuburan.[5]
Daerah yang akan kena proyek ini meliputi beberapa desa di Kecamatan Kemusu, Boyolali. Sebagian lahan yang harus dikosongkan juga berada di Kecamatan Miri dan Sumber Lawang, Sragen. Selain itu, juga ada satu kecamatan di Kabupaten Grobogan yang akan kena proyek ini. Semuanya berada di provinsi Jawa Tengah. Total ada 20 desa yang efektif bakal ditenggelamkan untuk pembangunan waduk ini.
Hasil studi Elsam dan Lawyer Committee for Human Rights menemukan banyak kasus pelanggaran HAM dalam pelaksanaan program tersebut. Dalam proyek waduk Kedung Ombo, pelanggaran HAM yang ditemukan sebagai berikut: (1) Tak adanya musyawarah yang dilakukan pemerintah dalam proses pembebasan lahan. Dalam penentuan harga, Pemerintah secara sepihak menetapkan harga tanpa mendengar masukan dari masyarakat, (2) Intimidasi dan teror terhadap warga yang tak bersedia menerima ganti rugi serta tak mau mengikuti tawaran pemerintah untuk ikut program transmigrasi. Warga yang bertahan ini diberi "label" pembangkang dan dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).[6]
Akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah menimbulkan kesengsaraan di masyarakat. Banyak hak-hak masyarakat korban penggenangan waduk Kedung Ombo terabaikan dan tidak terpenuhi. Diantara kesengsaraan tersebut adalah sebagaian masyarakat sulit untuk membangun kembali perekonomian di tempat mereka yang baru. bahkan tidak sedikit diantara mereka yang kesulitan untuk membangun tempat tinggal lagi karena uang ganti rugi yang diberikan sangat sedikit dan tidak sepadan.
Kasus tersebut menarik perhatian beberapa tokoh nasional, seperti Gus Dur dan Romo Mangun. Gus Dur yang berupaya untuk mendampingi dan memediasi para penduduk yang menjadi korban dari Waduk Kedung Ombo kemudian mengajak serta keterlibatan KH. Mahfudz Ridwan yang merupakan salah satu sahabat karibnya. Di rumah KH. Mahfudz Ridwan itu lah Gus Dur, Romo Mangun, dan beberapa tokoh lain mendiskusikan berbagai strategi untuk membantu para penduduk korban penggenangan waduk Kedung Ombo. Di kemudian hari Gedangan menjadi pusat kegiatan antara para tokoh nasional tersebut untuk membantu para korban waduk Kedung Ombo.[7]
Dalam perjalanannya KH. Mahfudz Ridwan lah yang kemudian lebih banyak terlibat secara langsung dan bertatap muka dengan para penduduk yang menjadi korban untuk membantu mereka. Menurut Syauqi yang merupakan salah satu putra dari KH. Mahfudz Ridwan, dalam membantu menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di waduk Kedung Ombo ayahnya melakukan beberapa hal. diantara hal tersebut adalah:
a.         Melakukan pendampingan kepada para korban dengan cara memberikan semangat dan menguatkan mental mereka. Hal ini dilakukan untuk memberikan motivasi kepada para korban agar mereka sabar dan tabah dalam menghadapi cobaan yang menerpa mereka, serta tetap optimis untuk menghadapi masa depan.
b.         Membantu para penduduk bernegosiasi dengan pemerintah. Dalam hal ini KH. Mahfudz Ridwan membantu mediasi para korban dengan pemerintah agar hak-hak mereka dapat terpenuhi, seperti ganti rugi yang layak. Mediasi ini kemudian baru mendapatkan ruang yang sangat luas pada waktu gubernur Jawa Tengah dijabat oleh Mardiyanto. Pada masa gubernur Mardiyanto, KH. Mahfudz Ridwan berulang kali memediasi pertemuan dengan para korban. Banyak hal yang dihasilkan dari pertemuan tersebut, diantaranya adalah dibangunkannya jembatan panjang penghubung antar daerah di Desa Klewor Kecamatan Kemusu. Selama ini penduduk harus memutar cukup jauh jika naik motor atau memakai kapal getek jika ingin ke daerah sebelah waduk yang sebenarnya berdekatan. Selain itu, dari pertemuan dengan gubernur Mardiyanto kemudian banyak sekali diluncurkan program-program pemberdayaan kepada masyarakat. Menurut Syauqi, Mardiyanto selaku gubernur merasa ikut bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM yang terjadi kepada para masyarakat korban penggenangan waduk Kedung Ombo. Oleh karena itu maka Mardiyanto banyak memberikan berbagai program pemberdayaan dan bantuan kepada penduduk.
c.         KH. Mahfudz Ridwan membantu mengfasilitasi penyaluran berbagai program pemberdayaan dan bantuan dari pemerintah pusat kepada para korban waduk Kedung Ombo.
Bukan berarti apa yang dilakukan oleh KH. Mahfudz Ridwan tanpa ada halangan sama sekali. Sebagai seorang aktivis yang hidup pada masa orde baru tentunya tidak lepas dari berbagai intervensi dan ancaman dari penguasa pada waktu itu. Ketika para tokoh nasional tersebut melakukan kegiatan di rumah KH. Mahfudz Ridwan maka bisa dilihat banyak sekali tentara baik yang berpakaian resmi maupun sipil atau intelijen. Tujuan mereka berada di desa Gedangan sangatlah jelas, yaitu untuk mengintervensi dan mengawasi kegiatan para tokoh-tokoh tersebut.
Dalam menghadapi berbagai tekanan dari pemerintah orde baru tersebut KH. Mahfudz Ridwan tidak berlaku keras. Sebisa mungkin beliau bekerjasama dan mengurangi gesekan dengan para aparat keamanan tersebut. Hal ini diperlihatkan oleh KH. Mahfudz Ridwan dengan memberikan rekaman dan catatan hasil rapat dengan tokoh nasional tadi kepada pemerintah serta melaporkannya secara rutin. Tentu saja sebagai seorang yang cerdas, yang diberikan kepada pemerintah bukan rekaman dan catatan inti dari diskusi yang mereka lakukan, sehingga rahasia tetap terjaga. Hal ini dilakukan oleh beliau agar strategi dan rencana yang mereka lakukan untuk membantu korban waduk Kedung Ombo dapat berjalan tanpa ada halangan dari pemerintah dan pihak keamanan.
Melihat berbagai kegiatan yang dilakukan oleh KH. Mahfudz Ridwan kepada para penduduk korban waduk Kedung Ombo, maka tidak heran nama kiyai tersebut sangat membekas dalam hati sanubari para penduduk. Sampai sekarang terjalin hubungan kekeluargaan yang sangat erat antara para penduduk dan KH. Mahfudz Ridwan. Sampai sekarang masih banyak warga sekitar Kedung Ombo yang bersilaturahim ke rumah KH. Mahfudz Ridwan. Bahkan tidak jarang diantara mereka membawa hasil panenan mereka untuk diberikan kepada kiyai, seperti jagung, ketela, padi, ikan, dan buah-buahan.[8]


[1] https://ppedimancoro.wordpress.com
[2] Ibid
[3] Wawancara hari Selasa, 06 Oktober 2015 di Pondok Pesantren Edi Mancoro
[4] Pemaparan Gus Hanif dalam Field Trip Kamis, 01 Oktober 2015 di Pondok Pesantren Edi Mancoro
[5] http://paknusa.blogspot.co.id/2014/11/pemahaman-empatis-belajar-dari-kasus.html
[6] Ibid
[7] Wawancara dengan Syauqi, hari Selasa, 06 Oktober 2015 di Pondok Pesantren Edi Mancoro
[8] Wawancara dengan Syauqi, hari Selasa, 06 Oktober 2015 di Pondok Pesantren Edi Mancoro

5 komentar:

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.