Profil Pondok Pesantren Edi Mancoro
Pondok Pesantren Edi Mancoro berasal
dari dua kata, yaitu Edi dan mancoro. Kata Edi artinya Bagus dan Mancoro yang
berarti bersinar. Dengan demikian, bila digabung arinya menjadi sebuah
pesantren yang diharapkan menjadi sebuah sinar yang bagus dan memancar ke
seluruh penjuru dunia.
Semula tepatnya pada akhir 80-an
hingga awal 90-an, Pesantren Edi Mancoro hanya sebuah tempat untuk pendidikan
dan latihan LSM Desaku Maju. H H Mahfud Ridwan, Lc. lajyang memulai awal
pendirian dan mengasuh pesantren yang berdiri pada 25 Desember 1989 itu. Pendiri
pesantren yang tergabung dalam Yayasan Desaku Maju dimotori oleh para aktivis
80-an. Diantaranya KH Mahfudz Ridwan Lc, KH Muhammad HM Sholeh BA, Matori Abdul
Jalil, Zainal Arifin BA. Pada 2013, pengelolaan pesantren menginduk kepada
Yayasan Edi Mancoro yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM Republik
Indonesia.[1]
Adapun wilayah kerja pesantren,
awalnya terfokus pada dimensi religius yang bersifat normatif dan ekslusif
daripada dimensi kemasyarakatan yang bersifat praktis, humanis, dan inklusif.
Namun seiring berjalannya waktu yang menuntut dinamika masyarakat yang cepat
dan beragam, selanjutnya pesantren ini pun hadir sebagai institusi yang
responsif, proaktif, serta akomodatif.
Di samping dimensi keagamaan,
keberadaan pondok pesantren yang berlokasi di Dusun Bandungan, Desa Gedangan,
Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang ini juga berusaha melakukan upaya yang
berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan yang kompleks dan pemberdayaannya.
Semua itu dilakukan demi terbentuknya masyarakat yang madani, yakni masyarakat
yang lebih mengutamakan keadilan, kebersamaan, dan manafikan sekat-sekat
penghalang atas dasar agama, ras, suku, golongan, serta etnis yang selama ini
ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Visi dan misi pesantren, lanjutnya,
meliputi membentuk santri yang berwawasan keagamaan secara mendalam dalam
konteks ke-Indonesiaan yang plural. Pesantren yang jaraknya dekat dengan Rawa
Pening ini bersifat non profit, independen, dan mandiri dalam menentukan
kebijakan dan garis perjuangannya.
Pondok Pesantren Edi Mancoro mempunyai
beberapa program, diantaranya adalah :
a.
Melakukan
kajian dan studi ke-Islaman secara intensif dan berkesinambunagan baik dalam
prespektif tekstual yang bersifat normatif maupun dalam prespektif kontekstual
ke-Indonesiaan.
b.
Menyelenggarakan
diskusi-diskusi ilmiah, dialog keagamaan, dialog kemasyarakatan lintas SARA
bagi seluruh komponen masyarakat Indonesia yang plural.
c.
Melakukan
sosialisasi sekaligus pribuminisasi atas hasil kajian-kajian di atas bagi
komunitas masyarakat pada umumnya.
d.
Menyelenggarakan
diklat, kursus kilat bagi aktifitas pesantren dan kemasyarakatan dalam rangka
pemberdayaan masyarakat.
e.
Membentuk
jaringan kerja sama antar pesantren, institusi kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan seluruh komunitas strategis di
masyarakat.[2]
Edi Mancoro dan Inisiatif Perdamaian
Menurut Gus hanif, Pondok Pesantren
Edi Mancoro adalah institusi yang responsif, proaktif, serta akomodatif. Selain
berkonsentrasi dalam bidang keagamaan, Edi Mancoro juga berusaha melakukan
upaya yang berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan yang kompleks dan
pemberdayaannya. Semua itu dilakukan demi terbentuknya masyarakat yang madani,
yakni masyarakat yang lebih mengutamakan keadilan, kebersamaan, dan manafikan
sekat-sekat penghalang atas dasar agama, ras, suku, golongan, serta etnis yang
selama ini ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat.
Gus Hanif[3]
juga memaparkan, bahwa yang selama ini dilakukan oleh Pondok Pesantren Edi
Mancoro dalam merespon persoalan yang terjadi di masyarakat tidak berorientasi
kepada hasil. Setiap kegiatan yang dilakukan selalu berkonsentrasi kepada
proses yang dilaksanakan. Dari setiap proses yang ada tersebut kemudian di
kawal oleh pesantren, dan hasilnya adalah masayarakat sendiri yang akan
menentukannya.
Salah satu peran yang ditampilkan
Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam bidang advokasi adalah pendampingan terhadap
berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat. Pendampingan tersebut dapat
dilihat dari berbagai kasus yang terjadi di masyarakat yang kemudian dibantu
penanganannya oleh pesantren. Pendampingan tersebut tidak hanya dilakukan
sekali, tetapi dilakukan secara berkelanjutan dan bertahap.
Selain pendampingan dan advokasi,
Pondok Pesantren Edi Mancoro juga sering mengadakan kegiatan yang bertujuan
untuk memberikan pemahaman tentang toleransi, moderatisme, HAM, dan lain
sebagainya. Kegiatan tersebut dilakukan oleh pesantren sebagai salah satu
tanggung jawab mereka terhadap perdamaian umat. Dianatara kegiatan tersebut
adalah pondok pesantren melakukan kegiatan
dialog lintas agama, diskusi dan silaturahmi antar agama yang bertujuan
untuk menanamkan toleransi serta mempererat persaudaraan antar agama di tanah
air.
Inisiatif perdamaian yang
diaplikasikan oleh Pondok Pesantren Edi mancoro dalam kegiatan-kegiatannya
diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Pendampingan
korban Kedung Ombo.
b.
Pemberdayaan
yayasan kristen PERU di Salatiga.
c.
Penguatan
pemberdayaan masyarakat dengan terbentuknya 63 kelompok kecil yang ada di
masyarakat.
d.
Pembentukkan
forum GEDANGAN.
e.
Pembentukkan
forum lintas iman SOBAT.
f.
Pendampingan
konflik gereja dan umat islam di sekitar Salatiga dan Kab. Semarang.
g.
Pendampingan
konflik Temanggung.
h.
Halaqoh
ulama’ dan santri.[4]
Pelaksanaan kegiatan-kegiatan diatas
bukan berarti tanpa halangan. Menurut Gus Hanif, banyak kalangan yang menentang
konsep, pemikiran dan gerak langkah yang selama ini dilakukan oleh Pondok Pesantren
Edi Mancoro. Banyak kritik keras dan hujatan yang diarahkan kepada KH. Mahfudz
Ridwan terhadap gagasannya yang banyak dipandang tidak lumrah oleh masyarakat. Tetapi
hal tersebut dipahami oleh KH. Mahfudz Ridwan sebagai sebuah perbedaan
pandangan dan pendapat yang harus diterima. Hal tersebut juga menjadi salah
satu hal yang menyemangati dirinya untuk lebih banyak memberikan pemahaman
kepada masyarakat luas tentang arti toleransi dan moderat.
Peranan Edi Mancoro Dalam Penangan Konflik Secara Damai
Pondok Pesamtren Edi Mancoro banyak
sekali memberikan peran dalam penanganan dan pencegahan konflik yang terjadi di
masyarakat. Diantara hal tersebut adalah kasus waduk Kedongombo, pencegahan
kerusuhan reformasi 1998 di Salatiga, fasilitasi bantuan sembako dari Vatikan
bekerjasama dengan Gereja, dan lain sebagainya.
Kasus Waduk Kedung Ombo merupakan
salah satu kasus yang menyita perhatian Pengasuh Pondok Pesantren, KH. Mahfudz
Ridwan. Kasus waduk kedung ombo bermula dari proyek Kedung Ombo dimulai tahun
1985, yang menuntut pembebasan lahan yang cukup luas di daerah Kedung Ombo Jawa
Tengah. Proyek yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengamanan dan pengendalian
banjir di Jawa Tengah ini membutuhkan areal kurang lebih 5.898 hektare, yang
terdiri dari lahan 1.500 tanah perhutani, 730 sawah, 2.655 tanah tegalan, 985
hektare tanah pekarangan dan 30 hektare tanah kuburan.[5]
Daerah yang akan kena proyek ini
meliputi beberapa desa di Kecamatan Kemusu, Boyolali. Sebagian lahan yang harus
dikosongkan juga berada di Kecamatan Miri dan Sumber Lawang, Sragen. Selain
itu, juga ada satu kecamatan di Kabupaten Grobogan yang akan kena proyek ini.
Semuanya berada di provinsi Jawa Tengah. Total ada 20 desa yang efektif bakal
ditenggelamkan untuk pembangunan waduk ini.
Hasil studi Elsam dan Lawyer
Committee for Human Rights menemukan banyak kasus pelanggaran HAM dalam
pelaksanaan program tersebut. Dalam proyek waduk Kedung Ombo, pelanggaran HAM
yang ditemukan sebagai berikut: (1) Tak adanya musyawarah yang dilakukan
pemerintah dalam proses pembebasan lahan. Dalam penentuan harga, Pemerintah
secara sepihak menetapkan harga tanpa mendengar masukan dari masyarakat, (2)
Intimidasi dan teror terhadap warga yang tak bersedia menerima ganti rugi serta
tak mau mengikuti tawaran pemerintah untuk ikut program transmigrasi. Warga
yang bertahan ini diberi "label" pembangkang dan dicap sebagai
anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).[6]
Akibat pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh pemerintah menimbulkan kesengsaraan di masyarakat. Banyak
hak-hak masyarakat korban penggenangan waduk Kedung Ombo terabaikan dan tidak
terpenuhi. Diantara kesengsaraan tersebut adalah sebagaian masyarakat sulit
untuk membangun kembali perekonomian di tempat mereka yang baru. bahkan tidak
sedikit diantara mereka yang kesulitan untuk membangun tempat tinggal lagi
karena uang ganti rugi yang diberikan sangat sedikit dan tidak sepadan.
Kasus tersebut menarik perhatian
beberapa tokoh nasional, seperti Gus Dur dan Romo Mangun. Gus Dur yang berupaya
untuk mendampingi dan memediasi para penduduk yang menjadi korban dari Waduk Kedung
Ombo kemudian mengajak serta keterlibatan KH. Mahfudz Ridwan yang merupakan
salah satu sahabat karibnya. Di rumah KH. Mahfudz Ridwan itu lah Gus Dur, Romo
Mangun, dan beberapa tokoh lain mendiskusikan berbagai strategi untuk membantu
para penduduk korban penggenangan waduk Kedung Ombo. Di kemudian hari Gedangan
menjadi pusat kegiatan antara para tokoh nasional tersebut untuk membantu para
korban waduk Kedung Ombo.[7]
Dalam perjalanannya KH. Mahfudz Ridwan
lah yang kemudian lebih banyak terlibat secara langsung dan bertatap muka
dengan para penduduk yang menjadi korban untuk membantu mereka. Menurut Syauqi
yang merupakan salah satu putra dari KH. Mahfudz Ridwan, dalam membantu
menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di waduk Kedung Ombo ayahnya
melakukan beberapa hal. diantara hal tersebut adalah:
a.
Melakukan
pendampingan kepada para korban dengan cara memberikan semangat dan menguatkan
mental mereka. Hal ini dilakukan untuk memberikan motivasi kepada para korban
agar mereka sabar dan tabah dalam menghadapi cobaan yang menerpa mereka, serta
tetap optimis untuk menghadapi masa depan.
b.
Membantu
para penduduk bernegosiasi dengan pemerintah. Dalam hal ini KH. Mahfudz Ridwan
membantu mediasi para korban dengan pemerintah agar hak-hak mereka dapat
terpenuhi, seperti ganti rugi yang layak. Mediasi ini kemudian baru mendapatkan
ruang yang sangat luas pada waktu gubernur Jawa Tengah dijabat oleh Mardiyanto.
Pada masa gubernur Mardiyanto, KH. Mahfudz Ridwan berulang kali memediasi
pertemuan dengan para korban. Banyak hal yang dihasilkan dari pertemuan
tersebut, diantaranya adalah dibangunkannya jembatan panjang penghubung antar
daerah di Desa Klewor Kecamatan Kemusu. Selama ini penduduk harus memutar cukup
jauh jika naik motor atau memakai kapal getek jika ingin ke daerah
sebelah waduk yang sebenarnya berdekatan. Selain itu, dari pertemuan dengan
gubernur Mardiyanto kemudian banyak sekali diluncurkan program-program
pemberdayaan kepada masyarakat. Menurut Syauqi, Mardiyanto selaku gubernur
merasa ikut bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM yang terjadi kepada para
masyarakat korban penggenangan waduk Kedung Ombo. Oleh karena itu maka
Mardiyanto banyak memberikan berbagai program pemberdayaan dan bantuan kepada
penduduk.
c.
KH.
Mahfudz Ridwan membantu mengfasilitasi penyaluran berbagai program pemberdayaan
dan bantuan dari pemerintah pusat kepada para korban waduk Kedung Ombo.
Bukan berarti apa yang dilakukan
oleh KH. Mahfudz Ridwan tanpa ada halangan sama sekali. Sebagai seorang aktivis
yang hidup pada masa orde baru tentunya tidak lepas dari berbagai intervensi
dan ancaman dari penguasa pada waktu itu. Ketika para tokoh nasional tersebut
melakukan kegiatan di rumah KH. Mahfudz Ridwan maka bisa dilihat banyak sekali tentara
baik yang berpakaian resmi maupun sipil atau intelijen. Tujuan mereka berada di
desa Gedangan sangatlah jelas, yaitu untuk mengintervensi dan mengawasi
kegiatan para tokoh-tokoh tersebut.
Dalam menghadapi berbagai tekanan
dari pemerintah orde baru tersebut KH. Mahfudz Ridwan tidak berlaku keras.
Sebisa mungkin beliau bekerjasama dan mengurangi gesekan dengan para aparat
keamanan tersebut. Hal ini diperlihatkan oleh KH. Mahfudz Ridwan dengan
memberikan rekaman dan catatan hasil rapat dengan tokoh nasional tadi kepada
pemerintah serta melaporkannya secara rutin. Tentu saja sebagai seorang yang
cerdas, yang diberikan kepada pemerintah bukan rekaman dan catatan inti dari
diskusi yang mereka lakukan, sehingga rahasia tetap terjaga. Hal ini dilakukan
oleh beliau agar strategi dan rencana yang mereka lakukan untuk membantu korban
waduk Kedung Ombo dapat berjalan tanpa ada halangan dari pemerintah dan pihak
keamanan.
Melihat berbagai kegiatan yang
dilakukan oleh KH. Mahfudz Ridwan kepada para penduduk korban waduk Kedung Ombo,
maka tidak heran nama kiyai tersebut sangat membekas dalam hati sanubari para
penduduk. Sampai sekarang terjalin hubungan kekeluargaan yang sangat erat
antara para penduduk dan KH. Mahfudz Ridwan. Sampai sekarang masih banyak warga
sekitar Kedung Ombo yang bersilaturahim ke rumah KH. Mahfudz Ridwan. Bahkan
tidak jarang diantara mereka membawa hasil panenan mereka untuk diberikan
kepada kiyai, seperti jagung, ketela, padi, ikan, dan buah-buahan.[8]
[1] https://ppedimancoro.wordpress.com
[2] Ibid
[3]
Wawancara hari Selasa, 06 Oktober 2015 di Pondok Pesantren Edi Mancoro
[4]
Pemaparan Gus Hanif dalam Field Trip Kamis, 01 Oktober 2015 di Pondok Pesantren
Edi Mancoro
[5]
http://paknusa.blogspot.co.id/2014/11/pemahaman-empatis-belajar-dari-kasus.html
[6] Ibid
[7]
Wawancara dengan Syauqi, hari Selasa, 06 Oktober 2015 di Pondok Pesantren Edi
Mancoro
[8]
Wawancara dengan Syauqi, hari Selasa, 06 Oktober 2015 di Pondok Pesantren Edi Mancoro
Good enough :)
BalasHapusGood enough :)
BalasHapusMakasih....
BalasHapusanakku lagi nyantri disana. semoga bisa melanjutkan gerakan kemanusiaan dan penegakan HAM. amin
BalasHapusAmiiiiinnnn...... Semoga dapat meneruskan Perjuangan Simbah Yai Mahfudz.....
BalasHapus