Oleh. M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri
A.
Sejarah Uang
Pada awalnya manusia tidak mengenal uang, sehingga melakukan
pertukaran antar barang dan jasa secara barter sampai mereka mendapat petunjuk
dari Allah SWT untuk membuat uang. Kemudian Allah SWT menciptakan barang
tambang emas dan perak sebagai nilai untuk setiap harta. Dinar dan Dirham
berfungsi sebagai medium untuk mengukur harga komoditas, disamping juga
berfungsi untuk alat tukar transaksi dan barang simpanan kekayaan.
Bangsa Yunani membuat ”uang komoditas” yang disebar antara mereka.
Kemudian mereka membuat emas dan perak yang berupa batangan sampai masa
dimulainya percetakan uang tahun 406 SM. Mata uang
utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari perak. Bangsa Romawi pada masa
sebelum abad ke-3 SM. menggunakan mata uang
yang terbuat dari perunggu yang disebut aes (Aes Signatum Aes Rude). Mereka
juga menggunakan mata uang koin yang terbuat
dari tembaga. Kemudian mereka mencetak Denarius dari emas yang kemudian menjadi
mata uang utama imperium Romawi yang dicetak
pada tahu 268 SM.
Bangsa Persia mengadopsi percetakan uang dari bangsa Lydia setelah
penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang dicetak dari emas dan perak dengan
perbandingan (ratio) 1:13,5. Suatu hal yang membuat naiknya nilai emas dari
perak. Uang yang semula berbentuk persegi empat kemudian mereka ubah menjadi
bundar dan mereka ukir pada uang itu ukiran tempat peribadatan dan tempat nyala
api. Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyah tidak memiliki mata
uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum
dan Dirham Perak dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata
uang bangsa Himyar, Yaman. Sedangkan penduduk Mekkah tidak
memperjual belikan Dinar kecuali emas yang tidak ditempa dan tidak diolah.[1]
Akan tetapi para sejarawan Islam mencatat perilaku transaksi yang
memakai alat tukar berupa emas pada perak tela terjadi pada masa Nabi Tsit bin
Adam A.s. Selain itu juga pernah tercatat pererdaran dirham pada masa Nabi
Yusuf A.s. masih kecil. Pada saat Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan
rasul, beliau menetapkan apa yang telah menjadi tradisi penduduk Mekkah, Dinar
emas dan dirham perak serta uang logam (uang tembaga) merupakan mata
uang yang berlaku sejak zaman Rasulullah SAW. Mata
uang tersebut terus digunakan dalam transaksi berbagai
kebutuhan dan perdagangan hingga muncul mata uang
kertas (paper money).[2]
History legalisasi valas dimulai semenjak Daulah Ustmaniyah (1862
M). Hanya saja pelegalan yang diprakarsai oleh ‘Utsmâniyyah belum mendapat
respon secara luas dari masyarakat. Hal tersebut dikarenakan minimnya
kepercayaan mayoritas penduduknya terhadap eksistensi uang kertas pada waktu
itu, dan masyarakat setempat memandang penggunaannya bertentangan dengan
tradisi mereka dalam bertransaksi. Di sela-sela Perang Dunia Pertama (1333 H.,
1914 M.-1337 H., 1918 M.) Dawlah ‘Utsmâniyyah runtuh. Pada saat itulah
uang kertas ditarik dari peredaran, kemudian kurensi emas serta perak kembali
mendominasi di pasaran. Meskipun demikian, sebagian negara Islam ada yang tetap
memakai uang kertas sebagai alat tukar hingga sekarang.[3]
B.
Pasar Valuta Asing atau Valas
Pasar valuta asing (bahasa
Inggris: foreign exchange market, forex)
atau disingkat valas merupakan suatu jenis perdagangan atau transaksi yang
memperdagangkan mata uang
suatu negara terhadap mata uang negara lainnya (pasangan mata uang/pair) yang
melibatkan pasar-pasar uang utama di dunia selama 24 jam secara
berkesinambungan.
Pergerakan pasar valuta asing berputar mulai dari pasar Selandia
Baru dan Australia yang
berlangsung pukul 05.00–14.00 WIB, terus ke pasar Asia yaitu Jepang, Singapura,
dan Hongkong yang berlangsung pukul 07.00–16.00 WIB, ke pasar Eropa yaitu Jerman dan Inggris yang berlangsung pukul 13.00–22.00 WIB, sampai ke pasar Amerika
Serikat yang berlangsung pukul 20.30–10.30
WIB. Dalam perkembangan sejarahnya, bank sentral milik negara-negara dengan
cadangan mata uang asing yang terbesar sekalipun dapat dikalahkan oleh kekuatan
pasar valuta asing yang bebas.
Menurut survei BIS (Bank International for Settlement, bank sentral
dunia), yang dilakukan pada akhir tahun 2004, nilai transaksi pasar valuta asing mencapai lebih dari USD$1,4
triliun per harinya. Mengingat tingkat likuiditas dan percepatan pergerakan harga yang tinggi tersebut, valuta asing
juga telah menjadi alternatif yang paling populer karena ROI (return on
investment atau tingkat pengembalian investasi) serta laba yang akan didapat
bisa melebihi rata-rata perdagangan pada umumnya. Akibat pergerakan yang cepat
tersebut, maka pasar valuta asing juga memiliki risiko yang tinggi.
Di bursa valas (valuta asing) ini orang dapat membeli ataupun menjual
mata uang yang diperdagangkan. Secara obyektif adalah untuk mendapatkan profit
atau keuntungan dari posisi transaksi yang anda lakukan. Di Bursa valas dikenal
istilah Lot dan Pip. 1 Lot nilainya adalah $100.000 dan 1 pip nilainya adalah
$10. Sedangkan nilai dolar di bursa valas berbeda dengan nilai dolar yang kita
kenal di bank-bank. Nilai dolar di bursa
Transaksi di valuta asing dapat dilakukan dengan cara dua arah
dalam mengambil keuntungannya. Seseorang dapat membeli dahulu (open buy), lalu
ditutup dengan menjual (sell) ataupun sebaliknya, melakukan penjualan dahulu,
lalu ditutup dengan membeli.[4]
C.
Kedudukan Uang Dalam Islam
Sebelum membahas kedudukan dan hukum valas dalam fiqih muamalah,
alangkah baiknya membahas kedudukan uang dalam Islam secara mendetail terlebih dahulu. Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud
mempunyai beberapa makna: baik, tunda lawan tempo atau tunai, yakni memberikan
bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-tsaman (نقدني الثمن)
yakni dia membayarku harga
dengan tunai. Kata uang (nuqud/money) tidak terdapat dalam Al-Qur’an
maupun dalam al Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata
uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukkan
dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk
menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.[5]
Di kalangan para ahli fiqh terdapat beberapa
istilah yang penting untuk diketahui. Diantaranya
adalah:[6]
Pertama: 'Ardl dan jamak (bentuk plural)-nya 'Uruudl.
'Ardl artinya adalah sesuatu yang bukan emas dan perak. 'Urudl at-Tijarah
artinya adalah benda selain emas dan perak yang diperdagangkan.
Kedua: an-Naqd. Dalam 'urf para
fuqaha' Naqd adalah emas dan perak, baik yang telah dicetak menjadi mata
uang ataupun berbentuk batangan, atau dalam bentuk aslinya (at-Tibr);
bahan mentah emas yang berupa butiran-butiran kecil.
Sedangkan dalam fiqih juga dikenal istilah
atsmaan. Atsmaan adalah jamak (bentuk plural) dari Tsaman;
yang berarti mata uang yang berfungsi sebagai alat tukar ketika membeli barang.
Alat tukar atau mata uang yang terbuat dari emas dan perak memiliki istilah
khusus yaitu naqd. Sedangkan mata uang yang terbuat dari tembaga memiliki
nama lain yaitu fals, jamak (bentuk plural)-nya fuluus, dan ini
sudah dikenal sejak zaman para sahabat Nabi. Abdullah ibnu 'Umar mengatakan
tentang seseorang yang bakhil dan kikir:
يحب الخمر من مال الندامى ويكره أن تفارقه الفلوس
"Dia menyukai khamer yang dibeli
dengan harta teman-temannya sesama peminum, dan membenci jika uangnya sendiri
yang dipakai untuk itu ".
Para ulama fiqih menyebut mata uang
dengan menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan
dirham mereka menggunakan kata naqdain (mustanna). Menurut
Al-Sarkhasy, nuqud hanya dapat digunakan untuk transaksi atas nilai yang
terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai berdasarkan bendanya. Jadi
definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar nilai harga,
media transaksi dan media simpanan. Dengan demikian nampak jelas bahwa para
ulama’ fikih mendefinisikan uang dari perspektif fungsi-fungsinya dalam
ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi dan jasa; b. Sebagai
media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat simpanan.
Kesimpulannya, mata uang adalah
setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan
hukum yang bersifat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara
luas. Sedangkan uang lebih umum dari pada mata uang,
karena mencakup mata uang dan yang serupa
dengan uang. Dengan demikian, setiap mata uang
adalah uang, tetapi tidak setiap uang itu mata uang.
Islam tidak menentukan mata uang
tertentu untuk dijalankan oleh umat muslim. Kalaupun Rasulullah saw menyebutkan
Dinar dan Dirham bukan berarti mata uang
yang harus dipraktikkan hanya terbatas kepada jenis itu saja. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa aspek. Pertama, semua teks agama yang menyebut kata Dinar
dan Dirham tidak menyebut satu-satunya alat transaksi. Kedua, karakteristik muamalah
(transaksi) bersifat dinamis, diserahkan kepada kreatifitas manusia
sepanjang tidak berbuat zalim. Karena pada dasarnya muamalah adalah halal.
Ketiga, uang kertas dapat dianalgikan (qiyas) dengan Dinar dalam aspek
sebagai stándar nilai, alat tukar dan alat saving.[7]
D.
Kedudukan Valas Dalam Fiqih Ubudiyah (Zakat)
Di era modern ini penukaran uang itu telah menjadi lahan bisnis dan
industri. Dikatakan demikian karena memang uang telah menjadi barang industri,
selain tiga fungsi lainnya, yaitu fungsi alat tukar, standar nilai dan
menyimpan kekayaan. Oleh karenanya, transaksi keuangan bisa terjadi dalam skala
kecil seperti menukar uang pecahan kecil dengan pecahan besar dengan ketentuan
selisih nilainya atau antar mata uang dengan mata uang asing dalam tujuan
industri dan bisnis.
Mata uang selain emas dan perak, seperti mata
uang logam atau kertas tidak wajib dizakati menurut imam Malik, Syafi'i dan
Ahmad ibn Hanbal. Mereka melihat bahwa Allah ta'ala dalam al Qur'an (Q.S.
at-Taubah: 34) hanya mengancam orang yang tidak mengeluarkan zakat emas dan
perak saja di antara atsmaan yang ada. Padahal Allah maha mengetahui bahwa
nanti akan ada atsmaan selain emas dan perak. Namun demikian Allah hanya
mengancam orang yang tidak mengeluarkan zakat atsmaan dari emas dan
perak. Demikian juga Rasulullah tidak menyebutkan zakat atsmaan selain
emas dan perak. Menurut para ulama’, tidak diperhitungkannya emas dan perak
tersebut karena pada saat itu berfungsi seperti mata uang emas dan perak pada
transaksi-transaksi yang berlaku sekarang. Ketentuan ini berlaku jika memang
mata uang tersebut tidak diperdagangkan. Sedangkan jika diperdagangkan
seperti dalam akad sharf (pertukaran dengan mata uang asing) atau Bay'
maal bi maal (pertukaran mata uang sejenis seperti rupiah dengan rupiah
atau berbeda jenis) misalnya maka berlaku padanya zakat tijarah.
E.
Kedudukan Valas Dalam Fiqih Muamalah
Berangkat dari pemahaman terhadap al-Qur’an
dan al-Hadîts tentang kompetensi riba dalam muamalah, para pakar hukum
Islam menyimpulkan bahwa jenis-jenis harta ribawi yang dijelaskan oleh nash
hanya berjumlah enam: emas, perak, gandum, jelai, kurma, dan yang terakhir
garam. Dari keenam komoditas di atas, dua di antaranya mewakili komoditas uang
(commodity money), sedangkan yang lainnya mewakili bahan pokok makanan.
Dalam memahami matan teks teks yang menjelaskan permasalahan ini, ulama
bersilang pendapat. Diantaranya adalah kelompok kontekstualis. Aliansi ini
terdiri dari madzhab Hanbaliyyah, Mâlikiyyah, Hanafiyyah. Ketiga madzhab tersebut masing-masing mempunyai struktur penalaran
yang bervariasi yang akan kami uraikan di bawah ini.[8]
Dalam perspektif Hanbali, terjadi kontradiksi, tetapi
menurut pendapat yang lebih populer (qaul asyhar) dinyatakan
bahwa ‘ilat riba dalam emas dan perak adalah jenis barang yang memakai
standar timbangan (mawzûn al-jinsi). Oleh sebab itu, pintu
analogi menjadi terbuka bagi setiap jenis materi yang mempunyai standarisasi
timbangan. Dengan demikian uang kertas tidak termasuk harta ribawi karena
standarnya bukan timbangan.
Sementara Mâlikiyyah mempunyai pandangan yang sedikit berbeda,
mereka menegaskan bahwa ‘ilat riba dalam kurensi emas dan perak adalah commodity
money (tsamaniyyah). Dengan demikian keharaman riba juga terdapat
pada uang kertas berdasarkan inferensi-analogis (istinbath-qiyasi).
Pandangan ini senada dengan madzhab Hanafiyyah, tetapi Hanafiyyah
lebih memilih pendekatan hermeneutis dengan cara menelisik konteks historis
yang melatari munculnya Hadîts ‘Ubâdah bin Shâmit. Proses
dekontekstualisasi historis tersebut dicanangkan guna menelanjangi
sosio-kultural dan ekonomi yang menyebabkan mengapa teks Hadîts tersebut
berbunyi demikian, yakni teks yang hanya membatasi pada enam jenis harta
ribawi. Ternyata, menurut mereka, pembatasan tersebut mempunyai tali kaitan
erat dengan konteks perekonomian yang dipraktikkan pada saat itu, di mana pada
umumnya dunia perdagangan masih berkisar pada jenis-jenis komoditas tersebut,
dan kurensi emas dan perak merupakan dua komoditas uang yang menjadi alat tukar
yang terlaku pada zaman itu.
Setelah melakukan dekontekstualisasi historis, madzhab Hanafiyyah
melanjutkan kerja penafsirannya dalam rangka membumikan ruh Hadîts
tersebut pada realitas kekinian. Tugas ini oleh Hanafiyyah didasarkan
pada analogi kurensi uang kertas terhadap emas dan perak dengan landasan ‘ilat
berupa commodity money (atsmân al-asyyâ’) dan
mempunyai potensi berkembang (nama’). Dengan demikian, Hanafiyyah
memandang bahwa ketentuan harta ribawi juga terlaku dalam uang kertas.[9]
Konsep di atas dalam kaitannya dengan
perbankan Islam mempunyai implikasi ketentuan tukar-menukar antara barang
ribawi yaitu termasuk diantaranya perdagangan
atau transaksi yang memperdagangkan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya atau yang
lebih kita kenal dengan valuta asing, dengan uraian sebagaimana berikut:
- Tukar-menukar (jual beli) antara barang-barang ribawi dalam jenis yang sama hendaklah dalam kualitas dan kuantitas yang sama (jumlah serta kadarnya sama). Di samping itu barang tersebut harus diserahkan pada saat transaksi jual beli. Misalnya, penukaran rupiah dengan rupiah dengan rupiah hendaklah Rp 1.000 dengan Rp 1.000, dan diserahkan ketika transaksi, tidak boleh Rp 1.000 dengan Rp 8.000.
- Jual beli antar barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang tersebut diserahkan pada saat transaksi jual beli, seperti transaksi di bank-bank valuta asing, di mana mata uang dolar Amerika Serikat (US$) ditukar dengan rupiah atau mata uang asing lainnya. Misalnya, Rp 8.000 dengan 1 dollar Amerika.
Konsekuensi yang muncul dari uraian diatas
adalah uang termasuk harta ribawi dan dalam memperjualbelikannya haruslah sama jumlahnya ketika masih dalam
satu macam dan satu jenis. Namun bila valas yang dimaksud beda macamnya serta
nila jual (valuation) yang ada di dalamnya juga berbeda walaupun dari satu
jenis maka mengganti dengan jumlah yang tidak sama tidak lagi menjadi syarat,
justru boleh memberikan lebih kepada yang lain. [10]
Praktek di lapangan membuktikan sistem nilai
(value system) mayoritas negara di dunia menggunakan dolar sebagai penaksir
(valuer). Sehingga pelunasan hutangnya pun menggunakan standar kurs yang ada
pada saat ini. Namun ketika terjadi transaksi ataupun pelunasan hutang dengan
memakai dua mata uang dari dua negara yang berbeda, semisal rupiah dan dolar,
maka tidak dituntut harus sama (mumatsalah) akan tetapi yang diwajibkan hanya persamaan
nominal yang terkandung. Sebaliknya ketika transaksi tersebut dalam satu macam mata uang, ketentuan mumatsalah harus selalu ada.
Karena menurut hemat kami, semua mata uang itu adalah satu jenis, sedangkan perbedaan negara merupakan representasi perbedaan macam mata uang.[11]
Menurut Imam Al-Jaziri dalam kitabnya[12],
ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam melakukan jual beli valas
antara dua mata uang yang berbeda. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai
berikut:
- Kontan (khulul). Hukumnya tidak sah jual beli valas yang tidak kontan (tertunda).
- Transaksi dilakukan dengan serah terima di tempat akad (التقابض فى المجلس). Yakni serah terima valas dilakukan secara langsung pada saat transaksi terjadi Berdasarkan dalil hadits di atas ( ولا تبيعوا منها غائباً بناجز). Apabila kedua pihak berpisah sebelum menerima barang atau valas yang dijual, maka transaksi dianggap batal.
- Apabila valuta atau mata uang yang dijual berasal dari mata uang yang sama, seperti rupiah dengan rupiah, maka nilainya harus sama. Maka tidak boleh menjual beli 50.000 rupiah dengan 55.000 rupiah Indonesia.
Syarat adanya taqabuq (serah terima) dalam
transaksi diatas adalah pendapat para ulama yang mengatakan bahwa uang dihukumi
sebagai nuqud. Tetapi menurut pendapat ulama’ yang tidak menganggap bahwa mata
uang tersebut sebagai nuqud maka boleh bertransaksi tanpa bersyarat.[13]
F.
Fatwa MUI Tentang Valas
Dalam fatwa Dewan
Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) NO:
28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (al-sharf) menerangkan bahwa jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai
berikut:[14]
1.
Tidak
untuk spekulasi (untung-untungan)
2.
Ada
kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
3. Apabila
transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan
secara tunai (at-taqabudh).
4. Apabila
berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku
pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Selain menjekaskan ketentuan-ketentuan tentang
transaksi alas, MUI juga memberikan penjelasan tentang jenis transaksi valas
yang halal dan haram. Jenis transaksi tersebut adalah[15]:
1. Transaksi
Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk
penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling
lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena
dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian
yang tidak bisa dihindari (ِمَّما لاَ ُبَّد مِنْهُ)
dan merupakan transaksi internasional.
2. Transaksi
Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya
ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang,
antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram,
karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah)
dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu
penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali
dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat
dihindari (lil hajah).
3. Transaksi
Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga
spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama
dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir
(spekulasi).
4. Transaksi
Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak
untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada
harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram,
karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
[1] M. Cholil Nafis, “Mengenal Uang Kertas dalam Perspektif Islam”,
NU Online, diakses dari http://www.nu-online.com,
pada tanggal 23 Mei 2013 Pukul 09.30 WIB.
[3] Mudhor Nizar Al-‘Any, Ahkâm al-Taghayyur
al-Qimat al-‘Umalât al-Naqdiyyah wa Asyariha fi Tasdîd al-Qard, Ordon: Dar
Nafais, 2001, hlm. 39.
[4] Pasar valuta asing, Wikipedia, diakses dari http://www.id.wikipedia.org/wiki/Halamann:
Pasar_valuta asing, Pada tanggal 29
Mei 2013, Pukul 10.00 WIB.
[6] Malik Bin Anas Al-Asbahi, Almudawwanah Al-Kubra, Juz I, Beirut: Darul kutub Al-Ilmiyyah, tt., hlm. 292.
[7] M. Cholil Nafis, Op.Cit.
[8] Wizarah al-Awqâf wa al-Syu’un al-Islamiyah bi
al-Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, Juz 12, cet. Kuwait : Wizarah al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt.,
hlm. 56. Lihat pula dalam Abi Hasan ‘Ali bun Muhammad bin Habib
al-Mâwardi, al-Hâwi al-Kabîr, Juz 6, Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 93-105.
[10] Kumpulan Makalah Pon-Pes Sirojuth Tholibin, Naqd Dan uang Kertas
Oleh LBM Pon-Pes Lirboyo, Brabo: Pustaka PP. Sirbin Brabo, 2005, hlm. 2.
[11] Ibid
[13] Muhammad At-Turmusi, Mauhibah
Dzil Fadzl, Juz 4, Mesir: Matba’ah Al-‘Amirah Al-Syarfiyyah, tt., Hlm. 29.
[14] Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Tentang Jual Beli
Mata Uang (Al-Sharf), diakses dari http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/fatwa.php?id=36&pg=2, 23 Mei 2013 Pukul 09.30 WIB.
[15] Ibid.
Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi
BalasHapushingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun
profit,bergabung sekarang juga dengan kami
trading forex fbsasian.com
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL
Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009