Oleh. M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri
A.
Pendahuluan
Hukum
waris adalah bagian dari syariat Islam. Karenanya, dalam membuat peraturan dan
mengimplementasikannya secara praktis, para ahli hukum harus merujuk pada
Al-Quran dan hadits Rasulullah Saw. Berbicara hukum waris dalam Islam, kita
akan bersentuhan dengan istilah faraidl yang secara bahasa berarti kadar atau
bagian. Dalam hal ini, kita pun dituntut untuk mengetahui prinsip dasar
pembagian warisan.
Salah satu prinsip dasar pembagian kewarisan adalah prinsip
keadilan yang berimbang. Maksudnya harus ada
keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan
kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan
perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang
dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi
keperluan hidup anak dan istrinya sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 223:
“Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
Dengan
merujuk pada prinsip-prinsip
hukum waris tersebut, maka penyimpangan terhadap ketentuan waris secara Islam
semestinya tidak terjadi. Lalu, bagaimana dengan sebagian masyarakat kita yang
lebih memilih menggunakan hukum adat dalam hal pembagian waris? Hukum adat
waris erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan dalam masyarakat hukum
yang bersangkutan; baik Patrilineal, Matrilineal maupun Parental. Tidak semua
masyarakat menjalankan hukum waris ini. Namun memang, di beberapa daerah hukum
waris ini masih dipegang teguh.
Sebenarnya,
pengoperan warisan dapat terjadi pada masa pemiliknya masih hidup yang disebut
penghibahan atau hibah wasiat dan dapat pula setelah pemiliknya meninggal dunia
yang disebut warisan. Dasar pembagian warisan adalah kerukunan dan kebersamaan
serta memperhatikan keadaan istimewa dari tiap ahli waris. Pembagian warisan
juga dapat ditunda atau pun dibagikan hanya sebagian saja meski tetap harus
dilihat dari sifat, macam, asal dan kedudukan hukum dari barang-barang warisan
tersebut.
B.
Sistem Pengaturan Pembagian Warisan
Mengenai
sistem pengaturan pembagian warisan di
Indonesia, kita menjumpai 3 (tiga) macam sistem kewarisan, yaitu:
- Sistem kewarisan individual, yaitu suatu sistem kewarisan dengan cirinya adalah harta peninggalan dapat dibagi-bagikan pemilikannya diantara ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa dan dalam masyarakat patrilineal di tanah Batak;
- Sistem kewarisan kolektif, yang cirinya adalah harta peninggalan itudiwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang merupakan semacam badanhukum dimana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagikanpemilikannya diantara ahli waris dan hanya boleh dibagi-bagikanpemakaiannya kepada mereka itu, seperti dalam masyarakat matrilineal diMinangkabau; dan
- Sistem kewarisan mayorat, dengan cirinya adalah dimana anak yang tertuapada saat matinya si pewaris berhak secara tunggal untuk mewarisi seluruhharta peninggalan atau berhak tunggal untuk mewarisi sejumlah harta pokokdari satu keluarga seperti dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih diBali (hak mayorat ada pada anak laki-laki yang tertua) dan di tanahSemendo di Sumatera Selatan (hak mayorat ada pada anak perempuan yangtertua).
C. Sistem Kewarisan Kolektif
- Sistem Kewarisan Kolektif dalam KHI
Dinyatakan
dalam Pasal 189 KHI sebagai berikut :
Ayat 1:
bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2
hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan
untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
Ayat 2 :
bila ketentuan tersebut pada
ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena diantara para ahli waris yang
bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tesebut dapat
dimiliki oleh seseorang atau lebih ahli waris yang dengan cara mebayar harganya
kepada ahli waris ayng berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Pasal
189 ini merupakan pasal yang fragmentaris, yang dapat menjadikan salah satu
sebab kemiskinan. Ini artinya bahwa hukum Islam terkait dengan unsur non hukum,
seperti ekonomi, struktur dan pola budaya umat Islam dan system masyarakat
Indonesia, yang menempatkan harta warisan
sebagai simbul kerukunan keluarga. Meskipun tidak diatur dalam fiqih, tetapi
pewarisan tanah
pertanian ini sesuai dengan prinsip maslahat, maka pasal-pasal ini dapat
diterima, hal ini merupakan
alasan pragmatis dan situasional, dilihat dari nilai-nilai yang berkembang
dalam masyarakat. Ketentuan ini diakomodasi dari sistem Hukum Adat
seperti pembagian warisan dengan
sistem kolektif didasarkan pada musyawarah keluarga.
- Sistem Kewarisan Kolektif dan Fiqih Konvensional
Sistem
kewarisan terhadap pertanian ini tidak diatur dal;am fiqih, tetapi selama tidak menyalahi ketentuan dan prinsip maslahat maka
masih diterima. Dalam perspektif fiqih, cara ini adalah
realisasi dari konsep ba’i syufah, yakni jual beli dengan mengutamakan saudara
atau tetangga dekat, sebagai orang yang lebih dahulu
berhak untuk membelinya. Langkah ini bisa ditempuh
dengan metode Istihsan, yaitu meninggalkan ketentuan umum dan memilih ketentuan khusus, karena ada pertimbangan kemaslahatan
yang lebih besar. Perlu
dipahami pula bahwa tidak semua harta peninggalan dapat diwariskan kepada ahli
waris. Alasannya adalah karena sifatnya (seperti barang-barang milik bersama
atau milik kerabat), kedudukan hukumnya (seperti barang keramat, kasepuhan,
tanah bengkok, tanah kasikepan), serta karena pembagian warisan ditunda
(misalnya karena ada anak-anak yang belum dewasa, dan lain sebagainya).
Sebagian fuqaha
berpendapat bahwa pembagian warisan sebenarnya terletak pada prinsi ‘an al-taradhy
(saling merelakan). Hal ini bermakna berbagai ketentuan yang rinci, pasti, dan
tegas (qath’i) atas masalah pembagian
warisan tidak harus diterpkan secara kaku seperti bunyi ayatnya. Oleh
karena itu, pembagian waris sangat tergantung pada kesepakatan atau
kerelaan di antara para ahli waris yang sama-sama memperoleh harta warisan.
Ketentuan pembagian waris yang qath’i tersebut baru diterapkan ketika ada
sengketa atau tidak ada kesepakatan.
D. Pewarisan Kolektif Di
Indonesia
Di beberapa daerah di indonesia ada
bermacam-macam harta yang menurut hukum adat dipertahankan menjadi harta
keluarga secara kolektif. Harta tersebut tidak dibenarkan dibagi waris kepada
anak keturunannya atau ahli warisnya secara individual. Diantara harta-harta
tersebut adalah:
- Harta pusaka di Minangkabau, merupakan harta bersama/harta badan hukum yang tidak dapat dibagi waris secara individual kepada ahli warisnya
- Tanah dati di Ambon Di Ambon/maluku terutama di daerah yang didiami pen-duduk yang beragam islam dijumpai kekayaan-kekayaan yang berupa tanah perkebunan yang tidak dapat dibagi waris kepada ahli warisnya se-cara individual. Tanah tersebut me-rupakan milik kelompok kekerabatan yang dikuasai oleh klen & sub klen.
- Barang kalakeran di Minahasa. Barang kalakeran: harta benda keluarga yang tidak dapat dibagi-bagi. Berbeda dengan harta pusaka di Minangkabau, maka harta kalakeran dapat dibagi atas persetujuan yang berhak.
E. Kebaikan Dan Keburukan
Sistem Kolektif
- Kebaikan system kolektif
Dapat memfungsikan harta kekayaan itu
diperuntukkan buat kelangsungan hidup keluarga bersama.
- Kelemahan system koletif
Menumbuhkan cara berpikir yang selalu sempit,
kurang memikirkan dengan orang
luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.