November 2017 - Sang Pemburu Badai

Kamis, 16 November 2017

Islam Moderat Arab Saudi, Kepentingan Politis atau Kesadaran Ideologis ?

12.04 1
Islam Moderat Arab Saudi, Kepentingan Politis atau Kesadaran Ideologis ?

Islam Moderat Arab Saudi, Kepentingan Politis atau Kesadaran Ideologis ?



Dalam rutinan diskusi Kajian Senin Pahing minggu kemarin, saya termasuk orang yang masih berkeyakinan bahwa rencana Muhammad bin Salman (Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi) untuk menerapkan, dan mengembalikan citra Islam Moderat di Arab Saudi adalah lebih kepada kepentingan politis, dibandingan merupakan kesadaran ideologis. Mengapa demikian ? coba kita menengok sejarah. 

Muhammad bin Abdul Wahab yang dilahirkan di Najed sekitar tahun 1700 M/ 1111 H adalah peletak dasar ideologi Wahabi. Ideologi ini pada mulanya disebarkan oleh Ibnu Abdul Wahab di wilayah kelahirannya. Akan tetapi pada perjalanannya kemudian ideologi ini mulai dia sebarkan ke seantereo Jazirah Arab. 

Untuk memuluskan penyebaran aliran yang dia bentuk, maka kemudian Ibnu Abdul Wahab tersebut berafiliasi dengan Muhammad Ibnu Saud (Pendiri Dinasti Kerajaan  Arab Saudi) untuk mendirikan ke-Emir-an di Semenanjung Arab. Mereka berdua kemudian mengadakan Perjanjian bahwa Ibnu Saud akan menjadi Emir (Pemimpinnya), dan Ibnu Abdul Wahab menjadi Qadhi (Pemimpin Agama & Peradilan Kerajaan). Bahkan, untuk lebih merekatkan hubungan diantara keduanya Ibnu Saud menikahi salah satu putri pendiri Wahabi tersebut. 

Selain itu, kesuksesan penyebaran Wahabi juga tidak lepas dengan dukungan dari inggris. Ibnu Abdul Wahab sendiri berteman dekat dengan seorang Orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai spionase Inggris di Timur Tengah. Inggris pun seringkali memberikan bantuan berupa senjata, uang dan keterampilan kepada Kerajaan Ibnu Saud dengan Wahabinya agar dapat memperkuat kerajan. 

Tentunya bantuan inggris tersebut bukan tanpa kepentingan. Kepentingan utamanya adalah keinginan inggris untuk meruntuhkan Khilafah Ustmaniyah terakhir di Turki. Inggris ingin menciptakan konflik antara umat muslim sendiri untuk meruntuhkan khilafah di Turki tanpa perlu terjun langsung. Nabok nyilih tangan, begitulah peribahasa Jawa mengatakan. Selain itu juga, Inggris seringkali menggunakan strategi menciptakan Aliran atau Faham baru dalam memecah belah sebuah wilayah. Hal ini seperti dibentuknya Aliran Ahmadiyah dan Baha’i yang digunakan untuk memecah belah umat Islam di India dan Pakistan. 

Akibat dukungan Inggris,konsolidasi politik Ibnu Saud dan Wahabi menjadi brutal dan kejam untuk mencapai tujuannya. Pada tahun 1801 M, kaum Syiah di Karbala dibantai. Mereka membunuh penduduk yang ada di pasar dan rumah-rumah. Jumlah korban jiwa hampir dua ribu orang. Banyak harta benda yang dijadikan ghonimah (harta rampasan perang). Tatkala memasuki Thaif tahun 1932 M, mereka menjarah hampir seluruh isi kota. Banyak para Qadhli dan Ulama yang diseret dari tempat tinggalnya, kemudian disiksa dan dibunuh. 

Maka bisa dibayangkan, afiliasi Wahabi  dengan Dinasti Ibnu Saud merupakan perpaduan antara kekuasaan dan aliran yang sangat menakutkan. Dua peristiwa di atas sudah menggambarkan betapa kejamnya perbuatan yang telah diperbuat. Hal itu belum lagi dihitung dengan berbagai kekejaman yang terjadi di era modern, seperti kekerasan dan pembantaian terhadap penduduk Yaman baru-baru ini.

Konsolidasi politik diantara keduanya menciptakan simbiosis mutualisme. Wahabi dibutuhkan Dinasti Ibnu Saud untuk mendapatkan legitimasi agama atas kebijakan-kebijakan meraih kekuasaan dan kontrol terhadap masyarakat. Dinasti Ibnu Saud dibutuhkan Wahabi untuk menjaga agar ideologi itu tetap berkembang, serta dapat menjadi citra Islam global suatu saat nanti. Dengan dukungan dana yang tidak pernah berhenti, serta dukungan negara sekutu maka pemaksaan ideologi ini masih mungkin akan terjadi di tahun-tahun mendatang.

Melihat kepada sejarah di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya ISLAM MODERAT ARAB SAUDI yang diproklamirkan oleh Muhammad Bin Salman merupakan sebuah kepentingan politik seperti yang pernah dilakukan oleh para pendahulunya. Bukti akan adanya kepentingan tersebut sudah sangat kentara. Jika dahulu Datuknya ingin mendapatkan dukungan politik dari Inggris, maka pada saat ini slogan tersebut digaungkan karena lebih kepada mengakomodir intervensi kepentingan Amerika. 

Bukti yang lain adalah penyebaran aliran Wahabi di seluruh dunia saat ini masih sangat kuat. Madrasah dan tempat pendidikan milik Ulama’ Ahlussunnah wal Jamaah di Arab Saudi masih banyak yang disegel. Dan sampai saat ini belum ada tanda-tanda pelarangan atau penekanan terhadap faham Wahabi di Arab Saudi sendiri. Ulama-ulama Wahabi masih tetap berdakwah seperti biasa, dengan materi-materi-materi yang masih sama dengan sebelumnya. Kalau begitu Islam Moderat yang manakah yang mau diterapkan oleh Arab Saudi ???

Dinasti Ibnu Saud tidak akan pernah meninggalkan Wahabi. Hubungan yang sudah terjalin lama tersebut tidak mungkin akan putus begitu saja. Bisa saja Islam Moderat tersebut adalah Moderat ala Wahabi, bukan Washathiyyah seperti yang dipahami oleh golongan mayoritas umat Islam saat ini. Maka bisa dilihat betapa menakutkan jika nantinya kepentingan politis Wahabi dengan dukungan Dinasti Ibnu Saud memoles wajah dirinya dengan nama Islam Moderat, yang sebenarnya hanya berganti baju tetapi isinya tetap sama.


Jetis, 16 November 2017