Muhammadiyah Dalam 3 Matra: Aswaja, Tajdid & Wahabisme
Baca Juga : Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah (Analisa Tekstual dan Kontekstual Aqidah dan Manhaj NU dari Masa ke Masa)
A.
Muqaddimah
Organisasi Muhammadiyah adalah organisasi yang sudah
sangat lama didirikan, dan termasuk diantara organisasi Islam yang pertama
berdiri di Indonesia. Organisasi ini telah diakui oleh masyarakat nasional dan
international dengan banyaknya sumbangsih yang telah diberikan. Tokoh
pendirinya banyak berperan dalam kemerdekaan Republik Indonesia, serta
mempertahankan kemerdekaannya. Sampai saat ini, Muhammadiyah bersama Nahdlatul
Ulama’ (NU) disebut sebagai organisasi yang menjadi garda terdepan menjaga
keutuhan NKRI. Kedua organisasi tersebut sampai saat ini terus bergerak maju
bersama-sama untuk memajukan bangsa Indonesia.
Walaupun Muhammadiyah sudah sangat akrab terdengar di
telinga, namun masih banyak yang merasa asing dengan konsep gerakan serta idelogi
yang berkembang di dalamnya. Perasaan asing tersebut tidak hanya dirasakan oleh
banyak kalangan di luar Muhammadiyah, bahkan bagi anggota organisasi tersebut
pun tidak sedikit yang belum memahami subtansi ajaran, ideologi, serta hakekat
akan Muhammadiyah. Maka dirasa perlu oleh penulis untuk menyajikan sebuah
tulisan ringkas yang menjelaskan Muhammadiyah dalam tiga matra atau bagian,
yaitu Aswaja, Tajdid, dan isu seputar Wahabisme.
Perlu diketahui bahwa dalam era saat ini seringkali
antara berbagai golongan Islam timbul pengakuan sebagai golongan yang paling benar,
dengan menamakan setiap golongan atau kelompoknya sebagai kelompok yang
menganut paham Ahlussunah wal Jama’ah.
Tidak terkecuali dengan Muhammadiyah. Sebagai organisasi yang bertendensi
mengikuti para ulama salaf, Muhammadiyah memberikan perspektif sendiri tentang
definisi Aswaja, dan bagaimana Ideologi Islam yang sebenarnya. Semangat
definisi yang diberikan oleh Muhammadiyah adalah sebagai salah satu bentuk
pemurnian ajaran Islam dengan mengembalikan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sebagai organisasi yang bersemboyankan Islam
berkemajuan, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi yang menggaungkan akan
adanya pembaruan atau Tajdid. Tajdid sendiri bermakna pemurnian plus pengembangan atau pengembangan plus pemurnian sebagai satu kesatuan
gerakan. Tajdid bukan hanya berusaha
untuk memurnikan kembali, tetapi juga memberikan dimensi kepada ajaran Islam
agar dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin,
menjadi penyejuk dan pelindung bagi semua umat manusi di Bumi. Tetapi dampak
dari adanya konsep gerakan tersebut Muhammadiyah dianggap mempunyai kesamaan
dan keserupaan gerakan dengan kelompok pembaruan lainnya. Maka tidak heran jika
kemudian ada yang menuduh bahwa Muhammadiyah sama dengan Wahaby.
B.
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
1.
Gerakan Pembaharuan Islam
Benih pembaharuan Islam sudah
muncul mulai sekitar abad 13 Masehi, suatu masa yang mana umat Islam pada saat
itu tengah mengalami kemundurun dalam berbagai bidang dengan sangat drastisnya.
Hal ini ditandai dengan kelahiran Taqiyuddin Abul Abbas bin Abdul Halim bin
Abdus Salam bin Taimiyah Al-Haran Al-Hanbaly di Harran Syiria. Tokoh yang
kemudian terkenal dengan nama Ibnu Taimiyah ini dalam pandangan sebagian
orang adalah seorang Mujtahid yang
kemudian melakukan pembaharuan terhadap ajaran Islam. Dalam perjalanannya, Ibnu
Taimiyah disokong penuh oleh muridnya yang bernama Muhammad bin Abu Bakar bin
Ayyub bin Saad bin Harits Az-Zuhri Ad-Dimasyqi Abu Abdillah Syamsuddin atau
yang lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
Dalam pandangan Muhammadiyah, kedua
tokoh ini dianggap sebagai tokoh yang pertama kali berusaha memurnikan ajaran
Islam (tajdid fil Islam) dari berbagai keyakinan, sikap dan perbuatan
yang akan merusak sendi-sendi Islam. Kedua tokoh ini ingin mengembalikan
pemahaman keagamaan umat Islam kepada pemahaman dan pengamalan Rasulullah Saw,
dan generasi salaf, yang meliputi genarasi para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it
Tabi’in. Karena kedua ulama ini bertekad akan mengikuti cara-cara pemahaman
ulama’ salaf, maka gerakan yang mereka pimpin disebut sebagai gerakan
Salafiyah.
Ciri-ciri khas aliran salaf yang
dikembangkan oleh kedua tokoh di atas, yang kemudian juga akan menjadi ciri
khas dari seluruh Gerakan Pembaharuan dalam Islam (Gerakan Reformasi Islam) di
seluruh dunia Islam adalah:
a.
Memberi ruang dan peluang
ijtihad di dalam berbagai kajian keagamaan yang berkaitan dengan muamalah
dunyawiyyah.
b.
Tidak terikat secara mutlak
dengan pendapat ulama-ulama terdahulu.
c.
Memerangi orang-orang yang
menyimpang dari akidah kaum salaf, seperti kemusyrikan, khurafat, bid’ah, taqlid,
dan tawasul. Juga terhadap orang-orang yang mengaku sebagai orang Sufi dan
Filosuf yang secara terang-terangan sudah menyalahi dan menyimpang dari prinsip-prinsip akidah Islamiyah.
d.
Kembali kepada ajaran
al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.
Adapun tokoh-tokoh pembaharu ajaran
agama Islam dalam pandangan Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
a.
Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin
Abul Abbas bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah Al-Haran Al-Hanbaly. Dilahirkan
pada tanggal 10 Rabiul Awal 661 Hijriyah / 22 Januari 1263 Masehi di kota
Harran Syiria. Dia pertama kali berguru dengan ayahnya, Syihabuddin yang
terkenal sebagai ahli dalam ilmu hadis dan khatib terkenal di Damaskus Syiria.
Kemudian dilanjutkan berguru kepada beberapa ulama’ terkenal seperti Zainuddin
Al-Muqaddasy, Najamuddin Ibnu Syakir, Zainab binti Makky, dan ulama-ulama lain
di Damaskus yang dapat dikatakan hampir semuanya adalah ulama’ bermadzhab
Hanbaly.
Dalam pandangan Muhammadiyah, Ibnu
Taimiyah adalah Tokoh Mujaddid, dan Reformer yang pertama di Dunia Islam yang
dengan penuh semangat menyatakan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka. Pernyataan
semacam ini berarti menghapus pemahaman di kalangan umat Islam yang telah
mengendap sekian lama bahwa pintu Ijtihad sudah tertutup rapat. Hanya dengan
ijtihad yang selalu senantiasa terbuka, Islam akan dapat menunjukkan eksistensi
dirinya sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Dengan prinsip Ijtihad inilah
yang memungkinkan perkembangan dan kemajuan yang berkesinambungan di dalam
syariah.
b.
Muhammad Bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab
(1703-1787) merupakan pendiri gerakan Muwahhidin di Najed, bagian timur Arab
Saudi. Ibnu Abdul Wahab adalah seorang ulama besar yang dilahirkan di Uyainah,
Najed. Mula-mula dia belajar agama di lingkungan keluarganya sendiri, kemudian
dilanjutkan belajar kepada beberapa ulama di Kota Madinah. Selanjutnya dia
berkelana menimba ilmu ke berbagai kota, seperti Basrah, Bahgdad, Kurdistan,
Hamazan, Isfahan, Qumm, dan Kairo.
Gerakan Muwahhidin adalah gerakan
yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang bertujuan untuk mengsucikan
dan mengesakan Allah dengan semurni-murninya, yang mudah dan gampang dipahami
dan diamalkan persis seperti Islam pada masa permulaan sejarahnya. Ajaran
tauhid yang digerakkan oleh Ibnu Abdul Wahab disampaikan dengan ketat sekali. Oleh
karenanya terhadap berbagai macam kemusyrikan dan khurafat yang justru akan
merusak kemurniannya tauhid akan diperanginya pula. Gerakan Wahabi kemudian
disematkan kepada gerakan ini sebagai sebuah ejekan dari lawan-lawannya, dengan
menisbatkan gerakan Muwahhidin kepada nama pendirinya. Dan anehnya kini justru
nama Wahabi lebih populer dan tetap terpatri dalam setiap pembahasan sejarah
gerakan pembaharuan dunia Islam.
Pokok pikiran gerakan Wahabi yang berkisar di
seputar masalah memurnikan tauhid adalah sebagai berikut:
1)
Penyembahan kepada selaian
Tuhan adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian maka dia dibunuh.
2)
Orang yang mencari ampunan
Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang sholeh, termasuk golongan
musyrikin.
3)
Termasuk perbuatan musyrik
memberikan pengantar dalam sholat terhadap nama nabi-nabi atau wali atau
malaikat (seperti Sayyidina Muhammad).
4)
Termasuk kufur memberikan
suatu ilmu yang tidak didasarkan atas al-Qur’an dan Sunnah, atau ilmu yang
bersumber pada akal pikiran semata-mata.
5)
Termasuk kufur dan ilhad, dan mengingkari Qadar dalam semua
perbuatan dan penafsiran al-Qur’an dengan jalan ta’wil.
6)
Dilarang memakai buah tasbih
dalam mengucapkan nama Tuhan dan do’a-do’a (wirid), cukup menghitung dengan
keratan jari.
7)
Sumber syariat Islam dalam
soal halal dan haram hanya al-Qur’an semata-mata, dan sumber lain sesudahnya
ialah sunnah Rasul. Perkataan ulama mutakallimin
dan fuqaha tentang haram dan halal
tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
8)
Pintu ijtihad tetap terbuka,
dan siapapun juga boleh melakukan ijtihad, asal sudah memenuhi
syarat-syaratnya.
c.
Gerakan Salafiyah
Gerakan Salafiyah lahir di Mesir
pada sekitar abad 19 Masehi, dan dipelopori oleh 3 pendekar pemikir dalam Islam
yang namanya sangat harum di tengah masyarakat dunia Islam sampai saat ini.
Ketiga tokoh tersebut adalah:
1)
Sayyid Djamaluddin
Al-Afghany (1838-1897 M)
2)
Syekh Muhammad Abduh
(1849-1905 M)
3)
Rasyid Ridhla (1856-1935)
Gerakan Islam yang muncul di Mesir
dengan ketiga tokohnya seperti di atas menamakan gerakannya dengan nama
“Gerakan Salafiyah”, suatu penamaan yang pada hakikatnya meneruskan dan
melestarikan gerakan dikobarkan oleh Ibnu Taimiyah beberapa abad sebelumnya.
Ibnu Taimiyah menamakan gerakan pemikiran/ide yang didengungkannya dengan nama
“Muhyi Atsaris Salaf”. Gerakan
Salafiyah termasuk mata rantai kedua setelah gerakan Muwahhidin atau yang lebih
terkenal dengan gerakan Wahabi. Keduamya berusaha mengadakan pembaharuan cara
berfikir dam cara berjuang demi tegaknya kembali kejayaan Islam serta kemulyaan
umat Islam dengan jalan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
semurni-murninya.
Jamaluddin Al-Afghany berpendapat
bahwa langkah yang pertama kali harus ditempuh oleh umat Islam adalah jihad,
berjuang dengan segala resiko dan pengobanannya, dengan menggunakan cara apapun
yang dibenarkan oleh ajaran Islam, agar kekuasaaan politik kenegaraan dapat
direbut dan dikuasai kembali oleh umat Islam dari tangan penjajah bangsa-bangsa
eropa yang telah menginjak-injak negeri-negeri Islam berabad-abad lamanya.
Sedangkan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridhla berpendirian bahwa langkah pertama
kali yang harus ditempuh umat Islam (disamping merebut kekuasaan politik
kenegaraan merupakan sesuatu yang mutlak harus ditempuh) adalah memperbaharui
lembaga-lembaga pendidikan sebagai sumber tempat digodoknya para calon Mujtahid,
Mujaddid, dan Mujahid Islam yang tangguh dan militan, yang siap
mengorbankan apapun yang ada pada dirinya demi kejayaan Islam.
d.
Hasan Al-Bana
Hasan Al-Bana (1908-1949) adalah
pendiri gerakan Ikhwanul Muslim (IM)
di Mesir tahun 1928. Gerakan IM pada hakekatnya adalah kelanjutan dari ide
Jamaluddin Al-Afghany yang kemudian diterusklan oleh Rasyid Ridha. IM ingin
mendirikan kembali masyarakat Islam menurut prinsip al-Qur’an yang ketat, yang
akan membawa pemecahan problem-problem sosial pada waktu itu.
Ciri gerakan IM, sebagaimana yang
ditegaskan oleh Hasan Al-Bana adalah jauh dari sumber pertentangan, jauh dari
pengaruh riya’ dan kesombongan,
menaruh perhatian terhadap kaderisasi, bertahap dalam langkah, lebih
mengutamakan aspek amaliah produktif daripada propaganda, dan memberi perhatian
sangat serius kepada dunia pemuda. Dan khusus terhadap permasalahan politik,
Hasan Al-Bana dengan tegas menyatakan bahwa seorang Muslim tidak pernah
sempurna ke-Islamannya kecuali dia seorang Politisi, yang memiliki perhatian
yang mendalam kepada urusan umatnya.
Dakwah yang dilakukan ole IM
berkarakter rabbaniyah, yang menyeru
manusia untuk menjauhi, menentang, melawan tirani materialisme, dan kembali
beriman kepada Allah, dan selalu merasa dalam pengawasannya. Dakwah IM juga
memiliki karakter insaniyah, yang
mengajak kepada persaudaraan diantara sesama manusia dan berusaha membahagiakan
manusia.
Sementara masalah ideologi, IM
banyak mengadopsi dakwah salafiyah untuk dijadikan sebagai gerakan dakwahnya.
IM menekankan kepada pentingnya penelitian dan pembahasan terhadap dalil serta
pentingnya kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, serta membersihkan diri dari
segala bentuk kemusyrikan untuk mencapai kesempurnaan tauhid. Dakwah IM banyak
dipengaruhi oleh Syekh Abdul Wahab, Sanusiyah, dan Rasyid Ridhla, yang semuanya
merupakan kelanjutan dari madrasah Ibnu Taimiyah. IM menjadikan tasawuf sebagai
sarana pendidikan dan peningkatan jiwa seperti yang pernah dilakukan para ahli
tasawuf terdahulu yang akidahnya benar dan jauh dari segala bentuk bid’ah,
khurafat, menghinakan diri dan jauh dari sifat negatif.
Gerakan Ikhwan banyak melahirkan
tokoh pemikir Islam kaliber dunia, antara lain Sayyid Qutub, Yusuf Al-Qardhawy,
Said Hawa, Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Mahmud Sawaf, Musthafa As-Siba’i, Musthafa
Masyhur, Abdul Lathif Abu Qurrah, Abdullah Azam, dan lain sebagainya. Dari
deretan kader IM tersebut, nama Sayyid Qutub tercatat sebagai tokoh yang cukup
legendaris. Dia tercatat sebagai salah seorang kader penerus cita-cita IM yang
namanya sangat terkenal. Sikapnya yang istiqamah pada prinsip, tidak mau
berkompromi pada kebathilan, dan kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah
menjadikan dirinya dituduh dengan berbagai tuduhan telah melakukan makar
terhadap negara. Dan karena itu pada akhirnya dia harus mati di atas tiang
gantungan rezim.
2.
Gerakan Pembaharuan Di Indonesia
Pendidikan barat yang diperkenalkan
kepada penduduk pribumi sejak paruh kedua abad XIX sebagai upaya penguasa
kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada
satu sisi mampu menimbulkan restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial
kelompok intelektual, priyayi, dan profesional. Pada sisi lain, hal ini
menimbulkan sikap antipati terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang
diidentifikasi sebagai produk kolonial sekaligus produk orang kafir. Sementara
itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi yang terjadi
bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat pribumi yang
telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan identitas
politik yang melekat pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan
pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.
Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan
politis, ekonomis, sosial, maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara
umum sebagai sesuatu yang identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan
kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari
agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal
masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan kelompok masyarakat
berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk
pribumi menempati posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki
orang Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan
India.
Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah
kolonial ini tetap dianggap sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada
posisi sosial yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi
terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX
juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang cepat sebagai akibat
dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial.
Pada tahun 1908 organisasi Budi
Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun
dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai suatu organisasi masih terikat
pada unsur-unsur primordial dan terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung
maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan
melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi
baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial
yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah
perkotaan.
Seperti yang terjadi di dalam dunia
Islam secara umum, Islam di Indonesia pada abad XIX juga mengalami krisis
kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun aktivitas, dan pertentangan
internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di Indonesia sejak masa
awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil
meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul
kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan
kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa karena unsur-unsur lokal sangat
berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran di dalam masyarakat seperti yang
terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan, dan wayang. Kondisi seperti ini dapat
dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam di Jawa pada awal abad XIX,
yang menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam dan
berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang saja.
Selain itu, KH. Ahmad Rifa'i, salah seorang
ulama di Jawa yang sangat disegani oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan
abad XIX menyatakan bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak menyimpang
dari akidah Islamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler antara sekelompok
masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi kesempatan kepada mereka
untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga tidak
mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru dalam kehidupan beragama
di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai mempertanyakan kemurnian dan
implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, di samping
unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti pemahaman dan pengamalan ajar-an
Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap ulama, di dalam masyarakat
Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga berkembang kesadaran
yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam banyak hal yang berhubungan
dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antar kelompok,
yang terpolarisasi dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai "kaum
tua" berhadapan dengan "kaum muda" atau antara kelompok
"pembaharuan" berhadapan dengan "antipembaharuan".
Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam di Indonesia, selain
disebabkan oleh dinamika internal juga tidak dapat dipisahkan dengan perluasan
kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Islam sejak awal muncul sebagai kekuatan
di balik perlawanan terhadap kolonialisme, baik dalam pengertian idiologis
maupun peran langsung para ulama dan umat Islam secara keseluruhan. Hal ini
dapat dilihat berbagai perlawanan yang terjadi sepanjang abad XIX dan awal abad
XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang Bonjol, Perang Aceh, dan protes-protes
petani, yang semuanya diwarnai oleh unsur Islam yang sangat kental.
Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung
melihat Islam sebagai ancaman langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini.
Setiap aktivitas yang berhubungan dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap
sebagai langkah untuk melawan penguasa. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep yang
dikembangkan oleh C. Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX pemerintah kolonial
secara tegas memisahkan Islam dari politik. Akan tetapi Islam sebagai ajaran
agama dan kegiatan sosial dibiarkan berkembang walaupun tetap berada dalam pengawasan
yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial yang berlebihan terhadap Islam ini
membatasi kreativitas umat, baik dalam pengertian ajaran, pemikiran, maupun
penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat
secara umum.
Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya
sikap taqlid kepada para ulama tertentu pada sebagian besar umat Islam di
Indonesia pada waktu itu. Pemerintah
kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang
berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara kelompok
santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain itu,
aktivitas kristenisasi yang dilakukan oleh missi Katholik maupun zending
Protestan terhadap penduduk pribumi yang telah beragama Islam terus berlangsung
tanpa halangan dari penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar
sampai menengah, panti asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan
zending sebagai pendukung utama dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat
bantuan dana yang besar dari pemerintah.
3.
Gerakan Muhammadiyah
a.
Arti Nama Muhammadiyah
Muhammadiyah berasal dari kata
bahasa arab “Muhammad”, yaitu nama Nabi dan Rasul Allah yang terakhir. Kemudian
mendapatkan “ya’ nisbiyyah” yang
artinya menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti umat Muhammad Saw atau
pengikutnya, yaitu semua orang Islam yang mengakui dan meyakini bahwa Nabi
Muhammad Saw adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir.
Sedangkan secara istilah,
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar
ma’ruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan
as-Sunnah, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 08 Dzulhijjah 1330 H/
18 November 1912 M di Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh
pendirinya dengan maksud untuk ber-tafa’ul
(berpengharapan baik), dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangannya
dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, semata-mata demi
terwujudnya “Izzul Islam wal Muslimin”,
kejayaan Islam dan kemulyaan hidup umat Islam sebagai realita.
b.
Latar Belakang
Ahmad Dahlan lahir di Kampung
Kauman Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya KH. Abu
Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Sementara ibunya
Siti Aminah adalah anak KH. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut
salah satu silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana
Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau
Jawa.
Sebagai anak keempat dari
keluarga KH. Abubakar, Muhammad Darwis mempunyai 5 orang saudara perempuan dan
I orang saudara laki-laki. Seperti layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada
waktu itu yang diarahkan pada pendidikan informal agama Islam, sejak kecil
Muhammad Darwis sudah belajar membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat
lain. Ia belajar membaca Quran dan pengetahuan agama Islam pertama kali dari
ayahnya sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca
Quran. Ia belajar fiqh dari KH. Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari KH. Muhsin.
Selain belajar dari dua guru di atas yang juga adalah kakak iparnya, Muhammad
Darwis belajar ilmu agama lslam lebih lanjut dari KH. Abdul Hamid di
Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur.
Muhammad Darwis yang sudah
dewasa terus belajar ilmu agama Islam maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang
lain, termasuk para ulama di Arab Saudi ketika ia sedang menunaikan ibadah
haji. Ia pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh
Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar
ilmu falaq pada KH. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh
Hasan tentang mengatasi racun binatang. Menurut beberapa catatan,
kemampuan intelektual Muhammad Darwis ini semakin berkembang cepat dia
menunaikan ibadah haji pertama pada tahun 1890, beberapa bulan setelah
perkawinannya dengan Siti Walidah pada tahun 1889.
Proses sosialisasi dengan
berbagai ulama yang berasal dari Indonesia seperti: Kyai Mahfudh dari Termas,
Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari
Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten, maupun para ulama dari Arab, serta
pemikiran baru yang ia pelajari selama bermukim di Mekah kurang lebih delapan
bulan, telah membuka cakrawala baru dalam diri Muhammad Darwis, yang telah
berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat dari
semakin, luas dan bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum
menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari
Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh, dan
dari Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.
Sesudah pulang dari
menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca kitah-kitab lain yang belum
pernah dilakukan sebelumnya. Semangat membaca Ahmad Dahlan yang besar ini dapat
dilihat pada kejadian ketika ia membeli buku menggunakan sebagian dari modal
sebesar 1500 setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji yang pertama, yang
sebenarnya diberikan oleh keluarganya untuk berdagang. Sementara itu, keinginan
untuk memperdalam ilmu agama Islam terus muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam
upaya untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan ibadah haji kedua pada
tahun 1903, dan bermukim di Mekah selama hampir dua tahun. Kesempatan ini
digunakan Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama Islam baik dari para guru
ketika ia menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.
Ia belajar fiqh pada Syekh
Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh Sa' id Babusyel. Ahmad Dahlan
belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara itu ilmu falaq dipelajari
pada Kyai Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiraat, Ahmad Dahlan belajar dari
Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Ahmad Dahlan
juga secara reguler mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan,
termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang
telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai
Fakih dari Maskumambang.
Berdasarkan koleksi buku-buku
yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian besar adalah buku yang
dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di antara buku-buku yang sering dibaca Ahmad
Dahlan antara lain: Kosalatul Tauhid karangan Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma
karangan Muhammad Abduh, Kanz AL-Ulum, Dairah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi,
Fi Al -Bid'ah karangan Ibn Taimiyah, Al Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn
Taimiyah, Al-Islam wa-l-Nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Izhar al-Haq
karangan Rahmah al Hindi, Tafsshil al-Nasyatain Tashil al Sa'adatain, Matan
al-Hikmah karangan Atha Allah, dan Al-Qashaid al-Aththasiyvah karangan Abd al
Aththas.
Pengalaman Ahmad Dahlan
mengajar agama Islam di dalam masyarakat dimulai setelah ia pulang dari
menunaikan ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan mulai dengan membantu ayahnya
mengajar para murid yang masih kanak-kanak dan remaja. Dia mengajar pada siang
hari sesudah dzuhur, dan malam hari, antara maghrib sampai isya. Sementara itu,
sesudah ashar Ahmad Dahlan mengikuti ayahnya yang mengajar agama Islam kepada
orang-orang tua. Apabila ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya
memberikan pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan kyai, sebagai
pengakuan terhadap kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam memberikan
pelajaran agama Islam.
Sebagai Khatib Amin, Ahmad
Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan agama Islam yang dimiliki,
pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam dunia Islam, serta
pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga sering muncul
ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib lain yang cenderung
menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di serambi masjid
besar Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran agama Islam kepada
orang-orang yang datang ke masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.
Setelah pulang dari menunaikan
ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat
di samping sebagai Khatib Amin semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk
menampung para murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun
ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya
berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di
Jawa Tengah. Walaupun begitu, pengajaran
agama Islam melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua
yang telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di
rumahnya Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan
sekali bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan
pamong praja yang berlangsung setiap malam Jum`at.
Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada
diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya
sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial- keagamaan,
kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad
XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan
perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain
seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik,
Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di
tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum
cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara
tentang masalah agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat,
terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau
keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial.
Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini
dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun formal antara Ahmad
Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair,
maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama
dengan Budi Utomo.
Dalam satu kesempatan untuk
mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan sebuah
organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi
kepala sekolah di Kweekschool Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi
utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya
terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah difokuskan pada
persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan
dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan
beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan rencana pembentukan sebuah
organisasi.
Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi
baru di Yogyakarta. Kedua, para siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad
Dahlan. Akan tetapi mereka tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan
didirikan karena adanya larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar
pengurus supaya diambil dari orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo
akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun
1912 persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih
intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan
merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi Utomo
dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun secara praktis organisasi yang akan
dibentuk bertujuan untuk mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu,
akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan
pembentukan organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan
pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran
dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang
dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu
di Kweekscbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama
"Muhammadiyah", nama yang berhubungan dengan nama nabi terakhir
Muhammad Saw. Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah
dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan
pribadi Nabi Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman.
Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman,
yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim untuk
menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal Budi Utomo
dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap
pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai,
berdasarkan kesepakatan bersama dan setelah melakukan shalat istikharah
akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan
Muhammadiyah didirikan. Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo
Cabang Yogyakarta akan membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda agar pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan
hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan
Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan
yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para
pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu
oleh Budi Utomo secara resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mengakui Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran
dasar yang diajukan kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah
merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad
SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan
agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu:
Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul
Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota.
Sementara itu, para anggota hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang
beragama Islam.
c.
Faktor Berdirinya
Muhammadiyah
1)
Faktor Subyektif
Faktor subyektif yang sangat kuat,
bahkan dapat dikatakan sebagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong
berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap
al-Qur’an, baik dalam hal gemar membaca maupun menelaah, membahas dan mengkaji
kandungan isinya. Beliau menelaah
sedemikiaan telitinya, dipertanyakan juga kalau ada sebab-sebab yang menjadikan
sesuatu ayat diturunkan (asbabun nuzul),
dipertanyakan apakah yang musti harus dilakukan. Sikap KH. Ahmad Dahlan seperti
ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul
dalam surat An-Nisa ayat 82, dan surat Muhammad ayat 24, yaitu melakukan tadabbur atau memperhatikan dan
mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam setiap
ayat. Dalam memahami surat Ali Imran ayat 104, KH. Ahmad Dahlan tergerak
hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan, organisasi, atau persyarikatan yang
teratur dan rapi, yang tugasnya berkhidmat melaksanakan misi dakwah Islam, amar ma’ruf nahi munkar, di
tengah-tengah masyarakat luas.
2)
Faktor Obyektif
Adapun faktor obyektif berdirinya
Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
a)
Ketidakmurnian amalan Islam
akibat tidak dijadikannya al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan
oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
b)
Lembaga pendidikan yang
dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi
selaku “Khalifatullah fil ‘ardhi”.
c)
Semakin meningkatnya gerakan
kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
d)
Penetrasi bangsa-bangsa
Eropa, terutama bangsa Belanda ke Indonesia.
e)
Pengaruh dari gerakan
pembaharuan dalam dunia Islam.
C.
Muhammadiyah Dalam Tiga Matra
1.
Aswaja dan Ideologi Muhammadiyah
Konsep akidah atau ideologi dalam
Muhammadiyah dimaknai sebagai sebuah kepercayaan hakiki yang tidak boleh
tercampur oleh keyakinan dan kepercayaan lain maupun keragu-raguan akan
ke-Tuhanan Allah Swt. Dalam Muhammadiyah disepakati bahwa sumber akidah adalah
al-Qur’an dan as-Sunnah. Maknanya adalah apa saja yang telah diwahyukan Allah
Swt dalam al-Quran dan disabdakan oleh Nabi Muhammad dalam sunnahnya yang
shahih wajib diyakini, diimani dan diamalkan. Dalam bidang akidah, Muhammadiyah
bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala
kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip
toleransi dalam ajaran Islam. Prinsip toleransi menurut pandangan Muhammadiyah
adalah dengan menghormati agama lain dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan
agamanya masing-masing.
Adapun ideologi Aswaja sendiri bagi
kalangan Muhammadiyah sangat jarang sekali terdefinisikan. Hal ini bisa dilihat
dari jarangnya berbagai buku ke-Muhammadiyah-an yang menyinggung tentang
Aswaja. Dalam Muqaddimah Muhammadiyah dan AD-ARTnya pun sama sekali tidak
menyinggung tentang apa itu Aswaja. Dari berbagai buku yang penulis baca, hanya
buku “Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam” karya Musthafa Kamal Pasha &
Ahmad Adaby Darban yang membahas tentang Aswaja. Pembahasannya pun juga tidak
lengkap.
Ahlussunnah Wal Jamaah dalam
perspektif Muhammadiyah adalah Mengi’tiqadkan rukun iman enam perkara, dan
mengimankan bahwa Allah Swt memiliki sifat kesempurnaan serta Maha Suci dari
sifat-sifat kekurangan, demikian pula Allah mempunyai asmaul husna. Dengan demikian sebenarnya faham yang dianut oleh
mereka yang menamakan diri atau dinamakan Ahlussunnah Wal Jamaah itu
biasa-biasa saja, tidak ada hal yang istimewa, karena telah menjadi akidah
umumnya umat Islam termasuk umat Islam di Indonesia ini sejak dahulu.
Dalam beberapa masalah memang
Aswaja mempunyai faham yang berbeda dengan beberapa golongan lain, seperti
Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Syik’ah, dan sebagainya, sebagaimana paham
umat Islam pada umumnya berbeda dengan golongan-golongan tersebut. Seperti
dalam pandangan Aswaja bahwa dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang
menyebutkan seolah-olah Allah bersifat seperti mahluk (ayat mutasyabbihat) seperti mempunyai wajah, tangan, duduk, dan
sebagainya. Hal tersebut seperti disebutkan dalam Surat Al-Fath ayat 10; Surat
Thoha ayat 5; Surat Ar-Rahman ayat 26; dan Surat Az-Zumar ayat 67.
Dalam pandangan golongan Salaf Aswaja bahwa Allah memang seperti
yang disabdakan sendiri oleh-Nya yang mempunyai tangan, wajah, dan duduk. Hanya
kemudian bagaimana keadaan wajah dan tangan-Nya serta cara duduk-Nya adalah
sesuai dengan kemulian Dzat-Nya dan hanya Dia yang mengetahuinya. Akan tetapi
golongan khalaf dari Aswaja
berpendapat bahwa dalam memahami ayat mutasyabbihat
seperti itu supaya menggunakan ta’wil
atau pengalihan arti. Hal ini bertujuan agar supaya orang tidak terdorong
untuk mempercayai keadaan Tuhan seperti mahluk sebagaimana golongan Mujassimah.
Ole karena itu maka kemudian oleh golongan kholaf
tangan diartikan sebagai kekuasaan, duduk diartikan sebagai memerintahkan
kerajaan-Nya, dan wajah diartikan sebagai diri atau Dzat Allah.
Dalam pandangan Muhammadiyah,
ideologi yang banyak digaungkan adalah seputar masalah tajdid´seperti yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan. Tajdid yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah
tersebut adalah bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan
(dinamisasi), yang sebelumnya berpijak kepada pemahaman Islam yang kokoh dan
luas. Dengan pandangan Islam yang
demikian maka KH. Ahmad Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang
kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus
melakukan pembaruan dalam amaliyah
mu’amalah dunyawiyyah sehingga Islam menjadi agama ang menyebarkan
kemajuan.
Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan
wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolekif manusia yang
memiliki corak masyarakat tengahan (ummatan
wastahan) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial budaya,
sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah
masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan bathiniyah,
rasionalitas dan spiritualitas, akidah dan muamalat, individual dan sosial,
duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan
nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerja keras,
kediplinan, dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan.
Ideologi Muhammadiyah sendiri dapat
dipahami dalam 4 Hakekat Muhammadiyah, yaitu
a.
Muhammadiyah sebagai gerakan
pemurnian (harakah ushuliyah), yaitu
memurnikan keyakinan tauhid Islam dari kemusyrikan, takhayul (animisme dan
dinamisme), khurafat (mistisme), syirik (menyekutukan Allah) dengan mahluknya, yang
mana hal tersebut sangat fatal secara teologi tetapi juga fatal secara
intelektual.
b.
Muhammadiyah sebagai gerakan
pembaharuan (harakah tajdid),
c.
Muhammadiyah sebagai gerakan
amar ma’ruf nahy munkar, yaitu
d.
Muhammadiyah sebagai gerakan
kebudayaan,
Muhammadiyah dalam pandangan
keagamaannya menganut paham Islam yang berkemajuan. Dalam pernyataan pikiran
Muhammadiyah Abad Kedua hasil Muktamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta
dinyatakan secara tegas tentang “Pandangan Islam Berkemajuan”. Pada bagian
agenda abad kedua dinyatakan Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan agama
yang mengandung nilai-nilai ajaran ajaran tentang kemajuan untuk mewujudkan
peradaban umat manusia yang utama. Kemajuan dalam pandangan Islam melekat
dengan misi ke-Khalifahan manusia di bumi yang sejalan dengan sunatullah kehidupan. Karena itu setiap
muslim baik individual maupun kolektif berkewajiban menjadikan Islam sebagai
agama kemajuan (din al-hadlarah) dan
umat Islam sebagai pembawa misi kemajuan yang membawa rahmat bagi kehidupan.
Kemajuan dalam pandangan Islam bersifat
multi aspek, baik dalam kehidupan keagamaan maupun dalam seluru dimensi
kehidupan, yang melahirkan peradaban utama sebagai bentuk peradaban alternatif
yang unggul secara lahiriah dan ruhaniah. Islam yang berkemajuan dan melahirkan
pencerahan secara teologis merupakan refleksi dari nilai-nilai transendensi,
liberasi, emansipasi, dan humanisasi yang terkandung dalam pesan al-Qur’an
surat Ali Imran ayat 104 dan 110 yang menjadi inspirasi kelahiran Muhammadiyah.
Secara ideologis, Islam yang berkemajuan untuk pencerahan merupakan bentuk
transformasi al-Ma’un untuk menghadirkan dakwah dan tajdid secara aktual dalam pergulatan hidup keumatan, kebangsaan,
dan kemanusiaan universal. Transformasi Islam bercorak kemajuan dan pencerahan
itu merupakan wujud dari ikhtiar meneguhkan dan memperluas pandangan keagamaan
yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan mengembangkan ijtihad di
tengah tantangan kehidupan modern abad 21 yang sangat kompleks.
2.
Ijtihad dan Bermadzhab
Muhammadiyah adalah termasuk
kelompok yang menganggap bahwa pintu ijtihad selalu terbuka. Keterbukaan ini
memungkinkan Ijtihad dilakukan setiap waktu utuk menyikapi berbagai
permasalahan yang membutuhkan solusi dan jawaban. Konsep terbukanya pintu
Ijtihad ini seperti yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah serta golongan pembaruan
lainnya yang melihat kejumudan pemikiran umat Islam. Sehingga hal tersebut
menimbulkan kemunduran bagi umat Islam, baik dalam ilmu pengetahuan dan
peradaban. Dengan adanya pintu ijtihad yang selalu terbuka maka peradaban dan
ilmu pengetahuan umat Islam akan semakin maju.
Adapun praktek Ijtihad tersebut
dalam perspektif Muhammadiyah ada 3 macam, yaitu:
a.
Ijtihad Bayani (Semantik), yaitu Ijtihad terhadap Nash Mujmal atau global
baik karena belum jelas lafdz/kata/kalimat yang dimaksud maupun karena lafadz
tersebut mengandung makna ganda, mengandung ari musytarak, atau karena pengertian lafadz dalam ungkapan yang
konteksnya mempunyai arti yang jumbuh (mutasyabbihat)
ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arrudl). Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad dengan
jalan tarjih yaitu apabila tidak dapat ditempuh dengan cara al-jam’u wat taufiq.
b.
Ijtihad Qiyasy, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nashnya kepada
masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illat. Dan dalam qiyas, Muhammadiyah
memberikan ketentuan sebagai berikut:
1)
Hal yang akan ditetapkan
hukumnya dengan qiyas itu sudah muncul dan terjadi di tengah-tengah masyarakat.
2)
Hal yang akan ditetapkan
hukumnya memang dirasa perlu ditetapkan hukumnya karena akan diamalkan.
3)
Hal yang akan ditetapkan
hukumnya lewat qiyas bukan merupakan hal yang termasuk ibadah mahdlah.
c.
Ijtihad Istislahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash
sama sekali secara khusus, walaupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada
kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum ditetapkan
berdasarkan íllah untuk kemaslahatan.
Muhammadiyah juga mengakui adanya Ijtihad Jama’i atau ijtihad yang
dilakukan secara berkelompok. Dalam menetapkan tuntutan yang berhubungan dengan
masalah agama baik bagi kehidupan perseorangan ataupun bagi masyarakat,
Muhammadiyah melakukannya melalui musyawarah Majlis Tarjih oleh para ahlinya,
dengan cara yang sudah lazim yang disebut tarjih. Adapun terjih sendiri ialah
membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang
mempunyai alasan yang lebih kuat.
Dalam Pokok-Pokok Majlis Tarjih
ditetapkan bahwa Majlis Tarjih tidak mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi
pendapat Imam-Imam Madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan
hukum sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan as-Sunnah, atau dasar-dasar
lain yang dipandang kuat. Selain itu juga ditetapkan bahwa dalam masalah akidah
atau tauhid, hanya menggunakan dasar yang bersumber dari al-Qur’an atau hadis
mutawatir. Muhammadiyah juga tidak menolak Ijma’
sahabat sebagai dasar suatu keputusan.
3.
Gerakan Tajdid dan Pengaruh Wahabisme
Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, Wahabi merupakan julukan terhadap kelompok Muwahhidun yang
didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Najed Saudi Arabia. Ibnu Abdul Wahab
bagi sebagian orang dianggap sebagai seorang pembaharu dalam Islam di abad
modern ini. Sedangkan di Indonesia, pendapat Muhammad bin Abdul Wahab menjadi
rujukan oleh beberapa kelompok. Dalam beberapa buku kalangan Muhammadiyah
sendiri tidal sedikit yang mengutip pendapatnya, atau murid dan tokoh kelompoknya.
Menurut Haedar Nasir (Ketua Umum
Muhammadiyah), konsep pemurnian ajaran Islam menurut Ibnu Abdul Wahab berbeda
dengan konsep dengan Muhammadiyah. Bagi pengikut Wahabiyah, gerakan pemurnian
Islam merupakan jalan lurus yang diyakini sebagai wujud menegakkan tauhid yang
murni dan membersihkannya dari praktik-praktik syirik dan bid’ah yang
menodainya. Esensi pemurnian tersebut merupakan satu-satunya dari dimensi
keyakinan, pemahaman, dan pengamalan ajaran Islam yang dipraktekkan oleh
Wahabiyah. Pemurnian tersebut seringkali
diidentikkan dengan tajdid fil Islam sebagaimana
pandangan umum yang mewarnai gerakan untuk “Kembali kepada al-Qur’an dan
al-Hadis”.
Boleh jadi, KH. Ahmad Dahlan sempat
menyerap ilmu dan pemikiran Muhammad ibnu Abdul Wahab sewaktu dua kali bermukim
di Makkah. Sebagaimana beliau dikenal membaca pemikiran Ibnu Taimiyah, Imam
Ghazali, Muhammad Abduh, Rasyid Ridhla, ulama-ulama besar pembaruan lainnya di
dunia Islam. Termasuk diantarany adalah Syekh Khotib Minangkabau yang juga
menjadi guru beliau ketika belajar di Makkah. Walaupun toh begitu, KH. Ahmad
Dahlan dan Muhammadiyah yang didirikannya memiliki pandangan, karakter, dan
orientasi gerakan yang berbeda dengan Wahaby dan gerakan Islam lain. Walaupun
dalam sejumlah hal memiliki kesamaan dengan pemikiran dan gerakan Islam di
belahan dunia Muslim sejauh semuanya merujuk kepada sumber ajaran Islam, yakni
al-Qur’an dan as-Sunnah, serta membuka pintu ijtihad.
Senada dengan Haedar Nasir, Tafsir
(Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah) mengatakan bahwa langkah yang dilakukan
oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab sama
dengan apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah, khususnya pada aspek akidah. Di
bidang akidah, Muhammadiyah tampil dengan corak yang puritan (murni). Pada
bidang inilah Muhammadiyah melakukan purifikasi (proses pemurnian) yang paling
dominan.
Tidak mengherankan jika sebagian
kalangan mengidentikkannya dengan Wahabiyah. Muhammadiyah menjadi tertuduh.
Thohir Luth (Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur) bahkan berpendapat bahwa tuduhan
tersebut karena ada maksud secara politis yang ingin mengalihkan opini publik
untuk membatasi ruang gerak dakwah Muhammadiyah yang terus maju dan menunjukkan
amal nyata yang semakin spektakuler. Model politik seperti itu sudah lama
terbaca oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan mereka tidak tertarik menanggapi
politik dengan politik yang lebih jelek lagi.
Dalam perkembangannya, terjadi
paradoks dan ironi dalam langkah pembaruan. Pemurnian yang dipahami sebatas
kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis, sementara membuka pintu ijtihad kurang
mendapat perhatian purifikasi seperti diidentikkan dengan tekstualisasi.
Akibatnya, yang terjadi adalah pembaruan yang sempit cenderung jika tidak boleh
dikatakan picik. Sebab begitu mudah mengvonis bid’ah kepada suatu hal yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah. Karena jika sesuatu tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
begitu cepat divonis bid’ah, lalu
peluang ijtihad ada dimana ? ini artinya keinginan kembali kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah sebenarnya ditutup kembali oleh semangat kembali (kepada al-Qur’an
dan as-Sunnah) yang sempit. Puritan ini mungkin lebih tepat disebut sebagai
puritan radikal.
Sementara itu, KH. Ahmad Dahlan
sangat menghargai kultur lokal, seperi rasa toleransi. Beliau tidak pernah
memimpin gerakan untuk membongkar kuburan-kuburan keramat, makam para wali,
atau syekh-syekh tarekat di Indonesia sebagaimana pengikut Wahaby yang
menghancurkan monumen sejarah situs Muslim, makam Fathimah, bahkan makam Nabi
Muhammad Saw hampir saja dihancurkan. Kearifan KH. Ahmad Dahlan terhadap kultur
lokal ini hatus dimaknai sebagai satu penghargaan beliau terhadap kultur
Indonesia. Sehingga pemaknaan ini melahirkan kesadaran ber-Islam yang penuh tasamuh terhadap sesama komunitas Islam
lainnya di negeri ini, sebagaimana KH. Ahmad Dahlan telah merintisnya.
Tarjih Muhammadiyah sejak tahun
2000 telah mengoreksi penyempitan makna tajdid
atau gerakan untuk kembali kepada ajaran Islam yang autentik itu dengan
menambahkan dimensi “Dinamisasi” atau pembaharuan dalam arti luas. Sehingga tajdid bermakna pemurnian plus pengembangan atau pengembangan plus pemurnian sebagai satu kesatuan
gerakan tajdid. Lebih dari itu, Islam
sebagai ajaran tentunya melampaui segala penyempitan dan reduksi tafsir,
sehingga dimensi Islam pun dipahami bukan sekedar aspek akidah tetapi juga ibadah, ahlak, dan muamalah dunyawiyyah; yang semuanya
ialah Islam. Islam dalam pandangan Majlis Tarjih Muhammadiyah bahkan bukan
sekedar mengandung perintah-perintah (al-awamir)
dan larangan-larangan (an-nawahy),
tetapi juga petunjuk-petunjuk (al-irsyadat)
bagi kehidupan umat manusia di dunia dan akhirat, yang menunjukkan keluasan
kandungan Islam yang sama sekali tidak cukup memadai manakala hanya dikontruksi
dengan satu aspek, satu esensi, dan satu model tafsir.
Sebagai gerakan tajdid atau pembaruan, Muhammadiyah
memiliki karakter pada pemurnian ajaran Islam, tetapi juga pada pengembangan
atau dinamisasi, yang boleh jadi memiliki persentuhan atau kesamaan pada
aspek-aspek tertentu dengan gerakan pembaruan lainnya. Namun, Muhammadiyah
memadukan kedua dimensi tajdid itu
dalam gerakannya sehingga menampilkan Islam yang berkemajuan secara mendasar dan luas, yang menunjukkan keseimbangan.
Muhammadiyah dengan menghargai setiap gerakan Islam yang lain, memiliki
kepribadian sendiri sebagai gerakan Islam.
Dalam pandangan tajdid, Muhammadiyah bersifat pemurnian dan pembaruan. Adapun pandangan keagamaannya
bersifat Non-Madzhab. Dan dalam memahami ajaran Islam menggunakan pendekatan Bayani (tekstual), Burhany (rasional-kontekstual), dan ‘Irfani (spiritual) secara terpadu. Muhammadiyah meyakini,
memandang, dan mengamalkan Islam yang mengandung ajaran akidah, ibadah, akhlak,
dan mu’amalah dunyawiyah secara
menyeluruh, sehingga tidak terperangkap pada pembidangan dan penerapan Islam
yang sempit dan parsial.
D.
Penutup
Konsep ideologi dan tajdid Muhammadiyah banyak memberikan warna bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, serta diskursus kajian Islam di negeri ini. Tajdid yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah tersebut adalah
bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi),
yang sebelumnya berpijak kepada pemahaman Islam yang kokoh dan luas. Dengan
pandangan Islam yang demikian maka KH. Ahmad Dahlan tidak hanya berhasil
melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin,
tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliyah
mu’amalah dunyawiyyah sehingga Islam menjadi agama ang menyebarkan
kemajuan. Konsep yang juga mengadopsi berbagai ideologi pembaruan yang pernah
muncul di Timur Tengah tersebut kemudian diberikan tambahan dimensi Dinamisasi
yang dapat membedakannya dengan gerakan pembaruan yang sudah ada sebelumnya.
Dengan perpaduan tersebutlah maka kemudian Muhammadiyah menyajikan dakwah kultural sebagai gerakan dakwah
utamanya. Dengan demikian maka diharapkan ideologi yang disebarkan dapat
diterima oleh masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Haedar Nasir. 2013. Muhammadiyah
dan Wahabisme - Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru; Anatomi Gerakan Wahabiyah.
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Muhammadiyah.or.id. Sejarah
Berdirinya Muhammadiyah. (Online, Diakses 28 Juli 2017)(http://www.muhammadiyah.or.id/id/4-content-179-det-sejarah-berdiri.html).
Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban. 2009. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam.
Yogyakarta: Surya MediatTama.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2016.
Al-Islam dan Ke-Muhammadiyahan.
Yogyakarta: Majlis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
Suara Muhammadiyah. 2017. Manhaj
Gerakan Muhammadiyah; Ideologi, Khittah dan Langkah. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah.
Tafsir. 2013. Muhammadiyah dan
Wahabisme-Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru; Muhammadiyah, Identikkah dengan
Wahabiyyah ?. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Thohir Luth. 2013. Muhammadiyah dan
Wahabisme-Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru; Wahabi Menyelamatkan,
Muhammadiyah Tertuduh. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
😎 Bergaya Sambil Mencari Pahala, Kenapa Tidak 😎
BalasHapus.
Dengan Kaos Dakwah dari Gootick Apparel yang akan membuat penampilan teman-teman pasti berbeda dari yang lain 😍😍😍
.
Dengan bahan Material dari Catton Bamboo yang memiliki kualitas tidak perlu di ragukan dan Sablon yang Rapih dan Kuat. Baca Terlebih dahulu kelebihan dari Cotton Bamboo ==>> https://bit.ly/39lCBC7 <<==
Tersedia 5 tulisan bermakna Islami dan pilihan warna yang pastinya cocok di pakai untuk kegiatan sehari-hari yang akan terlihat Elegan dan Simple, Rapih dan Pastinya Keren.
.
"Promo HEMAT" Harga Normal Rp.100 K dan dapatkan potongan diskon harga sebesar Rp. 30 K.
.
Untuk informasi pemesanan silahkan klik link dibawah ini, untuk di arahk
.
Kaos Dakwah Terbaru
Testimoni di Instagram: #gootickapparel
.
Tunggu apalagi Langsung Ambil Promonya selagi masih Tersedia
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Mungkin Kau Sering Lupa Kebaikan Istrimu