Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah
(Analisa Tekstual dan Kontekstual Aqidah dan Manhaj NU
dari Masa ke Masa)
Muqaddimah
Nahdlatul Ulama merupakan bentuk pelembagaam faham Ahlussunnah
Wal Jamaah di Indonesia. NU didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ary, KH. Wahab
Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri, serta ulama dan tokoh Indonesia lainnya atas
petunjuk para ulama’ sepuh, utamanya Syaikhona Kholil Bangkalan. NU
dideklarasikan di Surabaya, pada tanggal 31 Januari 1926 Masehi atau bertepatan
dengan tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah.
Dalam Musyawarah Nasional Ulama NU tahun 2006 di Surabaya,
tentang Bahtsul Masail Maudlu’iyyah Fikrah Nahdliyyah dijelaskan bahwa
pembentukan Jam’iyyah NU dilatarbelakangi oleh dua faktor dominan: Pertama, adanya
kekhawatiran dari sebagian umat Islam yang berbasis pesantren terhadap gerakan
modernis yang meminggirkan mereka. Kedua, sebagai respons ulama-ulama
berbasis pesantren terhadap pertarungan ideologis yang terjadi di dunia Islam
pasca penghapusan kekhalifahan Turki, serta munculnya gagasan Pan-Islamisme
yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani dan gerakan kaum Wahabi di Hijaz.
Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa
sebenarnya inti utama pendirian NU adalah mempertahankan faham Ahlussunnah
Wal Jamaah yang selama ini telah mengakar kuat di Indonesia dalam masa yang
sangat lama. Faham yang disebarkan oleh para Walisongo tersebut telah menjadi
satu dengan budaya dan peradaban dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Indonesia. Maka tidak mengherankan jika ada budaya dan peradaban lain yang
ingin merubahnya banyak yang kemudian menolaknya.
Akan tetapi apabila diperhatikan lebih detail lagi, faham
Ahlussunnah Wal Jamah di Nusantara mengalami pertumbuhan serta perkembangan
yang berbeda dengan yang ada di berbagai negara atau daerah arab sebagai pusat
pertama Aswaja digaungkan. Bahkan bisa dikatakan bahwa perkembangan tersebut
mempunyai kekhususan serta identitas-identitas tersendiri, walaupun subtansinya
masih sama. Perubahan perkembangan tersebut sangat terlihat sekali, dan menuai
sikap positif dari masyarakat Internasional. Perkembangan faham Aswaja di
Nusantara tersebut pada akhir-akhir ini juga sering disebut sebagai Islam
Nusantara.
Aswaja yang ada di nusantara ini yang kemudian
dilembagakan oleh NU terus maju dan berkembang baik dari segi aqidah maupun
manhajnya. Oleh karena itu penulis akan menganalisa pada fokus permasalahan
tertentu yang berkaitan dengan perkembangan tekstual dan kontekstual aqidah dan
manhaj Aswaja dari masa ke masa.
Ahlussunnah Wal Jamaah Dalam Perspektif NU
Hadrostus Syekh KH. Hasyim Asáry mengatakan bahwa antara
faham Ahlussunnah Wal Jamah dan
Nahdlatul Ulama tidak akan pernah bisa dipisahkan. Aswaja merupakan faham yang
melandasi serta menjadi dasar jam’iyyah NU. NU didirikan pun juga tidak lepas
dari keinginan untuk mempertahankan agar aqidah Aswaja tetap berdiri tegak di
Indonesia. Oleh karena itu seringkali ketika dikatakan Aswaja di Indonesia,
maka itu adalah NU. Dan ini juga sudah mendapatkan pengakuan dari dunia
Internasional.
Sebagai peletak dasar pondasi-pondasi NU, KH. Hasyim
Asy’ary mendefinisikan Sunnah dalam Kitab Risalah Ahlusuunah Wal Jamaaah[2] yaitu
اسم للطريقة المرضية المسلوكة في الدين سلكها رسول الله صلى الله عليه وسلم
أو غيره ممن هو علم في الدين كالصحابة رضي الله عنهم، لقوله صلى الله عليه وسلم
"عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Aswaja
yaitu nama bagi sebuah jalan dalam agama Islam yang ditempuh oleh Rasulullah
Saw atau orang-orang yang menjadi panutan dalam beragama seperti para sahabat
Nabi Radhiyallahu ‘anhum ajma’in, yang didasarkan pada sabda Nabi
“Ikutilah sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku”
Sedangkan Aswaja sendiri dalam kitab beliau yang lain, yaitu Ziyadatut
Ta’liqat[3]
didefinisikan sebagai berikut:
أهل السنة فهم أهل التفسير والحديث والفقه، فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة
النبي الله صلى الله عليه وسلم والخلفاء بعده الراشدين وهم الطائفة الناجية قالوا
وقد اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون والمالكيون والحنبليون.
“Aswaja
yaitu kelompok Ahli Tafsir, Ahli Hadis, dan Ahli Fiqih. Merekalah kelompok yang
mendapatkan petunjuk untuk tetap berpegang teguh dengan Sunnah Nabi Muhammad
Saw, dan Khulafaur Rasyidin setelah beliau wafat. Mereka adalah kelompok yang
selamat (di dunia dan akhirat). Para ulama mengatakan bahwa Ahlussunnah wal
Jamaah sekarang terhimpun dalam penganut madzhab Hanafi, Syafii, Maliki, dan
Hanbali.”
Dari dua definisi di atas yang dimunculkan oleh KH.
Hasyim Asyáry dapat dipahami bahwa sejatinya Aswaja bukanlah aliran baru yang
muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Aswaja
adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Saw, dan sesuai
dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Aswaja merupakan
Islam murni yang berlangsung dari Rasulullah, kemudian diteruskan oleh para sahabatnya.
Oleh karena itu, tidak ada seorang
pun yang menjadi pendiri Aswaja. Yang ada hanyalah ulama yang merumuskan
kembali ajaran Islam tersebut setelah lahirnya beberapa faham dan aliran keagamaan yang berusaha
mengaburkan ajaran Rasulullah dan para
sahabatnya yang murni itu. [4]
Menurut KH. Said Aqil Siradj, sampai saat ini memang
belum ada pengertian yang lebih epistimologis (nadzriyyat al-ma’rifat) yang
mendefinisikan Aswaja secara tuntas dan menyeluruh. Kalaupun istilah Aswaja
sering disebut dalam buku-buku klasik maupun dalam wacana pengajaran agama di
pesantren, biasanya itu demi penyederhanaan cara penyebutan dan kepraktisan saja. Begitu
pula terminology yang sudah berlaku di kalangan Nahdliyyin saat ini juga masih
memerlukan penyempurnaan.
Oleh karena itu beliau memandang bahwa definisi tentang
Aswaja (yang dibatasi madzhab-madzhab tertentu) yang selama ini diyakini oleh
banyak Nahdliyyin tampak mempertemukan sejumlah hal yang saling kontradiktif.
Mendefinisikan Aswaja dengan dalam fiqih mengikuti madzhab ini, akidah ini, dan
tasawuf ini berarti ghair jami’ mani’. Begitu pula ketika kita yakini
Aswaja sebagai madzhab, maka akan timbul isykal juga bagaimana mungkin
dalam sebuah madzhab mengandung beberapa madzhab ? dari sinilah KH. Said Aqil
Siradj memandang bahwa Aswaja bukanlah sebagai sebuah madzhab, melainkan
hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja yang di dalamnya masih memuat
banyak aliran dan madzhab.
Akan tetapi bukan berarti bahwa pengertian dan definisi yang dianut kita selama ini keliru.
Namun, pengertian Aswaja yang ada selama ini masih dibatasi pada
madzhab-madzhab tertentu. Misalanya yang mendefinisikan Aswaja dalam aqidah mengikuti madzhab Asyáry
dan Maturidy, dalam bidang fiqih mengikuti Madzhab Hanafi, Maliki, Syafií, dan
Hanbali, dan dalam bertasawwuf mengikuti salah satu dari Imam Al-Junaidi dan
Imam Al-Ghazali.[5]
Ketiadaan satu definisi dalam Aswaja tersebut maka
kemudian menyebabkan pendefinisiannya yang ada berkembang sangat beragam.
Berbagai tokoh mendefinisikan Aswaja sesuai dengan hasil ijtihadnya
masing-masing. Dalam NU sendiri pengertian Aswaja juga sangat beragam,
walaupun mempunyai subtansi yang sama. Diantara definisi yang beragam tersebut adalah
a.
Dalam AD ART NU hasil
Muktamar NU ke 33 di Jombang tahun 2015 menyebutkan bahwa Aswaja adalah sebuah
“Faham”, yang secara lengkapnya berbunyi sebagai berikut dalam Pasal 5 Anggaran
Dasar NU “Nahdlatul Ulama
beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah, dalam bidang
aqidah mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ary dan Imam Abu Mansur
al-Maturidi; dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari Madzhab Empat (Hanafi,
Maliki, Syafi'i, dan Hanbali); dan dalam bidang tasawuf mengikuti madzhab Imam
Al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghazali”.[6]
b.
KH. Said Aqil Siraj mengatakan
bahwa Aswaja bukanlah sebuah
madzhab, tetapi sejatinya lebih merupakan sebuah metode berfikir (manhajul fikr),
atau sebuah paham
yang di dalamnya memuat banyak aliran dan madzhab pemikiran. Paham Aswaja bisa
diibaratkan sebagai sebuah tenda besar yang didalamnya memuat banyak aliran dan
madzhab pemikiran.[7]
c. Nurcholish Majid menganalisa Aswaja sebagai sebuah
tinjauan dari perspektif historis, bahwa kata wal jama’ah dalam
kata Ahlussunnah Wal Jamaah mengandung semangat non-sektarianisme.
Menurut Cak Nur, semangat non-sekretarianismelah yang mendorong dianutnya paham
irja’, yaitu keyakinan bahwa Allah saja yang berhak memutuskan apakah
seseorang akan masuk neraka atau surga.[8]
d.
KH. M. Daniel Royan (Rois Syuriyah PCNU Kendal)
mendefinisikan Aswaja sebagai berikut
هم الذين يتمسكون بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم
وسنة صحابته
“Kelompok
yang berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah Saw, serta sunah
sahabat-sahabatnya”
Ta’rif atau definisi tersebut merupakan definisi yang
diambil dari hadis nabawi “ما أنا عليه اليوم
وأصحابي”. Menurut beliau, orang yang
memplokamirkan definisi tersebut adalah Imam Ahmad ibnu Hanbal.[9]
e. Dalam buku hasil diskusi Purna Siswa Aliyah Madrasah
Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo Kota Kediri mendefinisikan Aswaja sebagai
“Pengikut thariqah yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabat dan selalu
berada dalam kelompok mayoritas dari umat terdahulu”. [10]
f. Forum Kajian Ilmiah Jimat Ilmiah
16 Lirboyo mendefinisakan Aswaja sebagai “mayoritas orang-orang yang bersatu,
berpegang teguh pada ajaran Nabi Saw, dan tuntunan para sahabat”. Forum ini
juga menyebutkan bahwa Abu Hasan Al-Asyáry dan Abu Mansur Al-Maturidy sebagai
“Pendiri/Muassis Aswaja”. Aswaja juga disebut sebagai Madzhab, serta mempunyai
nama lain yaitu Al-Firqah An-Najiyah, At-Thaifah Al-Mansurah
serta As-Sawadul A’dham. Akan tetapi dalam halaman yang lain, Forum ini menyebut Aswaja sebagai manhajuul
fikr (metodologi pemikiran), yang sudah berlangsung dan terus dipeluk serta
diyakini sejak zaman Rasulullah Saw masih hidup dan para sahabatnya. Paham ini terus menerus menjadi paradigma pemikiran
Umat Islam setelahnya yang masih mengikuti tuntunan hidup yang diajarkan oleh
Nabi Saw dan para sahabat. Pada halaman lain juga disebutkan bahwa Imam Asyáry
dan Imam Maturidy adalah perumus terhadap akidah yang diyakini sesuai dengan pijakan para
sahabat dan tabiín. Dan semua ajaran itu terkodifikasikan dengan sistematika
baru yang yang beliau ciptakan.[11]
Dari berbagai definisi di atas kita dapat melihat ketidak
ragaman kalangan Nahdliyyin dalam mendefiniskan Aswaja. Walaupun mempunyai
subtansi yang hampir sama, tetapi hal tersebut mempunyai jami dan mani’
yang berbeda. Bagi orang yang membacanya pun akan sulit memahami perbedaan
tersebut, utamanya masyarakat awam. Oleh karena itu perlu kiranya untuk
memberikan sebuah definisi yang jelas serta syamil (komprehensif) dan
dapat menjembatani berbagai persepsi, agar kedepannya tidak memunculkan sebuah
standar ganda.
Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat KH. Said
Aqil Siradj yang mengatakan bahwa pengertian Aswaja yang diberikan KH. Hasyim
Asy’ary yang dipegang kuat oleh Nahdliyyin sampai saat ini juga merupakan
pemikiran cemerlang yang sangat praktis dan kondusif. Hal itu dikarenakan
ajaran Aswaja tidak lah pernah jumud atau mandek, tidak kaku, tidak eksklusif,
tidak elitis, dan juga tidak mengenal status quo. Aswaja bisa berkembang
secara fleksibel dan luwes, berkat potensi nahdlah yang dimilikinya.
Yaitu, potensi penerimaan bangsa yang datang belakangan terhadap peradaban
bangsa sebelumnya, disertai kepampuan untuk meracik dan membentuk kembali
peradaban itu sesuai dengan kebutuhannya.[12]
Ta’rif Aswaja yang dikemukakan oleh KH. Hasyim Asy’ary di atas
juga sesuai dengan berbagai definisi ulama, baik itu yang mutaqaddimin maupun
mutaakkhirin. Diantara kesesuaian definisi tersebut adalah dengan
defenisi Aswaja yang beberapa waktu yang lalu didefinisikan oleh Pertemuan
Internasional Ulama’ Aswaja di Chechnya. Dalam pertemuan tersebut, para ulama’
dari berbagai negara merumuskan kembali Aswaja, serta persaudaraan Islam
Internasional. Oleh karena itu, definisi Aswaja yang diberikan oleh Hadrotus
Syekh KH. Hasyim Asy’ary sudah sangat relevandan sangat kondusif sampai era
modern ini. Dan bagi warga nahdliyyin sendiri maka sudah menjadi keharusan
untuk mencantumkan, serta menjadikan rujukan utama bagi definisi Aswaja dari
apa yang telah dirumuskan oleh KH. Hasyim Asy’ary.
Qanun Asasi Nahdlatul Ulama
Qanun Asasi merupakan undang-undang dasar NU yang
berisi tentang landasan syar’i mengapa NU didirikan. Qanun asasi secara
langsung diletakkan oleh Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary. Semenjak Muktamar
NU ke-33 di Jombang pada tahun 2015, disepakati bahwa Muqaddimah dalam
AD-ART NU diganti dengan Muqaddimah Qanun Asasi yang pertama kali dibuat
oleh Hadrotus Syekh. Pada waktu sebelum Qanun Asasi ditetapkan kembali, muqaddimah
yang ada merupakan hasil ijtihad para peserta muktamar, utamanya komisi yang
membidangi AD ART.
Dalam Muqaddimah Qanun Asasi tersebut, berdasarkan
analisa penulis setidaknya KH. Hasyim Asy’ary mengutip 43 ayat al-Qur’an, 5
Hadis Nabi, 4 Perkataan Sahabat, 1 Pendapat Ulama’, dan
2 sya’ir.[13] Adapun
ayat yang dikutip tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Surat Al-Ahzab; 45-46
b.
Surat An-Nahl; 125
c.
Surat Az-Zumar; 17-18
d.
Surat Al-Isra; 111, 36
e.
Surat Al-An’a; 153
f.
Surat An-Nisa; 95, 115, 66-68
g.
Surat Al-A’raf; 157, 99
h.
Surat Al-Hasyr; 10
i.
Surat Al-Hujurat; 13
j.
Surat Al-Fathiir; 28
k.
Surat Al-Ahzab; 23, 56
l.
At-Taubah; 119, 100, 87
|
m.
Surat Luqman; 15
n.
Surat Al-Anbiya; 7
o.
Surat Ali Imran; 7, 104, 200, 103, 8,
193-194
p.
Surat Al-Anfal; 25, 21, 46
q.
Surat Huud; 113
r.
Surat At-Tahriim; 6
s.
Surat Al-Maidah; 2 (diulang 2 kali)
t.
Surat A-Hujurat; 10
u.
Surat Al-’Ankabut; 69
v.
Surat As-Syuro; 38
w.
Surat Al-Kahfi; 84
|
Adapun Hadis Nabawi yang dikutip dalam Muqaddimah
Qanun Asasi adalah sebagai berikut:
a.
Hadis yang diriwayatakan oleh Imam Suyuthi
يد الله فوق الجماعة، فإذا شذ الشّاذ منهم اختطفه الشيطان كما يختطف الذئب من
الغنم
b.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لا تحاسدوا ولا
تناجشوا ولاتباغضوا ولا تدابروا، ولايبع بعضكم على بيع بعض، وكونوا عباد الله
إخوانا، المسلم أخو المسلم لايظلمه ولايخذله، ولا يخقره التقوى ها هنا" ويشير
إلى صدره ثلاث مرات "بحسب امرئ من الشرّ أن يحقر أخاه المسلم، كل المسلم على
المسلم حرام، دمه وماله وعرضه
c.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Hakim
فانظروا عمن تأخذون دينكم
d.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
عن عمران بن حصين، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "لا تزال طائفة
من أمتي على الحق ظاهرين، على من ناوأهم حتى يأتي أمر الله، وينزل عيسى ابن مريم
e.
Hadis Yang diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdady dalam
Kitab Al-Jami’
إذا ظهر الفتن والبدع وسب أصاحابي فلينظر العالم علمه، فمن لم يفعل ذلك فعليه
لعنة الله والملائكة والناس أجمعين
Adapun perkatan Sahabat yang dikutip dalam Muqaddimah
Qanun Asasi adalah sebagai berikut
a.
Perkataan Sayyidina Ali Ra(ada 3 perkataan beliau yang
dikutip).
1. إن الحق يضعف
بالإختلاف والإفتراق، وإن الباطال قد يقوى بالاتحاد والاتفاق.
2. إن الله لم يؤت
أحدا بالفرقة خيرا لا من الأولين ولا من الأخرين، لأن القوم إذا تفرقت قلوبهم
ولعبت بهم أهواءهم فلا يرون للمنفعة العامة محلا ولا مقاما، ولا يكون أمة متحدة بل
أحادا مجتمعين أجسادا متفرقين قلوبا وأهواء، نحسبهم جميعا وقلوبهم شتى.
3. فليس أحد وإن
اشتد على حرصه، وطال في العمل اجتهاده، ببالغ حقيقة ما الله أهله من الطاعة، ولكن
من واجب حقوق الله على العباد النصيحة بمبلغ جهدهم، والتعاون على إقامة الحق
بينهم، وليس أمرؤ من عظمت في الحق منزلته، وتقدمت في الدين فضيلته، بفوق أن يعاون
على ما حمله الله من حقه، ولا امرؤ وإن ضغرته النفوس واقتحمته العيون، بفوق أن
يعين على ذلك أن يعاون عليه.
b.
Perkataan Sayyidina Umar Ra.
يهدم الإسلام جدال المنافق بالكتاب
Adapun sya’ir yang dikutip dalam Muqaddimah Qanun
Asasi adalah sebagai berikut
a.
Sya’ir dari Sayyidina Ali Ra
كونوا جميعا يا بني إذا عــــرا # خطب
ولا تتفرقوا أحادا
تأبي القداح إذا اجتمعين تكسرا # وإذا افترقن تكسرت أفرادا
b.
Syair yang tidak disebutkan siapa pengarangnya
إنما الأمة الوحيدة كالجســـــــــ #
ــــــــــــــــم وأفرادها كالأعضاء
كل عضو له وظيفة صنع # لا ترى الجسم
عنه في استغناء
Adapun pendapat ulama’ yang dikutip dalam Muqaddimah
Qanun Asasi adalah pendapat Sayyid Ahmad bin Abdullah As-Segaff:
إنها (أي نهضة العلماء) قد سطعت بشائرها، واجتمعت دوائرها، فأين تذهبون عنها،
أيها المعرضون، كونوا من السابقين، أولا فمن اللاحقين، وإياكم أن تكونوا من
الخالفين، فيناديكم لسان التقريع بقوارع ....الخ
Dari berbagai Ayat-ayat al-Qur’an, Hadis Nabawi, Pendapat
sahabat, Perkataan serta Syair para ulama, oleh Hadrotus Syekh KH. Hasyim
Asy’ary meraciknya menjadi sebuah tulisan yang sangat epik. Dalam tulisan
tersebut sangat banyak sekali dimuat berbagai hal yang menjadi landasan NU
dalam berjam’iyyah. Dalam melaksanakan program kerja serta penyusunan
berbagai rancangan yang dilakukan tidak boleh keluar dari Khittah Muqaddimah
Asasi ini. dan bisa dikatakan bahwa Qanun Asasi merupakan
landasan yang menjiwai Nahdlatul Ulama.
Dari analisa yang penulis lakukan, setidaknya ada
beberapa hal yang menjadi pokok inti dari Muqaddimah Qanun Asasi
tersebut, yaitu:
a. Ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip dalam Muqaddimah
Qanun Asasi tersebut berisi tentang berbagai aturan serta etika yang sangat
berkaitan erat dengan masyarakat umum dalam kehidupan mereka beragama,
berbangsa, dan bernegara. Dalam ayat-ayat tersebut juga dijelaskan bahwa trah
manusia ketika diciptakan adalah sebagai mahluk sosial yang antara satu dengan
lainnya harus saling mengenal, berinteraksi, saling membantu, menjaga perasaan,
menepati janji, larangan berpecah belah, saling menyakiti, dan melanggar batas
orang lain seperti yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Selain itu juga
dijelaskan tentang kewajiban untuk mengikuti ulama’, serta orang-orang berilmu
yang mendapatkan petunjuk dari Allah Swt.
b. Dalam hadis-hadis yang dikutip berisi tentang pentingnya
untuk hidup berkelompok dan berorganisasi (ber-jam’iyyah). Vox Populi Vox
Day (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan). Dalam setiap kelompok mempunyai tugas
dan fungsi masing-masing yang saling melengkapi antara yang satu dengan yang
lainnya. Ketika keluar dari sebuah kelompok atau kelompok itu pecah, maka akan
lebih mudah bagi setan untuk menyesatkan dan menghancurkan. Karena itu persatuan
dan ikatan batin antara yang satu dengan yang lain merupakan penyebab
terpenting timbulnya kebahagiaan serta faktor paling kuat untuk menciptakan
persatuan dan kasih sayang.
c. Peringatan akan timbulnya perpecahan yang terjadi dalam
agama dan bangsa. Sudah banyak contoh umat dan bangsa terdahulu yang binasa
karena terjadinya perpecahan. Beliau mengatakan bahwa “Perpecahan adalah
penyebab kelemahan, kekalahan, dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal
kehancuran dan kebangkrutan, sumber keruntuhan
dan kebinasaan, serta penyebab kehinaan dan kenistaan”.
d. Pentingnya menjaga sanad keilmuan dalam Ahlussunnah
Wal Jamaah. Ketersambungan sanad seseorang dengan gurunya sampai kepada
Nabi Muhammad Saw, menunjukkan kualitas ilmu yang dimiliki, serta kualitas ibadah
yang dilakukan. Timbulnya para pelaku bid’ah, atau kelompok yang seringkali menuduh
bid’ah kepada orang lain dengan mengaku-ngaku kembali kepada Kitabullah,
semuanya tersebut disebabkan karena mereka tidak mempunyai sanad keilmuan.
e.
Dalam Muqaddimah tersebut, kutipan beliau dari
hanya satu orang ulama’ yaitu Sayyid Ahmad bin Abdullah As-Segaff yang
memberikan komentar tentang pengakuan kepada NU sebagai sebuah organisasi yang
menggembirakan, menyatukan bangunan yang tegak, menyatukan berbagai daerah,
serta larangan untuk berpaling dari NU. Dengan demikian NU telah menjadi sebuah
organisasi yang menyatukan berbagai pemahaman Aswaja yang telah ada pada
era-era sebelumnya di Indonesia (قد سطعت بشائرها), serta berkeinginan untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia, serta mempertahankannya(واجتمعت دوائرها).
Fikrah Nahdliyyah
Fikrah Nahdliyyah adalah kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah
Wal Jamaah yang dijadikan landasan berfikir Nahdlatul Ulama (Khittah Nahdliyyah)
untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islahul ummah (memperbaiki
ummat). Fikrah Nahdliyyah dibuat untuk menjaga nilai-nilai historis dan
meneguhkan Nahdlatul Ulama pada garis-garis perjuangannya (khittah),
serta menjaga konsistensi warga Nahdliyyin agar tetap pada koridor yang telah
ditetapkan. Fikrah Nahdliyyah ini diputuskan dalam Musyawarah Nasional
Ulama Nomor 02/Munas/VII/2006 di Surabaya tentang Bahtsul Masail Maudluiyyah Fikrah
Nahdliyyah.[14]
Manhaj Fikroh Nahdliyyah (metode berfikir
ke-NU-an) dapat digunakan untuk merespon berbagai persoalan, baik persoalan
keagamaan maupun kemasyarakatan. Dalam fikrah nahdliyyah tersebut
disebutkan bahwa NU memiliki manhaj Ahlussunnah wal Jamaah sebagai
berikut:
a.
Dalam bidang Aqidah atau Teologi, NU mengikuti manhaj
dan pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ary dan Abu Mansur Al-Maturidy.
b. Dalam bidang Fiqih atau Hukum Islam, NU bermadzhab secara
qauli dan manhaji kepada salah satu al-Madzahib al-Arba’ah,
yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
c. Dalam bidang Tasawuf, NU mengikuti Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid
Al-Ghazali.
Selain Manhaj, Fikrah Nahdliyyah juga
memiliki Khashaish (ciri-ciri dan karakteristik). Adapun Khashaish Fikrah
Nahdliyyah tersebut adalah:
a. Fikrah Tawashutiyyah (Pola Pikir Moderat). Artinya, NU senantiasa bersikap tawazun
(seimbang), dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai
persoalan. NU tidak tafrith atau ifrath.
b. Fikrah Tasamuhiyyah (Pola Pikir Toleran). Artinya, NU dapat hidup berdampingan
secara damai dengan pihak lain walaupun akidah, cara pikir, dan budayanya
berbeda.
c. Fikrah Islahiyyah (Pola Pikir Reformatif). Artinya, NU senantiasa
mengupayakan perbaikan menuju arah yang lebih baik (الاصلاح إلى ما هو الأصلح).
d. Fikrah Tathowwuriyah (Pola Pikir Dinamis). Artinya, NU selalu melakukan
konstektualisasi dalam merespon berbagai
persoalan.
e. Fikrah Manhajiyyah (Pola Pikir Metodologis).
Artinya, NU senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada
manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.[15]
Selain Fikrah Nahdliyyah di atas yang telah
ditetapkan dalam Munas, KH. Said Aqil Siradj menambahkan bahwa ciri utama
manhaj atau paham Aswaja adalah sangatlah lentur, dan fleksibel. Kelenturan ini
sering dirumuskan sebagai tawasuth (berada di tengah-tengah),
tawazun (seimbang), I’tidal (tegak lurus), dan tasamuh (toleran).
Dan perlu diingat, ciri ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu akidah,
syariat, muamalah, akhlak’tasawuf, dan sosial-politik. Sedangkan KH. Afifudin
Muhajir mengatakan bahwa sebenarnya al-wasathiyyah mempunyai arti lain, yakni al-waqiiyyah atau
realistis. Ini bukan sikap pasrah atau menyerah pada keadaan, melainkan
mempertimbangkan kenyataan yang ada dan tidak bersikap mutlak-mutlakan, tapi
sambil tetap berusaha untuk
menggapai keadaan ideal. [16]
Ijtihad
Dalam Perspektif Ulama’ Nahdliyyin
Sikap dasar bermadzhab telah menjadi pegangan nahdliyyin
sejak berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindak lanjuti dengan
pengembalian hukum fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik
dalam beberapa komponen: ubudiyyah, mu’amalah, munakahah, jinayat
dan qadha’. Selain mempertimbangkan qaul yang diambil itu
berdasarkan kekuatan qaul tersebut, juga
dipertimbangkan pengambilan sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan
situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer), hajiyah (sekunder), dan tahsiniyyah
(tersier).
Pengertian istinbath al-ahkam di kalangan ulama’ nahdliyyin juga bukan
mengambil hukum secara langsung dari sumber
aslinya yaitu, al-Qur’an dan al-Hadis. Akan tetapi penggalian hukum dilakukan dengan men-tahqiq-kan
secara dinamis nash-nash fuqaha’ dalam konteks permasalahan yang dicari
hukumnya. Istinbath langsung dari sumber primer (al-Qur’an dan al-Hadis)
yang cenderung kepada pengertian
ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena
keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang
dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara itu istinbath
dalam batas madzhab disamping lebih praktis dapat dilakukan oleh semua ulama NU
yang telah mampu memahami ibarat (uraian teks) kitab-kitab fiqih sesuai dengan
terminologinya yang baku.[17]
Menurut Jaih Mubarak[18], secara
garis besar pengambilan keputusan hukum
Islam di kalangan nahdliyyin dapat dibagi menjadi 3 macam prosedur,
yaitu:
1.
Mengambil jawaban dari kitab-kitab yang
sudah ada. Jika terdapat beberapa qaul atau wajah, maka yang
dilakukan adalah taqrir jama’i untuk
menentukan pilihan terhadap salah satu pendapat. Dan metode ini juga mempunyai prosedur
tersendiri.
2. Ilhaqul Masail Binadzairiha (إلحاق
المسائل بنظائرها), yaitu mempersamakan hukum suatu kasus atau masalah yang
dijawab oleh ulama’ terhadap masalah atau kasus serupa yang telah dijawab oleh
ulama’ lain. Dengan kata lain, pendapat ulama’ yang sudah jadi disebut sebagai ushul atau pokok, dan kasus atau masalah yang belum ada hukumnya disebut furu’
atau cabang. Metode ini merupakan salah satu cara yang digunakan dalam
berijtihad.
3. Istinbath Hukum sebagai alternatif terakhir,
yaitu dapat dilakukan apabila suatu masalah atau pertanyaan tidak terdapat
jawabannya dalam kitab-kitab standard sehingga tidak ada peluang untuk
melakukan pemilihan pendapat dan tidak memungkinkan para ulama untuk melakukan ilhaq
karena tidak ada mulhaq bih dan wajh ilhaq. Istinbath dilakukan
secara jama’i (kolektif) dengan mempraktekkan kaidah ushul dan kaidah
fikih.
Rumusan hukum hasil produk ijtihad nahdliyyin bukan merupakan keputusan
akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila diperlukan.
Bila di kemudian hari ada salah seorang ulama’ (meskipun bukan peserta forum bahtsul
masail syuriyah)
menemukan nash/qaul atau ibarat lain dari salah satu kitab dan
ternyata bertentangan dengan keputusan tersebut, maka keputusan itu bisa
ditinjau kembali dalam forum yang sama. Tidak ada perbedaan antara ulama’
senior maupun junior, antara yang sepuh dan
yang muda dan antara kiyai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang paling mendasar
adalah benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan subtansi masalah dan
latar belakangnya.[19]
Menurut KH. Sahal Mahfudz, dalam terminologi ushul fiqih
modern sering kali ditemukan istilah Ijtihad Jama’i. dalam aplikasinya
ijtihad jama’i meliputi dua hal. Pertama, ijtihad dalam upaya memecahkan
status hukum permasalahan baru yang belum di singgung oleh al-Qur’an,
al-Sunnah, dan pembahasan
ulama-ulama terdahulu. Jadi masalah ini dapat dikatakan masalah yang benar-benar
baru (al-masail al-mahaddatsah), karena bukan hanya al-Alqur’an dan
al-Sunnah tidak membicarakannya, juga hal ini belum pernah dibahas oleh ulama
terdahulu. Kedua, ijtihad untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan cita
kemaslahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran Islam. Hukum masalah
yang akan diijtihadi itu telah dibahas oleh imam-imam mujtahid terdahulu, tapi
karena ada beragam pandangan yang saling menampik antara yang satu terhadap
lain, maka tugas kita secara kolektif adalah memilih pendapat yang paling tepat
dan paling sesuai dengan ruh agama, yaitu kemaslahatan.
Dalam kalangan nahdliyyin juga dikenal istilah yang
hampir mirip dengan ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif. Istilah
tersebut adalah taqrir jama’i, yaitu “upaya secara kolektif untuk
menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah”. Selain itu
juga dikenal istilah ilhaqul masail bi nadzairiha, yaitu “menyamakan
hukum suatu kasus/masalah serupa yang belum dijawab oleh kitab dengan
kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab”.[20]
Dalam ijtihad individu kadangkala seseorang itu menyentuh
suatu aspek hukum dalam obyek pembahasan tertentu, sementara dia tidak menaruh
perhatian pada aspek lainnya. Terkadang seseorang menghafal segala sesuatu yang
orang lain tidak menghafalnya. Sedangkan diskusi kelompok semacam ijtihad
kolektif dapat menemukan point-point yang tersembunyi atau dapat memunculkan
secara jelas perkara-perkara yang sulit, atau mengingatkan beberapa masalah
yang terlupakan, dan ini merupakan berkat dari musyawarah. Diantara produk
kolektif adalah adanya usaha yang ditangani oleh sekelompok orang, atau usaha
yang dilakukan oleh sebuah lembaga sebagai sebuah ganti dari usaha individu.
Dasar tentang ijtihad kolektif menurut Dr. Yusuf
Al-Qardhawi adalah kisah Sayyidina Ali yang bertanya kepada Nabi Muhammad
tentang apa yang harus dilakukan jika dihadapakan pada sebuah perkara yang
belum pernah ada keputusan hukumnya dari al-Qur’an dan hadis. Kemudian Nabi
Muhammad Saw menjawab, “Engkau musyawarahkan perkara itu dikalangan para
pakar fiqih dan orang-orang ahli ibadat dari kaum Mukmin, dan janganlah engkau
sekali-kali menetapkan hukum masalah ini menurut pendapatmu sendiri”.
Demikian inilah yang disebut dengan ijtihad kolektif.[21]
Metode ijtihad kolektif seperti inilah yang pernah
ditempuh oleh Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Abu Bakar ketika
menghadapi suatu perkara dan tidak mendapatkan dasar hukumnya dari al-Qur’an
dan hadis, maka beliau mengundang para tokoh diantara kaum muslimin dan para
ulama mereka untuk diajak musyawarah. Apabila pendapat mereka atas suatu
perkara itu disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat
tersebut. Begitu pula dengan Sayyidina Umar, apabila tidak menemukan keputusan
al-Qur’an dan hadis serta tidak pula menemukan keputusan dari Abu Bakar maka
beliau mengundang para tokoh-tokoh kaum Muslim dan ulama-ulama mereka untuk
diajak bermusyawarah. Apabila pendapat mereka atas masalah tersebut disepakati, maka beliau memutuskan perkara
itu dengan pendapat tersebut.
Dengan adanya ijtihad kolektif ini bukan berarti membunuh
(meniadakan) dan tidak memerlukan ijtihad individu. Sebab yang menerangi jalan
menuju kepada ijtihad kolektif adalah hasil penelitian orisinil yang diajukan
oleh setiap mujtahid untuk didiskusikan secara kolektif. Setelah diteliti dan
didiskusikan, maka keluarlah suatu keputusan dari lembaga tersebut, baik
berdasarkan ijma’ maupun pendapat mayoritas.
Apabila
tidak melewati jalur penelitian, maka hasil ijtihad individu ini dapat
berakibat bahwa sebagian besar keputusan secara kolektif itu nanti di dalamnya
terdapat celah yang dapat dijadikan bahan kritikan dan keraguan. Karenanya, hak
individu dalam berijtihad itu masih ada pada setiap keadaan. Bahkan, sebenarnya
proses ijtihad itu pada dasarnya adalah proses ijtihad individu. Sedangkan
ijtihad kolektif merupakan permusyawaratan terhadap hasil-hasil yang telah
dicapai oleh setiap individu sebagaimana yang telah kita ketahui.[22]
Di kalangan NU, pelaksanaan ijtihad atau taqrir jama’i
tadi adalah melalui Bahtsul Masail. Sedangkan bahtsul masail secara istilah
seperti yang diterminologikan dalam
sambutan buku Ahkamul Fuqoha oleh KH. Sahal Mahfudz adalah “salah satu forum
diskusi keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual
yang muncul dalam kehidupan masyarakat”.[23]
Dari definisi tersebut maka bisa difahami bahwa yang dinamakan bahtsul masail
haruslah sebuah forum diskusi yang disitu setidaknya terdapat tiga orang atau
lebih. Kemudian yang menjadi obyek diskusi adalah permasalahan keagamaan yang
sedang berkembang dimasyarakat dan harus segera direspon dan dicarikan
solusinya.
Bahtsul masail dapat disebut sebagai salah satu metode
ijtihad kolektif karena dalam forum atau lembaga tersebut para ulama’,
cendikiawan dan santri selalu aktif mengagendakan pembahasan tentang
problematika aktual dengan berusaha secara optimal untuk memecahkan kebuntuan
hukum islam akibat perkembangan sosial masyarakat yang terus menerus tanpa
mengenal batas. Sementara secara tekstual tidak terdapat landasannya dalam
al-Qur’an dan al-Hadis, atau ada landasannya namun pengungkapannya secara tidak
jelas. Kompetensi para ulama’, santri dan cendikiawan yang mengikuti bahtsul
masail diharapkan dapat menemukan sebuah solusi dan pemecahan terhadap
problematika umat Islam.
Keputusan bahtsul masail dalam komunitas nahdliyyin yaitu dibuat
dalam kerangka bermadzhab secara qouli.
Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan yang telah
ditentukan seuai dengan ketetapan Nahdlatul Ulama’ yang disusun dalam Munas
Alim Ulama NU di Lampung pada tahun 1992. Adapun ketentuan tersebut adalah
sebagai berikut: ketika terjadi dalam suatu kasus masalah dan di sana terdapat
lebih dari satu qoul pendapat, maka dilakukan taqrir jam’i untuk
memilih satu qoul atau wajah. Sedangkan apabila dalam sebuah
kasus tidak ada satu pun qoul pendapat atau wajah sama sekali yang
memberikan penjelasan, maka dilakukan prosedur ilhaqul-masail bi nazha’iriha
secara jama’i oleh para peserta bahtsul masail. Apabila dalam sebuah
kasus tidak ada satu qoul atau wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq,
maka bisa dilakukan istinbath jama’i atau ijtihad secara kolektif dengan
prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya
Dalam sebuah permasalahan apabila ditemukan dua qaul atau
lebih maka harus mengikuti prosedur pemilihan qaul atau pendapat para
ulama’. Prosedur tersebut adalah ketika dijumpai beberapa qaul dalam
satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat.
Pemilihan salah satu pendapat dapat dilakukan dengan cara mengambil dan
mempertimbangkan pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat. Selain dengan pertimbangan
tersebut juga diusahakan untuk mengambil pendapat yang disepakati oleh Imam
Nawawi dan Imam Rafi’I, serta pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama’.[24]
Ketentuan-ketentuan di atas kemudian dipraktekkan oleh
para mubahitsin (peserta bahtsul masail) untuk menganalisa permasalahan
yang disodorkan kepada mereka. Teks ibarat dari berbagai kitab yang
dibawa oleh para mubahitsin kemudian dibahas satu persatu untuk dicari
ibarat manakah yang lebih tepat untuk menghukumi permasalahan tersebut. Pencarian ibarat ini adalah
dengan cara memperhatikan illatul hukmi atau wajhul ilhaq yang
mempunyai kesamaan dengan permasalahan yang dibahas. Ketika memang tidak
memungkinkan melaui metode ilhaq maka dilakukan istinbath jama’i atau ijtihad secara
kolektif oleh
para mubahitsin dengan tetap memperhatikan
kaedah fiqhiyyah dan kaedah ushuliyyah. Adanya istinbath jama’i tadi juga dapat dilaksanakan
setelah mendapatkan arahan dari muharrir atau musohhih.
Ikhtitam
Perkembangan aqidah dan manhaj Aswaja An-Nahdliyyah baik
dalam bidang aqidah maupun manhaj fiqih seperti yang penulis sampaikan di atas
dari hari ke hari memang semakin menunjukkan kepada kualitas yang lebih baik.
Akan tetapi perkembangan tersebut tidak sejalan dengan pemahaman serta
implementasinya di kalangan masyarakat yang menunjukkan kepada tren yang
negatif. Banyak masyarakat yang masih belum memahami akan arti fikrah
nahdliyyah yang berisikan landasan berfikir yang berfaham Aswaja. Buruknya
pemahaman tersebut ternyata juga masih ditambahi lagi dengan pelaksanaan dalam
ritual-ritual keseharian kalangan nahdliyyin yang semakin hari semakin
berkurang.
Oleh karena itu, maka ada perlunya apabila lebih
dikonkritkan pemahaman Aswaja agar bisa difahamai dan dilaksanakan oleh
khalayak nahdliyyin. Pelaksanaan tersebut bisa dilaksanakan oleh para
cendikiawan nadliyyin, utamanya para kiyai dan santri. Selain itu juga perlu
difikirkan kembali bagaimana strategi untuk menggaungkan kembali Aswaja ke
tengah-tengah masyarakat. Sehingga apabila hal tersebut dapat terlaksana, ruh nahdliiyah
yang digagas oleh Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary dalam Muqaddimah
Qanun Asasi dapat terpatrikan dalam hati setiap umat Islam.
Daftar Pustaka
Abdurrhaman
Wahid, Dkk. 2016. Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih Sampai Madzhab Kebangsaan.
Jakarta: PT. Mizan Pustaka.
Forum Kajian
Ilmiah Jimat ’16. 2016. Menghayati Agama, Islam & Aswaja. Kediri.
Lirboyo Press.
Hasyim Asy’ary.
1998. Risalah
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jombang: Maktabah Al-Masruriyyah.
Hasyim Asy’ary.
tt. Ziyadatu Ta’liqat ‘Ala Mandzumati Syekh Abdullah bin Yasin Al-Pasuruani.
Jombang: Maktabah At-Turats Al-Islami.
Jaih Mubarok. 2002. Metodologi
Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press.
LTN NU. 2007. Ahkamul
Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas Dan
Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004). Surabaya: LTN NU Jawa Timur &
Khalista.
Marzuqi
Mustamar. Tt. Al-Muqtathofat li Ahlil Bidaayat. Malang: Penerbit Ma’had
Sabilur Rosyad As-Salafi.
M. Daniel Royan.
Tt. Haqiqatu Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Menara
Jogjakarta.
NU Online. 2015.
AD-ART NU. (Online). Diakses 20 Mei 2017.
PCNU Kabupaten
Semarang. 2012. AD ART NU. Ungaran: PCNU Kabupaten Seamarang.
Purna Siswa
Aliyah MHM Lirboyo Kota Kediri. 2007. Polaritas Sektarian: Rekonstruksi
Doktrin Pinggiran. Kediri: Lirboyo Press.
Sahal Mahfudz, Sahal. 1994. Nuansa
Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS.
STAINU Kebumen.
2013. Teks dan Kontekstualisasi Amaliyah Ahlussunnah Wal jamaah.
Kebumen: STAINU Press.
Tim Aswaja NU
Center PWNU Jawa Timur. 2015. Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: Dari
Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah NU. Surabaya: Khalista.
Yusuf
Al-Qardhawi. 2000. Ijtihad Kontemporer; Kode Etik Dan Berbagai Penyimpangan.
Surabaya: Penerbit Risalah Gusti.
[1] Aktifis Pergerakan ’15
Jawa Tengah, Direktur Program Dauroh
Santri Nusantara (DSN), PC GP Ansor Kabupaten Semarang, Wakil Bendahara PKC
PMII Jawa Tengah
[2] KH. Hasyim Asy’ary. 1998.
Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jombang: Maktabah Al-Masruriyyah. Hlm:5.
[3] KH. Hasyim Asy’ary. tt. Ziyadatu Ta’liqat ‘Ala Mandzumati Syekh Abdullah
bin Yasin Al-Pasuruani. Jombang: Maktabah At-Turats Al-Islami. Hlm:23.
[4] Tim Aswaja NU Center PWNU
Jawa Timur. 2015. Risalah Ahlussunnah wal
Jamaah: Dari Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah NU. Surabaya: Khalista. Hlm:7.
[5] KH. Abdurrhaman Wahid, Dkk. 2016. Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih
Sampai Madzhab Kebangsaan. Jakarta: PT. Mizan Pustaka.
Hlm:138.
[9] M. Daniel Royan. Tt. Haqiqatu Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Menara Jogjakarta. Hlm:4-5.
[10] Purna Siswa Aliyah MHM
Lirboyo Kota Kediri. 2007. Polaritas Sektarian:
Rekonstruksi Doktrin Pinggiran.
Kediri: Lirboyo Press. Hlm:19.
[11] Forum Kajian Ilmiah Jimat
’16. 2016. Menghayati Agama, Islam
& Aswaja. Kediri. Lirboyo
Press. Hlm:227-228, 333.
[13] Lihat Kitab Al-Muqtathofat li Ahlil Bidaayat karya KH. Marzuqi Mustamar. Hlm:90; Teks Dan Kontekstualisasi Amaliyah Ahlussunnah Wal Jamaah
An-Nahdliyyah. 2013. Hlm:127; Muqaddimah Qanun Asasi yang diterjemahkan KH. Musthofa Bisri dalam AD ART NU Cetakan PCNU
Kabupaten Semarang. Hlm:3.
[20] LTN NU. 2007. Ahkamul
Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas Dan
Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004). Surabaya: LTN NU Jawa Timur &
Khalista. Hlm:446.
[21] Dr. Yusuf Al-Qardhawi.
2000. Ijtihad Kontemporer; Kode Etik Dan Berbagai Penyimpangan.
Surabaya: Penerbit Risalah Gusti. Hlm:139.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.