Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)
- Peradilan Zaman Jahiliyah (Sebelum Datangnya Islam)
Keadaan Arab Sebelum Islam Datang
Pada zaman Jahiliyyah sebelum Nabi Muhammad lahir terdapat emapat kerajaan
besar dan mempunyai pengaruh luas yang mengelilingi jazirah arab. Empat
kerajaan tersebut adalah kerajaan Romawi,kerajaan Persia, Dinasti Hindi di
India dan Kerajaan Yunani. Kerajaan Persia terkenal terkenal sebagai sumber
khurafat atau khayalan keagamaan dengan berbagai filasafat yang berbeda-beda
dan tak jarang berbenturan. Contohnya adalah aliran Zaradasytiyyah
(Zoroaster) yang dianut oleh penguasa kerajaan Persia. Diantara ajarannya
adalah mengutamakan pernikahan seorang pria dengan ibunya, anaknya atau
saudaranya. Selain itu juga terdapat aliran filsafat Mazkiyyah yang
berfaham bahwa wanita dan harta itu adalah milik bersama dan bisa dipergunakan
untuk umum (Al-Bouty, 1993:19).
Sedangkan kerajaan romawi telah dirasuki oleh jiwa kolonialisme. Mereka
mengandalkan kepada kekuatan militer dan ambisi kolonialismenya untuk
menyebarkan agama nasrhani dan memenuhi syahwat mereka dalam menguasai dunia. Kebejatan
mereka tidak kalah dibandingkan kerajaan Persia. Kehidupan dengan hedonisme dan
keglamoran, kecurangan dalam transaksi ekonomi dan hukum, beratnya pajak
merupakan contoh diantara bejatnya kelakuan dinasti ini.
Disisi lain ada kerajaan Yunani yang tenggelam dalam khurafat dan mitos-mitos
verbal yang berkembang tanpa memberikan suatu hasil yang berfaedah. Dan
kerajaan Hindi seperti yang diungkapkan oleh Abu Al-Hasan An-Nadwy adalah
sebuah kerajaan yang pada saat itu sedang mengalami puncak kemerosotan baik
dalam bidang agama, akhlak maupun kemasyarakatan. Kerajaan ini termasuk yang
ikut andil besar dalam kerusakan moral dan sosial zaman itu (Al-Bouty, 1993:20).
Adapun jazirah arab pada waktu itu adalah daerah yang tenang, yang jauh
dari hiruk pikuk dunia luar pada waku itu. Penduduknya tidak banyak terpengaruh
dengan paham atau aliran yang berkembang di luar arab pada waktu itu. mereka
juga tidak mempunyai kekuatan militer yang bisa menjadikan mereka seperti orang
romawi. Mereka juga tidak menpunyai filasafat yang dapat mereka gunakan untuk
membolak-balikkan akidah agama sesuai kehendak hati mereka.
Karakteristik dari orang arab pada waktu itu diumpamakan seperti inti atom yang tidak mudah melebur dengan zat apapun sehingga
pandangan mereka seperti manusia yang suci fitrahnya. Mereka juga mempunyai
kecenderungan yang kuat untuk menjadi manusia yang terpuji. Hal ini bisa dilihat dalam perilaku mereka
sebagai orang yang setia dalam memenuhi janji, menjunjung tinggi kemulyaan,
harga diri dan kasing sayang (Al-Bouty, 1993:20-21).
Perundang-undangan Zaman Jahiliyyah
Seperti pada masyarakat hukum yang ada pada zaman sekarang, umat jahiliyah
juga telah mengenal perundang-undangan yang kemudian dijadikan sebagai dasar
dalam peradilan mereka. Produk Qowanin atau undang-undang yang mereka hasilkan
berbeda antara wilayah yang satu dengan yang lainnya yang dipengaruhi oleh
kebutuhan, daerah serta aspek-aspek yang lainnya. Ambillah contoh penduduk negeri
Yaman telah memiliki perundangan dan peradilan yang lebih mapan dibandingkan
daerah arab yang lainnya disebabkan negeri Yaman pada waktu itu telah berdiri
mamlakah atau kerajaan disana. Sedangkan di kota Makkah dan Yatsrib sendiri
legislasi atau usul taysri’ lebih didasarkan kepada tokoh adat atau tokoh suatu
golongan (Ali, 2001:142).
Dikarenakan tidak adanya sistem peradilan yang terlegitimasi secara umum di
seluruh penjuru daerah Arab, maka tentu saja tidak dapat diharapkan bisa
menemukan suatu sistem peradilan atau lembaga-lembaga hukum yang mempunyai
undang-undang yang terkodifikasi. Dengan ketiadaan tersebut maka tidak pula ada
suatu kepastian hukum yang berfungsi untuk
menyelesaikan suatu sengketa (lil fashli fil khusumat). Begitu
juga tidak akan ditemukan bentuk-bentuk hukuman yang baku bagi pelanggar suatu
peraturan seperti yang bisa kita pada zaman sekarang ini. Walaupun orang-orang
arab sebenarnya mengetahui diluar arab telah ada qowanin atau undang-undang
yang terkodifikasi sepaperti kitab undang-undang Hamurabi dan Kitab
undang-undang justinien (Institute de justinien/ mudawwanah justiniyah) ternyata
undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan dalam masyarakat arab. Hal ini
disebabkan karena sebuah perundangan hanya dapat diterapkan pada sebuah
masyarakat politik yang terikat dalam suatu peraturan atau konsensus/kekuasaan (Ali,
2001:142).
Tidak adanya undang-undang yang terkodifikasi dalam sistem masyarakat arab
bukan berarti menunjukkan tidak adanya hukum yang diterapkan kepada pelanggar
peratutaran atau tidak adanya hukum yang mengatur hubungan sosial dalam suatu
masyarakat atau yang menentukan hak-hak para hakim dan terdakwa. Hal tersebut juga tidak menunjukkan bahwa di
jazirah arab pada waktu itu tidak ada seorang ahli tata negara. Peraturan atau
perundangan yang diterapkan dalam masyrakat arab pada waktu itu lebih banyak
bersumber kepada ‘urf dan kebiasaan yang diwarisi dari nenek moyang
mereka. Walaupun masyarakat seperti ini tidak memiliki sebuah peradilan dengan
pegawai, pencatatan serta perundangan yang terkodifikasi seperti pada masa
sekarang akan tetapi secara subtansinya mereka telah memiliki lembaga peradilan
(Mahakim) dan pengadil (Hakim) (Ali, 2001:143).
Peradilan bukanlah suatu pekerjaan resmi bagi orang arab seperti yang kita
lihat pada waktu sekarang. Hakim pada waktu itu bukanlah seorang pegawai negara
yang mempunyai kekuatan yuridis dan keputusunnya tidak bersifat memaksa.
Masyrakat jahiliyah yang mempunyai kasus boleh mengajukan atau tidak mengajukan
kasusnya yang dia hadapi kepada seorang hakim (Ali, 2001:308).
Kota-kota di Jazirah Arab seperti kota Makkah dan Kota Yastrib mempunyai
kemandirian dalam penerapan hukumnya. Mereka membentuk dan melaksanakan
hukumnya tanpa ada pengaruh dari luar daerah. Produk-produk hukum mereka
disebut dengan hukumat mudun. Sedangkan yang membuat dan menelurkan produk
hukum tersebut adalah para pimpinan dan tokoh terpandang di kota tersebut.
Mereka menyelesaikan perselisihan dengan bertendensi kepada ‘urf dan
adat. Sedangkan tempat terjadinya peradilan juga berada di tempat tertentu sepeti
Darun Nadwah atau di tempat ibadah atau di rumah seorang tokoh masyarakat.
Adapun ketika terjadi sengketa dengan suatu golongan atau bangsa lain maka
penyelesaiannya adalah dengan cara berlindung pada peradilan dari luar golongan
mereka yang telah dipekati oleh para pimpinan dari kedua pihak yang berselisih.
Selain itu juga ada ketentuan bahwa pengadil dalam peradilan tidak mempunyai
hubungan secara langsung dengan kasus ini. Keputusan hakim atau pengadil yang
telah diketuk palu harus ditaati oleh kedua pihak (Ali, 2001:143).
Maka ketika kita ingin menyimpulkan tentang sumber hukum yang ada pada
zaman jahiliyah atau sebelum adanya rasul akan didapatkan hasil bahwa sumber
hukm pada zaman jahiliyah bersumber pada 4 hal, yaitu : ‘Urf, Agama (warisan
nenek moyang), Ketetapan seorang pemimpin dan yang terakhir adalah pandangan
para cendikiawan atau tokoh terpandang. Ketika
Islam datang beberapa kebiasaan orang arab dihapuskan karena bertentangan dan tidak sesuai dengan
nilai-nilai keislaman (Ali, 2001:150).
Konsep keadilan menurut masyarakat jahiliyah
Adil adalah kesetaraan dan tidak berat sebelah. Syariat pada masyarakat
jahiliyah juga mewajibkan untuk terciptanya keadilan dengan memberikan suatu
hak kepada orang yang berhak. Dan keadilan merupakan tujuan akhir dalam
peradilan mereka. Hanya saja konsep tentang keadilan berbeda antara orang yang
satu dengan yang lain sebab berbedanya waktu dan tempat. Adakalanya suatu hukum
itu adil dipandang oleh suatu kaum tetapi batil atau dholim bagi penduduk yang
lain. Dan adakalanya suatu hukum itu adil dalam suatu konteks zaman tetapi
tidak adil di zaman yang lain. Hal tersebut bisa saja terjadi karena
aspek-aspek yang melatarbelakangi suatu perkara telah berubah dan berganti
sehingga hal yang mulanya dipandang adil berubah menjadi dholim bagi sebagian
orang. Dan dari sinilah Islam membatalkan sebagian hukum yang berlaku di zaman
jahiliyah, membersihkan sebagian yang lain serta menetapakan bagian yang
lainnya. Hal ini dikarenakan adanya aspek datangnya Islam dan berubahnya stigma
masyarakat arab terhadap konsep keadilan (Ali, 2001:156).
Konsep Hakim Bagi Masyarakat Arab Jahiliyyah
Hakim adalah pelaksana hukum di tengah masyarakat dan orang yang mencegah
terjadinya kedholiman. Setiap kabilah arab mempunyai hakim. Para hakim itu
terkenal dengan intelegensinya yang sangat tinggi, luasnya wawasan, keadilan
dan kemampuan mereka dalam menghilangkan kedholiman dan keteraniayaan. Bahkan
ada diantara para hakim di tanah arab yang namanya sangat terkenal sampai
keluar kabilah sehingga banyak anggota suku-suku lain yang bertahakkum /
melakukan peradilan pada hakim tersebut yang terkenal akan kejujuran dan keadilannya
dalan memutuskan perkara (Ali, 2001:307).
Hakim yang ada pada setiap suku tidak melulu harus seorang kepala suku.
Bisa saja seorang hakim adalah dari kalangan penduduk biasa namun mereka
terkenal di masyarakatnya sebagai sebagai orang jenius, berwawasan dan mengenal
seluk beluk sukunya dengan baik, hafal nasab dan hal lain-lainnya. Yang perlu
menjadi perhatian bahwa orang arab selalu menamakan hakim bagi orang-orang yang
bisa memecahkan permaslahan atau menyelesaikan sengketa. (Ali, 2001:308)
Hakim pada zaman jahiliyah itu ada beberapa tipe. Pertama adalah hakim yang
diangkat masyarakat karena dikaruniai beberapa kelebihan dan keistimewaan yang kemudian
masyarakat mencari solusi dengan meminta pemecahan masalah kepadanya. Hakim
tipe kedua adalah kuhhan, jamaknya kahin yaitu para dukun atau
peramal. Hakim tipe seperti ini adalah orang yang dijadikan sebagai sumber
rujukan dan istifta’ oleh para masyrakat jahiliyah dalam permasalahan
yang berkaitan dengan pepohonan, bebatuan, tempat-tempat keramat dan hal-hal
yang berbau takhayul lainnya. Hakim tipe ketiga yaitu ‘urraf. Hakim tipe
yang keempat adalah para fuqoha (juridis) dan mufti jahiliyah yang dijadikan
sebagai referensi dalam permasalahan keagamaan (Ali, 2001:308).
Diantara hakim zaman jahiliyah dahulu adalah : Aksam bin Shoifi bin Rayyah,
Hajib bin Zararah bin Adas, Al-Aqra’ bin Habis, Abu Uyayinah, Rabiah bin Makhosyin,
Dhomroh bin Abi Dhomroh yang berasal dari Bani Tamim. Sedangkan dari Bani Quraisy
ada Af’a bin Hasin, Uyainah bin Hashon, Abu Jahal bin Hisyam, Anas bin Mudrik, Hasyim
bin Abdi Manaf, Abdul Mutholib, Abu Tholib, Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah. Dan
hakim arab pertama yang tercatat dalam buku sejarah adalah Al-Af’a Al-Jahramy.
Kasus besar yang pernah ditanganinya adalah sengketa waris di bani Nazar bin
Ma’ad. (Ali, 2001:309-311).
Hakim Wanita Di Jazirah Arab
Walaupun dikenal sebagai masyarkat jahiliyah, ternyata
perdaban masyarakat arab telah mengenal hakim wanita. Para wanita zaman itu
bisa menempati kedudukan atau dianggap sebagai hakim karena mempunyai kemampuan
dalam menelurkan sebuah produk hukum, menyelesaikan pertikaian dan berpandangan
luas. Diantara para hakim wanita tersebut adalah Jum’ah binti Habis Al-Iyyadi,
Khisilah binti Amir bin Dorb Al-Udwany, Khadzam binti Ar-Rayyan dan Hindun
binti Al-Khossy Al-Iyyadiyah (Ali, 2001:311).
Contoh Kasus Peradilan Zaman Jahiliyyah
Nama Hakim
|
Kasus atau Produk Hukum
|
-
Amr bin Dharb Al-Udwany
-
Darz bin Khauth bin Abdullah At’Tha’i
|
-
Permasalah khunsa (wanita pria/ bencong)
|
-
Amir Bin Jasim Bin Ghanam Bin Habib
|
-
Anak perempuan sebagai ahli waris
|
-
Amir bin Dharb Al-Udwany
|
-
Orang pertama yang mencetuskan penyelesaian
hukum dengan undian memakai tongkat
-
Diyat dengan 100 ekor unta
|
-
Sofwan bin Umayyah bin Muhris Al-Kinany
|
-
Termasuk orang yang mengharamkan khamr atau
minuman keras dengan alasan untuk memulyakan dan menjaga kesehatan
|
-
Abdul Mutholib
|
-
Termasuk orang yang mengharamkan khamr, Zina
-
Memerintahkan meninggalkan kedholiman dan
berbuat curang
-
Menganjurkan berakhlak mulia dan memenuhi
janji
-
Mengharamkan pernikahan dengan mahram
-
Memotong tangan pencuri
|
-
Walid bin Mughirah
|
-
Memotong tangan pencuri
-
Qasamah/ Sumpah
|
-
Dzul Majasid Al-Yasykary
|
-
Orang pertama yang mencetuskan hak waris
anak perempuan dan memberikan bagian setengah dari laki-laki.
|
Sumber: Kitab Al-Mufasshol Fi Tarikhil Arab Qabla
Al-Islam
- Peradilan Zaman Rasulullah
Rasulullah Saw.
Adalah hakim pertama dalam Islam. Beliau menjadi hakim setelah menyampaikan risalahnya
atau setelah menjadi Rasul. Nabi bertindak menjadi hakim juga sebagai seorang
muballigh yang menyampaikan syariat Allah. Sedangkan pada waktu itu masyarakat
arab Islam belum mempunyai Hakim dan Nabi tidak menunjuknya (Ash-Shiddieqy,
2001:7).
Setelah Islam mulai tersebar ke seantereo arab maka Nabi Muhammad mulai
menentukan peradilan Islam yang pengelolaannya diserahkan kepada penguasa
daerah terkait. Dan adakalanya Nabi Muhammad secara langsung menunjuk seorang
sahabat untuk menjadi seorang hakim. Selain berfungsi sebagai hakim, orang yang
ditujuk oleh Nabi juga berkedudukan sebagai mufti dan muballigh. Mufti
berfungsi untuk memberikan fatwa bagi orang yang memerlukan, sedangkan
muballigh berfungsi untuk mengajarakan dan menyebarluaskan agama Islam
(Ash-Shiddieqy, 2001:8).
Para sahabat yang dikirim Rasulullah untuk menjadi hakim ke berbagai tempat
mendapatkan pendidikan peradilan secara langsung oleh Rasulullah. Pendidikan
yang pernah diterapkan antara lain dengan cara menguji intelegensia mereka
dalam memutuskan perkara. Kadangkala Nabi Muhammad menyuruh sahabat untuk
memutuskan perkara dihadapan beliau sendiri. Praktek inilah yang kemudian
dijadikan isyarat untuk melegitimasi antara kekuasaan Eksekutif dan Legislatif.
Diantara sahabat yang pernah bertindak sebagai hakim adalah Umar bin
Khattab, Ali Bin Thalib, Muadz bin Jabal dan yang lainnya. Peristiwa pengujian terhadap Muadz bin Jabal
dijadikan sebagai dasar olah para ulama’ dalam melegitimasi penggunaan akal
dengan metode ijtihad atau qiyas dalam memutuskan suatu kasus hukum
(Ash-Shiddieqy, 2001:9-10).
Dalam memutuskan perkara, Nabi Muhammad berpedoman kepada wahyu yang
diturunkan Allah kepada beliau. Selain itu Nabi Muhammad dibekali kemampuan
berijtihad untuk memutuskan perkara yang tidak disebutkan dalam wahyu.
Sedangkan alat pembuktian yang ada pada zaman Rasulullah adalah : Bayyinah
(Fakta/Bukti Formil & Materiil), sumpah, saksi, bukti tertulis, firasat dan
qur’ah (undian) (Ash-Shiddieqy, 2001:8).
Tidak seperti pada zaman sekarang, pada zaman Nabi Muhammad
tidak mengenal istilah penjara. Orang-orang yang melakukan pelanggaran terhadap
perundangan (syariat) Islam terkena hukuman sendiri semisal tidak dibiarkan
bercampur atau berinteraksi dengan orang lan. Mereka ditahan dalam rumah atau di
dalam Masjid. Kemudian ada juga yang diawasi oleh orang yang bersengketa atau
yang mewakili (Ash-Shiddieqy, 2001:11).
Daftar Pustaka
Al-Bouty, Muhammad Said Ramdhan. 1993. Fiqh As-Sirah Muhammad.
Beirut: Dar Al-Fikr.
Ali, Jawwad. 2001. Al-Mufasshol Fi Tarikhil Arab Qabla Al-Islam. Juz
10. Madinah: Dar As-Saqi.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Peradilan Dan Hukum Acara
Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.