Sejarah Peradilan Pada Permulaan Islam - Sang Pemburu Badai

Jumat, 30 September 2016

Sejarah Peradilan Pada Permulaan Islam

Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)



                  
  1. Peradilan Zaman Jahiliyah (Sebelum Datangnya Islam)
Keadaan Arab Sebelum Islam Datang
Pada zaman Jahiliyyah sebelum Nabi Muhammad lahir terdapat emapat kerajaan besar dan mempunyai pengaruh luas yang mengelilingi jazirah arab. Empat kerajaan tersebut adalah kerajaan Romawi,kerajaan Persia, Dinasti Hindi di India dan Kerajaan Yunani. Kerajaan Persia terkenal terkenal sebagai sumber khurafat atau khayalan keagamaan dengan berbagai filasafat yang berbeda-beda dan tak jarang berbenturan. Contohnya adalah aliran Zaradasytiyyah (Zoroaster) yang dianut oleh penguasa kerajaan Persia. Diantara ajarannya adalah mengutamakan pernikahan seorang pria dengan ibunya, anaknya atau saudaranya. Selain itu juga terdapat aliran filsafat Mazkiyyah yang berfaham bahwa wanita dan harta itu adalah milik bersama dan bisa dipergunakan untuk umum (Al-Bouty, 1993:19).
Sedangkan kerajaan romawi telah dirasuki oleh jiwa kolonialisme. Mereka mengandalkan kepada kekuatan militer dan ambisi kolonialismenya untuk menyebarkan agama nasrhani dan memenuhi syahwat mereka dalam menguasai dunia. Kebejatan mereka tidak kalah dibandingkan kerajaan Persia. Kehidupan dengan hedonisme dan keglamoran, kecurangan dalam transaksi ekonomi dan hukum, beratnya pajak merupakan contoh diantara bejatnya kelakuan dinasti ini.
Disisi lain ada kerajaan Yunani yang tenggelam dalam khurafat dan mitos-mitos verbal yang berkembang tanpa memberikan suatu hasil yang berfaedah. Dan kerajaan Hindi seperti yang diungkapkan oleh Abu Al-Hasan An-Nadwy adalah sebuah kerajaan yang pada saat itu sedang mengalami puncak kemerosotan baik dalam bidang agama, akhlak maupun kemasyarakatan. Kerajaan ini termasuk yang ikut andil besar dalam kerusakan moral dan sosial zaman itu (Al-Bouty, 1993:20).
Adapun jazirah arab pada waktu itu adalah daerah yang tenang, yang jauh dari hiruk pikuk dunia luar pada waku itu. Penduduknya tidak banyak terpengaruh dengan paham atau aliran yang berkembang di luar arab pada waktu itu. mereka juga tidak mempunyai kekuatan militer yang bisa menjadikan mereka seperti orang romawi. Mereka juga tidak menpunyai filasafat yang dapat mereka gunakan untuk membolak-balikkan akidah agama sesuai kehendak hati mereka.
Karakteristik dari orang arab pada waktu itu diumpamakan seperti inti atom yang tidak mudah melebur dengan zat apapun sehingga pandangan mereka seperti manusia yang suci fitrahnya. Mereka juga mempunyai kecenderungan yang kuat untuk menjadi manusia yang terpuji.  Hal ini bisa dilihat dalam perilaku mereka sebagai orang yang setia dalam memenuhi janji, menjunjung tinggi kemulyaan, harga diri dan kasing sayang (Al-Bouty, 1993:20-21).

Perundang-undangan Zaman Jahiliyyah
Seperti pada masyarakat hukum yang ada pada zaman sekarang, umat jahiliyah juga telah mengenal perundang-undangan yang kemudian dijadikan sebagai dasar dalam peradilan mereka. Produk Qowanin atau undang-undang yang mereka hasilkan berbeda antara wilayah yang satu dengan yang lainnya yang dipengaruhi oleh kebutuhan, daerah serta aspek-aspek yang lainnya. Ambillah contoh penduduk negeri Yaman telah memiliki perundangan dan peradilan yang lebih mapan dibandingkan daerah arab yang lainnya disebabkan negeri Yaman pada waktu itu telah berdiri mamlakah atau kerajaan disana. Sedangkan di kota Makkah dan Yatsrib sendiri legislasi atau usul taysri’ lebih didasarkan kepada tokoh adat atau tokoh suatu golongan (Ali, 2001:142).
Dikarenakan tidak adanya sistem peradilan yang terlegitimasi secara umum di seluruh penjuru daerah Arab, maka tentu saja tidak dapat diharapkan bisa menemukan suatu sistem peradilan atau lembaga-lembaga hukum yang mempunyai undang-undang yang terkodifikasi. Dengan ketiadaan tersebut maka tidak pula ada suatu kepastian hukum yang berfungsi untuk  menyelesaikan suatu sengketa (lil fashli fil khusumat). Begitu juga tidak akan ditemukan bentuk-bentuk hukuman yang baku bagi pelanggar suatu peraturan seperti yang bisa kita pada zaman sekarang ini. Walaupun orang-orang arab sebenarnya mengetahui diluar arab telah ada qowanin atau undang-undang yang terkodifikasi sepaperti kitab undang-undang Hamurabi dan Kitab undang-undang justinien (Institute de justinien/ mudawwanah justiniyah) ternyata undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan dalam masyarakat arab. Hal ini disebabkan karena sebuah perundangan hanya dapat diterapkan pada sebuah masyarakat politik yang terikat dalam suatu peraturan atau konsensus/kekuasaan (Ali, 2001:142).
Tidak adanya undang-undang yang terkodifikasi dalam sistem masyarakat arab bukan berarti menunjukkan tidak adanya hukum yang diterapkan kepada pelanggar peratutaran atau tidak adanya hukum yang mengatur hubungan sosial dalam suatu masyarakat atau yang menentukan hak-hak para hakim dan terdakwa.  Hal tersebut juga tidak menunjukkan bahwa di jazirah arab pada waktu itu tidak ada seorang ahli tata negara. Peraturan atau perundangan yang diterapkan dalam masyrakat arab pada waktu itu lebih banyak bersumber kepada ‘urf dan kebiasaan yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Walaupun masyarakat seperti ini tidak memiliki sebuah peradilan dengan pegawai, pencatatan serta perundangan yang terkodifikasi seperti pada masa sekarang akan tetapi secara subtansinya mereka telah memiliki lembaga peradilan (Mahakim) dan pengadil (Hakim) (Ali, 2001:143).
Peradilan bukanlah suatu pekerjaan resmi bagi orang arab seperti yang kita lihat pada waktu sekarang. Hakim pada waktu itu bukanlah seorang pegawai negara yang mempunyai kekuatan yuridis dan keputusunnya tidak bersifat memaksa. Masyrakat jahiliyah yang mempunyai kasus boleh mengajukan atau tidak mengajukan kasusnya yang dia hadapi kepada seorang hakim (Ali, 2001:308).
Kota-kota di Jazirah Arab seperti kota Makkah dan Kota Yastrib mempunyai kemandirian dalam penerapan hukumnya. Mereka membentuk dan melaksanakan hukumnya tanpa ada pengaruh dari luar daerah. Produk-produk hukum mereka disebut dengan hukumat mudun. Sedangkan yang membuat dan menelurkan produk hukum tersebut adalah para pimpinan dan tokoh terpandang di kota tersebut. Mereka menyelesaikan perselisihan dengan bertendensi kepada ‘urf dan adat. Sedangkan tempat terjadinya peradilan juga berada di tempat tertentu sepeti Darun Nadwah atau di tempat ibadah atau di rumah seorang tokoh masyarakat. Adapun ketika terjadi sengketa dengan suatu golongan atau bangsa lain maka penyelesaiannya adalah dengan cara berlindung pada peradilan dari luar golongan mereka yang telah dipekati oleh para pimpinan dari kedua pihak yang berselisih. Selain itu juga ada ketentuan bahwa pengadil dalam peradilan tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan kasus ini. Keputusan hakim atau pengadil yang telah diketuk palu harus ditaati oleh kedua pihak (Ali, 2001:143).
Maka ketika kita ingin menyimpulkan tentang sumber hukum yang ada pada zaman jahiliyah atau sebelum adanya rasul akan didapatkan hasil bahwa sumber hukm pada zaman jahiliyah bersumber pada 4 hal, yaitu : ‘Urf, Agama (warisan nenek moyang), Ketetapan seorang pemimpin dan yang terakhir adalah pandangan para cendikiawan atau tokoh terpandang. Ketika Islam datang beberapa kebiasaan orang arab dihapuskan karena bertentangan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman (Ali, 2001:150).

Konsep keadilan menurut masyarakat jahiliyah
Adil adalah kesetaraan dan tidak berat sebelah. Syariat pada masyarakat jahiliyah juga mewajibkan untuk terciptanya keadilan dengan memberikan suatu hak kepada orang yang berhak. Dan keadilan merupakan tujuan akhir dalam peradilan mereka. Hanya saja konsep tentang keadilan berbeda antara orang yang satu dengan yang lain sebab berbedanya waktu dan tempat. Adakalanya suatu hukum itu adil dipandang oleh suatu kaum tetapi batil atau dholim bagi penduduk yang lain. Dan adakalanya suatu hukum itu adil dalam suatu konteks zaman tetapi tidak adil di zaman yang lain. Hal tersebut bisa saja terjadi karena aspek-aspek yang melatarbelakangi suatu perkara telah berubah dan berganti sehingga hal yang mulanya dipandang adil berubah menjadi dholim bagi sebagian orang. Dan dari sinilah Islam membatalkan sebagian hukum yang berlaku di zaman jahiliyah, membersihkan sebagian yang lain serta menetapakan bagian yang lainnya. Hal ini dikarenakan adanya aspek datangnya Islam dan berubahnya stigma masyarakat arab terhadap konsep keadilan (Ali, 2001:156).

Konsep Hakim Bagi Masyarakat Arab Jahiliyyah
Hakim adalah pelaksana hukum di tengah masyarakat dan orang yang mencegah terjadinya kedholiman. Setiap kabilah arab mempunyai hakim. Para hakim itu terkenal dengan intelegensinya yang sangat tinggi, luasnya wawasan, keadilan dan kemampuan mereka dalam menghilangkan kedholiman dan keteraniayaan. Bahkan ada diantara para hakim di tanah arab yang namanya sangat terkenal sampai keluar kabilah sehingga banyak anggota suku-suku lain yang bertahakkum / melakukan peradilan pada hakim tersebut yang terkenal akan kejujuran dan keadilannya dalan memutuskan perkara (Ali, 2001:307).
Hakim yang ada pada setiap suku tidak melulu harus seorang kepala suku. Bisa saja seorang hakim adalah dari kalangan penduduk biasa namun mereka terkenal di masyarakatnya sebagai sebagai orang jenius, berwawasan dan mengenal seluk beluk sukunya dengan baik, hafal nasab dan hal lain-lainnya. Yang perlu menjadi perhatian bahwa orang arab selalu menamakan hakim bagi orang-orang yang bisa memecahkan permaslahan atau menyelesaikan sengketa. (Ali, 2001:308)
Hakim pada zaman jahiliyah itu ada beberapa tipe. Pertama adalah hakim yang diangkat masyarakat karena dikaruniai beberapa kelebihan dan keistimewaan yang kemudian masyarakat mencari solusi dengan meminta pemecahan masalah kepadanya. Hakim tipe kedua adalah kuhhan, jamaknya kahin yaitu para dukun atau peramal. Hakim tipe seperti ini adalah orang yang dijadikan sebagai sumber rujukan dan istifta’ oleh para masyrakat jahiliyah dalam permasalahan yang berkaitan dengan pepohonan, bebatuan, tempat-tempat keramat dan hal-hal yang berbau takhayul lainnya. Hakim tipe ketiga yaitu ‘urraf. Hakim tipe yang keempat adalah para fuqoha (juridis) dan mufti jahiliyah yang dijadikan sebagai referensi dalam permasalahan keagamaan (Ali, 2001:308).
Diantara hakim zaman jahiliyah dahulu adalah : Aksam bin Shoifi bin Rayyah, Hajib bin Zararah bin Adas, Al-Aqra’ bin Habis, Abu Uyayinah, Rabiah bin Makhosyin, Dhomroh bin Abi Dhomroh yang berasal dari Bani Tamim. Sedangkan dari Bani Quraisy ada Af’a bin Hasin, Uyainah bin Hashon, Abu Jahal bin Hisyam, Anas bin Mudrik, Hasyim bin Abdi Manaf, Abdul Mutholib, Abu Tholib, Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah. Dan hakim arab pertama yang tercatat dalam buku sejarah adalah Al-Af’a Al-Jahramy. Kasus besar yang pernah ditanganinya adalah sengketa waris di bani Nazar bin Ma’ad. (Ali, 2001:309-311).

Hakim Wanita Di Jazirah Arab
Walaupun dikenal sebagai masyarkat jahiliyah, ternyata perdaban masyarakat arab telah mengenal hakim wanita. Para wanita zaman itu bisa menempati kedudukan atau dianggap sebagai hakim karena mempunyai kemampuan dalam menelurkan sebuah produk hukum, menyelesaikan pertikaian dan berpandangan luas. Diantara para hakim wanita tersebut adalah Jum’ah binti Habis Al-Iyyadi, Khisilah binti Amir bin Dorb Al-Udwany, Khadzam binti Ar-Rayyan dan Hindun binti Al-Khossy Al-Iyyadiyah (Ali, 2001:311).

 Contoh Kasus Peradilan Zaman Jahiliyyah
Nama Hakim
Kasus atau Produk Hukum
-          Amr bin Dharb Al-Udwany
-          Darz bin Khauth bin Abdullah At’Tha’i

-          Permasalah khunsa (wanita pria/ bencong)
-          Amir Bin Jasim Bin Ghanam Bin Habib
-          Anak perempuan sebagai ahli waris

-          Amir bin Dharb Al-Udwany
-          Orang pertama yang mencetuskan penyelesaian hukum dengan undian memakai tongkat
-          Diyat dengan 100 ekor unta
-          Sofwan bin Umayyah bin Muhris Al-Kinany
-          Termasuk orang yang mengharamkan khamr atau minuman keras dengan alasan untuk memulyakan dan menjaga kesehatan
-          Abdul Mutholib

-          Termasuk orang yang mengharamkan khamr, Zina
-          Memerintahkan meninggalkan kedholiman dan berbuat curang
-          Menganjurkan berakhlak mulia dan memenuhi janji
-          Mengharamkan pernikahan dengan mahram
-          Memotong tangan pencuri
-          Walid bin Mughirah
-          Memotong tangan pencuri
-          Qasamah/ Sumpah
-          Dzul Majasid Al-Yasykary
-          Orang pertama yang mencetuskan hak waris anak perempuan dan memberikan bagian setengah dari laki-laki.
Sumber: Kitab Al-Mufasshol Fi Tarikhil Arab Qabla Al-Islam


  1. Peradilan Zaman Rasulullah
Rasulullah Saw. Adalah hakim pertama dalam Islam. Beliau menjadi hakim setelah menyampaikan risalahnya atau setelah menjadi Rasul. Nabi bertindak menjadi hakim juga sebagai seorang muballigh yang menyampaikan syariat Allah. Sedangkan pada waktu itu masyarakat arab Islam belum mempunyai Hakim dan Nabi tidak menunjuknya (Ash-Shiddieqy, 2001:7).
Setelah Islam mulai tersebar ke seantereo arab maka Nabi Muhammad mulai menentukan peradilan Islam yang pengelolaannya diserahkan kepada penguasa daerah terkait. Dan adakalanya Nabi Muhammad secara langsung menunjuk seorang sahabat untuk menjadi seorang hakim. Selain berfungsi sebagai hakim, orang yang ditujuk oleh Nabi juga berkedudukan sebagai mufti dan muballigh. Mufti berfungsi untuk memberikan fatwa bagi orang yang memerlukan, sedangkan muballigh berfungsi untuk mengajarakan dan menyebarluaskan agama Islam (Ash-Shiddieqy, 2001:8).
Para sahabat yang dikirim Rasulullah untuk menjadi hakim ke berbagai tempat mendapatkan pendidikan peradilan secara langsung oleh Rasulullah. Pendidikan yang pernah diterapkan antara lain dengan cara menguji intelegensia mereka dalam memutuskan perkara. Kadangkala Nabi Muhammad menyuruh sahabat untuk memutuskan perkara dihadapan beliau sendiri. Praktek inilah yang kemudian dijadikan isyarat untuk melegitimasi antara kekuasaan Eksekutif dan Legislatif.
Diantara sahabat yang pernah bertindak sebagai hakim adalah Umar bin Khattab, Ali Bin Thalib, Muadz bin Jabal dan yang lainnya.  Peristiwa pengujian terhadap Muadz bin Jabal dijadikan sebagai dasar olah para ulama’ dalam melegitimasi penggunaan akal dengan metode ijtihad atau qiyas dalam memutuskan suatu kasus hukum (Ash-Shiddieqy, 2001:9-10).
Dalam memutuskan perkara, Nabi Muhammad berpedoman kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada beliau. Selain itu Nabi Muhammad dibekali kemampuan berijtihad untuk memutuskan perkara yang tidak disebutkan dalam wahyu. Sedangkan alat pembuktian yang ada pada zaman Rasulullah adalah : Bayyinah (Fakta/Bukti Formil & Materiil), sumpah, saksi, bukti tertulis, firasat dan qur’ah (undian) (Ash-Shiddieqy, 2001:8).
Tidak seperti pada zaman sekarang, pada zaman Nabi Muhammad tidak mengenal istilah penjara. Orang-orang yang melakukan pelanggaran terhadap perundangan (syariat) Islam terkena hukuman sendiri semisal tidak dibiarkan bercampur atau berinteraksi dengan orang lan. Mereka ditahan dalam rumah atau di dalam Masjid. Kemudian ada juga yang diawasi oleh orang yang bersengketa atau yang mewakili (Ash-Shiddieqy, 2001:11).



Daftar Pustaka

Al-Bouty, Muhammad Said Ramdhan. 1993. Fiqh As-Sirah Muhammad. Beirut: Dar Al-Fikr.
Ali, Jawwad. 2001. Al-Mufasshol Fi Tarikhil Arab Qabla Al-Islam. Juz 10. Madinah: Dar As-Saqi.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Peradilan Dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.