Asal Usul Anak Dalam Perspektif Islam, Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan - Sang Pemburu Badai

Sabtu, 30 Juli 2016

Asal Usul Anak Dalam Perspektif Islam, Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)
 
BAB I
Pendahuluan

Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum perkawinan islam. Dalam islam anak adalah anak yang dilahirkan yang tercipta melalui ciptaan Allah dengan perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Didalam Al-Qur’an, anak sering disebutkan dengan kata walad-awlad yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya, laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil, tunggal maupun banyak. Karena jika anak belum lahir belum dapat disebut al-walad atau al-mawlud, tetapi di sebut al-janin yang berarti al-mastur (tertutup) dan al-khafy (tersembunyi) di dalam rahim ibu.
Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara  ayah dan ibunya. Dan sahnya seorang anak didalam islam adalah menentukan apakah ada atau tidak hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki.
Dalam hal hubungan nasab dengan bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan oleh perkawinan yang dengan nama Allah disucikan. Dalam hukum islam ada kettentuann batasan kelahirannya, yaitu batas minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya adalah 6 (enam) bulan.
Anak sebagai amanah Allah, maka orang tuanya bertanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi keperluanya sampai dewasa. Sedangkan menurut hukum perkawinan islam anak baru dianggap sah mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya bila perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya minimal enam bulan dari perkawinan resminya. Diluar ketentuan itu adalah anak dianggap sebagai anak tidak sah atau zina.


BAB II
Kedudukan Anak Dalam Pernikahan

A.     Kedudukan Anak Dalam Fiqih
Di dalam fiqih tidak ada yang mengatur tentang  ketentuan khusus tentang keduduka anak dalam ikatan perkawinan, namaun dari tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk memenuhi perintah Allah da memperoleh keturunan yang sah, maka yang dikatakan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari akad dan nikah yang sah, islam menghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat tetangga, dilarang terjadinya perkawinan diam diam (kawin gelap) dan setiap anak harus kenal siapa bapak dan ibunya (Wasman & Nuroniyah, 2011: 244).
Nasab anak dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat al-Azhab ayat 5 :
öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øŠs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JŠÏm§ ÇÎÈ  
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
            Ayat tersebut berhubungan denga ayat sebelumnya yang mentukan bahwa anak dengan jalan adopsi tidak dapat dibenarkar, sebab dapat berakibat keluarnya seorang dari garis keturunan ayah kandungnya dan masuknya terhadap orang yang mengangkatnya. Dari  ayat 5 surat al Ahzab tersebut kita peroleh bahwa anak selalu bernasab kepada ayahnya secara jelas
            Hukum islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan anak adalah sah, apabila pada permulaan terjadinya kehamilan antara ibu anak dan laki laki  yang menyebabkan terjadinya kehamilan terjalin perkawinan yang sah, untuk mengetahui secara hukum , apakah anak dalam kandungan berasala dari suami ibu atau bukan, maka ditentukan masa kehamilanya, masa yang terpendek adalah 6 bula dan masa yang terpanjang adalah satu tahun, dengan demikian , apabila seorang perempuan melahirkan dalam suatu perkawinan yang sah dengan seorang laki laki  tetapi jarak waktu antara terjadinya perkawinan dengan saat melahirkan kurang dari enam bulan maka anak yang dilahirkannya bukan anak yang sah bagi suami ibunya (Wasman & Nuroniyah, 2011: 244).

B.     Kedudukan Anak Dalam Perundangan
1.        Anak Hasil Zina
Menurut KUH Perdata anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinana memperoleh nasab dari ayahnya, (pasal 250). Sahnya anak sebelum dilahirka sebelum hari keseratus delapan puluh enam (6 bulan) dari perkawinan, dapat diingkari oleh suami (pasal 251). Anak diluar kawin, kecuali yang dilahirkan melalui perzinanaan  atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka. Apabila sebelum perkawinan mereka mengaku secara sah terhadap terhadap anak itu.
Menurut UU no.1/1974 dikatakan, ‘Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinanan yang sah, (pasal 42), Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja dan keluarga ibunya (pasal 42/1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yag dilahirkan oleh istrinya, apabila ia dapat membuktikan bahwa strinya berzina dan anak itu hasl dari perzinaan tersebut (pasal 44/1) (Wasman & Nuroniyah, 2011: 241).
Jadi didalam KUH Perdata anak yang lahir atau dibesarkan selama perkawinan, walaupun anak itu aak dari benih orang lain adalah anak dari suami dan istrinya yang terikat dalam sebuah perkawinan. Sedangkan dalam UU no, 1/1974 anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai perkawinan yag sah. Jadi apabila wanita yag mengandung anak karena berbuat zina maka , apabila wanita tersebut menikah dengan laki laki lain meskipun itu benih dari orang lain, dan wanita tersebut nikah dengan cara yang sah maka anak itu adalah aak yag sah dari perkawinan dengan laki laki tersebut (wasman & nuroniyah, 2011: 241).
Akan tetapi didalam KUH Perdata dijelaskan bahwa anak dari hasil zina hanya mempunyai nasab dengan ibu dan keluarga ibunya saja, tanpa ada nasab dari ayahnya, sehingga suatu ketika dala pembagian waris anak tersebut tidak mendapat hak waris dari ayahnya karena tidak mempunyai nasab dengan ayahnya,  didalam KUH Perdata dilarang menyelidiki siapa bapak dari anak tersebut (pasal 287), sedangkan menyelidiki siapa ibu dari anak tersebut diperbolehka (pasal 288).  Dan didalam UU no, 1/1974 tidak menyebutkan tidak boleh menyelidiki siapa sibapak dari anak tersebut .
Pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan Yang sah.
Pasal 43:
                                1.     Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dg ibunya dan keluarga ibunya.
                                2.     Kedudukan anak tersebut ayat (1)  selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 44:
                                1.     Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yg dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut .
                                2.     Pengadilan memberikan keputusan  tentang sah tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan.
Dalam kompilasi ditegaskan  dan dirinci, apa yang diatur dalam undang-undang perkawinan
Pasal 99: anak yang sah adalah
                                1.     Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
                                2.     Hasil pembuahan suami istri  yang sah  di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut
Pasal 100: anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai  hubungan nasab  dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101: seorang suami yang mengingkari sahnya anak , sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an (Wasman & Nuroniyah, 2011: 243).

2.        Anak Hasil Li’an
Kompilasi  menjelaskan tentang  li’an dalam  pasal 125, 126, 127, 128
Pasal  125:  Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami  istri untuk selama-lamanya.
Pasal 126: Li’an terjadi  karena suami menuduh  istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah  lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Pasal 27: tata cara li’an sebagai berikut
a.    Suami bersumpah empat kali  dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “ Laknat allah atas dirinya apabila tuduhan  dan pengingkaran tersebut dusta.
b.    Istri menolak tuduhan  dan  atau pengingkaran tersebut  dengn sumpah empat kali denan kata tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti sumpah  kelima dengan kata-kata murka allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran itu benar.
c.    Tata cara pada huruf a dan b  tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
d.    Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huuf b maka dianggap tidak terjadi lian.
e.    Li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang pengadilan agama.
Akan halnya  status anak li’an , adalah sama dengan  status anak zina, ia hanya dinasabkan  kepada ibu  dan keluarga ibunya saja.
3.        Anak Hasil Nikah Siri
Hukum positif di Indinesia membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah didasarkan atas adanya pekawinan perkawinan yang sah, dalam arti bahwa yang satu adalah keturunan yang lain berdasarkan kelahiran dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak-anak yang demikian disebut anak sah. Sedangkan keturunan yang tidak sah adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah, orang menyebut anaka yang demikian ini adalah anak luar kawin.
Tidak semua anak yang lahir diluar suatu ikatan perkawinan yang sah, boleh diakui. Jadi ada anak luar kawin yang tertentu yang tidak boleh diakui. Menurut Burgerlijk Wetboek ada dua macam anak luar kawin yaitu:
1)   Anak luar kawin yang dapat diakui
2)   Anak luar kiawin yang tidak dapat diakui
Anak luar kawin yang tidak diakui tidak akan menimbulkan akibat hukum dalam pewarisan, karena anak luar kawin yang tidak diakui baik oleh ibunya maupun oleh bapaknya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Sedangkan anak luar kawin yang diakui sah baik oleh ibunya maupun oleh bapaknya atau oleh kedua-duanya akan menimbulkan akibat hokum oleh pewarisan. Dengan adanya pengakuan tersebut akan mengakibatkan timbulya hubungan perdata antara anak luar kawin yang diakui dengan orangtua  yang mengakuinya.
Menurut Riduan Syahrani dalam bukunya “seluk beluk dan asas-asas hukum perdata”, bahwa anak  yang dilahirkan diluar perkawian yang sah adalah bukan anak yang sah, sehingga membawa konsekwensi dalam bidang pewarisan. Sebab anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, Undang-Undang perkawinan didalam pasal 55 menegaskan:
                           1.     Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktian dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
                           2.     Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
                           3.     Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Didalam pasal-pasal diatas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah adalah anak yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan:
a.    Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah.
b.    Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Dalam kompilasi hukum islam asal-usul anak diatur dalam pasal 99, pasal 100, pasal 101, pasal 102 dan pasal 103.
Pasal 99: Anak sah adalah:
a.    Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b.    Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Pasal 100: anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101 dan 102 menyangkut keadaan suami yang mengingkari sahnya anak dan proses yang harus ditempuhnya jika ia menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya.
Pasal 101: seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.
Pasal 102:
                                1.     Suami yang akan mengingkari pengadilan agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada ditempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada pengadilan agama.
                                2.     Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau  waktu tersebut tidak dapat diterima.
Pasal 103:
                                1.     Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
                                2.     Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
                                3.     Atas dasar ketetapan pengadilan agama tersebut ayat (2) maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan agama tersebut yang mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Kemudian dalam pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa: “Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Salah satu hal penting yang melekat pada diri anak adalah akta kelahiran. Akta kelahiran menjadi isu global dan sangat asasi karena menyangkut identitas diri dan  status kewarganegaran. Disamping itu akta kelahiran merupakan hak identitas seseorang sebagai perwujudan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akta kelahiran bersifat universal, karena hal ini terkait dengan pengakuan Negara atas status keperdataan seseorang. Selain itu jika seorang anak manusia yang lahir kemudian identitasnya tidak terdaftar, kelak akan menghadapi berbagai masalah yang akan berakibat pada Negara, pemerintah dan masyarakat. Dalam perspektif KHA, Negara harus memberikan pemenuhan hak dasar kepada setiap anak, dan terjaminya perlindungan atas keberlangsungan, tumbuh kembang anak.
Posisi anak dalam konnstitusi UUD 1945, terdapat dalam pasal 28 B ayat 2 yaitu: “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Hak-hak anak diberbagai Undang-Undang antara lain Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan anak, jelas menyatakan akta kelahiran menjadi hak  anak dan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya. Selain itu dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002, pasal 7 (ayat 1) disebutkan “setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan dasuh oleh orang tuanya sendiri.”
Akibat Hukum Nikah Siri Terhadap Kedudukan anak adalah berkurangnya nikah siri di masyarakat. Akibat Hukum Terhadap Anak Sebelum adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010
a.       Hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya
b.      Tidak dapat mengurus akta kelahiran
c.       Tidak mendapatkan hak waris dari ayah
Sesudah adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya selama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.






BAB III
Penutup


Alhamdulillahirabbil‘alamin, berkat usaha keras bersama dari teman-teman satu kelompok, tugas pembuatan makalah ini dapat selesai dengan tanpa ada halangan suatu apapun. Tentunya dalam pembuatan Makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Dari itu, kami memohon dengan sangat kepada ibu Dosen dan teman-teman pembaca untuk selalu membimbing kami agar Makalah kami menjadi lebih baik lagi.
            Demikian ada kurang dan lebihnya, atas nama segenap anggota kelompok senantiasa mohon ma'af yang sebesar-besarnya. Dan  akhirnya semoga Makalah ini selalu membawa kemanfaatan bagi  kita semua . Amin.










Daftar Pustaka

-. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Surabaya: Kesindo Utama.
Departemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Wasman & Nuroniyah Wardah, 2011. Hukum perkawinan Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Teras.
http://yuyantilalata.blogspot.com/2013/02/akibat-hukum-nikah-siri-terhadap.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.