Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)
BAB I
Pendahuluan
Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan
merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut
hukum perkawinan islam. Dalam islam anak adalah anak yang dilahirkan yang
tercipta melalui ciptaan Allah dengan perkawinan seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Didalam Al-Qur’an, anak sering disebutkan dengan kata walad-awlad
yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya, laki-laki maupun perempuan,
besar atau kecil, tunggal maupun banyak. Karena jika anak belum lahir belum
dapat disebut al-walad atau al-mawlud, tetapi di sebut al-janin yang berarti
al-mastur (tertutup) dan al-khafy (tersembunyi) di dalam rahim ibu.
Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap
lahir dari perkawinan yang sah antara
ayah dan ibunya. Dan sahnya seorang anak didalam islam adalah menentukan
apakah ada atau tidak hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki.
Dalam hal hubungan nasab dengan bapaknya tidak
ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan oleh
perkawinan yang dengan nama Allah disucikan. Dalam hukum islam ada kettentuann
batasan kelahirannya, yaitu batas minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya
adalah 6 (enam) bulan.
Anak sebagai amanah Allah, maka orang tuanya
bertanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi keperluanya sampai
dewasa. Sedangkan menurut hukum perkawinan islam anak baru dianggap sah
mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya bila perkawinan wanita hamil yang usia
kandungannya minimal enam bulan dari perkawinan resminya. Diluar ketentuan itu
adalah anak dianggap sebagai anak tidak sah atau zina.
BAB II
Kedudukan Anak Dalam Pernikahan
A. Kedudukan Anak Dalam Fiqih
Di dalam fiqih tidak ada yang mengatur
tentang ketentuan khusus tentang
keduduka anak dalam ikatan perkawinan, namaun dari tujuan perkawinan dalam
islam adalah untuk memenuhi perintah Allah da memperoleh keturunan yang sah,
maka yang dikatakan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari akad dan nikah
yang sah, islam menghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui
sanak kerabat tetangga, dilarang terjadinya perkawinan diam diam (kawin gelap)
dan setiap anak harus kenal siapa bapak dan ibunya (Wasman & Nuroniyah,
2011: 244).
Nasab anak dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat
al-Azhab ayat 5 :
öNèdqãã÷$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JÏm§ ÇÎÈ
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat
tersebut berhubungan denga ayat sebelumnya yang mentukan bahwa anak dengan
jalan adopsi tidak dapat dibenarkar, sebab dapat berakibat keluarnya seorang
dari garis keturunan ayah kandungnya dan masuknya terhadap orang yang
mengangkatnya. Dari ayat 5 surat al
Ahzab tersebut kita peroleh bahwa anak selalu bernasab kepada ayahnya secara
jelas
Hukum
islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan anak adalah sah, apabila pada
permulaan terjadinya kehamilan antara ibu anak dan laki laki yang menyebabkan terjadinya kehamilan
terjalin perkawinan yang sah, untuk mengetahui secara hukum , apakah anak dalam
kandungan berasala dari suami ibu atau bukan, maka ditentukan masa kehamilanya,
masa yang terpendek adalah 6 bula dan masa yang terpanjang adalah satu tahun,
dengan demikian , apabila seorang perempuan melahirkan dalam suatu perkawinan
yang sah dengan seorang laki laki tetapi
jarak waktu antara terjadinya perkawinan dengan saat melahirkan kurang dari
enam bulan maka anak yang dilahirkannya bukan anak yang sah bagi suami ibunya
(Wasman & Nuroniyah, 2011: 244).
B. Kedudukan Anak Dalam Perundangan
1.
Anak Hasil Zina
Menurut KUH Perdata anak yang dilahirkan atau
dibesarkan selama perkawinana memperoleh nasab dari ayahnya, (pasal 250).
Sahnya anak sebelum dilahirka sebelum hari keseratus delapan puluh enam (6
bulan) dari perkawinan, dapat diingkari oleh suami (pasal 251). Anak diluar
kawin, kecuali yang dilahirkan melalui perzinanaan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan
yang menyusul dari ayah dan ibu mereka. Apabila sebelum perkawinan mereka
mengaku secara sah terhadap terhadap anak itu.
Menurut UU no.1/1974 dikatakan, ‘Anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinanan yang sah,
(pasal 42), Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya saja dan keluarga ibunya (pasal 42/1). Seorang suami
dapat menyangkal sahnya anak yag dilahirkan oleh istrinya, apabila ia dapat
membuktikan bahwa strinya berzina dan anak itu hasl dari perzinaan tersebut
(pasal 44/1) (Wasman & Nuroniyah, 2011: 241).
Jadi didalam KUH Perdata anak yang lahir atau
dibesarkan selama perkawinan, walaupun anak itu aak dari benih orang lain
adalah anak dari suami dan istrinya yang terikat dalam sebuah perkawinan.
Sedangkan dalam UU no, 1/1974 anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau
sebagai perkawinan yag sah. Jadi apabila wanita yag mengandung anak karena
berbuat zina maka , apabila wanita tersebut menikah dengan laki laki lain
meskipun itu benih dari orang lain, dan wanita tersebut nikah dengan cara yang
sah maka anak itu adalah aak yag sah dari perkawinan dengan laki laki tersebut
(wasman & nuroniyah, 2011: 241).
Akan tetapi didalam KUH Perdata dijelaskan
bahwa anak dari hasil zina hanya mempunyai nasab dengan ibu dan keluarga ibunya
saja, tanpa ada nasab dari ayahnya, sehingga suatu ketika dala pembagian waris
anak tersebut tidak mendapat hak waris dari ayahnya karena tidak mempunyai
nasab dengan ayahnya, didalam KUH
Perdata dilarang menyelidiki siapa bapak dari anak tersebut (pasal 287),
sedangkan menyelidiki siapa ibu dari anak tersebut diperbolehka (pasal 288). Dan didalam UU no, 1/1974 tidak menyebutkan
tidak boleh menyelidiki siapa sibapak dari anak tersebut .
Pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan Yang sah.
Pasal 43:
1. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dg
ibunya dan keluarga ibunya.
2. Kedudukan anak tersebut ayat (1)
selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 44:
1. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yg dilahirkan oleh isterinya
bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat
dari perzinaan tersebut .
2. Pengadilan memberikan keputusan
tentang sah tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan.
Dalam kompilasi ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam undang-undang
perkawinan
Pasal 99: anak yang sah adalah
1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
2. Hasil pembuahan suami istri yang
sah di luar rahim dan dilahirkan oleh
istri tersebut
Pasal 100: anak yang lahir diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101: seorang suami yang mengingkari
sahnya anak , sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan
pengingkarannya dengan li’an (Wasman & Nuroniyah, 2011: 243).
2.
Anak Hasil Li’an
Kompilasi
menjelaskan tentang li’an
dalam pasal 125, 126, 127, 128
Pasal
125: Li’an menyebabkan putusnya
perkawinan antara suami istri untuk
selama-lamanya.
Pasal 126: Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak
dalam kandungan atau yang sudah lahir
dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Pasal 27: tata cara li’an sebagai berikut
a.
Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau
pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “ Laknat
allah atas dirinya apabila tuduhan dan
pengingkaran tersebut dusta.
b.
Istri menolak tuduhan dan
atau pengingkaran tersebut dengn
sumpah empat kali denan kata tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar,
diikuti sumpah kelima dengan kata-kata
murka allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran itu benar.
c.
Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan.
d.
Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan
tata cara huuf b maka dianggap tidak terjadi lian.
e.
Li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan
sidang pengadilan agama.
Akan halnya
status anak li’an , adalah sama dengan
status anak zina, ia hanya dinasabkan
kepada ibu dan keluarga ibunya
saja.
3.
Anak Hasil Nikah Siri
Hukum positif di Indinesia membedakan antara
keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah didasarkan
atas adanya pekawinan perkawinan yang sah, dalam arti bahwa yang satu adalah
keturunan yang lain berdasarkan kelahiran dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah, anak-anak yang demikian disebut anak sah. Sedangkan keturunan yang
tidak sah adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang
sah, orang menyebut anaka yang demikian ini adalah anak luar kawin.
Tidak semua anak yang lahir diluar suatu
ikatan perkawinan yang sah, boleh diakui. Jadi ada anak luar kawin yang
tertentu yang tidak boleh diakui. Menurut Burgerlijk Wetboek ada dua macam anak
luar kawin yaitu:
1)
Anak luar kawin yang dapat diakui
2)
Anak luar kiawin yang tidak dapat diakui
Anak luar kawin yang tidak diakui tidak akan
menimbulkan akibat hukum dalam pewarisan, karena anak luar kawin yang tidak
diakui baik oleh ibunya maupun oleh bapaknya tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang tuanya. Sedangkan anak luar kawin yang diakui sah baik oleh
ibunya maupun oleh bapaknya atau oleh kedua-duanya akan menimbulkan akibat
hokum oleh pewarisan. Dengan adanya pengakuan tersebut akan mengakibatkan
timbulya hubungan perdata antara anak luar kawin yang diakui dengan
orangtua yang mengakuinya.
Menurut Riduan Syahrani dalam bukunya “seluk
beluk dan asas-asas hukum perdata”, bahwa anak
yang dilahirkan diluar perkawian yang sah adalah bukan anak yang sah,
sehingga membawa konsekwensi dalam bidang pewarisan. Sebab anak yang dilahirkan
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.
Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak,
Undang-Undang perkawinan didalam pasal 55 menegaskan:
1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktian dengan akta kelahiran yang
otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2. Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka
pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3. Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi
pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan
mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Didalam pasal-pasal diatas ada beberapa hal
yang diatur. Pertama, anak sah adalah anak yang lahir dalam dan akibat
perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan:
a.
Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah.
b.
Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Dalam kompilasi hukum islam asal-usul anak
diatur dalam pasal 99, pasal 100, pasal 101, pasal 102 dan pasal 103.
Pasal 99: Anak sah adalah:
a.
Anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah.
b.
Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar
rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Pasal 100: anak yang lahir diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101 dan 102 menyangkut keadaan suami
yang mengingkari sahnya anak dan proses yang harus ditempuhnya jika ia
menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya.
Pasal 101: seorang suami yang mengingkari
sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya
dengan li’an.
Pasal 102:
1. Suami yang akan mengingkari pengadilan agama dalam jangka waktu 180 hari
sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah
suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada ditempat yang
memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada pengadilan agama.
2. Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau
waktu tersebut tidak dapat diterima.
Pasal 103:
1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau
alat bukti lainnya.
2. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak
ada, maka pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul
seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti
yang sah.
3. Atas dasar ketetapan pengadilan agama tersebut ayat (2) maka instansi
pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan agama tersebut yang
mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Kemudian dalam pasal 250 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata mengatakan bahwa: “Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan
sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Salah satu hal penting yang melekat pada diri
anak adalah akta kelahiran. Akta kelahiran menjadi isu global dan sangat asasi
karena menyangkut identitas diri dan
status kewarganegaran. Disamping itu akta kelahiran merupakan hak
identitas seseorang sebagai perwujudan Konvensi Hak Anak (KHA) dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akta kelahiran
bersifat universal, karena hal ini terkait dengan pengakuan Negara atas status
keperdataan seseorang. Selain itu jika seorang anak manusia yang lahir kemudian
identitasnya tidak terdaftar, kelak akan menghadapi berbagai masalah yang akan
berakibat pada Negara, pemerintah dan masyarakat. Dalam perspektif KHA, Negara
harus memberikan pemenuhan hak dasar kepada setiap anak, dan terjaminya
perlindungan atas keberlangsungan, tumbuh kembang anak.
Posisi anak dalam konnstitusi UUD 1945,
terdapat dalam pasal 28 B ayat 2 yaitu: “setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Hak-hak anak diberbagai Undang-Undang antara
lain Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun
Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan anak, jelas menyatakan
akta kelahiran menjadi hak anak dan
tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya. Selain itu dalam Undang-undang No.
23 tahun 2002, pasal 7 (ayat 1) disebutkan “setiap anak berhak untuk mengetahui
orang tuanya, dibesarkan dan dasuh oleh orang tuanya sendiri.”
Akibat Hukum Nikah Siri Terhadap Kedudukan
anak adalah berkurangnya nikah siri di masyarakat. Akibat Hukum Terhadap Anak Sebelum
adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010
a.
Hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya
b.
Tidak dapat mengurus akta kelahiran
c.
Tidak mendapatkan hak waris dari ayah
Sesudah adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010,
anak dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya selama dapat dibuktikan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
BAB III
Penutup
Alhamdulillahirabbil‘alamin, berkat usaha keras bersama dari teman-teman
satu kelompok, tugas pembuatan makalah ini dapat selesai dengan tanpa ada
halangan suatu apapun. Tentunya dalam pembuatan Makalah ini masih banyak
kekurangan yang perlu diperbaiki. Dari itu, kami memohon dengan sangat kepada ibu Dosen dan teman-teman pembaca untuk selalu membimbing kami agar Makalah
kami menjadi lebih baik lagi.
Demikian ada kurang dan
lebihnya, atas nama segenap anggota kelompok senantiasa mohon ma'af yang
sebesar-besarnya. Dan akhirnya semoga
Makalah ini selalu membawa kemanfaatan bagi
kita semua . Amin.
Daftar Pustaka
-. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Surabaya: Kesindo Utama.
Departemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia.
Wasman & Nuroniyah Wardah, 2011. Hukum
perkawinan Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Teras.
http://yuyantilalata.blogspot.com/2013/02/akibat-hukum-nikah-siri-terhadap.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.