Peran lembaga-Lembaga Negara Dalam Penanganan Dan Pencegahan Korupsi - Sang Pemburu Badai

Sabtu, 30 Juli 2016

Peran lembaga-Lembaga Negara Dalam Penanganan Dan Pencegahan Korupsi


A.    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Dalam rangka mewujudkan supermasi hukum, pemerintah telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Semua kebijakan tersebut tertuang dalam peraturan prundang- undangan. Berdasarkan ketentuan pasal 43 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai mana telah di ubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001, badan khusus tersebut disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun dalam pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan dalam pertanggung jawaban, tugas dan wewenang keanggotaanya di atur dengan undang-undang tersendiri.

Kewenangan KPK
Kewengan komisi pemberantasan korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
1.        Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan organisasi lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
2.        Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/ atau
3.        Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (pasal 11 undang-undang nomor 30 tahun 2002)
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:
1.          Kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan dalam menjalankan tugas dan wewenang KPK.
2.          Keterbukaan, adalah asas yang mebuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
3.          Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan perungang-undangan yang berlaku.
4.          Kepentingan umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
5.          Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban KPK.

Tugas, Wewenang, Tanggung Jawab Dan Kewajiban KPK
1.      Tugas KPK
a.         Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
b.         Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
c.         Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
d.        Melakukan tindakan-tindakan penyegahan tindak pidana korupsi.
e.         Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (pasal 6 undang-undang nomor 30 tahun 2002).
2.      Wewenang KPK
a.       Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.
b.      Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.
c.       Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi  kepada instansi yang terkait.
d.      Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan istansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
e.       Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi (pasal 7 undang-undang tahun 2002).
f.       Wewenag lain dapat di lihat pasal 12,13, dan 14 undang-undang nomor 30 tahun 2002.
3.      Kedudukan KPK
Komisi pemberantasan korupsi berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Republik indosesia. Komisi pemberantasan korupsi dapat membentuk perwakilan daerah provinsi.
Komisi pemberantasan korupsi terdiri atas:
a.         Pimpinan komisi pemberantasan korupsi yang terdiri atas lima anggota komisi pemberantasan korupsi;
b.         Tim penasihat yang terdiri atas empat anggota;
c.       Pegawai komisi pemberantasan korupsi sebagai pelaksanaan tugas. (pasal 21 ayat (1) undang-undang nomor 30 tahun 2002)

Penyelidikan, Penyidikan Dan Penuntutan
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada komisi pemberantasan korupsi (pasal 38 ayat1). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi. Penyelidik, penyidik, dan penuntut tidak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Penyelidik, penyidik, dan penuntutan, dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.
1.      Penyelidikan
Penyelidik adalah penyelidik pada komisi pemberantasan korupsi yang di angkat dan di berhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 30 tahun 2002). Penyelidik melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidik melaporkan pada komisi pemberantasan korupsi. Bukti permulaan cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Dalam hal penyelidik melaporkan melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidik melaporkan kepada KPK dan KPK menghentikan penyelidikan. Dalam hal KPK berpendapat bahwa perkara tersebut di teruskan, KPK melaksanakan penyelidikan atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.
2.      Penyidikan
Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang di angkat and diberhentikan oleh komisipeberantasan korupsi (pasal 45 ayat (1) undang-undang nomor 30 tahun 2002). Penyidik melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. Penyidik wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang memuat:
a.         Nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita.
b.        Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan.
c.         Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang ataubenda berharga lain.
d.        Tandatangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan.
e.         Tandatangan dan identitas dari pemilik ataunorang yang menguasai tersebut.
Salinan berita acara penyitaan disampaikan kepada tersangka atau keluarganya. Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan kepada pimpinan komisi pemberantasan korupsi untuk ditindak lanjuti.
Apabila suatu tindak pidana korupsi terjadi dan KPK belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara telah dilakukan penyidikan oleh kopolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada KPK paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Jika KPK sudah mulai melakukan penyidikan, maka kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Jika penyidikan dilakukan secara bersamaan maka penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan.
3.      Penuntutan
Penuntut adalah penuntut umum pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Penuntut adalah jaksa penuntut umum. Penuntut umum, setelah menerima berkas perkara daripenyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja wajib melimpahkann berkas perkara tersebut kepada pengadilan negeri.

Pemeriksaan Sidang Pengadilan
Perkara tindak pidana kkorupsi diperiksa dan diputus oleh pengadilan tindak piddana korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi. Pemeriksaan perkaradilakukan oleh Majlis Hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim pengadilan negeri dan 3 (tiga) orang hakim  ad hoc. Dalam hal keputusan pengadilan tindak pidana korupsi dimohon banding ke pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi. Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi tindak pidana korupsi dimohonkan kasasi kepada mahkamah agung, perkara tersebut diperiksa dan di putus dalam jangka paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh mahkamah agung.

B.     Kejaksaan
Tugas dan kewenangan kejaksaan secara juridis formal terdapat didalam undang-undang nomor 16 tahun 2004 yaitu pasal 30 ayat 1-3. Dari isi pasal 30 tersebut maka tugas dan kewenangan kejaksaan dapat dibagi kedalam tiga bagian yaitu :
1.      Dibidang Pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a.         Melakukan penuntutan
b.        Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
c.         Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat
d.        Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang
e.         Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2.      Dibidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah.
3.      Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : a)peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b) pengamanan kebijakan penegakan hukum; c)pengamanan peredaran barang cetakan; d)pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; dan e)penegahan penyalahgunaan dan / atau penodaan agama; f) penelitian dan pengembangan hukum serta statistic criminal.
Disamping itu kejaksaan juga memiliki tugas-tugas lain yaitu  seperti diatur dalam pasal 31, 33 dan 34 UU nomor 16 tahun 2004  yaitu : 
1.          Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa dirumahsakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak
2.          Membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan badan Negara lainnya;
3.          Dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya;
Disamping tugas dan kewenangan kejaksaan, khusus Jaksa Agung oleh UU nomor 16 tahun 2004 juga mengatur tugas dan kewenangan Jaksa Agung yaitu didalam pasal 35, 36,37 UU nomor 16 tahun 2004.
Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan secara eksplisit telah menyebutkan secara tegas bahwa kejaksaan memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yaitu: Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana Korupsi dan Pelanggaran HAM. Dengan bunyi Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 tahun 2004 maka secara juridis formil kejaksaan telah memiliki kewenangan dalam hal melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM.
Mahkamah Agung telah mengeluarkan pendapat/fatwa nomor KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret 2005, dimana pada pokonya fatwa tersebut berpendirian bahwa jaksa mempunyai kewenangan untuk menyidik perkara tindak pidana korupsi sesudah berlakunya UU Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001 dengan dasar :
 1.            Pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 ju undang-undang nomor 20 tahun 2001
 2.            Pasal 27 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
 3.            Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya.
 4.            Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983
 5.            Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor 16 tahun 2004.

C.    Kepolisian
Fungsi kepolisian sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah Pasal 2 adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan polisi dalam mencegah dan menangani tindak pidana korupsi mempunyai sebuah direktorat khusus yaitu Badan Reserse Kriminal Direktorat Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan dalam penegakan Korupsi Polisi mempunyai stategi, yaitu:
1.      Sinergitas penanganan tindak pidana korupsi baik dengan KPK maupun dengan aparat penegak hukum lainnya.
2.      Meningkatkan fungsi koordinasi baik dalam penyelidikan mau penyidikan tindak pidana korupsi.
3.      Fokus melaksanakan penyelidikan terhadap 10 area yang rawan terjadi korupsi.
4.      Merespon tuntutan masyarakat untuk melaksanakan percepatan penyidikan tindak pidana korupsi dalam koridor Due Process Of Law (Proses Hukum yang Benar).
10 area rawan korupsi menurut kepolisian adalah:
1.      Pengadaan barang atau jasa pemerintah.
2.      Keuangan dan perbankan.
3.      Perpajakan.
4.      Minyak dan gas bumi.
5.      BUMN dan BUMD.
6.      Kepabeanan dan cukai.
7.      Pengelolaan APBN dan APBD.
8.      Aset negara dan aset daerah.
9.      Pertambangan.
10.  Pelayanan umum.


D.    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Pasca amandemen UUD 1945 Indonesia mengenal delapan lembaga tinggi negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Badan Pemeriksa Keuangan adalah Lembaga Tinggi Negara yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas Pemerintah. Demikian bunyi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 dalam Bab I Kedudukan Pasal 1. Badan Pemeriksa Keuangan sejak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Tentang Keuangan pada Pasal 23 ayat (5) sebelum diamandemen : “Untuk memeriksa tanggung-jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-undang”, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 (belum diperbaharui atau diamandemen) sebagai lembaga yang berhak memeriksa keuangan negara, baik pengelolaan maupun pertanggungjawabannya, juga sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara yang disahkan pada tanggal 14 Januari 12004, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2004.
Keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan adalah juga berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen untuk yang ketiga kalinya tercantum dalam Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan pada Pasal 23E, 23F dan 23G berbunyi sebagai berikut :
Pasal 23E :
    1.          Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri;
    2.          Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya;
    3.          Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/ atau badan sesuai dengan undang-undang.

Pasal 23F :
    1.          Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden;
    2.          Pemimpin Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 23G :
    1.          Badan Pemriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinisi;
    2.          Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Bab VIII pada Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan secara tegas tentang kewenangan BPK terhadap pengelolaan keuangan negara yang biasa disebut APBN dan terhadap pengelolaan keuangan daerah yang biasa disebut APBD. Pada Pasal 30 ayat (1) berbunyi : “Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir”, ayat (2) : “Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya”. Pada Pasal 31 ayat (1) berbunyi : Gubernur/Bupati/Walikota menayampaikan rancangan peraturan tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir”, ayat (2) : “Laporan Keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah”.
Dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Bab VII Pemeriksaan Eksternal pada Pasal 71 ayat (2) berbunyi : “Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Lingkup Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggungjawab Keuangan Negara ada dua ayat menurut Pasal 2, yakni : ”Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara”, dan ”BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara”. Pada Pasal 3 ayat (1) berbunyi : ”Pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara”, dan ayat (2) : ”Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh Akuntan Publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan”.
Kemudian untuk memperjelas dari lingkup pemeriksaan BPK, pada Pasal 4 dari ayat (1) sampai dengan ayat (4) tercantum seperti berikut : ayat (1) ”Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu”, ayat (2) ”Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan”, ayat (3) ”Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas”, dan ayat (4) ”Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)”.
Dapat dijelaskan disini bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang selain pemeriksaan atas laporan keuangan dan pemeriksaan atas kinerja, yakni pemeriksaan yang dilakukan terhadap pendapatan dan terhadap belanja serta pemeriksaan yang bersifat menindaklanjuti terhadap adanya indikasi yang mengarah pada perbuatan korupsi atau tindak pidana kourpsi. Pemeriksaan yang berindikasi KKN adalah pemeriksaan yang dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan rutin seperti pemeriksaan atas Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau pemeriksaan atas Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disebut dengan pemeriksaan investigasi.

Kewenangan Waktu Melakukan Pemeriksaan
Kewenangan BPK sewaktu melakukan pemeriksaan menerapkan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara seperti yang tertuang dalam Pasal 10 Bab II Lingkup Pemeriksaan, yakni :
    1.          Meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
    2.          Mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya.
    3.          Melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang dan dokumen pengelolaan keuangan negara.
    4.          Meminta keterangan kepada seseorang.
    5.          Memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan.
Dalam rangka meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d, BPK dapat melakukan pemanggilan kepada seseorang, demikian bunyi Pasal 11.

Peran Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Pemberantasan Korupsi
    1.     Peran Audit
Pemeriksaan (audit) atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara/daerah sebagai wujud kepedulian terhadap penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Selanjutnya peran yang dilakukan adalah melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara/daerah. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK selama ini memang kepada keadaan yang sudah terjadi terhadap pengelolaan keuangan negara/daerah atau yang berkenaan dengan realisasi anggaran. Penyusunan anggaran yang dilakukan oleh Panitia Anggaran bukan sebagai jaminan tidak adanya praktek-praktek kolusi, korupsi maupun nepotisme. Sebagai orang yang sehari-hari menjalankan kegiatan pengelolaan keuangan setidak-tidaknya dapat menggoda hati nuraninya untuk melakukan pelanggaran walau sekecil apapun.
Dalam penyusunan anggaran bukan suatu hal yang mustahil kalau ada permainan atau kolusi antar instansi terkait, yakni antara pemerintah daerah melalui biro atau bagian keuangan serta sekretariat dewan/dewan yang menjadi panitia anggaran untuk meluluskan atau memuluskan rencana anggaran yang diajukan oleh pemerintah daerah. Badan Pemeriksa Keuangan dalam hal ini belum dan atau tidak mengantisipasi latar belakang penyusunan anggaran ini. Badan Pemeriksa Keuangan hanya melakukan pemeriksaan terhadap anggaran yang telah direalisasikan dalam bentuk Surat Pertanggungjawaban (SPJ). Surat Pertanggungjawaban (SPJ) itu adalah dokumen atau berkas yang bisa berupa buku-buku, lembaran-lembaran, baik itu kuitansi maupun alat bukti lainnya.Ketika SPJ itu yang berupa laporan keuangan diketahui berindikasikan korupsi, maka yang berhak melakukan penyidikan adalah lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK. Dalam hal ini BPK untuk menindaklanjuti temuan yang berindikasikan korupsi bisa diteruskan dengan Pemeriksaan Investigasi, yakni dengan landasan yang cukup memenuhi unsur-unsur korupsi dan sudah pasti mengenai angka-angkanya.
    2.     Peran Judicial Review
Ketika Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan
    3.     Peran Melaporkan Kekayaan Para Pejabatnya

E.     Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Fungsi dan tugas PPATK diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.  Dimana tugas pokok PPATK adalah memberantas dan mencegah tindak pidana pencucian uang.  Dilihat dari tugas PPATK ini maka dapat kita bagi dua, pencegahan dan pemberantasan. Dalam menjalankan tugas PPATK tersebut, maka PPATK juga memiliki fungsi-fungsi yang menjadi acuan dalam menjalankan tugasnya, yang tertuang dalam pasal 40 Undang-undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu :
Pasal 40
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 39, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut :
 1.            Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
 2.            Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK
 3.            Pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor, dan
 4.            Analisis atau pmeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1).
Dalam fungsi PPATK sesuai dengan pasal 40 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan TPPU, PPATK mempunyai empat (4) fungsi, dimana dalam setiap fungsi tersebut PPATK juga mempunyai kewenangan. Dalam fungsi PPATK dalam pasal 40 huruf a UU TPPU, PPATK mempunyai kewenangan antara lain :
 1.            Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola datadan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu.
 2.            Menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan.
 3.            Mengkordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait.
 4.            Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang.
 5.            Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
 6.            Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang.
 7.            Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
Dalam fungsi PPATK dalam pasal 40 huruf b UU TPPU, PPATK mempunyai kewenangan dalam menyelenggarakan sistem informasi, seperti yang tertuang dalam pasl 42 UU TPPU. Sedangkan dalam menjalankan fungsi pasal 40 huruf c, PPATK berwenang untuk :
 1.            Menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi pihak pelapor
 2.            Menetapkan kategori pengguna jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana pencucian uang
 3.            Melakukan audit kepatuhan dan audit khusus
 4.            Menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pihak pelapor
 5.            Memberikan peringatan kepada pihak pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan
 6.            Merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha pihak pelapor, dan
 7.            Menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa bagi pihak pelapor yang tidak memiliki lembaga pengawas dan pengatur.
Sedangkan dalam menjalankan fungsi pasal 40 huruf d PPATK meiliki kewenagan sebagaimana dalam pasal 44, yaitu :
 1.            Meminta dan menerima laporan dan informasi dari pihak pelapor
 2.            Meminta informasi kepada instansi atau pihak yang terkait
 3.            Meminta informasi kepada pihak pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK
 4.            Meminta informasi kepda pihak pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri
 5.            Meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun luar negeri
 6.            Menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana pencucian uang
 7.            Meminta keterangan kepada pihak pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uanga
 8.            Merekomendasikan kepada instansi pengak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
 9.            Meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana
10.            Meminta informasi perkembangan penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang
11.            Mengadakan kegiatan adminstratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, dan
12.            Meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik

F.     Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementrian Agama
Dalam rangka menilai kemajuan suatu instansi publik serta mengembangkan upaya pemberantasan korupsi di instansi, maka setiap instansi harus memiliki instrumen Penilaian Inisiatif Antikorupsi (PIAK) sebagai tindak lanjut himbuan dari Surat Edaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditujukan kepada seluruh kementerian/Lembaga Negara di Pusat dan Daerah. PIAK merupakan alat ukur untuk menilai kemajuan suatu instansi publik dalam mengembangkan upaya pemberantasan korupsi di instansi terkait. Setidaknya ada tiga tujuan dilaksanakannya PIAK, yaitu
1.      Sebagai upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
2.      Memetakan seberapa jauh inisiatif instansi pemerintah dalam mengupayakan kegiatan pencegahan korupsi di instansi masing-masing.
3.      Memberikan gambaran obyektif mengenai inisiatif/upaya nyata pemberantasan korupsi dan peningkatan pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah.
Ada 6 (enam) Indikator utama PIAK yang harus dipenuhi oleh tiap Kementerian/Lembaga Negara termasuk di Kementrian Agama, yaitu
1.      Pembuatan dan pelaksanaan Kode Etik.
2.      Peningkatan Transparansi dalam Manajemen SDM.
3.      Peningkatan Transparansi dalam Pengadaan.
4.      Peningkatan Transparansi Penerimaan PNS
5.      Peningkatan Akses Publik dalam Memperoleh Informasi Instansi,
6.      Pelaksanaan Rekomendasi Perbaikan yang diberikan KPK, dan Kegiatan Promosi Anti Korupsi serta Inovasi, yaitu Kecukupan dan efektifitas dari inisiatif Anti Korupsi lainnya.



Jenis Pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal
  1. Audit Komprehensif. Kegiatan pengawasan berdasarkan rencana kinerja pengawasan tahunan (RKPT) terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi satuan organisasi dengan aspek pendukung, yaitu keuangan, sumber daya manusia, sarana prasarana, serta metode kerja. Dengan audit ini diharapkan dapat diperoleh simpulan yang menyeluruh mengenai kehematan, efisiensi, dan efektivitas pelaksanaan kegiatan satuan organisasi/kerja.
  2. Audit Khusus. Kegiatan pengawasan terhadap program dan kegiatan tertentu, seperti audit wajar dikdas 9 tahun, audit pengelolaan asrama haji, dan audit PNBP.
  3. Audit Kasus/Fraud Auditing (UU No. 31/1991). Kegiatan pengawasan terhadap kasus tertentu atas pengaduan masyarakat, pemberitaan media massa, atau kasus tertentu yang berindikasi KKN.
  4. Audit Investigasi. Kegiatan untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan barang bukti atas suatu perbuatan guna dilakukan tindakan hukum selanjutnya.
  5. Audit Kinerja. Kegiatan audit untuk menilai kinerja suatu satuan organisasi/kerja guna mengetahui tampilan suatu auditan.
  6. Audit Keuangan (Financial Audit). Kegiatan audit untuk menentukan apakah informasi keuangan telah akurat dan dapat diandalkan, serta untuk memberikan opini kewajaran atas penyajian laporan keuangan.
  7. Inspeksi Mendadak. Kunjungan mendadak yang dilakukan untuk melihat kesiapsiagaan satuan organisai/kerja oleh unsur pimpinan Itjen Departemen Agama.
  8. Desk Audit. Kegiatan audit untuk menelaah, meneliti, dan menganalisis data dan laporan pelaksanaan tugas satuan organisasi/kerja.
  9. Pre Audit. Melakukan audit pendahuluan terhadap suatu kegiatan, termasuk di dalamnya audit perencanaan yang merupakan salah satu fungsi manajemen (Planning, Organizing, Actuating).
  10. Monitoring dan Evaluasi. Kegiatan memantau pelaksanaan tugas dan fungsi satuan organisasi/kerja dan melakukan evaluasi. Misalnya terhadap suatu program, penyelesaian tindak lanjut hasil audit internal, eksternal, dan pengaduan masyarakat.
  11. Pengawasan Masyarakat. Pengawasan yang dilakukan masyarakat, berupa pemberian informasi atau pengaduan, penyampaian pendapat, saran perbaikan, dan penyempurnaan terhadapa kinerja Departemen Agama.
  12. Pengawasan Melekat. Kegatan dalam rangka menjalankan peran Itjen sebagai Catalyst dan Consultant, Itjen menyiapkan instrumen dan membangun budaya pengawasan dini. Ini sekaligus dikaitkan dengan pelaksanaan Inpres No. 5 tahun 2004, oleh karena itu diberi nama “Pemantapan RAN-PK Melalui Agama”.



DAFTAR PUSTAKA

Djaja, Firmansjah. 2010. Mendesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU RI No. 31 Tahun 1999 jo. UU RI 20 Tahun 2001)
Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan (UU RI No. 15 Tahun 2006).
Undang-Undang Kepolisian (UU RI No. 02 Tahun 2002).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan.
http://hendriesipahutar.blogspot.com/2011/04/kewenangan-kejaksaan-menyidik-korupsi.html
web.kominfo.go.id/sites/default/files/TIPIKOR_0.pdf




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.