Oleh Muhammad Najmuddin (Julius Hisna)
A.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Dalam
rangka mewujudkan supermasi hukum, pemerintah telah meletakkan landasan
kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Semua kebijakan
tersebut tertuang dalam peraturan prundang- undangan. Berdasarkan ketentuan
pasal 43 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi sebagai mana telah di ubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001,
badan khusus tersebut disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki
kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan. Adapun dalam pembentukan, susunan organisasi, tata
kerja dan dalam pertanggung jawaban, tugas dan wewenang keanggotaanya di atur
dengan undang-undang tersendiri.
Kewenangan KPK
Kewengan
komisi pemberantasan korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang:
1.
Melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan organisasi lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara.
2.
Mendapat
perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/ atau
3.
Menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (pasal
11 undang-undang nomor 30 tahun 2002)
Dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan
pada:
1.
Kepastian
hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan dalam
menjalankan tugas dan wewenang KPK.
2.
Keterbukaan,
adalah asas yang mebuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi
yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam
menjalankan tugas dan fungsinya.
3.
Akuntabilitas,
adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK
harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan perungang-undangan yang
berlaku.
4.
Kepentingan
umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,
akomodatif, dan selektif.
5.
Proporsionalitas
adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung
jawab, dan kewajiban KPK.
Tugas, Wewenang, Tanggung Jawab Dan Kewajiban KPK
1.
Tugas
KPK
a.
Koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
b.
Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
c.
Melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
d.
Melakukan
tindakan-tindakan penyegahan tindak pidana korupsi.
e.
Melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (pasal 6 undang-undang
nomor 30 tahun 2002).
2.
Wewenang
KPK
a.
Mengoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.
b.
Menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.
c.
Meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait.
d.
Melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan istansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
e.
Meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi (pasal 7
undang-undang tahun 2002).
f.
Wewenag
lain dapat di lihat pasal 12,13, dan 14 undang-undang nomor 30 tahun 2002.
3.
Kedudukan
KPK
Komisi pemberantasan korupsi berkedudukan
di ibukota Negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh
wilayah Negara Republik indosesia. Komisi pemberantasan korupsi dapat membentuk
perwakilan daerah provinsi.
Komisi pemberantasan korupsi terdiri atas:
a.
Pimpinan
komisi pemberantasan korupsi yang terdiri atas lima anggota komisi
pemberantasan korupsi;
b.
Tim
penasihat yang terdiri atas empat anggota;
c.
Pegawai
komisi pemberantasan korupsi sebagai pelaksanaan tugas. (pasal 21 ayat (1)
undang-undang nomor 30 tahun 2002)
Penyelidikan, Penyidikan Dan Penuntutan
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut
umum pada komisi pemberantasan korupsi (pasal 38 ayat1). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) undang-undang
nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak
pidana korupsi. Penyelidik, penyidik, dan penuntut tidak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan
undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Penyelidik, penyidik, dan penuntutan,
dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi
Pemberantasan Korupsi.
1.
Penyelidikan
Penyelidik adalah penyelidik pada
komisi pemberantasan korupsi yang di angkat dan di berhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 30 tahun 2002).
Penyelidik melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Jika
penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup
adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja
terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup, penyelidik
melaporkan pada komisi pemberantasan korupsi. Bukti permulaan cukup dianggap
telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Dalam hal
penyelidik melaporkan melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang
cukup, penyelidik melaporkan kepada KPK dan KPK menghentikan penyelidikan.
Dalam hal KPK berpendapat bahwa perkara tersebut di teruskan, KPK melaksanakan
penyelidikan atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian
atau kejaksaan.
2.
Penyidikan
Penyidik adalah penyidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang di angkat and diberhentikan oleh komisipeberantasan
korupsi (pasal 45 ayat (1) undang-undang nomor 30 tahun 2002). Penyidik
melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. Atas dasar dugaan yang
kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan
tanpa izin ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. Penyidik
wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang memuat:
a.
Nama,
jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita.
b.
Keterangan
tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan.
c.
Keterangan
mengenai pemilik atau yang menguasai barang ataubenda berharga lain.
d.
Tandatangan
dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan.
e.
Tandatangan
dan identitas dari pemilik ataunorang yang menguasai tersebut.
Salinan berita acara penyitaan disampaikan kepada tersangka atau
keluarganya. Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara
dan disampaikan kepada pimpinan komisi pemberantasan korupsi untuk ditindak
lanjuti.
Apabila suatu tindak pidana korupsi
terjadi dan KPK belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara telah dilakukan
penyidikan oleh kopolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan
kepada KPK paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
dimulainya penyidikan. Jika KPK sudah mulai melakukan penyidikan, maka
kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Jika
penyidikan dilakukan secara bersamaan maka penyidikan yang dilakukan oleh
kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan.
3.
Penuntutan
Penuntut adalah penuntut umum pada KPK
yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Penuntut adalah jaksa penuntut umum.
Penuntut umum, setelah menerima berkas perkara daripenyidik, paling lambat 14
(empat belas) hari kerja wajib melimpahkann berkas perkara tersebut kepada
pengadilan negeri.
Pemeriksaan Sidang Pengadilan
Perkara tindak pidana kkorupsi diperiksa dan diputus oleh
pengadilan tindak piddana korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja
sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi. Pemeriksaan perkaradilakukan oleh Majlis Hakim berjumlah 5 (lima)
orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim pengadilan negeri dan 3 (tiga)
orang hakim ad hoc. Dalam hal keputusan
pengadilan tindak pidana korupsi dimohon banding ke pengadilan tinggi, perkara
tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari kerja sejak berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi. Dalam hal
putusan Pengadilan Tinggi tindak pidana korupsi dimohonkan kasasi kepada
mahkamah agung, perkara tersebut diperiksa dan di putus dalam jangka paling
lama 90 (Sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara
diterima oleh mahkamah agung.
B.
Kejaksaan
Tugas
dan kewenangan kejaksaan secara juridis formal terdapat didalam undang-undang
nomor 16 tahun 2004 yaitu pasal 30 ayat 1-3. Dari isi pasal 30 tersebut maka
tugas dan kewenangan kejaksaan dapat dibagi kedalam tiga bagian yaitu :
1.
Dibidang
Pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a.
Melakukan
penuntutan
b.
Melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap
c.
Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat
d.
Melakukan
penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang
e.
Melengkapi
berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
2.
Dibidang Perdata dan Tata Usaha Negara,
Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan
atas nama Negara atau pemerintah.
3.
Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum,
Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : a)peningkatan kesadaran hukum
masyarakat; b) pengamanan kebijakan penegakan hukum; c)pengamanan peredaran
barang cetakan; d)pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara; dan e)penegahan penyalahgunaan dan / atau penodaan
agama; f) penelitian dan pengembangan hukum serta statistic criminal.
Disamping itu kejaksaan juga memiliki tugas-tugas lain yaitu
seperti diatur dalam pasal 31, 33 dan 34 UU nomor 16 tahun 2004 yaitu
:
1.
Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk
menempatkan seseorang terdakwa dirumahsakit atau tempat perawatan jiwa, atau
tempat lain yang layak
2.
Membina hubungan kerjasama dengan badan
penegak hukum dan badan Negara lainnya;
3.
Dapat memberikan pertimbangan dalam bidang
hukum kepada instansi pemerintah lainnya;
Disamping tugas dan kewenangan kejaksaan, khusus Jaksa Agung oleh UU nomor
16 tahun 2004 juga mengatur tugas dan kewenangan Jaksa Agung yaitu didalam
pasal 35, 36,37 UU nomor 16 tahun 2004.
Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan
secara eksplisit telah menyebutkan secara tegas bahwa kejaksaan memiliki
kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal
30 ayat (1) huruf d yaitu: Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana
tertentu. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak
pidana tertentu adalah tindak pidana Korupsi dan Pelanggaran HAM. Dengan bunyi
Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 tahun 2004 maka secara juridis formil
kejaksaan telah memiliki kewenangan dalam hal melakukan penyelidikan tindak
pidana korupsi dan Pelanggaran HAM.
Mahkamah
Agung telah mengeluarkan pendapat/fatwa nomor KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret
2005, dimana pada pokonya fatwa tersebut berpendirian bahwa jaksa mempunyai
kewenangan untuk menyidik perkara tindak pidana korupsi sesudah berlakunya UU
Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001 dengan dasar :
1.
Pasal
26 UU nomor 31 tahun 1999 ju undang-undang nomor 20 tahun 2001
2.
Pasal
27 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
3.
Pasal
284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya.
4.
Pasal
17 PP Nomor 27 tahun 1983
5.
Pasal
30 ayat (1) huruf d UU nomor 16 tahun 2004.
C.
Kepolisian
Fungsi
kepolisian sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian adalah Pasal 2 adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan polisi
dalam mencegah dan menangani tindak pidana korupsi mempunyai sebuah direktorat
khusus yaitu Badan Reserse Kriminal Direktorat Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan
dalam penegakan Korupsi Polisi mempunyai stategi, yaitu:
1.
Sinergitas
penanganan tindak pidana korupsi baik dengan KPK maupun dengan aparat penegak
hukum lainnya.
2.
Meningkatkan
fungsi koordinasi baik dalam penyelidikan mau penyidikan tindak pidana korupsi.
3.
Fokus
melaksanakan penyelidikan terhadap 10 area yang rawan terjadi korupsi.
4.
Merespon
tuntutan masyarakat untuk melaksanakan percepatan penyidikan tindak pidana
korupsi dalam koridor Due Process Of Law (Proses Hukum yang Benar).
10 area rawan korupsi menurut
kepolisian adalah:
1.
Pengadaan
barang atau jasa pemerintah.
2.
Keuangan
dan perbankan.
3.
Perpajakan.
4.
Minyak
dan gas bumi.
5.
BUMN
dan BUMD.
6.
Kepabeanan
dan cukai.
7.
Pengelolaan
APBN dan APBD.
8.
Aset
negara dan aset daerah.
9.
Pertambangan.
10.
Pelayanan
umum.
D.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Pasca
amandemen UUD 1945 Indonesia mengenal delapan lembaga tinggi negara, yaitu
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan
Daerah, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Badan Pemeriksa Keuangan adalah
Lembaga Tinggi Negara yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh
dan kekuasaan Pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas Pemerintah.
Demikian bunyi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 dalam Bab I Kedudukan Pasal 1.
Badan Pemeriksa Keuangan sejak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945
Bab VIII Tentang Keuangan pada Pasal 23 ayat (5) sebelum diamandemen : “Untuk
memeriksa tanggung-jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa
Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-undang”, dan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 (belum diperbaharui atau diamandemen) sebagai
lembaga yang berhak memeriksa keuangan negara, baik pengelolaan maupun
pertanggungjawabannya, juga sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara yang disahkan pada tanggal 14 Januari 12004,
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2004.
Keberadaan
Badan Pemeriksa Keuangan adalah juga berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang
telah diamandemen untuk yang ketiga kalinya tercantum dalam Bab VIII A tentang
Badan Pemeriksa Keuangan pada Pasal 23E, 23F dan 23G berbunyi sebagai berikut :
Pasal 23E :
1.
Untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu
Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri;
2.
Hasil
pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya;
3.
Hasil
pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/ atau badan
sesuai dengan undang-undang.
Pasal 23F :
1.
Anggota
Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh
Presiden;
2.
Pemimpin
Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 23G :
1.
Badan
Pemriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di
setiap provinisi;
2.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang.
Dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Bab VIII pada Pasal
30 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
secara tegas tentang kewenangan BPK terhadap pengelolaan keuangan negara yang
biasa disebut APBN dan terhadap pengelolaan keuangan daerah yang biasa disebut
APBD. Pada Pasal 30 ayat (1) berbunyi : “Presiden menyampaikan rancangan
undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa
laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan,
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir”, ayat (2) :
“Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN,
Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri
dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya”. Pada Pasal 31
ayat (1) berbunyi : Gubernur/Bupati/Walikota menayampaikan rancangan peraturan
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan
yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam)
bulan setelah tahun anggaran berakhir”, ayat (2) : “Laporan Keuangan dimaksud
setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan
Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
daerah”.
Dalam
Peraturan Perundang-undangan lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
Tentang Badan Usaha Milik Negara Bab VII Pemeriksaan Eksternal pada Pasal 71
ayat (2) berbunyi : “Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Lingkup
Pemeriksaan
Pemeriksaan
yang dilakukan oleh BPK menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang
Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggungjawab Keuangan Negara ada dua ayat menurut
Pasal 2, yakni : ”Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas
pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan
negara”, dan ”BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab
keuangan negara”. Pada Pasal 3 ayat (1) berbunyi : ”Pemeriksaan pengelolaan dan
tanggungjawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur
keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara”, dan ayat (2) : ”Dalam hal pemeriksaan
dilaksanakan oleh Akuntan Publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan
hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan”.
Kemudian
untuk memperjelas dari lingkup pemeriksaan BPK, pada Pasal 4 dari ayat (1)
sampai dengan ayat (4) tercantum seperti berikut : ayat (1) ”Pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan,
pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu”, ayat (2)
”Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan”, ayat (3)
”Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaaan keuangan negara yang
terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek
efektivitas”, dan ayat (4) ”Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah
pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3)”.
Dapat
dijelaskan disini bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan
yang selain pemeriksaan atas laporan keuangan dan pemeriksaan atas kinerja,
yakni pemeriksaan yang dilakukan terhadap pendapatan dan terhadap belanja serta
pemeriksaan yang bersifat menindaklanjuti terhadap adanya indikasi yang
mengarah pada perbuatan korupsi atau tindak pidana kourpsi. Pemeriksaan yang
berindikasi KKN adalah pemeriksaan yang dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan
rutin seperti pemeriksaan atas Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) atau pemeriksaan atas Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang disebut dengan pemeriksaan investigasi.
Kewenangan
Waktu Melakukan Pemeriksaan
Kewenangan
BPK sewaktu melakukan pemeriksaan menerapkan ketentuan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
seperti yang tertuang dalam Pasal 10 Bab II Lingkup Pemeriksaan, yakni :
1.
Meminta
dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan
dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
2.
Mengakses
semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi dan segala jenis
barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi
obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan
tugas pemeriksaannya.
3.
Melakukan
penyegelan tempat penyimpanan uang, barang dan dokumen pengelolaan keuangan
negara.
4.
Meminta
keterangan kepada seseorang.
5.
Memotret,
merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan.
Dalam rangka
meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d, BPK dapat
melakukan pemanggilan kepada seseorang, demikian bunyi Pasal 11.
Peran Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Pemberantasan Korupsi
1. Peran Audit
Pemeriksaan (audit) atas pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara/daerah sebagai wujud kepedulian terhadap
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Selanjutnya peran yang dilakukan adalah melakukan pemeriksaan atas pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan negara/daerah. Pemeriksaan yang dilakukan oleh
BPK selama ini memang kepada keadaan yang sudah terjadi terhadap pengelolaan
keuangan negara/daerah atau yang berkenaan dengan realisasi anggaran.
Penyusunan anggaran yang dilakukan oleh Panitia Anggaran bukan sebagai jaminan
tidak adanya praktek-praktek kolusi, korupsi maupun nepotisme. Sebagai orang
yang sehari-hari menjalankan kegiatan pengelolaan keuangan setidak-tidaknya
dapat menggoda hati nuraninya untuk melakukan pelanggaran walau sekecil apapun.
Dalam penyusunan anggaran bukan suatu hal yang
mustahil kalau ada permainan atau kolusi antar instansi terkait, yakni antara
pemerintah daerah melalui biro atau bagian keuangan serta sekretariat
dewan/dewan yang menjadi panitia anggaran untuk meluluskan atau memuluskan
rencana anggaran yang diajukan oleh pemerintah daerah. Badan Pemeriksa Keuangan
dalam hal ini belum dan atau tidak mengantisipasi latar belakang penyusunan
anggaran ini. Badan Pemeriksa Keuangan hanya melakukan pemeriksaan terhadap
anggaran yang telah direalisasikan dalam bentuk Surat Pertanggungjawaban (SPJ).
Surat Pertanggungjawaban (SPJ) itu adalah dokumen atau berkas yang bisa berupa
buku-buku, lembaran-lembaran, baik itu kuitansi maupun alat bukti
lainnya.Ketika SPJ itu yang berupa laporan keuangan diketahui berindikasikan
korupsi, maka yang berhak melakukan penyidikan adalah lembaga yang bernama
Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK. Dalam hal ini BPK untuk
menindaklanjuti temuan yang berindikasikan korupsi bisa diteruskan dengan
Pemeriksaan Investigasi, yakni dengan landasan yang cukup memenuhi unsur-unsur
korupsi dan sudah pasti mengenai angka-angkanya.
2. Peran Judicial Review
Ketika Pemerintah menerbitkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Ketentuan Umum dan Tata cara
Perpajakan
3. Peran Melaporkan Kekayaan Para Pejabatnya
E.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Fungsi
dan tugas PPATK diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dimana tugas pokok PPATK adalah memberantas dan mencegah tindak pidana
pencucian uang. Dilihat dari tugas PPATK
ini maka dapat kita bagi dua, pencegahan dan pemberantasan. Dalam menjalankan
tugas PPATK tersebut, maka PPATK juga memiliki fungsi-fungsi yang menjadi acuan
dalam menjalankan tugasnya, yang tertuang dalam pasal 40 Undang-undang No.8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
yaitu :
Pasal 40
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 39, PPATK
mempunyai fungsi sebagai berikut :
1.
Pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
2.
Pengelolaan
data dan informasi yang diperoleh PPATK
3.
Pengawasan
terhadap kepatuhan pihak pelapor, dan
4.
Analisis
atau pmeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi
tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1).
Dalam
fungsi PPATK sesuai dengan pasal 40 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan
TPPU, PPATK mempunyai empat (4) fungsi, dimana dalam setiap fungsi tersebut
PPATK juga mempunyai kewenangan. Dalam fungsi PPATK dalam pasal 40 huruf a UU
TPPU, PPATK mempunyai kewenangan antara lain :
1.
Meminta
dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga
swasta yang memiliki kewenangan mengelola datadan informasi, termasuk dari
instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi
tertentu.
2.
Menetapkan
pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan.
3.
Mengkordinasikan
upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait.
4.
Memberikan
rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian
uang.
5.
Mewakili
pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang
berkaitan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
6.
Menyelenggarakan
program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang.
7.
Menyelenggarakan
sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
Dalam
fungsi PPATK dalam pasal 40 huruf b UU TPPU, PPATK mempunyai kewenangan dalam
menyelenggarakan sistem informasi, seperti yang tertuang dalam pasl 42 UU TPPU.
Sedangkan dalam menjalankan fungsi pasal 40 huruf c, PPATK berwenang untuk :
1.
Menetapkan
ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi pihak pelapor
2.
Menetapkan
kategori pengguna jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana pencucian uang
3.
Melakukan
audit kepatuhan dan audit khusus
4.
Menyampaikan
informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan
terhadap pihak pelapor
5.
Memberikan
peringatan kepada pihak pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan
6.
Merekomendasikan
kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha pihak pelapor, dan
7.
Menetapkan
ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa bagi pihak pelapor yang
tidak memiliki lembaga pengawas dan pengatur.
Sedangkan
dalam menjalankan fungsi pasal 40 huruf d PPATK meiliki kewenagan sebagaimana
dalam pasal 44, yaitu :
1.
Meminta
dan menerima laporan dan informasi dari pihak pelapor
2.
Meminta
informasi kepada instansi atau pihak yang terkait
3.
Meminta
informasi kepada pihak pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK
4.
Meminta
informasi kepda pihak pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak
hukum atau mitra kerja di luar negeri
5.
Meneruskan
informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun
luar negeri
6.
Menerima
laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana
pencucian uang
7.
Meminta
keterangan kepada pihak pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan
tindak pidana pencucian uanga
8.
Merekomendasikan
kepada instansi pengak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau
penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
9.
Meminta
penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian
transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana
10.
Meminta
informasi perkembangan penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal dan tindak pidana pencucian uang
11.
Mengadakan
kegiatan adminstratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan
ketentuan undang-undang ini, dan
12.
Meneruskan
hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik
F.
Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementrian Agama
Dalam
rangka menilai kemajuan suatu instansi publik serta mengembangkan upaya pemberantasan
korupsi di instansi, maka setiap instansi harus memiliki instrumen Penilaian
Inisiatif Antikorupsi (PIAK) sebagai tindak lanjut himbuan dari Surat Edaran
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditujukan kepada seluruh
kementerian/Lembaga Negara di Pusat dan Daerah. PIAK merupakan alat ukur untuk
menilai kemajuan suatu instansi publik dalam mengembangkan upaya pemberantasan
korupsi di instansi terkait. Setidaknya ada tiga tujuan dilaksanakannya PIAK,
yaitu
1.
Sebagai
upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
2.
Memetakan
seberapa jauh inisiatif instansi pemerintah dalam mengupayakan kegiatan
pencegahan korupsi di instansi masing-masing.
3.
Memberikan
gambaran obyektif mengenai inisiatif/upaya nyata pemberantasan korupsi dan
peningkatan pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah.
Ada
6 (enam) Indikator utama PIAK yang harus dipenuhi oleh tiap Kementerian/Lembaga
Negara termasuk di Kementrian Agama, yaitu
1.
Pembuatan
dan pelaksanaan Kode Etik.
2.
Peningkatan
Transparansi dalam Manajemen SDM.
3.
Peningkatan
Transparansi dalam Pengadaan.
4.
Peningkatan
Transparansi Penerimaan PNS
5.
Peningkatan
Akses Publik dalam Memperoleh Informasi Instansi,
6.
Pelaksanaan
Rekomendasi Perbaikan yang diberikan KPK, dan Kegiatan Promosi Anti Korupsi
serta Inovasi, yaitu Kecukupan dan efektifitas dari inisiatif Anti Korupsi
lainnya.
Jenis
Pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal
- Audit Komprehensif. Kegiatan pengawasan berdasarkan rencana kinerja pengawasan tahunan (RKPT) terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi satuan organisasi dengan aspek pendukung, yaitu keuangan, sumber daya manusia, sarana prasarana, serta metode kerja. Dengan audit ini diharapkan dapat diperoleh simpulan yang menyeluruh mengenai kehematan, efisiensi, dan efektivitas pelaksanaan kegiatan satuan organisasi/kerja.
- Audit Khusus. Kegiatan pengawasan terhadap program dan kegiatan tertentu, seperti audit wajar dikdas 9 tahun, audit pengelolaan asrama haji, dan audit PNBP.
- Audit Kasus/Fraud Auditing (UU No. 31/1991). Kegiatan pengawasan terhadap kasus tertentu atas pengaduan masyarakat, pemberitaan media massa, atau kasus tertentu yang berindikasi KKN.
- Audit Investigasi. Kegiatan untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan barang bukti atas suatu perbuatan guna dilakukan tindakan hukum selanjutnya.
- Audit Kinerja. Kegiatan audit untuk menilai kinerja suatu satuan organisasi/kerja guna mengetahui tampilan suatu auditan.
- Audit Keuangan (Financial Audit). Kegiatan audit untuk menentukan apakah informasi keuangan telah akurat dan dapat diandalkan, serta untuk memberikan opini kewajaran atas penyajian laporan keuangan.
- Inspeksi Mendadak. Kunjungan mendadak yang dilakukan untuk melihat kesiapsiagaan satuan organisai/kerja oleh unsur pimpinan Itjen Departemen Agama.
- Desk Audit. Kegiatan audit untuk menelaah, meneliti, dan menganalisis data dan laporan pelaksanaan tugas satuan organisasi/kerja.
- Pre Audit. Melakukan audit pendahuluan terhadap suatu kegiatan, termasuk di dalamnya audit perencanaan yang merupakan salah satu fungsi manajemen (Planning, Organizing, Actuating).
- Monitoring dan Evaluasi. Kegiatan memantau pelaksanaan tugas dan fungsi satuan organisasi/kerja dan melakukan evaluasi. Misalnya terhadap suatu program, penyelesaian tindak lanjut hasil audit internal, eksternal, dan pengaduan masyarakat.
- Pengawasan Masyarakat. Pengawasan yang dilakukan masyarakat, berupa pemberian informasi atau pengaduan, penyampaian pendapat, saran perbaikan, dan penyempurnaan terhadapa kinerja Departemen Agama.
- Pengawasan Melekat. Kegatan dalam rangka menjalankan peran Itjen sebagai Catalyst dan Consultant, Itjen menyiapkan instrumen dan membangun budaya pengawasan dini. Ini sekaligus dikaitkan dengan pelaksanaan Inpres No. 5 tahun 2004, oleh karena itu diberi nama “Pemantapan RAN-PK Melalui Agama”.
DAFTAR PUSTAKA
Djaja, Firmansjah. 2010. Mendesain
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Hartanti, Evi. 2005. Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU RI No. 31 Tahun 1999 jo. UU RI 20 Tahun 2001)
Undang-Undang Badan Pemeriksa
Keuangan (UU RI No. 15 Tahun 2006).
Undang-Undang Kepolisian (UU RI No.
02 Tahun 2002).
Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat
Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan.
http://hendriesipahutar.blogspot.com/2011/04/kewenangan-kejaksaan-menyidik-korupsi.html
web.kominfo.go.id/sites/default/files/TIPIKOR_0.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.