Bermadzhab Dalam Islam - Sang Pemburu Badai

Senin, 04 Januari 2016

Bermadzhab Dalam Islam


Bermadzhab Dalam Islam

Dalam soal menjalankan ibadat, umat Islam telah sepakat bahwa al-Quran dan al-Hadits adalah dua sumber utama yang wajib ditaati dan diamalkan. Kedua-duanya merupakan pedoman dan rujukan paten bagi umat Islam di muka bumi ini. Hal ini tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang kafir dan munafiq. Para ulama ushul sepakat, bahwa orang yang mempunyai kemampuan mengistinbath hukum secara langsung dari sumbernya, yaitu al-Quran dan al-Hadits, maka wajib berpegang dan mengamalkan hasil ijtihadnya dan tidak dibenarkan kalau sampai mengambil hasil ijtihad ulama lain. Sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 59: “…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya (al-Quran dan al-Hadits).”
Namun kenyataannya sekarang adalah tidak semua orang Islam mampu melakukan istinbath (mengeluarkan hukum) dari al-Quran dan al-Hadits seperti imam-imam madzhab. Inilah sebabnya mengapa ada madzhab dan taqlid. Dan ternyata sejarah membuktikan, bahwa taqlid tidaklah menyebabkan umat menjadi jumud atau beku. Sebaliknya, seruan ijtihad dan bebas madzhab hanya menimbulkan perpecahan dan kehinaan yang berkepanjangan bagi umat ini.
Seruan agar umat berijtihad tanpa melihat apakah umat memiliki kemampuan dan kelayakan sebagai mujtahid atau tidak, adalah satu seruan yang berbahaya yang dapat menimbulkan kekacauan dan perpecahan serta kerusakan di berbagai sektor kehidupan. Asy-Syahid asy-Syeikh Dr. M. Said Ramadhan al-Buthiy dalam kitabnya yang berjudul Alla Madzhabiyyah Akhtharu Bid`atin Tuhaddidu asy-Syarii`at al-Islamiyyah” telah menjelaskan panjang lebar tentang bahaya bebas madzhab. Banyak orang salah sangka bahwa adanya madzhab berarti sama dengan memicu perpecahan. Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermadzhab, bahkan ada yang sampai anti madzhab. Kesalahfahaman mereka tentang hakekat bermadzhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar kepada mereka.
Madzhab-madzhab fiqh itu bukanlah representasi dari perpecahan atau perseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya, adanya madzhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada al-Quran dan al-Hadits. Madzhab empat yang ada dan kita kenal selama ini adalah hasil ijtihad ulama-ulama yang tidak diragukan lagi kemampuannya di bidang itu, yaitu, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.
Ijtihad sebagaimana yang telah ketahui, adalah menggali isi al-Quran dan al-Hadits untuk dikaji, diteliti dan dianalisa sehingga membuahkan hukum-hukum Islam yang konkrit dan positif. Buah atau hasil ijtihad itulah yang kemudian oleh orang disebut “madzhab”. Jelasnya, orang yang bermadzhab sama artinya dengan orang yang mengamalkan al-Quran dan al-Hadits, karena semua pendapat yang difatwakan oleh imam-imam madzhab adalah hasil dari kajian mereka terhadap al-Quran dan al-Hadits. Bahkan untuk memudahkan orang-orang awam, mereka siang malam berusaha mengkaji dan menggali hukum-hukum didalam al-Quran dan al-Hadits yang notabene ribuan dan tidak berurutan, mereka atur sedemikian rupa, diurutkan dari bab ke bab. Sehingga hukum-hukum islam lebih mudah dipelajari.
Kemudian sebagai manusia biasa, mereka juga bisa salah, tentu kita maklumi itu. Dan ini bukan berarti kita lalu menolak atau bahkan anti dengan mereka hanya gara-gara ada satu atau dua kesalahan yang timbul dari mereka. Sebab kesalahan satu dua dalam rangka menggarap persoalan yang ribuan banyaknya adalah sudah wajar dan logis. Justru yang tidak wajar dan tidak logis adalah menolak seluruh persoalan-persoalan tersebut hanya karena adanya satu atau dua kesalahan tadi.
Ironinya ada sebagian orang yang mungkin karena dengki atau iri atau karena kepentingan pribadi, bermaksud menghapus secara total madzhab-madzhab yang ada dengan cara menolak dan mengibarkan bendera “anti madzhab”, serta mengharuskan setiap orang Islam agar berijtihad atau menggali hukum secara langsung dari sumbernya, tanpa melihat apakah mereka memiliki kemampuan dan kelayakan sebagai mujtahid atau tidak.
Apa yang terjadi jika semua orang melepaskan diri dari madzhab-madzhab yang ada dan mereka semua dibebaskan berijtihad. Padahal kita tahu bahwa tidak setiap orang Islam mempunyai kesempatan dan kemampuan dalam mempelajari agama secara mendalam, sehingga tidak setiap orang pula mampu mengistinbath (menggali hukum) langsung dari sumbernya? Pertanyaan ini sama jawabannya dengan pertanyaan, apa yang terjadi jika orang-orang sakit ditangani oleh buruh-buruh bangunan? Atau apa yang terjadi jika Negara ini dipimpin oleh orang-orang yang bukan ahlinya? Jawabannya tiada lain hanyalah kekacauan dan kerusakan total akan menimpah segi-segi kehidupan umat manusia. Sebab mereka melakukan usaha tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan keahliannya. Para imam madzhab laksana para koki-koki hebat yang dapat meramu bumbu-bumbu mentah menjadi sebuah masakan yang enak dan lezat lagi aman dari berbagai macam penyakit. Hasil ijtihad mereka kalau salah tetap akan mendapatkan satu pahala sedangkan jikalau benar maka dua pahala baginya. Untuk urusan makanan saja tidak bisa sembarangan orang bisa meramunya, apalagi ini adalah urusan syariat Islam! Sebuah pertanggungan jawab antara hamba dengan Rabbnya di akhirat kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.