Menggagas Konsep Constitutional Complaint Dalam Kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia - Sang Pemburu Badai

Sabtu, 30 Mei 2015

Menggagas Konsep Constitutional Complaint Dalam Kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia

Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri (Julius Hisna)



BAB I
Pendahuluan

Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara berdampingan secara horizontal dengan kekuasaan negara lainnya yang dalam UUD 1945 dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Hal ini berarti bahwa UUD 1945 telah menentukan bahwa kekuasaaan kehakiman memiliki kedudukan sebagai kekuasaan negara yang implementasinya secara subtantif dipegang oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman serta Mahkamah Konstitusi. Diaturnya kehakiman dalam bab tersendiri dengan 19 ketentuan dapat ditafsirkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang mandiri (otonom) dan tidak ada keharusan baginya untuk, baik diperintah maupun memerintah, membantu maupun mendampinngi kekuasaan pemerintahan negara (Hoesein, 2013:78).
Ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman jelas berbeda dengan ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan negara lainnya, seperti kekuasaan legislatif dan eksekutif. Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu elemen dari rumusan negara berdasar atas hukum. kekuasaan menurut Ibnu Kholdun diartikan sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan (Hoesein, 2013:79).
Membicarakan kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman tidak terlepas dari persoalan, baik penegakan hukum maupun penemuan hukum, karena keduanya merupakan fungsi dari kekuasaan kehakiman. Persoalan penegakan hukum merupakan konsekuensi dari prinsip-prinsip yang diatur dalam negara hukum, sehingga kekuasaan negara diciptakan, diatur, dan ditegakkan oleh suatu perangkat hukum. Pandangan tersebut sebagai pembatasan dari suatu kekuasaaan negara sehingga terhindar dari kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan kehidupan negara. Kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman merupakan dua hal yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, karena fungsi kekuasaan itu dapat dijalankan jika lembaga memiliki kedudukan tertentu dalam kekuasaaan (negara), sehingga ia memiliki kewenangan dan dapat mengimplementasikan secara bertanggung jawab. Hal itu berarti kedudukan kekuasaan kehakiman juga akan berkaitan dengan kekuasaan negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan merupakan susunan ketatanegaraan yang masing-masing memiliki kedudukan, susunan, tugas dan wewenang sebagai lembaga negara (Hoesein, 2013:78).
Amandemen UUD 1945 telah memberikan perubahan di bidang kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif yang sangat mendasar. Perubahan tersebut diantaranya adalah kekuasaan kehakiman tidak lagi hanya mejadi monopoli Mahkamah Agung dengan badan-badan peradilan di bawahnya, melainkan juga oleh Mahkamah Konstitusi. Terlepas dari berbagai kritik yang tak mungkin di hindari haruslah di akui bahwa pada saat ini dapat di katakan bahwa MK menjadi kiblat dalam penegakan supermasi konstitusi; artinya hampir setiap ada masalah konstitusi masyarakat selalu berpaling ke MK. Keadaan tersebut di sebabkan oleh keberanian MK melakukan ijtihad dalam pengujiaan undang-undang maupun dalam memutus sengketa kewenangan dan sengketa hasil pemilu.
         Namun, dari performance MK yang seperti itu kemudian timbul harapan yang terlalu besar kepadanya sehingga keraplah masyarakat bertanya dan meminta MK memutus hal-hal yang di luar kewenangannya. Alasan berpalingnya seseorang kepada MK adalah selain terlalu banyak berharap kepada MK tanpa tahu persis lingkup kewenangannya dapat juga di sebabkan oleh adanya masalah pelanggaran hak konstitusional, tetapi tidak ada instrumen hukum yang jelas untuk menyelesaikan atau memperkarakannya atau tidak ada penyaluran penyelesaiannya.
Salah satu hal yang menjadi permohonan banyak orang di luar kewenangan MK adalah tentang Constituional Complaint. Constitutional Complain adalah pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak ada instrumen hukum atasnya  untuk memperkarakannya atau tidak tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum (peradilan). Banyak kalangan yang mengusulkan Constitutional Complain untuk ditambahkan sebagai salah satu tugas MK. Akan tetapi dalam hal ini banyak kalangan yang berbeda pendapat apakah penambahan tugas dan wewenang MK tersebut harus dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 ataukah cukup melalui revisi di UU tentang MK. Kemudian masih juga banyak kalangan yang belum sepakat sejauh manakah Constitutional Complain tersebut dapat diterapkan. Kedua permasalahan inilah yang coba kami angkat dalam makalah kami.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mahkamah Konstitusi (MK) Sebagai Amanah UUD 1945
Fondasi yang paling tepat dan kokoh bagi sebuah demokrasi berkelanjutan (a sustainable democrary) adalah sebuah negara konstitusional (constitusional state) yang bersandar kepada sebuah konstitusi yang kokoh yang dapat melindungi dirinya dari ancaman, baik dari dalam maupun luar pemerintahan. Konstitusi yang kokoh yang mampu menjamin demokrasi yang berkelanjutan hanyalah konstitusi yang mampu mengatur secara rinci batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan yudisial secara seimbang dan saling mengawasi (checks and balances), serta memberi jaminan yang cukup luas bagi hak-hak warga negara dan hak-hak asasi. Konstitusi yang kokoh bagi sebuah constitusional state yang mampu menjamin demokrasi yang berkelanjutan juga harus merupakan konstitusi yang legimate, dalam arti pembuatannya harus secara demokratis, diterima dan didukung sepenuhnya oleh seluruh komponen masyarakat dari berbagai aliran dan faham, aspirasi dan kepentingan (Fadjar, 2006:6).
Amandemen UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia telah memberikan perubahan di bidang kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif yang sangat mendasar. Perubahan tersebut diantaranya adalah kekuasaan kehakiman tidak lagi hanya mejadi monopoli Mahkamah Agung dengan badan-badan peradilan di bawahnya, melainkan juga oleh Mahkamah Konstitusi. Saat ini dapat di katakan bahwa MK menjadi kiblat dalam penegakan supermasi konstitusi; artinya hampir setiap ada masalah konstitusi masyarakat selalu berpaling ke MK. Keadaan tersebut di sebabkan oleh keberanian MK melakukan ijtihad dalam pengujiaan undang-undang maupun dalam memutus sengketa kewenangan dan sengketa hasil pemilu.
Pada dasarnya perubahan konstitusi harus berlandaskan pada nilai-nilai paradigmatik yang timbul dari tuntutan perubahan itu sendiri. Melalui paradigma perubahan akan dapat dijelaskan perbedaan penting antara konstitusi lama dengan konsep perubahan yang diinginkan. Paradigma itu mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting yang mendasar atau jiwa perubahan konstitusi. Nilai dan prinsip itu dapat digunakan untuk menyusun telaah kritis terhadap konstitusi lama dan sekaligus menjadi dasar bagi perubahan konstitusi atau penyusunan konstitusi baru (Fadjar, 2006:14).
Amandemen UUD 1945 telah memberikan perubahan di bidang kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif yang sangat mendasar. Perubahan tersebut diantaranya adalah kekuasaan kehakiman tidak lagi hanya mejadi monopoli Mahkamah Agung dengan badan-badan peradilan di bawahnya, melainkan juga oleh Mahkamah Konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban seprti dalam pasal 24C UUD 1945, yaitu:
1.        Menguji UU terhadap UUD 1945.
2.        Memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
3.        Memutus pembubaran partai politik.
4.        Memutus perselisihan hasil pemilu.
5.        Wajib memutus pendapat DPR tentang impeachment terhadap presiden.
Selain itu, perubahan tersebut juga  memberikan penegasan tentang judicial review, yaitu bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh MA. Sedangkan untuk pengujian tentang konstitusionalitas undang-undang dilakukan oleh MK.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK mempunyai kedudukan sebagai berikut:
1.      Merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan keuasaan kehakiman.
2.      Merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
3.      Sebagai penegak hukum, dan keadilan.
Sedangkan tugas dan fungsinya adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

B.     Constitutional Complain Sebagai Wewenang MK
Menurut Mahfudz M.D. (2010:287) Constitutional Complain adalah pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak ada instrumen hukum atasnya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum (peradilan). Constitutional Complain juga bisa dilakukan atas adanya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang langsung melanggar isi konstitusi, tetapi tidak secara jelas melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di bawah UUD. Begitu juga bisa dijadikan objek Constitutional Complain adalah putusan pengadilan yang melanggar hak-hak konstitusional padahal sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi; misalnya adanya putusan kasasi atau herziening (peninjauan kembali) dari Mahkamah Agung yang ternyata merugikan hak konstitusional seseorang.
Constitutional Complain telah menjadi kewenangan MK di berbagai Negara di antaranya adalah Mahkamah Konstitusi federal di Negara Jerman. Sebagai Negara federal German menganut sistem sentralisasi dalam pengujian peraturan perundang-undangan di mana kewenangan untuk melakukan pengujian hanya dilekatkan pada MK. Wewenang MK federal dalam memutus perkara Constitutional Complain adalah terhadap pelanggaran hak-hak dasar dalam konstitusi.     
Di Negara Indonesia sendiri Constitutional Complain belum menjadi salah satu wewenang di lembaga kekuasaan kehakiman manapun, termasuk MK. Padahal kebutuhan akan adanya putusan terhadap pelanggaran atas hak-hak konstitusional warga negara sudah sangat mendesak. Hal ini dikarenakan konstitusi belum memberikan perlindungan secara menyeluruh terhadap hak konstitusional warga di karenakan masih terdapat celah hukum. diantara contoh pelangaran hak konstitusional terjadi pada kasus  Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus menguji pasal 23 ayat 1 UU No. 4 Tshun 2004 yang menyebutkan bahwa peninjauan kembali (PK) boleh dilakukan oleh jaksa bertentangan dengan Pasal 263 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1981 yang menyebutkan PK hanya oleh terpidana atau ahli warisnya. Uji materi tersebut tidak dapat mebatalkan putusan MA karena putusan MK bersifat prospektif (kedepan), sehingga hal ini membatalkan hak konstitusioanl Pollycarpus. Menyikapi hal ini menurut Mahfudz M.D. yang paling tepat adalah dengan menggunakan Constitutional Complain.
       Dalam era pasca reformasi ini dapat di katakan bahwa MK menjadi kiblat dalam penegakan supremasi konstitusi, artinya hampir setiap ada masalah konstitusi masyarakat selalu berpaling ke MK. Keadaan tersebut di sebabkan oleh keberanian MK melakukan ijtihad dalam pengujiaan undang-undang maupun dalam memutus sengketa kewenangan dan sengketa hasil pemilu. Namun, dari performance MK yang seperti itu kemudian timbul harapan yang terlalu besar kepadanya sehingga keraplah masyarakat bertanya dan meminta MK memutus hal-hal yang di luar kewenangannya.            Padahal dari sudut konstitusi MK sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk menilai hal-hal tersebut. Berdasarkan ketentuan pasal 24c UUD 1945 MK hanya berwenang melakukan pengujiaan undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya di atur dalam UUD, memutus sengketa hasil pemilu, dan memutus pembubaran parpol; sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat atau dakwaan (impachment) DPR bahwa presiden/ wakil presiden telah melanggar hal-hal tertentu di dalam UUD 1945 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden.
            Alasan berpalingnya seseorang kepada MK adalah selain terlalu banyak berharap kepada MK tanpa tahu persis lingkup kewenangannya dapat juga di sebabkan oleh adanya masalah pelanggaran hak konstitusional, tetapi tidak ada instrumen hukum yang jelas untuk menyelesaikan atau memperkarakannya atau tidak ada penyaluran penyelesaiannya. Dalam kasus ini, misalnya, tidak jelasnya Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri atau lebih dapat di perkarakan ke mana. Jika akan di bawa ke MA melalui pengujian yudisial peraturan perundang-undangan sebagaimana di atur dalam UU No. 10 Tahun 2004; jika akan diperkarakan melalui PTUN juga kurang tepat  karena isi SKB tersebut dapat di nilai sebagai pengaturan (bukan penetapan) karena ada muatannya yang bersifat umum. Sedangkan dari sudut konstitusi MK juga sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk menilai SKB tersebut atau menjadi keputusan Bokerpakem atau Fatwa Majlis Ulama Indonesia. Maka seperti dalam kasus SKB tiga Menteri tentang Ahmadiyah kemudian banyak menimbulkan polemik diantara banyak pihak.
            Melihat pada permasalaha diatas maka sudah sepatutnya kalau Constitutional Complain dimasukkan sebagai salah satu wewenang MK. Hal ini menjadi sangat penting karena persoalan yang berhubungan dengan hak-hak konstitutional warga negara ternyata belum semuanya dapat diselesaikan melalui kewenangan yang dimiliki MK selama ini, terutama kewenangan Judicial Review. Oleh karena itu Constitutional Complain dapat dijadikan solusi terhadap kekurangan dan kelemahan yang dimiliki MK dalam memutus perkara yang berhubungan dengan hak konstitutional warga negara.
Dalam hal ini terdapat pandangan banyak pihak, apakah kewenangan tersebut dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 atau ke dalam revisi UU MK. Pihak yang mengusulkan Constitutional Complain menjadi tambahan kewenangan MK dan masuk dalam amandemen UUD 1945 diantaranya Mahfudz MD. Beliau berpandangan bahwa Constitutional Complain berhubungan erat dengan permasalahan hak-hak dasar warga negara, sehingga patut untuk dimasukkan dalam UUD 1945. Sedangkan pihak yang mengusulkan Constitutional Complain cukup masuk dalam revisi UU MK berpendapat bahwa kewenangan tambahan MK tersebut cukup dimasukkan dalam revisi UU MK. Hal ini disebabkan karena mengamandemen konstitusi sangatlah sulit, serta harus memperhatikan struktur, faktor kulrtural dan kondisi negara bersangkutan. Sehingga Constitutional Complain cukup masuk dalam revisi UU MK, tidak melalui amandemen UUD 1945 (Hukum Online, 2008:1).
Melihat pada pendapat-pendapat diatas kami lebih setuju bahwa Constitutional Complain seyogyanya dimasukkan dalam amandemen UUD 1945. Hal ini dikarenakan karena Constitutional Complain berhubungan erat dengan hak dasar konstituional warga negara dan harus ada pada kewenangan MK, serta sejajar dengan kewenangan MK yang lain yang sudah termaktub dalam UUD 1945. Selain itu juga permasalahan yang ada selama ini belum semuanya dapat diselesaikan dengan melalui kewenangan yang dimiliki MK selama ini, terutama kewenangan Judicial Review.
Akan tetapi jika kewenangan memutus Constitutional Complain diberikan kepada MK dengan cara dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 maka akan membutuhkan waktu yang sangatlah lama. Belum tentu dalam kurun waktu sepuluh tahun yang akan datang akan terjadi amandemen UUD 1945. Apalagi jika amandemen hanya bertujuan untuk memasukkan kewenangan memutus Constitutional Complain, maka akan semakin sulit. Selain itu juga mengamandemen konstitusi harus memperhatikan struktur, faktor kulrtural dan kondisi negara bersangkutan. Faktor politis pun juga perlu menjadi pertimbangan dalam melakukan amandemen. Maka jalan yang lebih mudah untuk ditempuh adalah dengan cara memasukkan kewenangan MK dalam memutus Constitutional Complain dalam revisi UU MK. Merivisi UU tidaklah sesulit mengamandemen konstitusi dasar Indonesia.
Dalam hal ini kami berpandangan bahwa untuk mempercepat warga negara mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak konstitutionalnya, maka tambahan kewenangan MK dalam memutus Constitutional Complain lebih baik dimasukkan terlebih dahulu dalam revisi UU MK. Melakukan revisi UU MK dengan alasan yang sangat mendesak ini serta menghindari adanya kekosongan tidak akan terlalu membutuhkan waktu yang sangat lama serta proses yang sulit dibandingkan jika melakukan amandemen UUD 1945. Akan tetapi ini bukan berarti kewenangan memutus Constitutional Complain tidak perlu dimasukkan dalam UUD 1945. Tambahan kewenangan ini harus sejajar dengan kewenangan-kewenangan MK yang sudah termaktub terlebih dahulu. Oleh karena itu, jika suatu saat nanti amandemen UUD 1945 dilakukan maka kewenangan memutus Constitutional Complain juga harus ikut dimasukkan. Akan tetapi, sebelum amandemen itu ada maka harus dilakukan terlebih dahulu revisi UU MK yang salah satu tujuannya untuk menambahkan kewenangan MK dalam memutus Constitutional Complain untuk menjamin hak-hak konstitutional warga negara.

C.    Menggagas Obyek Constitutional Complain
Mahkamah konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman diharapakan mampu mengembalikan citra lembaga peradilan di Indonesia sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat dipercaya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Melalui lima kewenangan konstitusional yang dimilikinya, MK harus mengawal UUD 1945 dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan negara demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution) (Fadjar, 2006:119).
            Untuk menlengkapi dan memaksimalkan tugas dan wewenang MK sebagai penjaga dan penafsir tertinggi konstitusi, maka adanya Constitutional Complain menjadi sebuah keharusan yang ada pada wewenang MK. Akan tetapi dalam hal ini perlu difikirkan pula hal mana sajakah yang  dapat dijadikan sebagai obyek dari Constitutional Complain. Jangan kemudian kewenangan tambahan yang urgent tersebut diberikan tanpa batasan dan aturan yang jelas.
            Apabila melihat pada pengertian yang dikatakan oleh Mahfudz, MD., maka bisa dilihat dua hal yang menjadi obyek dari permohonan Constitutional Complain tersebut. Kedua hal tersebut adalah:
1.        Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak ada instrumen hukum atasnya untuk memperkarakannya.
2.        Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum (peradilan).
Kedua hal diatas merupakan pijakan dasar yang dapat digunakan untuk membatasi obyek perkara mana sajakah yang masuk dalam lingkup Constitutional Complain.
            Selain harus harus memahami obyek mana sajakah yang menjadi kewenangan dalam Constitutional Complain, juga perlu diberikan pula adanya aturan dan batasan yang jelas. Aturan dan batasan ini dapat dikatakan juga sebagai syarat apakah suatu perkara tersebut dapat dikatan sebagai obyek komplain hak konstitusional ataukah tidak. Aturan dan batasan ini bisa dilihat dalam peranturan perundang-undangan yang sudah ada. Diantara aturan dan batasan yang dapat kami simpulkan adalah:
1.             Constitutional Complain berhubungan erat dengan pelanggaran hak konstitusional warga negara yang tidak ada instrumen hukum untuk menyelesaikannya atau tidak lagi tersedia jalur penyelesaian hukum. Ini harus dipahami bahwa setiap warga negara memiliki hak-hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-undang Dasar, dan ketiadaan instrumen hukum bukan kemudian menjadi alasan seseorang untuk tidak bisa mendapatkan keadilan.
2.             Constitutional Complain harus lah terhadap perkara yang berupa pelanggaran langsung terhadap konstitusi dasar negara Indonesia. Ini harus dipahami bahwa obyek perkara harus bersinggungan langsung dengan hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945, bukan masalah yang bersinggungan dengan undang-undang di bawah konstitusi. Selain itu juga dapat dipahami bahwa peraturan di bawah Undang-undang pun jika bertentangan secara langsung dengan konstitusi dapat dijadikan sebagai obyek Constitutional Complain, walaupun tidak secara langsung bertentangan dengan undang-undang diatasnya. Hal ini dikarenakan lembaga kekuasaan kehakimanb yang diberikan wewenang sebagai penafsir konstitusi hanyalah Mahkamah Konstitusi.
3.             Constitutional Complain merupakan jalan terakhir yang diajukan setelah tidak tersedia lagi penyelesaian terhadap perkara tersebut. Perlu dipahami bahwa jalan terakhir yang dimaksud disini bukan hanya melalui penyelesaian hukum di pengadilan, tetapi juga melalui penyelesaian lain di lembaga legislatif melalui legislatif review dan penyelesaian di lembaga eksekutif melalui executive review.
Untuk aturan dan batasan yang terakhir ini memang harus dicantumkan. Hal ini disebabkan bahwa Constitutional Complain merupakan langkah terakhir dari adanya beberapa proses yang telah dilalui sebelumnya. Selain itu ini juga bisa dijadikan sebagai sebuah kontrol normatif dalam menciptakan sebuah peraturan.
                                                                                      
D.    Legislatif Review dan Execitive Review Sebagai Syarat Constitutional Complain
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa yang menjadi obyek dari Constitutional Complain adalah semua pelanggaran terhadap langsung terhadap konstitusi dasar negara Indonesia. Ini harus dipahami bahwa obyek perkara harus bersinggungan langsung dengan hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945, bukan masalah yang bersinggungan dengan undang-undang di bawah konstitusi. Selain itu juga dapat dipahami bahwa peraturan di bawah Undang-undang pun jika bertentangan secara langsung dengan konstitusi dapat dijadikan sebagai obyek Constitutional Complain, walaupun tidak secara langsung bertentangan dengan undang-undang diatasnya. Hal ini dikarenakan lembaga kekuasaan kehakiman yang diberikan wewenang sebagai penafsir konstitusi hanyalah Mahkamah Konstitusi.
Untuk menghindari menumpuknya persoalan di MK hanya karena sebuah perkara bertentangan dengan konstitusi atau hak kontitusional warga negara, maka harus disyaratkan pula bahwa Constitutional Complain merupakan jalan terakhir yang telah dilalui sebelumnya penyelesaian hukum yang lain. Penumpukan perkara seperti ini telah terjadi di Mahkamah Konstitusi Federal negara Jerman yang  mana merupakan satu-satunya lembaga kekuasaan kehakiman yang diberikan wewenang untuk menyelesaikan semua persoalan sengketa perundang-undangan dan konstitusi. Oleh karena itu perlu dipandang pula bahwa legislative review dan executive review merupakan langkah penyelesaian yang sudah harus ditempuh oleh seseorang sebelum orang tersebut mengajukan Constitutional Complain. Hal ini juga berfungsi sebagai sebuah kontrol normatif terhadap sebuah peraturan yang diperkarakan.
Legislative review merupakan bagian proses politik di bidang peraturan perundang-undangan dan lebih dipengaruhi oleh faktor politik sehingga proses perubahan produk hukum tersebut tidak dilakukan melalui proses judicial atau dalam koridor normatif yang biasa dijalankan oleh lembaga kekuasaan kehakiman, melainkan melalui proses politik oleh lembaga politik. Peraturan perundang-undangan yang diputuskan dan/atau ditetapkan untuk dicabut oleh pembuatnya, maka secara otomatis pada saat diputuskan/ditetapkan tidak berlaku lagi, dan pada saat bersamaan lembaga pembuatnya menerbitkan peraturan yang baru. Berbeda dengan judicial review, bahwa setiap ketentuan perundang-undangan  yang diputus oleh badan kekuasaan kehakiman, maka ketentuan tersebut tidak berlaku lagi, tetapi badan kekuasaan kehakiman tidak memutuskan berlakunya peraturan baru, karena tidak memiliki kewenangan (original jurisdiction) sebagai badan pembuat undang-undang (Hoesein, 2013:61).
Demikian pula excutive review diartikan sebagai penilaian atau pengujian peraturan perundang-undangan oleh pihak eksekutif, artinya segala bentuk produk hukum pihak eksekutif diuji oleh pihak eksekutif baik kelembagaan dan kewenangan yang bersifat hierarkis. Dalam istilah yang sama juga diperkenalkan istilah “kontrol internal”yang dilakukan oleh pihak sendiri terhadap produk hukum yang dikeluarkan baik yang berbentuk pengaturan (regeling) maupun penetapan (beschikking). Akan tetapi, jika kontrol normatifnya dilakukan oleh badan lain dalam hal ini Peradilan Tata Usaha Negara, maka hal tersebut bukan executive review, melainkan kontrol segi hukum (legal control).
Dalam hal hubungan ini, maka objek executive review lebih terhadap keputusan yang bersifat abstrak dan mengatur, serta mengikat secara umum atau dikenal dengan “regeling”, dan diluar itu yakni yang bersifat “beschikking” menjadi objek legal control peradilan tata usaha negara. Dengan demikian semua tindakan atau perbuatan administrasi negara yang dijalankan oleh pemerintah dapat dikontrol oleh hukum baik secara internal (executive review) atau secara eksternal, yaitu oleh badan kekuasaan kehakiman yang dalam hal ini adalah peradilan tata usaha negara (Hoesein, 2013:62).
Dalam hubungannya dengan executive review, maka objeknya adalah peraturan dalam kategori regeling yang dilakukan melalui pendekatan “perubahan” sebagai ketentuan atau melalui pendekatan “pencabutan” peraturan tertentu dan menggantinya  dengan peraturan baru. pengujian internal ini disebabkan oleh perubahan norma hukum diatasnya yang berubah, yakni undang-undangnya berubah atau perubahan sosial yang tidak diantisipasi oleh peraturan tersebut dan menghendaki untuk diubah. Oleh karena itu, pengujian internal dalam arti executive review ini dilakukan untuk menjaga peraturan yang diciptkan oleh pemerintah (eksekutif) tetap sinkron, dan konsisten segi normatifnya secara vertikal dan terjaga pula tertib hukumnya dan kepastian hukum, agar rasa keadilan masyarakat atas perubahan sosial-ekonomi (Hoesein, 2013:63).


 
BAB III
PENUTUP

Dari pemaparan diatas setidaknnya bisa disimpulkan beberapa hal yang juga menjadi rekomendasi:
  1. Constitutional Complain seyogyanya dimasukkan dalam amandemen UUD 1945. Hal ini dikarenakan karena Constitutional Complain berhubungan erat dengan hak dasar konstituional warga negara dan harus ada pada kewenangan MK, serta sejajar dengan kewenangan MK yang lain yang sudah termaktub dalam UUD 1945. Selain itu juga permasalahan yang ada selama ini belum semuanya dapat diselesaikan dengan melalui kewenangan yang dimiliki MK selama ini, terutama kewenangan Judicial Review. Akan tetapi jika kewenangan memutus Constitutional Complain diberikan kepada MK dengan cara dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 maka akan membutuhkan waktu yang sangatlah lama. Belum tentu dalam kurun waktu sepuluh tahun yang akan datang akan terjadi amandemen UUD 1945. Dalam hal ini kami berpandangan bahwa untuk mempercepat warga negara mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak konstitutionalnya, maka tambahan kewenangan MK dalam memutus Constitutional Complain lebih baik dimasukkan terlebih dahulu dalam revisi UU MK. Melakukan revisi UU MK dengan alasan yang sangat mendesak ini serta menghindari adanya kekosongan tidak akan terlalu membutuhkan waktu yang sangat lama serta proses yang sulit dibandingkan jika melakukan amandemen UUD 1945. Akan tetapi ini bukan berarti kewenangan memutus Constitutional Complain tidak perlu dimasukkan dalam UUD 1945. Tambahan kewenangan ini harus sejajar dengan kewenangan-kewenangan MK yang sudah termaktub terlebih dahulu. Oleh karena itu, jika suatu saat nanti amandemen UUD 1945 dilakukan maka kewenangan memutus Constitutional Complain juga harus ikut dimasukkan. Akan tetapi, sebelum amandemen itu ada maka harus dilakukan terlebih dahulu revisi UU MK yang salah satu tujuannya untuk menambahkan kewenangan MK dalam memutus Constitutional Complain untuk menjamin hak-hak konstitutional warga negara.
3.        Adanya Constitutional Complain menjadi sebuah keharusan yang ada pada wewenang MK maka perlu difikirkan pula hal mana sajakah yang  dapat dijadikan sebagai obyek dari Constitutional Complain. Jangan kemudian kewenangan tambahan yang urgent tersebut diberikan tanpa batasan dan aturan yang jelas. Dari pengertian yang dikatakan oleh Mahfudz, MD., maka bisa dilihat dua hal yang menjadi obyek dari permohonan Constitutional Complain tersebut, yaitu: Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak ada instrumen hukum atasnya untuk memperkarakannya dan Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum (peradilan).
4.        Selain harus harus memahami obyek mana sajakah yang menjadi kewenangan dalam Constitutional Complain, juga perlu diberikan pula adanya aturan dan batasan yang jelas. Aturan dan batasan ini dapat dikatakan juga sebagai syarat apakah suatu perkara tersebut dapat dikatan sebagai obyek komplain hak konstitusional ataukah tidak. Aturan dan batasan ini bisa dilihat dalam peranturan perundang-undangan yang sudah ada. Diantara aturan dan batasan yang dapat kami simpulkan adalah:
a.       Constitutional Complain berhubungan erat dengan pelanggaran hak konstitusional warga negara yang tidak ada instrumen hukum untuk menyelesaikannya atau tidak lagi tersedia jalur penyelesaian hukum.
b.      Constitutional Complain harus lah terhadap perkara yang berupa pelanggaran langsung terhadap konstitusi dasar negara Indonesia secara langsung.
c.       Constitutional Complain merupakan jalan terakhir yang diajukan setelah tidak tersedia lagi penyelesaian terhadap perkara tersebut.
5.        Perlu dipahami bahwa jalan terakhir yang dimaksud disini bukan hanya melalui penyelesaian hukum di pengadilan, tetapi juga melalui penyelesaian lain di lembaga legislatif melalui legislatif review dan penyelesaian di lembaga eksekutif melalui executive review. Untuk aturan dan batasan yang terakhir ini memang harus dicantumkan. Hal ini disebabkan bahwa Constitutional Complain merupakan langkah terakhir dari adanya beberapa proses yang telah dilalui sebelumnya. Selain itu, ini juga bisa dijadikan sebagai sebuah kontrol normatif dalam menciptakan sebuah peraturan


Daftar Pustaka

Fadjar, Abdul Mukthie. 2006. Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press.
Hoesein, Zainal Arifin. 2013. Judicial Review Di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mahfud MD, MOH. 2010. Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 


*Makalah ini disampaikan dalam Eliminasi Debat Kontitusi Mahasiswa Nasional Antar Perguruan Tinggi tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 24-26 Mei 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.