Oleh. M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri
Abstrak : Pembahasan RUU Advokat di tangan para legislator
memanglah belum selesai sampai sekarang. Masih ada banyak pasal yang
dipertentangkan baik oleh para legislator sendiri maupun oleh para advokat
melalui oranisasinya masing-masing. Namun hal-hal yang menjadi perbedaan dan
pertentangan diantara mereka ternyata tidaklah prinsipiil, bahkan lebih
cenderung kepada intrik politik dan kepentingan individual organisasi advokat.
Hal yang sebenarnya lebih penting lagi untuk dimasukkan dalam RUU tersebut
seakan terlupakan, yaitu demokratisasi dalam RUU Advokat dalam menciptakan
lawyers yang independen dan berintgritas serta berkompeten. Hal ini sangat penting dan mendesak karena
pada tahun 2015 nanti Indonesia akan memasuki Pasar Bebas ASEAN.
Keywords : RUU Advokat,
Demokrasi, Pasar Bebas.
Pendahuluan
Berbicara
tentang Rancangan Undang-Undang Advokat maka kita tidak pernah bisa dipisahkan
begitu saja dengan provesi advokat itu sendiri. Keberadaan provesi advokat
semakin terasa kebutuhannya di era reformasi ini. Hampir setiap orang yang
menghadapi masalah hukum cenderung untuk menggunakan provesi advokat. Mulai dari
perkara-perkara besar termasuk di dalamnya kasus-kasus KKN (korupsi, kolusi,
nepotisme), kasus perbankan, kontrak-kontrak, bisnis, kepailitan, perceraian,
perebutan hak asuh anak, sengketa perbankan syariah dan lain sebagainya
menggunakan provesi advokat. Oleh karena itu tidaklah heran jika sering terdengar
sikap pro dan kontra terhadap perilaku para advokat tersebut.
Profesi
advokat yang dikenal sebagai provesi yang mulia seakan-akan sedang booming di
Indonesia. Banyak tokoh-tokoh advokat besar bermunculan seperti Adnan Buyung
Nasution, Yusril Izza Mahendra, Abdullah Assegaff, Ruhut Sitompul, Hotman Paris
Hutapea, OC Kaligis dan yang lain sebaginya. Hampir setiap orang yang
menghadapi suatu masalah di bidang hukum di era reformasi ini cenderung
menggunakan jasa advokat. Terlebih lagi dalam rangka menghadapi perdagangan
bebas ASEAN pada tahun 2015 nanti, keberadaan provesi advokat sangat
dibutuhkan. Hal ini tidak lepas dari tantangan bisnis kedepannya semakin banyak
tantangannya.
Namun
dalam perjalanannya banyak kasus yang mecoreng nama baik dan wibawa para
advokat. Diantaranya adalah kasus korupsi yang menjerat para advokat, penyuapan
dan pemerasan, serta masih banyak kasus yang lainnya. Selain hal tersebut,
independensi seorang advokat dalam mendampingi sebuah kasus seringkali menjadi
sorotan. Tidak sedikit dari advokat yang kehilangan integritasnya sehingga
melanggar kode etik dan sumpah jabatannya. Ini menyebabkan nama baik serta
wibawa para advokat menjadi merosot.
Seiring
dengan terpuruknya wibawa hukum dan pengadilan karena berbagai kasus yang
menjerat para pelaksana peradilan, provesi advokat sekarang berada dalam tahap
sangat mengkhawatirkan. Berita-berita tentang perilaku para advokat sekarang
juga sudah sedemikian mengkhawatirkan dan sangat kronis sehingga membuat semua
pihak cemas akan apa yang akan terjadi dengan penegakan hukum di Indonesia. Keterpurukan
profesi advokat tidak terlepas dari hancurnya asosiasi advokat karena dipecah
belah melalui intervensi kepentingan politik dan kepentingan pribadi para
advokat.
Sehubungan
dengan adanya kondisi profesi advokat diatas yang memprihatinkan, kehadiran RUU
Advokat sangatlah penting dalam rangka menjaga mutu pelayanan hukum agar
kepentingan masyarakat tidak dirugikan. Wibawa dan nama baik advokat harus
mulai diperbaiki kembali. Lebih jauh, seharusnya masing-masing penegak hukum
sesuai dengan sistem yang berlaku menjalankan tugasnya masing-masing. Polisi
bertugas di bidang penyidikan, kejaksaan di bidang penuntutan dan hakim
mempunyai tugas memutuskan perkara. Sementara itu, advokat dalam menjalankan
tugasnya berada dalam posisi masyarakat. Advokat dan masyarakat harus saling
melengkapi. Dengan demikian hakim akan lebih mudah bekerja dan menjalankan
tugasnya sehari-hari khususnya dalam memutuskan perkara apabila para advokat
yang ada berkualitas dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Ketika ini dapat
dilaksanakan maka demokrasi yang diharapkan oleh bangsa ini dapat tercapai. Kompetensi
advokat dalam menghadapi pasar bebas ASEAN 2015.
Untuk
memenuhi hal-hal tersebut memang tidaklah mudah. Perlu proses dan perencanaan
yang cukup matang. Salah satunya adalah dengan mengakomodir perencanaan
tersebut dalam RUU Advokat yang baru. Dalam RUU tersebut harus berisi
prinsip-prinsip advokat sebagai penegak hukum, bantuan hukum sebagai ruh,
lembaga hukum yang demokratis dan kompetensi advokat di kancah Internasional.
Advokat Sebagai
Penegak Hukum
Kita
mengetahui bahwa keadilan yang hakiki memanglah sulit dicapai. Meski demikian
dalam kehidupan sehari-hari kita harus selalu mencoba secara maksimal untuk
mencapainya. Sebagai suatu negara hukum yang berdasarkan kontitusi kita
tentunya mendambakan bahwa segala aspek kehidupan di dalam masyarakatr dapat
diatur dengan undang-undang dan persoalan-persoalan yang timbul dapat
diselesaikan secara hukum baik melaui pengadilan maupun dengan menggunakan
mediasi, sehingga semua persoalan diharapkan dapat diselesaikan secara adil
berdasarkan landasan hukum yang menyertainya. Untuk mencapai keadilan tersebut
hanya dimungkinkan kalau saja para penegak hukum telah siap mental dan dapat
bersikap profesional untuk melaksanakannya. Seperti yang kita ketehaui bersama
bahwa para penegak hukum kita belum profesional sehingga mengakibatkan tersendat-sendatnya
penegakan hukum di negeri kita (Rambe, 2003 : 8).
Peranan
hukum dalam pemabangunan di Indonesia, pertama-tama berkaitan dengan
karakteristik kemampuan hukum untuk menangani permasalahan dalam masyarakat. Di
Indonesia karakteristik tersebut jatuh bersamaan dengan tipe civil law
system sebagai model yang dipakai, yaitu yang mendasarkan pada cara
pengaturan secara formal. Sektor peratturan perundang-undangan menjadi
menonjol, karena manjemen berdasarkan hukum di Indonesia memang harus mulai
dari situ. Keadan tersebut menegaskan pentingnya sektor tersebut, yang harus
selalu senantiasa siaga mengamati kebutuhan-kebutuhan peraturan
perundang-undangan, bahkan mengantisipasinya. Hal tersebut dikenal sebagai
perencanaan peraturan perundang-undangan yang menjangkau ke depan (legislative
forward planning) (Rahardjo, 2009: 14).
Penegakan
hukum akan dapat dicapai secara sempurna kalau saja peran dan provesi advokat
serta statusnya diatur dengan undang-undang yang dapat mengarahkan kepada
penegakan demokrasi hukum yang lebih baik. Sehingga dalam rangka menjalankan
tugasnya sehari-hari seorang advokat dapat bertindak sesuai dengan fungsinya
dan dan tidak lagi ragu-ragu akan kedudukan hukumnya dalam masyarakat.
Sebaliknya masyarakat pun tahu persis apa fungsi dan tugas seorang advokat.
Dengan pengaturan undang-undang yang kompatibel para penegak hukum lainnya pun
tahu apa tugas seorang advokat.
Sebagai
seorang penegak hukum seorang advokat harus fleksibel dan memenuhi berbagai kualifikasi dan karakter
pribadi yang subtantif. Anatara lain seorang advokat harus mempunyai semangat
penegakan hukum yang kuat. Tanpa adanya semangat tersebut maka sulit diharapkan
seorang advokat dapat bekerja secara maksimal. Adapun kualifikasi dan karakter
subtantif yang dimaksud adalah dia harus merupakan seorang diplomat dan secara
bersamaan adalah seorang yang inovatif dan dapat dipercaya dan tidak koruptif
dan mempunyai kemampuan untuk berbicara di depan umum.
Selain
kulaifikasi diatas, hal yang tidak kalah penting bagi seorang penegak hukum
adalah terjaminnya independensi profesi advokat. Karena tanpa adanya independensi
profesi, seorang advokat akan sulit membela kliennya dengan baik dan sesuai
yang diharapkan oleh reformasi. Pengawasan terhadap advokat itu paling ideal
kalau ada organisasi asosiasi advokat yang kuat dan berwibawa dimana semua
pengawasan anggotanya dan putusan serta sanksi terhadap anggota yang melanggar
kode etik dapat mengikat anggotanya dan didengar oleh birokrasi. Belum adanya
kebebasan profesi advokat dalam undang-undang advokat yang lama sebagai
komplimen terhadap independensi badan peradilan telah menyebabkan penegakan
hukum di negara Indonesia belum berjalan sebagaimana mestinya yang kita
harapkan. Sehingga pencapaian rule of law menjadi tersendat-sendat
(Rambe, 2003 : 12-13).
Jika
kualifikasi diatas tidak dapat terpenuhi terutama masslah independensi dan
intgritas, maka ada celah seorang advokat akan mempergunakan hukum sebagai alat
kejahatan (law as tool of crime). Perbuatan ini bisa saja dilakukan
karena memanfaatkan peluang untuk mempertukarkan kekuasaan dengan materi
melalui celah-celah kelemahan hukum. kehebatan mereka dalam menggunakan hukum
itulah menghasilkan penyimpangan yang tampak sah secara hukum (Nitibaskara,
2007: 60).
Karena
senantiasa bergerak di dalam kawasan hukum, maka tidak ada suatu perbuatan yang
dapat dikatakan sebagai melanggar hukum, meskipun pada hakikatnya perbuatan
tersebut adalah sebuah kejahatan (crime). Hukum tidak mampu lagi menjamah
kejahatan yang dibungkus dengan hukum atau dilekatkan sebagai bagian ari hukum
itu sendiri seperti judicial crime yang tersembunyi dalam putusan hakim,
atau dalam discretionary justice para penegak hukum yang lainnya. Inilah
kejahatan yang disebut dengan kejatan yang sempurna (perfect crime),
yaitu kejahatan yang ketersembunyiannya sangan sempurna.
Membongkar
kejahatan tersebut dengan menggunakan hukum hampir dapat sipastikan sebagai
sesuatu yang akan sulit. Karenanya, untuk membongkarnya tidak langsung
menyentuh pokok perkaranya, melainkan harus menguliti terlebih dahulu
tamengnya, yakni ketentuan-ketentuan yang dipergunakan untuk menutupi
peristiwwa yang sebenarnya. Pada tahap ini yang terjadi adalah perdebatan
mengenai materi hukum dengan berbagai macam tafsirnya yang saling diperhadapkan
(Nitibaskara, 2007: 62). Maka melihat hal ini adalah sesuatu yang penting
diperhatikan oleh para legislator dalam menyusun materi dalam pasal-pasal
Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat dengan tetap memperhatikan masalah
diatas, sehingga produk undang-undang yang dihasilkan nanti tidak menjadi
sebuah payung hukum kejahatan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ropaun
Rambe (2003 : 36) mengatakan bahwa seorang advokat bukan hanya bertugas sebagai
penegak hukum, tetapi juga sebagai penggerak pembangunan hukum (agent of law
development), pembaharuan hukum (law reform), dan pembuatan
formulasi rumusan hukum (law shaping). Pembangunan hukum (agent of
law development) ialah mendorong dan mengerahkan perkembangan hukum melaui
penyusunan dan pembentukan undang-undang dan perkembangan kebiasaan yang sesuai
dengan tuntutan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berkembang ke arah
modernisasi.
Pembaharuan
hukum (law reform) ialah merombak, memperbaharui hukum yang tertulis dan
tidak tertulis yang sesuai dengan perubahan dan kemajuan kesadaran dan aspirasi
hukum yang hidup dalam masyarakat. Pembuatan dan penyusunan formalisasi hukum (law
making & law shaping) dalam undang-undang dan hukum kebiasaan yang
dengan tegas dan jelas memuat dan menampung asas-asas, norma-norma dan
syarat-syarat hukum yang memihak pada yang lemah, melarang penyalahgunaan
kekuasaan, melarang perbuatan yang menindas, melarang sistem perekonomian yang
monopolistis, melarang persaingan yang tidak wajar, melarang pemusatan ekonomi
dalam bentuk kartel, melarang perbuatan-perbuatan yang anti demokratis, dan
melindungi hak-hak azasi manusia dan keadilan sosial.
Sehubungan
dengan uraian di atas, baik sekali apabila diusahakan terciptanya suatu peta
pembanguna hukum di Indonesia. Sebab tanpa peta pembangunan hukum sulit untuk
membuat suatu perencanaan. Selain itu juga tanpa peta pembangunan hukum tidak
diketahui bagaimana persisnya posisi dan peranan hukum dalam pembangunan. Peta
tersebut dapat didayagunakan untuk berbagai hal dan memberikan ilham serta
rangsangan untuk melakukan kegiatan lebih jauh, yang tidak akan muncul tanpa
datangnya informasi dari peta tersebut (Rahardjo, 2009: 14).
Bantuan Hukum
Sebagai Ruh Demokrasi Dalam RUU Advokat
Fungsi
utama dari seorang lawyers adalah memberikan konsultasi dan advokasi terhadap
permasalah yang dihadapi oleh klien mereka. Disamping fungsi tersebut, lawyers
juga berfungsi untuk mengambil bagian di dalam memajukan (improve) profesi
hukum, pengadilan maupun hukumnya itu sendiri di satu pihak dan di lain pihak
berfungsi sebagai acting as an unselfish leader of public opinion within his
own particular sphere of interest (Nasution, 1981: 105-106).
Dalam
RUU Advokat yang akan disahkan nanti seyogyanya memuat tentang bantuan hukum. Suatu
progam bantuan hukum berfungsi untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, juga berarti meningkatkan kesadaran masyarakat akan
masalah-masalah utama yang dihadapinya dan berbagai jalan yang dapat
ditempuhnya. Dengan kata lain, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
memerlukan pendidikan masyarakat ke arah demokrasi. Progam bantuan hukum di
Indonesia tidak saja perlu untuk membantu si miskin yang mungkin menjadi korban
daripada sistem tersebut, tetapi jangkauannya harus lebih jauh dengan turut
serta melalui jalan-jalan hukum, memperbaiki dan merubah sistem sehingga sistem
yang yang adil dapat berkembang .
Maka
sesuai dengan itu, suatu progam bantuan hukum atas dasar suatu konsepsi yang
seluas itu pada dasarnya adalah sutau proses pendidikan yang pada hakekatnya
akan akan menghasilkan keuntungan ganda. Pada satu pihak berusaha untuk
menegakkan cita-cita negara hukum, dan di lain pihak melaksanakan cita-cita
negara demokrasi. Dengan lain perkataan mengembangkan progam bantuan hukum yang
luas haruslah menjurus kepada bertambahnya rasa bertanggungjawab dan kesadaran
masyarakat. Hal yang demikian ini seharusnya mendorong pemerintah untuk lebih
bertanggungjawab dan terbuka dalam mengembangkan suatu sistem hukum yang adil
dan merata, dan mendorong legislator untuk lebih perhatian dalam membuat
perundangan yang mereka susun sehingga akan memberikan sebuah produk yang
berkualitas (Nasution, 1981: 56-57).
Suatu
masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi dan dengan demikian sadar
akan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya merupakan pra kondisi bagi
terlaksananya suatu negara hukum. Hanya di dalam masyarakat semacam itulah
rakyat, termasuk golongan miskin dan lemah dari lapisan paling rendah dapat
diharapkan akan mempunyai pengetahuan, kemampuan dan keberanian untuk menuntut
ditegakkannya segala prinsip dan nilai-nilai hukum (yakni supremasi hukum,
persamaan hukum, pengadilan yang adil, praduga tak bersalah, peradilan yang
bebas dan tak memihak dan sebagainya). Hanya di
dalam masyarkat seperti inilah kita dapat mengharapakan arti yang
sebenarnya dari suatu lembaga hukum, termasuk hak untuk memperoleh bantuan
hukum.
Progam-progam
advokat haruslah tidak bersikap pasif seperti service station, sekedar
menunggu orang-orang yang tidak mampu untuk datang mencari bantuan hukum. Advokat
juga harus secara aktif menunjang dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
dan membuat mereka menyadari adanya hak dan kewajiban, bahkan mendorong
masyarakat agar mempunyai keberanian dan kepercayaan pada diri sendiri untuk
memperjuangkan hak-hak mereka ini. Tanpa adanya usaha dari progam tersebut,
maka RUU advokat tidak akan efektif dan nyatanya segala
perundang-undangan, bahkan yang
menguntungkan rakyat miskin dan lemah sekalipun, tidak akan mempunyai arti yang
nyata (Nasution, 1981: 55).
Dengan
adanya RUU Advokat tersebut, setidaknya dapat juga berfungsi memenuhi tujuan
daripada suatu tujuan bantuan hukum seperti yang diungkapkan Barry Metzger.
Tujuan-tujuan tersebut adalah :
- Untuk membangun suatu kesatuan sistem hukum nasional.
- Untuk pelaksanaan yang lebih efektif daripada peraturan-peraturan kesejahteraan sosial untuk keuntungan si miskin.
- Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab yang lebih besar dari pejabat-pejabat pemerintahan atau birokrasi kepada masyarakat.
- Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat yang lebih luas ke dalam proses pemerintahan.
- Untuk memperkuat profesi hukum (Nasution, 1981: 5).
Tanggungjawab
untuk memajukan profesi, pengadilan dan hukum tersebut lebih dituntut dari para
sarjana hukum di negara-negara berkembang. Sebagai kaum cendikiawan, sarjana
hukum mengetahui dengan pasti betapa lemahnya profesi hukum di negara-negara
berkembang. Mereka juga mengetahui bahwa pengadilan belumlah efektif ataupun
memegang peranan yang luas dalam masyarakat. Lebih lagi mereka mengetahui bahwa
hukum pada umumnya belumlah kuat. Oleh karena itu adalah menjadi kewajibannya
baik karena dituntut oleh kepentingan profesinya sendiri maupun karena
statusnya sebagai cendikiawan, untuk terus menerus berusaha memajukan baik
profesi hukum, pengadilan maupun hukum itu sendiri.
Dalam
usaha memajukan tersebut, seorang lawyers tidak cukup hanya berusaha melalui legal
mechanism atau melalui legal procedure, karena jalan tersebut
bersifat terlalu sempit dan bersifat
teknis. Untuk mendapatkan efek yanng lebih besar dan luas agar dapat mencapai
seluruh lapisan masyarakat, lawyers harus dapat menjadikan dirinya sebagai leader
of public opinion. Dia harus bersedia dan mampu mengemukakan
pemikiran-pemikiran, komentar-komentar, bahkan konsepsi-konsepsi yang dapat
mengembangkan kesadaran hukum dari masyarakat. Dan pada gilirannya juga dapat
memajukan profesi hukum, pengadilan maupun hukum itu sendiri. Dia juga harus
berani mengemukakan pendapat-pendapatnya, kritik-kritik maupun komentar
terhadap setiap gejala dalam masyarakat yang merugikan kemajuan profesi,
termasuk pula kesadaran hukum masyarakat. Untuk itu tentu saja setiap lawyers
harus memiliki kepekaan terhadap perkembangan masyarakat dan pada saatnya yang
tepat mampu menemukan dan sekaligus memberikan reaksi terhadap gejala-gejala
tersebut. Hal ini memerlukan bukan saja pengetahuan tinggi, melainkan juga
dedikasi kepada profesinya dalam arti yang luas, yakni yang mencakup
fungsi-fungsi tersebut diatas (Nasution, 1981: 106-107).
Lembaga Hukum
Yang Demokratis
Dalam
RUU Advokat juga harus berani memberi kekuasaan dan kekuatan serta spirit
kepada para advokat untuk mendorong pembentukan lembaga hukum yang demokratis. Lembaga
hukum merupakan lembaga penegak keadilan dalam suatu masyarakat. Lembaga hukum
ini tempat dimana semua rakyat memerlukan dan mencari keadilan. Hukum menjamin
agar keadilan bisa dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat
tanpa membedakan asal-usul, warna kulit, kedudukan. Hukum juga menjamin agar keadilan
bisa dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa
membedakan asal-usul, warna kulit, kedudukan, keyakinan, dan lain sejenisnya.
Di dalam masyarakat madani lembaga hukum sangat vital, karena pada lembaga ini
dipercayakan oleh masyarakat agar keadilan ditegakkan (Thoha, 2003: 218).
Adakalanya
ketimpangan penegakan hukum bukan terletak pada kaidah peraturan
perundang-undangan (set of rules and norms), melainkan juga terletak
pada pelaksanaannya. Kecenderungan klasik tersebut nampaknya masih kuat
mewarnai penegakan hukum di Indonesia. Kelemahan dalam penegakan hukum tersebut
terjadi hampir pada semua tingkatan lembagapenegakan hukum. akibat lemahnya
kinerja intitusi untuk melaksanakan penghukuman, terlihat seperti berbuat kasihan
kepada para pelanggar hukum.
Ada
pameo yang mengatakan, bahwa berbuat kasihan kepada penjahat, mencelakakan
rakyat (mercy to the criminal, cruelty to the people), atau memaafkan
yang buruk, melukai yang baik (pardoning the bad is injuring the good).
Demikian pula pelaksanaan penghukuman yang timpang akan menyebabkan luka di
hati rakyat. Ketaatan pada hukum (law abiding) para warga sangat
ditentukan oleh bagaimana hukum tersebut senyatanya ditegakkan (the real law
enforcement) (Nitibaskara, 2007:22-23).
Salah
satu sendi kehidupan masyarakat adalah keadilan. Jika keadilan tidak ada
kehidupan masyarakat akan pincang., dan penerapan keadilan itupun tidak boleh
dilebihkan dan dikurangi. Melebihkan keadilan cenderung untuk tidak berbuat
adil, demikian pula menguranginya. Lembaga hukum dalam masyarakat madani harus
menjadi tempat mencari keadilan ini. Oleh karena itu lembaga hukum ini tidak
boleh sedikitpun tergoyah untuk menerapkan keadilan yang didasarkan atas
ketentuan, hukum, dan syariat yang telah disepakati bersama.
Keadilan
seperti itu bisa diciptakan jika lembaga hukum itu dihormati, dijaga, dan
dijamin integritasnya secara konsekuen. Demikian pula pelaku dan penjaga
lembaga hukum ini secara jujur bisa dipercaya untuk menegakkan keadilan.
Keterkaitan antar keadilan dan lembaga hukum merupakan suatu mekanisme
tersendiri yang harus dilembagakan. Jika lembaga hukum telah memutuskan suatu
keadilan bagi yang memintanya atau mencarinya, maka keputusan keadilan yang
adil itu harus dihormati dan diterima. Masyarakat tunduk kepada hukum yang
adil, dan kehidupan masyarakat ini mempunyai kepastian dihadapan hukum,
sehingga martabat, harga diri, dan hak asasinya bisa dijamin dalam masyarakat
madani. Lembaga hukum ini mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang mandiri tidak
dicampuri oleh kekuasaan dan kewenangan lembaga-lembaga lainnya (Thoha, 2003:
219).
Peran RUU
Advokat Dalam Menghadapi Pasar Bebas ASEAN 2015
Dari
uraian diatas jelaslah akan pentingnya kedudukan advokat dan profesi advokat di
dalam masyarakat serta kebutuhan masyarakat akan jasa hukum dari seorang
advokat. Maka dilihat dari hal tersebut kebutuhan akan adanya advokat yang
demokratis dan independen sangatlah diperlukan. Adanya hal tersebut salah
satunya dapat diciptakan melalui adanya undang-undang yang demokratis sehingga
dapat menciptakan negara Indonesia yang demokratis nantinya. Dengan demikian,
kalau terjadi penyimpangan dari apa yang diatur oleh Rancangan Undang-Undang
(RUU) Advokat, maka masyarakat mengetahui bagaimana cara mengatasi persoalan
yang dihadapinya.
Terlebih
lagi dalam rangka memasuki era perdagangan bebas ASEAN 2015 nanti profesi
advokat menjadi terbuka dan profesi yang tadinya dikenal sangat dibatasi dalam
suatu wilayah negara akan berubah menajadi profesi lintas negara. Persoalannya
nanti adalah bagaimana mengawasi kiprah
lawyers asing dan lembaga hukum asing di negara kita agar tidak merugikan dunia
profesi advokat di Indonesia dan memotong jumlah billing yang terjadi di
Indonesia. Suatu perangkat peraturan perlu disusun dan diperkenalkan untuk
mengawasi sepak terjang advokat asing. Kemungkinan mereka untuk berpraktek
dalam badan arbitrase komersial juga perlu perangkat peraturan tersendiri (Rambe,
2003 : 17-18).
Untuk
menciptkan para advokat atau lawyers yang bertaraf internasional maka harus
memberikan pendidikan hukum yang bertaraf internasional pula. Pendidikan hukum
yang baik bisa dilihat dan mencomtoh pada kualitas lawyers Amerika Serikat yang
baik, yang disebut dengan “educated first class lawyers”.
Pengacara-pengacara tersebut disegani kemampuannya dalam masyarakat karena
memang memiliki kualitas keterampilan yang menonjol. Sekalipun keterampilan
tersebut dalam konteks profesi, namun juga bersifat umum. Diantar keterampilan
tersebut adalah keterampilan analitis, pengetahuan hukum yang mapan,
keterampilan kerja yang bersifat dasar seperti penghimpunan sejumlah besar
informasi dan keahlian tinggi dalam melakukan komunikasi, akrab dengan
lingkungan kelembagaan, kesadaran terhadap adanya suatu lingkungan hukum yang
luas dan goog judgement (Rahardjo, 2009: 48).
Adalah
suatu yang tepat apabila semenjak sekarang mulai dipikirkan lagi untung
melengkapi dan memperbaiki RUU Advokat yang kebetulan sekarang sedang di tunda
pembahasannya. RUU Advokat perlu mempertimbangkan etika profesi yang seragam
dan memenuhi standar internasional supaya advokat Indonesia mampu berkiprah di
dalam pergaulan Internasional. Terciptanya undang-undang tersebut tidak lepas
juga dari masukan dan peran akan suatu organisasi advokat yang kuat dan
berwibawa serta bersatu akan keberagaman yang mempunyai komitmen kepada rule
of law dan demokrasi serta hak asasi manusia (Rambe, 2003 : 19).
Kesimpulan
Advokat
lahir dari masyarakat untuk masyarakat yang didorong oleh hati nuraninya untuk
berkiprah menegakkan hukum dan keadilan serta mewujudkan supremasi hukum untuk
semua aspek kehidupan. Penegakan hukum dalam suatu negara akan dapat dicapai
lebih sempurna jika advokatnya telah diatur dengan suatu oleh undang-undang
yang kompatibel dan demokratis. Hal ini berfungsi untuk memperjelas kiprah dan
fungsinya serta peranannya di tengah lapisan masyarakat khususnya para pencari
keadilan.
Advokat
sebagai penegak hukum harus mampu mengoreksi dan mengamati putusan dan tindakan
para praktisi hukum yang lainnya dan hal ini dibenarkan hukum dan
perundang-undangan. Advokat dalam setiap nafasnya harus tanggap terhadap
tegaknya hukum dan keadilan di tengah lapisan masyarakat, dengan menghilangkan
rasa takut kepada siapapun dan tidak membeda-bedakan tenpat, etnis, agama,
kepercayaan, miskin atau kaya dan sebagainya untuk memberikan bantuan hukum
setiap saat.
Selain
penegakan hukum, bantuan hukum sebagai ruh dalam RUU Advokat harus memang
benar-benar dijiwai oleh para lawyers. Karena tanpa menjiwai hal tersebut maka
sebaik apapun perundangan yang dibuat oleh para legislator tidak akan
memberikan dampak apapun. Selain itu lembaga hukum yang demokratis juga perlu
untuk diperjuangkan secara bersama. Advokat sebagai seorang yang selalu
bersentuhan langsang dengan lembaga penegakan hukum berpotensi besar untuk
mengawal demokrasi di lembaga tersebut tetap hidup dan berjalan.
Namun
adakalanya ketimpangan penegakan hukum bukan terletak pada kaidah peraturan
perundang-undangan, melainkan juga terletak pada pelaksanaannya. Kecenderungan
klasik tersebut nampaknya masih kuat mewarnai penegakan hukum di Indonesia.
Kelemahan dalam penegakan hukum tersebut terjadi hampir pada semua tingkatan
lembaga penegakan hukum. Akibat lemahnya kinerja intitusi untuk melaksanakan
penghukuman, terlihat seperti berbuat kasihan kepada para pelanggar hukum.
Ada
pameo yang mengatakan, bahwa berbuat kasihan kepada penjahat, mencelakakan
rakyat, atau memaafkan yang buruk, melukai yang baik. Demikian pula pelaksanaan
penghukuman yang timpang akan menyebabkan luka di hati rakyat. Ketaatan pada
hukum para warga sangat ditentukan oleh
bagaimana hukum tersebut senyatanya ditegakkan. Maka dari itu diperlukan
sinergi dan intgritas oleh advokat dalam mengawal kasus yang ditanganinya
sehingga mendapatkan hukuman yang seadil-adilnya.
Ketika
hal-hal diatas dapat dicapai maka akan menampakkan peran strategis para advokat
dalam mengawal dan memenuhi cita-cita negara Indonesia yang demokratis. Hal itu
pula tidak lepas dari demokratisasi dalam RUU Advokat sendiri. Sehinngga ketika
menghadapi Pasar Bebas ASEAN 2015 nanti para advokat indonesia memang
benar-benar telah mumpuni untung ikut bersaing dan berkompetisi dengan para
advokat asing. Selain itu dengan integritas dan kemampuan yang dimiliki, advokat Indonesia juga berani
untuk go internasional dalam mengawal kasus hukum antar negara di
seluruh dunia.
Daftar
Pustaka
Nasution, Adnan Buyung. 1981. Bantuan
Hukum Di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Nitibaskara, Ronny Rahman. 2007. Tegakkan
Hukum Gunakan Hukum. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Rahardjo, Satjipto. 2009.
Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Rambe, Ropaun. 2003. Teknik
Praktek Advokat. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi
& Politik Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kompas.com. 2014. Alasan Peradi
Tolak RUU Advokat, (Online). (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/09/24/nce90r-ini-alasan-peradi-tolak-ruu-advokat, diakses diakses 23 Oktober 2014).
Yuntri, Muhammad. 2014. Revisi UU
Advokat Lanjutkan Wacana Atau Seriuskah?, (Online). (http://hukum.kompasiana.com/2013/12/11/revisi-uu-advokat- lanjutkan
-wacana-atau-seriuskah-618232.html,
diakses 23 Oktober 2014).
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi
Manusia. 2013. Rancangan Undang-Undang Tentang Advokat. Jakarta:
Kemenkumham.
Sekretaris Negara. 2003. Undang-Undang
Republik Indonesia No. 18 Tentang Advokat. Jakarta: Sekretaris Negara.
pembahasannya menarik sekali...
BalasHapus