Salam Kemanusiaan
Kebetulan sekali hari sabtu tanggal 13 Desember 2014 kemarin saya & sahabat saya direkomendasikan oleh Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk mengikuti ritual dan prosesi acara pernikahan beda agama di Klaten bersama senior dari Percik, Mas Agung. Disebut sebagai pernikahan beda agama karena kedua mempelai mempunyai keyakinan ideologi yang berbeda, calon suami seorang muslim dan calon istri seorang kristen. Ada banyak hal menarik yang saya saksikan dari prosesi pernikahan yang diselenggarakan di sebuah hotel yang terletak di sebelah rumah dinas Bupati Klaten tersebut. Pernikahan yang biasanya hanya dilakukan berdasarkan satu keyakinan, kali ini dalam satu pernikahan dilaksanakan 2 akad dari 2 keyakinan yang berbeda. Kebetulan sekali untuk hari kemarin akad pernikahan yang dimulai pukul 5 sore tersebut menggunakan ritual nasrani terlebih dahulu, kemudian baru setelah maghrib dilaksanakan ritual akad nikah dengan agama Islam.
Sedangkan tentang pernikahan beda agama tersebut dalam yurisprudensi Islam klasik (fiqh salaf) saat ini seakan menutup kemungkinan secara mutlak untuk dilaksanakan, terutama di Indonesia. Begitu juga dengan yurisprudensi Indonesia (baik UU Perkawinan no 1 tahun 1974 & KHI) juga tidak memberikan ruang yang luas untuk terjadinya perkawinan beda agama diakui secara sah di negara ini. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Departemen Agama (untuk pernikahan orang muslim dicatatkan di KUA) dan Dinas Catatan Sipil (pernikahan non muslim dicatatkan di Dinas Catatan Sipil) Kota Klaten tidak mau mencatatkan dan mengakui pernikahan tersebut. Sehingga kemudian LSM Percik Salatiga membantu pelaksanaan pernikahan tersebut dengan mengfasilitasi pencatatannya di Dinas Catatan Sipil Kota Salatiga yang kebetulan dalam beberapa tahun ini berani membuat regulasi berbeda dengan mengsahkan pernikahan beda agama.
Terlepas dari boleh tidaknya pernikahan tersebut baik dalam fiqh Islam maupun hukum positif Indonesia, ada satu hal besar yang dapat saya ambil hikmahnya dari ritual sakral tersebut, yaitu Humanisme (kemanusiaan). Agama & negara tidak seharusnya menjadi penghalang dalam menyatukan 2 manusia dalam satu ikatan cinta dan kasih sayang. Ketika memang benar bagian dari tulang rusuk yang telah ditakdirkan ternyata mempunyai keyakinan yang berbeda apakah akan dengan lantang harus ditolak dan tidak diakui ??? Islam yang rahmatan lil alamin adalah sebuah ideologi yang harus dibangun dalam menggapai cita-cita kemanusiaan yang penuh cinta kasih dan kedamaian kepada sesama, dan negara harus mengfasilitasi itu.
Kebetulan sekali hari sabtu tanggal 13 Desember 2014 kemarin saya & sahabat saya direkomendasikan oleh Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk mengikuti ritual dan prosesi acara pernikahan beda agama di Klaten bersama senior dari Percik, Mas Agung. Disebut sebagai pernikahan beda agama karena kedua mempelai mempunyai keyakinan ideologi yang berbeda, calon suami seorang muslim dan calon istri seorang kristen. Ada banyak hal menarik yang saya saksikan dari prosesi pernikahan yang diselenggarakan di sebuah hotel yang terletak di sebelah rumah dinas Bupati Klaten tersebut. Pernikahan yang biasanya hanya dilakukan berdasarkan satu keyakinan, kali ini dalam satu pernikahan dilaksanakan 2 akad dari 2 keyakinan yang berbeda. Kebetulan sekali untuk hari kemarin akad pernikahan yang dimulai pukul 5 sore tersebut menggunakan ritual nasrani terlebih dahulu, kemudian baru setelah maghrib dilaksanakan ritual akad nikah dengan agama Islam.
Sedangkan tentang pernikahan beda agama tersebut dalam yurisprudensi Islam klasik (fiqh salaf) saat ini seakan menutup kemungkinan secara mutlak untuk dilaksanakan, terutama di Indonesia. Begitu juga dengan yurisprudensi Indonesia (baik UU Perkawinan no 1 tahun 1974 & KHI) juga tidak memberikan ruang yang luas untuk terjadinya perkawinan beda agama diakui secara sah di negara ini. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Departemen Agama (untuk pernikahan orang muslim dicatatkan di KUA) dan Dinas Catatan Sipil (pernikahan non muslim dicatatkan di Dinas Catatan Sipil) Kota Klaten tidak mau mencatatkan dan mengakui pernikahan tersebut. Sehingga kemudian LSM Percik Salatiga membantu pelaksanaan pernikahan tersebut dengan mengfasilitasi pencatatannya di Dinas Catatan Sipil Kota Salatiga yang kebetulan dalam beberapa tahun ini berani membuat regulasi berbeda dengan mengsahkan pernikahan beda agama.
Terlepas dari boleh tidaknya pernikahan tersebut baik dalam fiqh Islam maupun hukum positif Indonesia, ada satu hal besar yang dapat saya ambil hikmahnya dari ritual sakral tersebut, yaitu Humanisme (kemanusiaan). Agama & negara tidak seharusnya menjadi penghalang dalam menyatukan 2 manusia dalam satu ikatan cinta dan kasih sayang. Ketika memang benar bagian dari tulang rusuk yang telah ditakdirkan ternyata mempunyai keyakinan yang berbeda apakah akan dengan lantang harus ditolak dan tidak diakui ??? Islam yang rahmatan lil alamin adalah sebuah ideologi yang harus dibangun dalam menggapai cita-cita kemanusiaan yang penuh cinta kasih dan kedamaian kepada sesama, dan negara harus mengfasilitasi itu.
M. Najmuddin H.
Direktur Forum Diskusi Lingkar Studi Gender (LSG) IAIN Salatiga
*Tulisan ini tidak bermaksud melegitimasi pernikahan beda agama. Masih banyak cerita tentang pernikahan tersebut terutama tentang pelaksanaan akad nikahnya. Insyaallah akan saya ceritakan dalam tulisan yang lain.
Direktur Forum Diskusi Lingkar Studi Gender (LSG) IAIN Salatiga
*Tulisan ini tidak bermaksud melegitimasi pernikahan beda agama. Masih banyak cerita tentang pernikahan tersebut terutama tentang pelaksanaan akad nikahnya. Insyaallah akan saya ceritakan dalam tulisan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.