Kawin Hamil Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) & Fiqih Islam - Sang Pemburu Badai

Senin, 17 November 2014

Kawin Hamil Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) & Fiqih Islam


Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan mahluk-Nya di dunia ini dengan berpasang-pasangan. Diharapkan dengan berpasang-pasangan tersebut dapat memberikan keturunan yang akan tetap memberikan kesinambungan kehidupan di muka bumi ini. Dengan demikian bumi ini tidak pernah kosong, tetapi terus berkembang dari masa ke masa.
Ketika Allah mengirimkan banjir kepada umat Nabi Nuh, Allah memerintahkan kepada rasul-Nya itu untuk membawa hewan-hewan ke dalam kapal penyelamatnya secara berpsangan. Tidak semua hewan dapat terangkut ke dalam kapal ini. Tetapi paling tidak banyak banyak spesies hewan yang diangkut oleh Nabi Nuh ke dalam kapalnya itu. Ini memberikan hikmah bahwa Allah sendiri memerintahkan kepada manusia untuk ikut menjaga keberlangsungan dan kesinambungan generasi mahluk-mahluk-Nya di muka bumi ini.
Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya untuk memakmurkan dunia ini. Dengan ini Allah membekali manusia dengan akal dan hati. Diharapkan dengan ini manusia dapat berfikir dan membimbingnya memperoleh kebahagiaan. Dengan akal dan hatinya pula manusia diharapkan mendapatkan pasangannya yang baik di bumi ini.
Berbeda dengan mahluk-mahluk Allah yang lain, dalam mendapatkan pasangannya manusia dikenakan syarat-syarat khusus. Syarat-syarat tersebut terkumpul dalam sebuah akad yang dinamakan pernikahan. Tentunya perbedaan ini disebabkan karena Allah telah memberikan keistimewaan yang sangat besar kepada manusia, yaitu akal dan hati. Diharapakan pula dengan akal dan hati tersebut manusia dapat menemukan pasangannya secara halal dan bisa menjadi pasangan yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
Perkawinan dan pernikahan adalah hal yang sama. Pernikahan sangat dianjurkan oleh agama sebagaimana banyak termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Ini seperti pendapat Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Hukum-Hukum Fiqh Islam ketika memberikan pengertian tentang pernikahan yaitu “Nikah, sutau aqad syar’y (ikatan keagamaan) yang dianjurkan Syara’” (Ash-Shiddieqy, 1978: :265).
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengertian tentang pernikahan atau perkawinan dalam pasal 2 “yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” (Depag, 2000:14).
Yang dituntut oleh agama adalah perkwaninan yang sah. Karena dengan perkawinan yang sah itu diharapakan dapat terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dengan mensyariatkan nikah, tentunya Allah juga mempunyai tujuan-tujuan. Dalam hal ini Dr. Yusuf Qadwhawi mengungkapkan.
Kalu sekiranya perkawinan itu tidak disyariatkan, tentu naluri seksual tidak dapat tersalurkan dan tidak dapat memainkan perannya dalam menjaga eksistensi manusia. Kalu sekiranya zina itu tidak diharamkan, hubungan seksual tidak dibatasi hanya oleh laki-laki dan wanita tertentu yang diikat tali pernikahan, niscaya tidak terwujudlah keluarga yang membangun perasaan sosial yang luhur, berupa cinta dan kasih sayang. Kalau tidak ada keluarga tentu tidak terbentuk suatu masyarakat, bahkan tidak ada usaha ke arah yang lebih baik lagi sempurna (Qardhawi, 2003:214-215).

Walaupun begitu kadangkala masih banyak menusia yang mencari pasangan-pasangannya dengan jalan yang melenceng dari jalan yang telah digariskan oleh syariat. Dengan mengikuti hawa nafsunya mereka melakukan perzinaan. Padahal Allah sendiri telah menetapkan zina sebagai perbuatan dosa besar yang ancaman hukumannya di dunia dan akhirat sangatlah berat. Setelah melakukan perzinaan mereka baru melakukan pernikahan.
Dalam surat an-Nur, Allah menjelaskan bahwa Dia telah menyiapkan seorang perempuan yang baik untuk seorang laki-laki yang baik, dan menyiapkan perempuan yang buruk untuk laki-laki yang buruk. Serta laki-laki pezina hanyalah pantas mendapatkan perempuan pezina, dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini Dr. Yusuf Qardhawi memberikan penjelasan lebih lanjut.
Karena itu, barang siapa tidak menerima dan tidak berpegang teguh kepada hukuman ini, ia adalah musyrik. Tidak akan menerima perkawinannya kecuali mereka yang juga musyrik. Dan barang siapa mengakui, menerima, dan berkomitmen dengan hukuman ini, akan tetapi ia melanggar dan menikah dengan perempuan yang diharamkan baginya, ia hakikatnya berzina (Qardhawi, 2003: 266).

Tidak jarang pula pernikahan itu dilakukan pada saat perempuan tersebut sedang hamil karena hubungan zina. Tujuannya pun bermacam-macam.  Adakalanya untuk menutupi aib keluarga perempuan tersebut. Atau juga keluarga perempuan tersebut takut laki-laki yang menghamilinya akan kabur dan tidak bertanggungjawab. Karena tidak jarang laki-laki yang menghamili seorang perempuan di luar nikah akan melarikan diri untuk melepaskan tanggungjawabnya (Hasan, 2006:253-254).

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut setidaknya terdapat dua permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu:
1.      Pernikahan perempuan pezina.
2.      Status pernikahan perempuan yang sedang hamil karena zina dipandang dari perspektif KHI dan fiqih Islam.




BAB II
KAWIN HAMIL


A.    Kawin Hamil Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kawin hamil yang dimaksud disini sudah bisa dipahami sebagai sebuah akad pernikahan yang dilakukan seorang perempuan yang hamil diluar nikah, baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan laki-laki lain. Dan bukan dipahami sebagai sebuah pernikahan perempuan hamil secara mutlak, karena perempuan yang ditinggal mati suaminya atau dicerai dalam keadaan hamil dari pernikahan yang sah maka haram dinikahi. Ini disebabkan karena perempuan tersebut masih dalam keadaan iddah atau masa menunggu.
Sejatinya orang yang masih dalam keadaan ‘iddah atau masa menunggu dilarang melakukan akad perkawinan. Salah satu kategori orang yang mempunyai masa ‘iddah adalah seorang istri yang sedang hamil karena pernikahan yang sah yang ditinggal mati suaminya atau dicerai. Perempuan tersebut tidak diperbolehkan melangsungkan akad pernikahan dengan orang lain selama masa kehamilannya sampai ia melahirkan anaknya. Dan jika melangsungkan akad pernikahan maka dianggap batal. Ini ditujukan untuk menjaga nasab dan agar tidak ada keragu-raguan tentang ayah dari anak tersebut (An-Nawawi, 2005:412)
Masalah ini juga termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 ayat 2c “Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu diteteapkan sampai melahirkan”, dan ayat 2d “Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan” (Depag, 2000:71).
Ternyata larangan untuk menikahi perempuan hamil dari perkawinan yang sah tidak berlaku untuk perempuan yang hamil di luar nikah. Bahkan pernikahan perempuan hamil di luar nikah sendiri secara sah diakui dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hal ini dimuat dalam pasal 57 ayat 1 KHI yang berbunyi “seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” (Depag, 2000:33).
Akad perkawinan yang dilangsungkan antara perempuan yang hamil di luar nikah dengan laki-laki yang menghamilinya tidak harus menunggu sampai melahirkan bayinya. Pernikahan dapat dilangsungkan pada saat perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil. Dan akad tesebut juga sah, seperti yang tertera dalam pasal 53 ayat 2 KHI “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya” (Depag, 2000:33).
Akad perkawinan yang dilangsungkan pada saat perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil sudah dianggap sah demi hukum. Setelah anak yang dikandung itu lahir, maka tidak diperlukan perkawinan ulang lagi antara perempuan dan laki-laki tadi. Ini seperti yang termaktub dalam pasal 53 ayat 3 KHI “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir” (Depag, 2000:33).
B.     Kawin Hamil Dalam Perspektif Fiqih Islam
1.      Pernikahan Wanita Pezina
Dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 3 dijelaskan bahwa perempuan pezina dilarang menikah kecuali dengan laki-laki pezina juga. Dalam hal ini Dr. Yusuf Qardhawi (2003:264) dalam bukunya yang berjudul Halal Haram Dalam Islam mengemukakan tentang ta’rif perempuan pezina “...adalah perempuan-perempuan tuna susila yang secara terang-terangan melakukan perzinaan dan menjadikannya sebagi profesi”. Melihat ta’rif tersebut, setidaknya seorang perempuan dapat dikatakan sebagai perempuan pezina jika memenuhi 2 syarat, yaitu adanya kesengajaan untuk melakukan zina dan menjadikan itu sebagai profesi.
Pejelasan Ibnu Qayyim, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Yusuf Qardhawi (2003:266) mengatakan.
Sebagaimana hukuman ini adalah ketetapan al-Qur’an yang sangat demikian jelas, ia juga merupakan pemenuhan fitrah dan logis adanya. Ketika Allah swt. mengharamkan hamba-hamba-Nya menjadi mucikari dan suami perempuan nakal, sesungguhnya Dia juga menciptakan manusia dengan naluri yang tidak menyukai hal itu. Karena itulah, jika ingin memperolok-olok seseorang, masyarakat dahulu mengatakannya sebagai ‘suami pelacur’. Karena itu, Allah swt. meng-haramkannya bagi seorang muslim, agar ia tidak menjadi orang semacam itu.

Larangan menikahi perempuan pezina, selain terdapat dalam al-Qur’an, juga terdapat dalam sebuah hadis. Yaitu hadis yang menceritakan tentang peristiwa seorang sahabat yang meminta izin kepada Nabi Muhammad untuk menikahi seseorang pezina. Namun Nabi melarang sahabat itu untuk menikahi perempuan tersebut. Sedangkan larangan-larangan menikahi perempuan pezina secara tegas diungkapakan oleh Allah dalam surat an-Nur ayat 3 (Qardhawi, 2003: 265).
Perkawinan dengan laki-laki atau perempuan pezina dapat melecehkan kehormatan dirinya sebagai anggota masyarakat. Selain itu juga dapat menggugurkan status kewarganegaraannya atau menghalanginya dari hak-hak tertentu. Selain itu juga, perkawinan itu dapat menyebabkan rusaknya martabat seorang manusia dan merusak nasab yang telah ditentukan oleh Allah yang ditujukan untuk kemaslahatan mereka. Zina dapat menyebabkan bercampur baurnya air mani dan menjadikan rancunya sebuah nasab (Qardhawi, 2003: 266).
Dalam larangan menikahi perempuan pezina seseungguhnya terdapat hikmah yang sangat besar. Ketika Allah mengharamkan hambanya untuk menjadi mucikari dan suami dari perempuan nakal, seseungguhnya Dia juga menciptakan manusia yang tidak menyukai hal itu. Maka dengan seizin Allah seorang laki-laki yang baik akan mendapatkan istri yang baik pula (Qardhawi, 2003: 266).
Walaupun begitu, sebenarnya larangan untuk menikahi perempuan pezina merupakan masalah khilafiyah. Tidak semua ulama’ secara sepakat mengatakan bahwa perempuan pezina dilarang dinikahi secara mutlak. Tidak sedikit dari para ulama’-ulama’ itu yang memperbolehkan menikahi perempuan pezina, walaupun ada sebagian diantara mereka yang menetapkan syarat-syarat tertentu agar perempuan pezina tersebut dapat dinikahi (Ash-Shiddieqy, 1978:279).
Imam Malik dan Imam Ahmad, seperti yang dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy memperbolehkan menikahi perempuan pezina yaitu perempuan jalang atau pelacur. Sedangkan Imam Ahmad juga memperbolehkan menikahi perempuan pezina tetapi dengan syarat perempuan tersebut telah bertobat. Ketika perempuan tersebut belum bertobat maka diharamkan untuk menikahinya (Ash-Shiddieqy, 1978:285).

2.      Kawin Hamil Dalam Pandangan Ulama Fiqih
Dalam fiqih Islam sendiri para ulama’ sebenarnya masih berbeda pendapat tentang hukum menikahi perempuan yang hamil karena zina. Tak sedikit ulama’ yang mengharamkan pernikahan ini. Alasannya pun bermacam-macam. Ada yang mengharamkan karena berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena zina tersebut mempunyai iddah seperti perempuan hamil pada umumnya. Sehingga perempuan tersebut haram dinikahi sampai melahirkan anknya. Selain itu para ulama’ juga ada yang berpendapat bahwa tidak boleh menikahi perempuan tersebut kecuali oleh laki-laki yang berzina dengannya.
Salah satu ulama’ yang mengatakan diperbolehkannya menikahi perempuan yang hamil karena zina adalah Imam Nawawi. Beliau menjelaskan bahwa anak yang dikandung oleh perempuan tersebut tidak akan bisa dinasabkan kepada seorang lelaki pun, maka dari itu kehamilannya pun dianggap tidak ada atau tidak berpengaruh sama sekali terhadapnya. Sehingga status kehamilan perempuan tersebut tidak akan menghalangi dirinya untuk melaksanakan akad nikah (An-Nawawi, 2005:413).
Ketika seorang perempuan berzina, maka tidak wajib baginya adanya ‘iddah, ini seperti yang ditegaskan Imam Nawawi. Baik perempuan itu dalam keadaan hamil maupun tidak setelah melakukakan perbuatan zina tersebut. Sehingga hukum yang berlaku terhadap perempuan hamil sebab berzina berbeda dengan perempuan yang hamil sebab pernikahan yang sah. Perbedaan itu ialah karena perempuan yang hamil sebab pernikahan yang sah akan dikenai ‘iddah jika ditinggal mati suaminya atau dicerai, sedangkan perempuan yang hamil karena zina tidak mempunyai masa ‘iddah (An-Nawawi, 2005:413).
Imam Nawawi memberikan keterangan lebih lanjut, bahwa perempuan pezina yang tidak hamil boleh (mubah) dinikahi oleh orang yang berzina dengannya maupun oleh orang lain. Sedangkan apabila perempuan tersebut dalam keadaan hamil, maka menikahinya sebelum melahirkan dihukumi makruh. Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat Imam Abu Hanifah seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi (An-Nawawi, 2005:414).
Jika para ulama’ Syafi’iyyah dan Hanafiyyah berpandangan bahwa perempuan yang hamil karena zina boleh dinikahi oleh siapapun, maka pendapat ini berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qudamah seperti yang dikutip M. Ali Hasan. Mereka berpandangan bahwa perempuan yang hamil karena zina tidak boleh menenikah kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya. Menurut Imam Abu Yusuf, bila perkawinan itu tetap dilangsungkan maka perkawinan itu dianggap batal atau fasid. Ibnu Qudamah menambahkan, bahwa seorang laki-laki tidak boleh mengawini perempuan yang diketahuinya telah hamil karena zina dengan orang lain kecuali dengan dua syarat, yaitu perempuan tersebut telah melahirkan dan perempuan tersebut telah menjalani hukuman dera atau cambuk (Hasan, 2006:256-258).
Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan para ulama’ Syafi’iyyah, Imam Malik dan Imam Ahmad seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi mengatakan bahwa perempuan yang berzina tetap memiliki ‘iddah seperti perempuan pada umumnya. Apabila perempuan tersebut tidak hamil maka ‘iddahnya adalah tiga kali masa suci. Sedangkan apabila perempuan tersebut sedang dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai perempuan tersebut melahirkan. Sehingga konsekuensinya adalah perempuan tersebut tidak boleh dinikahi sebelum masa hamilnya habis. Imam Malik menerangkan lebih lanjut, bahwa apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan pezina tetapi laki-laki tersebut tidak mengetahuinya dan setelah pernikahan itu baru diketahui bahwa ternyata perempuan itu hamil karena zina, maka pada saat ini juga hubungan pernikahannya dianggap batal (An-Nawawi, 2005:414).
Tetapi pendapat Imam Malik ini tentunya sangatlah aneh dan janggal. Karena seorang ayah dapat dengan itu dapat mengingkari anak hasil dari hubungannya dengan seorang perempuan yang menyebabkan kehamilan diluar nikah. Ini seperti yang diuangkapkan oleh Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah.
Dengan demikian, sekalipun diketahui bahwa anak yang dilahirkan jelas-jelas anaknya, darah dagingnya, namun kalau ia lahir di luar perkawinan yang sah, maka ayah anak tersebut dengan mudah menyangkalnya dan melepaskan tanggung jawabnya. Hal ini akan memberikan stigmatisasi terhadapa anak, karena ia akan menyandang gela anak zina sekaligus diltelantarkan oleh bapaknya (Munti & Anisah, 2005:158).




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari keterangan dan pendapat-pendapat ulama diatas setidaknya dapat disimpulkan menjadi empat pendapat.
1.      Pendapat pertama yang mengatakan bahwa perempuan yang hamil diluar nikah boleh melangsungkan akad pernikahan baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan laki-laki lain. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah dan Hanafiyyah seperti yang dikutip Imam Nawawi.
2.      Pendapat kedua mengatakan bahwa perempuan yang hamil diluar nikah hanya boleh melangsungkan akad pernikahan dengan laki-laki yang menghamilinya saja. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qadamah. Pendapat ini juga merupakan bunyi pasal KHI yang menyebutkan bahwa perempuan yang hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya saja.
3.      Pendapat ketiga mengatakan bahwa perempuan hamil di luar nikah tidak boleh melangsungkan akad pernikahan. Perempuan tersebut baru boleh menikah baik dengan laki-laki yang berzina dengannya maupun dengan orang lain dengan syarat telah melahirkan kandungannya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Malik dan Imam Ahmad.
4.      Pendapat keempat, perempuan yang pernah berzina baik dalam keadaan hamil maupun tidak, tidak boleh melangsungkan akad pernikahan kecuali dengan sesama pezina. Pendapat ini merupakan pendapatnya Dr. Yusuf Qardhawi dan Ibnu Qayyim.

B.     Saran-Saran
Kendatipun terdapat banyak pendapat diatas yang dapat kita ikuti, tetapi tidak akan membuat kita leluasa untuk memilihnya. Banyak pertimbangan-pertimbangan yang akan mempengaruhi pilihan kita. Kehidupan dalam masyarakat majmuk serta hidup dalam mayarakat yang masih memegang adat ketimuran dengan erat tentunya menjadi sekian diantara beberapa pertimbangan yang akan menyambangi kita. Dampak positif serta negatif di masyarakat dalam memilih pendapat tersebut tentunya juga tak luput dalam mempengaruhi sebuah kebijakan yang akan kita ambil.
Contohnya adalah mengenai laki-laki yang mengawini perempuan hamil yang dihamili oleh laki-laki lain. Dalam hal ini M. Ali Hasan berpendapat bahwa kendatipun ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa perkawinan yang dilangsungkan itu sah, tetapi akan memberikan dampak negatif. Sebab, laki-laki akan dianggap sebagai tumbal (penutup aib), apakah dia mengawini perempuan itu dengan sukarela atau karena imbalan. Apalagi kalau laki-laki tersebut bukanlah seorang pezina atau laki-laki hidung belang. Maka sebenarnya laki-laki yang pantas menjadi pasangan perempuan itu adalah laki-laki yang pezina juga (Hasan, 2006:262).
Selain itu juga, belum ada pemberian hukum khusus yang diberikan kepada perempuan yang hamil karena menjadi korban perkosaan. Baik dalam KHI maupun Fiqih Islam agaknya memberikan pemahaman tentang hukum yang sama antara perempuan yang hamil karena zina dan perempuan yang hamil karena perkosaaan. Seharusnya hukum yang diberikan tidak disamakan dengan perempuan pezina, karena perbuatan perkosaan itu terjadi bukan atas kehendaknya sendiri. Perempuan tersebut sejatinya hanyalah korban dari perbuatan zina oleh orang lain, bukan pelaku yang menghendaki perbuatan zina tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Halal Haram Dalam Islam. Solo: Era Intermedia.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1978. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hasan, Muhammad Ali. 2006. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Siraja Prenada Media Grup.
Munti, Ratna Batara & Hindun Anisah. 2005. Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: LBH-APIK.
An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Bin Syaraf. 2005. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab. Juz 17. Beirut: Dar Al-Fikr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.