Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan mahluk-Nya di dunia ini dengan
berpasang-pasangan. Diharapkan dengan berpasang-pasangan tersebut dapat memberikan keturunan
yang akan tetap memberikan kesinambungan kehidupan di muka bumi ini. Dengan
demikian bumi ini tidak pernah kosong, tetapi terus berkembang dari masa ke
masa.
Ketika Allah mengirimkan banjir kepada umat
Nabi Nuh, Allah memerintahkan kepada rasul-Nya itu untuk membawa hewan-hewan ke
dalam kapal penyelamatnya secara berpsangan. Tidak semua hewan dapat terangkut
ke dalam kapal ini. Tetapi paling tidak banyak banyak spesies hewan yang
diangkut oleh Nabi Nuh ke dalam kapalnya itu. Ini memberikan hikmah bahwa Allah
sendiri memerintahkan kepada manusia untuk ikut menjaga keberlangsungan dan
kesinambungan generasi mahluk-mahluk-Nya di muka bumi ini.
Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya
untuk memakmurkan dunia ini. Dengan ini Allah membekali manusia dengan akal dan
hati. Diharapkan dengan ini manusia dapat berfikir dan membimbingnya memperoleh kebahagiaan. Dengan akal dan hatinya pula manusia diharapkan
mendapatkan pasangannya yang baik di bumi ini.
Berbeda dengan mahluk-mahluk Allah yang lain,
dalam mendapatkan pasangannya manusia dikenakan syarat-syarat khusus.
Syarat-syarat tersebut terkumpul dalam sebuah akad yang dinamakan pernikahan.
Tentunya perbedaan ini disebabkan karena Allah telah memberikan keistimewaan
yang sangat besar kepada manusia, yaitu akal dan hati. Diharapakan pula dengan
akal dan hati tersebut manusia dapat menemukan pasangannya secara halal dan
bisa menjadi pasangan yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
Perkawinan dan pernikahan adalah hal yang
sama. Pernikahan sangat dianjurkan oleh agama sebagaimana banyak termuat dalam
al-Qur’an dan al-Hadis. Ini seperti pendapat Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya
Hukum-Hukum Fiqh Islam ketika memberikan pengertian tentang pernikahan yaitu “Nikah,
sutau aqad syar’y (ikatan keagamaan) yang dianjurkan Syara’” (Ash-Shiddieqy,
1978: :265).
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
memberikan pengertian tentang pernikahan atau perkawinan dalam pasal 2 “yaitu
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah” (Depag, 2000:14).
Yang dituntut oleh agama adalah perkwaninan
yang sah. Karena dengan perkawinan yang sah itu diharapakan dapat terwujud
keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dengan mensyariatkan nikah,
tentunya Allah juga mempunyai tujuan-tujuan. Dalam hal ini Dr. Yusuf Qadwhawi
mengungkapkan.
Kalu sekiranya perkawinan itu tidak
disyariatkan, tentu naluri seksual tidak dapat tersalurkan dan tidak dapat
memainkan perannya dalam menjaga eksistensi manusia. Kalu sekiranya zina itu
tidak diharamkan, hubungan seksual tidak dibatasi hanya oleh laki-laki dan
wanita tertentu yang diikat tali pernikahan, niscaya tidak terwujudlah keluarga
yang membangun perasaan sosial yang luhur, berupa cinta dan kasih sayang. Kalau
tidak ada keluarga tentu tidak terbentuk suatu masyarakat, bahkan tidak ada
usaha ke arah yang lebih baik lagi sempurna (Qardhawi, 2003:214-215).
Walaupun begitu kadangkala masih banyak
menusia yang mencari pasangan-pasangannya dengan jalan yang melenceng dari
jalan yang telah digariskan oleh syariat. Dengan mengikuti hawa nafsunya mereka
melakukan perzinaan. Padahal Allah sendiri telah menetapkan zina sebagai
perbuatan dosa besar yang ancaman hukumannya di dunia dan akhirat sangatlah
berat. Setelah melakukan perzinaan mereka baru melakukan pernikahan.
Dalam surat an-Nur, Allah menjelaskan bahwa
Dia telah menyiapkan seorang perempuan yang baik untuk seorang laki-laki yang
baik, dan menyiapkan perempuan yang buruk untuk laki-laki yang buruk. Serta
laki-laki pezina hanyalah pantas mendapatkan perempuan pezina, dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal
ini Dr. Yusuf Qardhawi memberikan penjelasan lebih lanjut.
Karena itu, barang siapa tidak menerima dan
tidak berpegang teguh kepada hukuman ini, ia adalah musyrik. Tidak akan
menerima perkawinannya kecuali mereka yang juga musyrik. Dan barang siapa
mengakui, menerima, dan berkomitmen dengan hukuman ini, akan tetapi ia melanggar
dan menikah dengan perempuan yang diharamkan baginya, ia hakikatnya berzina
(Qardhawi, 2003: 266).
Tidak jarang pula pernikahan itu dilakukan pada saat perempuan tersebut
sedang hamil karena hubungan zina.
Tujuannya pun bermacam-macam. Adakalanya
untuk menutupi aib keluarga perempuan tersebut. Atau juga keluarga perempuan
tersebut takut laki-laki yang menghamilinya akan kabur dan tidak
bertanggungjawab. Karena tidak jarang laki-laki yang menghamili seorang perempuan
di luar nikah akan melarikan diri untuk melepaskan tanggungjawabnya (Hasan,
2006:253-254).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut setidaknya terdapat dua permasalahan yang dapat
dirumuskan, yaitu:
1. Pernikahan perempuan pezina.
2. Status pernikahan perempuan yang sedang hamil karena zina dipandang dari
perspektif KHI dan fiqih Islam.
BAB II
KAWIN HAMIL
A.
Kawin Hamil Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kawin hamil yang dimaksud disini sudah bisa
dipahami sebagai sebuah akad pernikahan yang dilakukan seorang perempuan yang hamil diluar nikah, baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun
dengan laki-laki lain. Dan bukan dipahami sebagai sebuah pernikahan perempuan
hamil secara mutlak, karena perempuan yang ditinggal mati suaminya atau dicerai
dalam keadaan hamil dari pernikahan yang sah maka haram dinikahi. Ini
disebabkan karena perempuan tersebut masih dalam keadaan iddah atau masa
menunggu.
Sejatinya orang yang masih dalam keadaan ‘iddah
atau masa menunggu dilarang melakukan akad perkawinan. Salah satu kategori
orang yang mempunyai masa ‘iddah adalah seorang istri yang sedang hamil karena
pernikahan yang sah yang ditinggal mati suaminya atau dicerai. Perempuan
tersebut tidak diperbolehkan melangsungkan akad pernikahan dengan orang lain
selama masa kehamilannya sampai ia melahirkan anaknya. Dan jika melangsungkan
akad pernikahan maka dianggap batal. Ini ditujukan untuk menjaga nasab dan agar
tidak ada keragu-raguan tentang ayah dari anak tersebut (An-Nawawi, 2005:412)
Masalah ini juga termaktub dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 153 ayat 2c “Apabila perkawinan putus karena
perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu diteteapkan
sampai melahirkan”, dan ayat 2d “Apabila perkawinan putus karena
kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan” (Depag, 2000:71).
Ternyata larangan untuk menikahi perempuan
hamil dari perkawinan yang sah tidak berlaku untuk perempuan yang hamil di luar
nikah. Bahkan pernikahan perempuan hamil di luar nikah sendiri secara sah
diakui dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hal ini dimuat dalam pasal 57 ayat 1
KHI yang berbunyi “seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya” (Depag, 2000:33).
Akad perkawinan yang dilangsungkan antara perempuan
yang hamil di luar nikah dengan laki-laki yang menghamilinya tidak harus
menunggu sampai melahirkan bayinya. Pernikahan dapat dilangsungkan pada saat perempuan
tersebut masih dalam keadaan hamil. Dan akad tesebut juga sah, seperti yang
tertera dalam pasal 53 ayat 2 KHI “Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya” (Depag, 2000:33).
Akad perkawinan yang dilangsungkan pada saat
perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil sudah dianggap sah demi hukum.
Setelah anak yang dikandung itu lahir, maka tidak diperlukan perkawinan ulang
lagi antara perempuan dan laki-laki tadi. Ini seperti yang termaktub dalam
pasal 53 ayat 3 KHI “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita
hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir” (Depag,
2000:33).
B.
Kawin Hamil Dalam Perspektif Fiqih Islam
1.
Pernikahan
Wanita Pezina
Dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 3 dijelaskan
bahwa perempuan pezina dilarang menikah kecuali dengan laki-laki pezina juga.
Dalam hal ini Dr. Yusuf Qardhawi (2003:264) dalam bukunya yang berjudul Halal
Haram Dalam Islam mengemukakan tentang ta’rif perempuan pezina “...adalah
perempuan-perempuan tuna susila yang secara terang-terangan melakukan perzinaan
dan menjadikannya sebagi profesi”. Melihat ta’rif tersebut, setidaknya
seorang perempuan dapat dikatakan sebagai perempuan pezina jika memenuhi 2
syarat, yaitu adanya kesengajaan untuk melakukan zina dan menjadikan itu
sebagai profesi.
Pejelasan Ibnu Qayyim, sebagaimana yang
dikutip oleh Dr. Yusuf Qardhawi (2003:266) mengatakan.
Sebagaimana hukuman ini adalah ketetapan
al-Qur’an yang sangat demikian jelas, ia juga merupakan pemenuhan fitrah dan
logis adanya. Ketika Allah swt. mengharamkan hamba-hamba-Nya menjadi mucikari
dan suami perempuan nakal, sesungguhnya Dia juga menciptakan manusia dengan
naluri yang tidak menyukai hal itu. Karena itulah, jika ingin memperolok-olok
seseorang, masyarakat dahulu mengatakannya sebagai ‘suami pelacur’. Karena itu,
Allah swt. meng-haramkannya bagi seorang muslim, agar ia tidak menjadi orang
semacam itu.
Larangan menikahi perempuan pezina, selain
terdapat dalam al-Qur’an, juga terdapat dalam sebuah hadis. Yaitu hadis yang
menceritakan tentang peristiwa seorang sahabat yang meminta izin kepada Nabi
Muhammad untuk menikahi seseorang pezina. Namun Nabi melarang sahabat itu untuk
menikahi perempuan tersebut. Sedangkan larangan-larangan menikahi perempuan
pezina secara tegas diungkapakan oleh Allah dalam surat an-Nur ayat 3
(Qardhawi, 2003: 265).
Perkawinan dengan laki-laki atau perempuan
pezina dapat melecehkan kehormatan dirinya sebagai anggota masyarakat. Selain
itu juga dapat menggugurkan status kewarganegaraannya atau menghalanginya dari
hak-hak tertentu. Selain itu juga, perkawinan itu dapat menyebabkan rusaknya
martabat seorang manusia dan merusak nasab yang telah ditentukan oleh Allah
yang ditujukan untuk kemaslahatan mereka. Zina dapat menyebabkan bercampur
baurnya air mani dan menjadikan rancunya sebuah nasab (Qardhawi, 2003: 266).
Dalam larangan menikahi perempuan pezina
seseungguhnya terdapat hikmah yang sangat besar. Ketika Allah mengharamkan
hambanya untuk menjadi mucikari dan suami dari perempuan nakal, seseungguhnya
Dia juga menciptakan manusia yang tidak menyukai hal itu. Maka dengan seizin
Allah seorang laki-laki yang baik akan mendapatkan istri yang baik pula
(Qardhawi, 2003: 266).
Walaupun begitu, sebenarnya larangan untuk
menikahi perempuan pezina merupakan masalah khilafiyah. Tidak semua ulama’
secara sepakat mengatakan bahwa perempuan pezina dilarang dinikahi secara
mutlak. Tidak sedikit dari para ulama’-ulama’ itu yang memperbolehkan menikahi perempuan
pezina, walaupun ada sebagian diantara mereka yang menetapkan syarat-syarat
tertentu agar perempuan pezina tersebut dapat dinikahi (Ash-Shiddieqy,
1978:279).
Imam Malik dan Imam Ahmad, seperti yang
dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy memperbolehkan menikahi perempuan pezina yaitu
perempuan jalang atau pelacur. Sedangkan Imam Ahmad juga memperbolehkan
menikahi perempuan pezina tetapi dengan syarat perempuan tersebut telah
bertobat. Ketika perempuan tersebut belum bertobat maka diharamkan untuk
menikahinya (Ash-Shiddieqy, 1978:285).
2.
Kawin
Hamil Dalam Pandangan Ulama’ Fiqih
Dalam fiqih Islam sendiri para ulama’
sebenarnya masih berbeda pendapat tentang hukum menikahi perempuan yang hamil
karena zina. Tak sedikit ulama’ yang mengharamkan pernikahan ini. Alasannya pun
bermacam-macam. Ada yang mengharamkan karena berpendapat bahwa perempuan yang
hamil karena zina tersebut mempunyai iddah seperti perempuan hamil pada
umumnya. Sehingga perempuan tersebut haram dinikahi sampai melahirkan anknya.
Selain itu para ulama’ juga ada yang berpendapat bahwa tidak boleh menikahi perempuan
tersebut kecuali oleh laki-laki yang berzina dengannya.
Salah satu ulama’ yang mengatakan
diperbolehkannya menikahi perempuan yang hamil karena zina adalah Imam Nawawi.
Beliau menjelaskan bahwa anak yang dikandung oleh perempuan tersebut tidak akan
bisa dinasabkan kepada seorang lelaki pun, maka dari itu kehamilannya pun
dianggap tidak ada atau tidak berpengaruh sama sekali terhadapnya. Sehingga
status kehamilan perempuan tersebut tidak akan menghalangi dirinya untuk
melaksanakan akad nikah (An-Nawawi, 2005:413).
Ketika seorang perempuan berzina, maka tidak
wajib baginya adanya ‘iddah, ini seperti yang ditegaskan Imam Nawawi. Baik
perempuan itu dalam keadaan hamil maupun tidak setelah melakukakan perbuatan
zina tersebut. Sehingga hukum yang berlaku terhadap perempuan hamil sebab
berzina berbeda dengan perempuan yang hamil sebab pernikahan yang sah.
Perbedaan itu ialah karena perempuan yang hamil sebab pernikahan yang sah akan
dikenai ‘iddah jika ditinggal mati suaminya atau dicerai, sedangkan perempuan
yang hamil karena zina tidak mempunyai masa ‘iddah (An-Nawawi, 2005:413).
Imam Nawawi memberikan keterangan lebih
lanjut, bahwa perempuan pezina yang tidak hamil boleh (mubah) dinikahi oleh
orang yang berzina dengannya maupun oleh orang lain. Sedangkan apabila perempuan
tersebut dalam keadaan hamil, maka menikahinya sebelum melahirkan dihukumi
makruh. Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat Imam Abu Hanifah
seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi (An-Nawawi, 2005:414).
Jika para ulama’ Syafi’iyyah dan Hanafiyyah
berpandangan bahwa perempuan yang hamil karena zina boleh dinikahi oleh
siapapun, maka pendapat ini berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Yusuf dan Ibnu
Qudamah seperti yang dikutip M. Ali Hasan. Mereka berpandangan bahwa perempuan
yang hamil karena zina tidak boleh menenikah kecuali dengan laki-laki yang
menghamilinya. Menurut Imam Abu Yusuf, bila perkawinan itu tetap dilangsungkan
maka perkawinan itu dianggap batal atau fasid. Ibnu Qudamah menambahkan, bahwa
seorang laki-laki tidak boleh mengawini perempuan yang diketahuinya telah hamil
karena zina dengan orang lain kecuali dengan dua syarat, yaitu perempuan
tersebut telah melahirkan dan perempuan tersebut telah menjalani hukuman dera
atau cambuk (Hasan, 2006:256-258).
Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan para
ulama’ Syafi’iyyah, Imam Malik dan Imam Ahmad seperti yang dikutip oleh Imam
Nawawi mengatakan bahwa perempuan yang berzina tetap memiliki ‘iddah seperti perempuan
pada umumnya. Apabila perempuan tersebut tidak hamil maka ‘iddahnya adalah tiga
kali masa suci. Sedangkan apabila perempuan tersebut sedang dalam keadaan
hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai perempuan tersebut melahirkan. Sehingga
konsekuensinya adalah perempuan tersebut tidak boleh dinikahi sebelum masa
hamilnya habis. Imam Malik menerangkan lebih lanjut, bahwa apabila seorang
laki-laki menikahi seorang perempuan pezina tetapi laki-laki tersebut tidak
mengetahuinya dan setelah pernikahan itu baru diketahui bahwa ternyata perempuan
itu hamil karena zina, maka pada saat ini juga hubungan pernikahannya dianggap
batal (An-Nawawi, 2005:414).
Tetapi pendapat Imam Malik ini tentunya sangatlah
aneh dan janggal. Karena seorang ayah dapat dengan itu dapat mengingkari anak
hasil dari hubungannya dengan seorang perempuan yang menyebabkan kehamilan
diluar nikah. Ini seperti yang diuangkapkan oleh Ratna Batara Munti dan Hindun
Anisah.
Dengan demikian, sekalipun diketahui bahwa
anak yang dilahirkan jelas-jelas anaknya, darah dagingnya, namun kalau ia lahir
di luar perkawinan yang sah, maka ayah anak tersebut dengan mudah menyangkalnya
dan melepaskan tanggung jawabnya. Hal ini akan memberikan stigmatisasi terhadapa
anak, karena ia akan menyandang gela anak zina sekaligus diltelantarkan oleh
bapaknya (Munti & Anisah, 2005:158).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari keterangan dan pendapat-pendapat ulama
diatas setidaknya dapat disimpulkan menjadi empat pendapat.
1. Pendapat pertama yang mengatakan bahwa perempuan yang hamil diluar nikah
boleh melangsungkan akad pernikahan baik dengan laki-laki yang menghamilinya
maupun dengan laki-laki lain. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah
dan Hanafiyyah seperti yang dikutip Imam Nawawi.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa perempuan yang hamil diluar nikah hanya
boleh melangsungkan akad pernikahan dengan laki-laki yang menghamilinya saja.
Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qadamah. Pendapat ini juga
merupakan bunyi pasal KHI yang menyebutkan bahwa perempuan yang hamil di luar
nikah hanya dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya saja.
3. Pendapat ketiga mengatakan bahwa perempuan hamil di luar nikah tidak boleh
melangsungkan akad pernikahan. Perempuan tersebut baru boleh menikah baik
dengan laki-laki yang berzina dengannya maupun dengan orang lain dengan syarat telah
melahirkan kandungannya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Malik dan Imam
Ahmad.
4. Pendapat keempat, perempuan yang pernah berzina baik dalam keadaan hamil
maupun tidak, tidak boleh melangsungkan akad pernikahan kecuali dengan sesama
pezina. Pendapat ini merupakan pendapatnya Dr. Yusuf Qardhawi dan Ibnu Qayyim.
B. Saran-Saran
Kendatipun terdapat banyak pendapat diatas
yang dapat kita ikuti, tetapi tidak akan membuat kita leluasa untuk memilihnya.
Banyak pertimbangan-pertimbangan yang akan mempengaruhi pilihan kita. Kehidupan
dalam masyarakat majmuk serta hidup dalam mayarakat yang masih memegang adat
ketimuran dengan erat tentunya menjadi sekian diantara beberapa pertimbangan
yang akan menyambangi kita. Dampak positif serta negatif di masyarakat dalam
memilih pendapat tersebut tentunya juga tak luput dalam mempengaruhi sebuah
kebijakan yang akan kita ambil.
Contohnya adalah mengenai laki-laki yang
mengawini perempuan hamil yang dihamili oleh laki-laki lain. Dalam hal ini M.
Ali Hasan berpendapat bahwa kendatipun ada beberapa ulama yang berpendapat
bahwa perkawinan yang dilangsungkan itu sah, tetapi akan memberikan dampak
negatif. Sebab, laki-laki akan dianggap sebagai tumbal (penutup aib), apakah
dia mengawini perempuan itu dengan sukarela atau karena imbalan. Apalagi kalau
laki-laki tersebut bukanlah seorang pezina atau laki-laki hidung belang. Maka
sebenarnya laki-laki yang pantas menjadi pasangan perempuan itu adalah
laki-laki yang pezina juga (Hasan, 2006:262).
Selain itu juga, belum ada pemberian hukum khusus
yang diberikan kepada perempuan yang hamil karena menjadi korban perkosaan.
Baik dalam KHI maupun Fiqih Islam agaknya memberikan pemahaman tentang hukum
yang sama antara perempuan yang hamil karena zina dan perempuan yang hamil
karena perkosaaan. Seharusnya hukum yang diberikan tidak disamakan dengan perempuan
pezina, karena perbuatan perkosaan itu terjadi bukan atas kehendaknya sendiri.
Perempuan tersebut sejatinya hanyalah korban dari perbuatan zina oleh orang
lain, bukan pelaku yang menghendaki perbuatan zina tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Halal Haram Dalam
Islam. Solo: Era Intermedia.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1978. Hukum-Hukum
Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hasan, Muhammad Ali. 2006. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam.
Jakarta: Siraja Prenada Media Grup.
Munti, Ratna Batara & Hindun Anisah. 2005. Posisi Perempuan Dalam
Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: LBH-APIK.
An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Bin Syaraf. 2005. Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzab. Juz 17. Beirut: Dar Al-Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Untuk Meinggalkan Komentar Anda ! Kritik dan Saran Dibutuhkan Untuk Perbaikan Blog Ini Kedepannya.