Desember 2017 - Sang Pemburu Badai

Minggu, 03 Desember 2017

Bertoleransi Terhadap Agama Penghayat & Aliran Kepercayaan

05.25 1
Bertoleransi Terhadap Agama Penghayat & Aliran Kepercayaan

Bertoleransi Terhadap Agama Penghayat & Aliran Kepercayaan



Beberapa saat yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan bahwa dalam kolom agama di KTP nantinya bisa diganti dengan Pengahayat atau Kepercayaan. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan". Dengan putusan ini, maka penghayat dan aliran kepercayaan bisa dicatat dalam kolom KTP.

Putusan MK ini sampai saat ini masih dianggap kontroversial, bahkan sempat mendapat penolakan dari MUI, Ormas Islam dan beberapa kalangan lain. Dikutip dari Republika.co.id, KH. Maruf Amin selaku Ketua MUI mengatakan bahwa MUI bersama Ormas menolak putusan MK karena tidak memperhatikan kesepakatan politik sebagai dasar dari solusi kebangsaan. Menurut beliau, MK mengerluarkan putusan mengenai aliran kepercayaan agar masuk dalam kolom agama di KTP sebagai identitas adalah hal yang menyalahi kesepakatan. Sedangkan NU seperti yang disampaikan salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas kepada Republika.co.id bersikap lebih lunak, dengan menerima dan menghormati keputusan MK, walaupun ada sebagian tokohnya masih memberikan catatan terkait putusan itu.

Dalam hal ini, penulis akan memberikan beberapa pandangan dan pendapat terkait pengalaman penelitian yang pernah penulis lakukan.

Dalam Stdudy Agama-Agama, kita mengenal bahwa ada 2 macam agama dilihat dari segi turunnya, yaitu Agama Ardhi dan  Agama Samawi. Agama Ardi adalah agama yang tumbuh dan berkembang di bumi, kitab sucinya bukan berupa wahyu tapi hasil karya dan perenungan seorang tokoh agama yang bersangkutan. Agama Samawi, adalah agama yang turun dari atas. Maksudnya kitab sucinya berupa wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Rasul untuk sekalian manusia.

Penghayat atau Kepercayan sendiri bagi sebagian kalangan dimasukkan dalam salah satu dari dua macam agama diatas, karena ada kemiripan-kemiripan di dalamnya atau merupakan aliran sempalan dari sebuah agama. Sehingga ketika ada pencatatan, maka akan dimasukkan ke dalam agama induknya. Tetapi tidak sedikit Tokoh yang mengatakan bahwa penghayat atau penganut kepercayaan tidak termasuk diantara 2 macam pembagian agama diatas. Atau ada yang mengatakan bahwa Penghayat atau Kepercayaan minus unsur-unsur untuk disebut sebagai sebuah agama, seperti tidak ada Kitab Suci atau tidak ada keyakinan adanya Dzat yang suci. Sehingga menurut pendapat kedua inilah Pengahayat atau Aliran Kepercayan harus berdiri sendiri, dan tidak dimasukkan ke dalam agama yang sudah ada. Dan kejadian seperti pendapat kedua ini lah yang banyak penulis temui di lapangan.
                                                                                                                                                 
Pernah beberapa kali dikontrak oleh beberapa lembaga untuk melakukan penelitian, mengharuskan penulis bertemu dengan beberapa kelompok masyarakat penganut kepercayaan atau penghayat. Baik pertemuan itu karena memang berkaitan dengan tema penelitian di lakukan, maupun dengan tema lainnya. Diantara beberapa daerah masyarakat kelompok kepercayaan yang pernah penulis temui adalah di Wonogiri, Sragen, dan Magelang. Dan saat ini pun penulis sedang melakukan penelitian pada kelompok masyarakat penganut kepercayaan dan penghayat di Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Semarang berkaitan dengan proses pernikahan dan pencatatannya.
Dari berbagai pertemuan tersebut, ada beberapa hal yang penulis temukan; Pertama, kelompok masyarakat penghayat atau aliran kepercayaan sering terpaksa untuk mengikuti berbagai praktek keagamaan yang telah ditentukan oleh pemerintah, padahal berbeda dengan keyakinan yang mereka pegang. Sebagai contoh adalah menurut pemerintah kelompok kepercayaan tersebut didefinisikan sebagai pemeluk agama Islam. Konsekuensinya, dalam praktek pernikahan mereka diharuskan mengikuti aturan yang ada dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Padahal praktek yang diyakini dalam kelompok mereka berbeda dengan yang pemerintah yakini. Akibatnya prosesi pernikahan tidak sedikit yang harus dilakukan 2 kali, berdasarkan keyakinan pemerintah dan keyakinan kelompok mereka.

Kedua, kelompok masyarakat penghayat dan aliran kepercayaan masih belum merasa terdampingi oleh pemerintah melalui peran Kementerian Agama seperti agama lainnya. Di Kementerian Agama sendiri sudah ada Dirjen Bimas Islam, Kristen, Budha, dan agama lain yang diakui di Indonesia. Tetapi untuk Dirjen Bimas yang khusus memberikan bimbingan dan pendampingan bagi kelompok masyarakat penghayat dan aliran kepercayaan belum ada. Walaupun menurut Kemenag sendiri Penghayat  dan Aliran Kepercayaan telah mendapatkan pembinaan dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi tentu saja untu melakukan pembinaan terhadap 187 Kelompok Masyarakat Penghayat dan Aliran Kepercayaan se-Indonesia yang diakui oleh pemerintah tidak akan berjalan maksimal. Padahal sebagai warga negara Indonesia, mereka juga taat membayar pajak, serta mengikuti peraturan-peraturan pemerintah yang berlaku.

Ketiga, sebagai sebuah bagian dari sejarah, mereka meyakini bahwa Aliran Kepercayaan dan Penghayat telah ada dan tumbuh di Indonesia berabad-abad yang lalu. Lebih dahulu dibanding Agama Kristen, Katolik, dan Konghucu yang datang belakangan. Bahkan sebagian dari mereka mengatakan, kepercayaan mereka telah ada ada sebelum agama Islam masuk.

Keempat, ketiadaan pengakuan pemerintah akan eksistensi Penghayat dan Aliran Kepercayaan sebagai sebuah agama atau kepercayaan tersendiri membuat kekhawatiran bahwa suatu saat nanti ideologi kelompok mereka akan punah.  Orang-orang tidak akan tertarik, atau ikut masuk menjadi bagian dari kelompok masyarakat tersebut. Padahal selama ini banyak dari mereka yang terbuka untuk menerima warga baru. Bisa saja kelompok masyarakat ini kedepannya hanya akan menjadi sebuah objek penelitian, sebagai sebuah tradisi yang terancam punah.

Melihat kenyataan diatas maka sebenarnya putusan MK untuk menetapkan Penghayat dan Aliran Kepercayaan masuk dalam kolom KTP adalah suatu keputusan yang tepat. Sebagai warga negara yang pluralis kita harus dengan legowo menerimanya. Tentunya keputusan MK disini masih harus ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan pelaksana yang dapat memastikan mana penghayat dan aliran kepercayaan yang dapat dimasukkan dalam kolom KTP. Harus ada kriteria-kriteria tertentu. Dan tentu saja untuk menentukan ini semua masih perlu sebuah kajian yang panjang.


Jetis, 03 Desember 2017 / 14 Rabiul Awal 1939 H