Agustus 2017 - Sang Pemburu Badai

Rabu, 02 Agustus 2017

Muhammadiyah Dalam 3 Matra: Aswaja, Tajdid & Wahabisme

06.24 1
Muhammadiyah Dalam 3 Matra: Aswaja, Tajdid & Wahabisme


Muhammadiyah Dalam 3 Matra: Aswaja, Tajdid & Wahabisme


Baca Juga : Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah (Analisa Tekstual dan Kontekstual Aqidah dan Manhaj NU dari Masa ke Masa)
 

A.       Muqaddimah
Organisasi Muhammadiyah adalah organisasi yang sudah sangat lama didirikan, dan termasuk diantara organisasi Islam yang pertama berdiri di Indonesia. Organisasi ini telah diakui oleh masyarakat nasional dan international dengan banyaknya sumbangsih yang telah diberikan. Tokoh pendirinya banyak berperan dalam kemerdekaan Republik Indonesia, serta mempertahankan kemerdekaannya. Sampai saat ini, Muhammadiyah bersama Nahdlatul Ulama’ (NU) disebut sebagai organisasi yang menjadi garda terdepan menjaga keutuhan NKRI. Kedua organisasi tersebut sampai saat ini terus bergerak maju bersama-sama untuk memajukan bangsa Indonesia.
Walaupun Muhammadiyah sudah sangat akrab terdengar di telinga, namun masih banyak yang merasa asing dengan konsep gerakan serta idelogi yang berkembang di dalamnya. Perasaan asing tersebut tidak hanya dirasakan oleh banyak kalangan di luar Muhammadiyah, bahkan bagi anggota organisasi tersebut pun tidak sedikit yang belum memahami subtansi ajaran, ideologi, serta hakekat akan Muhammadiyah. Maka dirasa perlu oleh penulis untuk menyajikan sebuah tulisan ringkas yang menjelaskan Muhammadiyah dalam tiga matra atau bagian, yaitu Aswaja, Tajdid, dan isu seputar Wahabisme.
Perlu diketahui bahwa dalam era saat ini seringkali antara berbagai golongan Islam timbul pengakuan sebagai golongan yang paling benar, dengan menamakan setiap golongan atau kelompoknya sebagai kelompok yang menganut paham Ahlussunah wal Jama’ah. Tidak terkecuali dengan Muhammadiyah. Sebagai organisasi yang bertendensi mengikuti para ulama salaf, Muhammadiyah memberikan perspektif sendiri tentang definisi Aswaja, dan bagaimana Ideologi Islam yang sebenarnya. Semangat definisi yang diberikan oleh Muhammadiyah adalah sebagai salah satu bentuk pemurnian ajaran Islam dengan mengembalikan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sebagai organisasi yang bersemboyankan Islam berkemajuan, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi yang menggaungkan akan adanya pembaruan atau Tajdid. Tajdid sendiri bermakna pemurnian plus pengembangan atau pengembangan plus pemurnian sebagai satu kesatuan gerakan. Tajdid bukan hanya berusaha untuk memurnikan kembali, tetapi juga memberikan dimensi kepada ajaran Islam agar dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin, menjadi penyejuk dan pelindung bagi semua umat manusi di Bumi. Tetapi dampak dari adanya konsep gerakan tersebut Muhammadiyah dianggap mempunyai kesamaan dan keserupaan gerakan dengan kelompok pembaruan lainnya. Maka tidak heran jika kemudian ada yang menuduh bahwa Muhammadiyah sama dengan Wahaby.
B.        Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
1.        Gerakan Pembaharuan Islam
Benih pembaharuan Islam sudah muncul mulai sekitar abad 13 Masehi, suatu masa yang mana umat Islam pada saat itu tengah mengalami kemundurun dalam berbagai bidang dengan sangat drastisnya. Hal ini ditandai dengan kelahiran Taqiyuddin Abul Abbas bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah Al-Haran Al-Hanbaly di Harran Syiria. Tokoh yang kemudian terkenal dengan nama Ibnu Taimiyah ini dalam pandangan sebagian orang  adalah seorang Mujtahid yang kemudian melakukan pembaharuan terhadap ajaran Islam. Dalam perjalanannya, Ibnu Taimiyah disokong penuh oleh muridnya yang bernama Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Saad bin Harits Az-Zuhri Ad-Dimasyqi Abu Abdillah Syamsuddin atau yang lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
Dalam pandangan Muhammadiyah, kedua tokoh ini dianggap sebagai tokoh yang pertama kali berusaha memurnikan ajaran Islam (tajdid fil Islam) dari berbagai keyakinan, sikap dan perbuatan yang akan merusak sendi-sendi Islam. Kedua tokoh ini ingin mengembalikan pemahaman keagamaan umat Islam kepada pemahaman dan pengamalan Rasulullah Saw, dan generasi salaf, yang meliputi genarasi para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in. Karena kedua ulama ini bertekad akan mengikuti cara-cara pemahaman ulama’ salaf, maka gerakan yang mereka pimpin disebut sebagai gerakan Salafiyah.[2]
Ciri-ciri khas aliran salaf yang dikembangkan oleh kedua tokoh di atas, yang kemudian juga akan menjadi ciri khas dari seluruh Gerakan Pembaharuan dalam Islam (Gerakan Reformasi Islam) di seluruh dunia Islam adalah:
a.         Memberi ruang dan peluang ijtihad di dalam berbagai kajian keagamaan yang berkaitan dengan muamalah dunyawiyyah.
b.         Tidak terikat secara mutlak dengan pendapat ulama-ulama terdahulu.
c.         Memerangi orang-orang yang menyimpang dari akidah kaum salaf, seperti kemusyrikan, khurafat, bid’ah, taqlid, dan tawasul. Juga terhadap orang-orang yang mengaku sebagai orang Sufi dan Filosuf yang secara terang-terangan sudah menyalahi dan menyimpang  dari prinsip-prinsip akidah Islamiyah.
d.         Kembali kepada ajaran al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.
Adapun tokoh-tokoh pembaharu ajaran agama Islam dalam pandangan Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
a.         Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Abul Abbas bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah Al-Haran Al-Hanbaly. Dilahirkan pada tanggal 10 Rabiul Awal 661 Hijriyah / 22 Januari 1263 Masehi di kota Harran Syiria. Dia pertama kali berguru dengan ayahnya, Syihabuddin yang terkenal sebagai ahli dalam ilmu hadis dan khatib terkenal di Damaskus Syiria. Kemudian dilanjutkan berguru kepada beberapa ulama’ terkenal seperti Zainuddin Al-Muqaddasy, Najamuddin Ibnu Syakir, Zainab binti Makky, dan ulama-ulama lain di Damaskus yang dapat dikatakan hampir semuanya adalah ulama’ bermadzhab Hanbaly.
Dalam pandangan Muhammadiyah, Ibnu Taimiyah adalah Tokoh Mujaddid, dan Reformer yang pertama di Dunia Islam yang dengan penuh semangat menyatakan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka. Pernyataan semacam ini berarti menghapus pemahaman di kalangan umat Islam yang telah mengendap sekian lama bahwa pintu Ijtihad sudah tertutup rapat. Hanya dengan ijtihad yang selalu senantiasa terbuka, Islam akan dapat menunjukkan eksistensi dirinya sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Dengan prinsip Ijtihad inilah yang memungkinkan perkembangan dan kemajuan yang berkesinambungan di dalam syariah.

b.         Muhammad Bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) merupakan pendiri gerakan Muwahhidin di Najed, bagian timur Arab Saudi. Ibnu Abdul Wahab adalah seorang ulama besar yang dilahirkan di Uyainah, Najed. Mula-mula dia belajar agama di lingkungan keluarganya sendiri, kemudian dilanjutkan belajar kepada beberapa ulama di Kota Madinah. Selanjutnya dia berkelana menimba ilmu ke berbagai kota, seperti Basrah, Bahgdad, Kurdistan, Hamazan, Isfahan, Qumm, dan Kairo.
Gerakan Muwahhidin adalah gerakan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang bertujuan untuk mengsucikan dan mengesakan Allah dengan semurni-murninya, yang mudah dan gampang dipahami dan diamalkan persis seperti Islam pada masa permulaan sejarahnya. Ajaran tauhid yang digerakkan oleh Ibnu Abdul Wahab disampaikan dengan ketat sekali. Oleh karenanya terhadap berbagai macam kemusyrikan dan khurafat yang justru akan merusak kemurniannya tauhid akan diperanginya pula. Gerakan Wahabi kemudian disematkan kepada gerakan ini sebagai sebuah ejekan dari lawan-lawannya, dengan menisbatkan gerakan Muwahhidin kepada nama pendirinya. Dan anehnya kini justru nama Wahabi lebih populer dan tetap terpatri dalam setiap pembahasan sejarah gerakan pembaharuan dunia Islam.[3]
 Pokok pikiran gerakan Wahabi yang berkisar di seputar masalah memurnikan tauhid adalah sebagai berikut:
1)        Penyembahan kepada selaian Tuhan adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian maka dia dibunuh.
2)        Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang sholeh, termasuk golongan musyrikin.
3)        Termasuk perbuatan musyrik memberikan pengantar dalam sholat terhadap nama nabi-nabi atau wali atau malaikat (seperti Sayyidina Muhammad).
4)        Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas al-Qur’an dan Sunnah, atau ilmu yang bersumber pada akal pikiran semata-mata.
5)        Termasuk kufur dan ilhad, dan mengingkari Qadar dalam semua perbuatan dan penafsiran al-Qur’an dengan jalan ta’wil.
6)        Dilarang memakai buah tasbih dalam mengucapkan nama Tuhan dan do’a-do’a (wirid), cukup menghitung dengan keratan jari.
7)        Sumber syariat Islam dalam soal halal dan haram hanya al-Qur’an semata-mata, dan sumber lain sesudahnya ialah sunnah Rasul. Perkataan ulama mutakallimin dan fuqaha tentang haram dan halal tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
8)        Pintu ijtihad tetap terbuka, dan siapapun juga boleh melakukan ijtihad, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.[4]

c.         Gerakan Salafiyah
Gerakan Salafiyah lahir di Mesir pada sekitar abad 19 Masehi, dan dipelopori oleh 3 pendekar pemikir dalam Islam yang namanya sangat harum di tengah masyarakat dunia Islam sampai saat ini. Ketiga tokoh tersebut adalah:
1)        Sayyid Djamaluddin Al-Afghany (1838-1897 M)
2)        Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M)
3)        Rasyid Ridhla (1856-1935)
Gerakan Islam yang muncul di Mesir dengan ketiga tokohnya seperti di atas menamakan gerakannya dengan nama “Gerakan Salafiyah”, suatu penamaan yang pada hakikatnya meneruskan dan melestarikan gerakan dikobarkan oleh Ibnu Taimiyah beberapa abad sebelumnya. Ibnu Taimiyah menamakan gerakan pemikiran/ide yang didengungkannya dengan nama “Muhyi Atsaris Salaf”. Gerakan Salafiyah termasuk mata rantai kedua setelah gerakan Muwahhidin atau yang lebih terkenal dengan gerakan Wahabi. Keduamya berusaha mengadakan pembaharuan cara berfikir dam cara berjuang demi tegaknya kembali kejayaan Islam serta kemulyaan umat Islam dengan jalan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan semurni-murninya.
Jamaluddin Al-Afghany berpendapat bahwa langkah yang pertama kali harus ditempuh oleh umat Islam adalah jihad, berjuang dengan segala resiko dan pengobanannya, dengan menggunakan cara apapun yang dibenarkan oleh ajaran Islam, agar kekuasaaan politik kenegaraan dapat direbut dan dikuasai kembali oleh umat Islam dari tangan penjajah bangsa-bangsa eropa yang telah menginjak-injak negeri-negeri Islam berabad-abad lamanya. Sedangkan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridhla berpendirian bahwa langkah pertama kali yang harus ditempuh umat Islam (disamping merebut kekuasaan politik kenegaraan merupakan sesuatu yang mutlak harus ditempuh) adalah memperbaharui lembaga-lembaga pendidikan sebagai sumber tempat digodoknya para calon Mujtahid, Mujaddid, dan Mujahid Islam yang tangguh dan militan, yang siap mengorbankan apapun yang ada pada dirinya demi kejayaan Islam.



d.         Hasan Al-Bana
Hasan Al-Bana (1908-1949) adalah pendiri gerakan Ikhwanul Muslim (IM) di Mesir tahun 1928. Gerakan IM pada hakekatnya adalah kelanjutan dari ide Jamaluddin Al-Afghany yang kemudian diterusklan oleh Rasyid Ridha. IM ingin mendirikan kembali masyarakat Islam menurut prinsip al-Qur’an yang ketat, yang akan membawa pemecahan problem-problem sosial pada waktu itu.
Ciri gerakan IM, sebagaimana yang ditegaskan oleh Hasan Al-Bana adalah jauh dari sumber pertentangan, jauh dari pengaruh riya’ dan kesombongan, menaruh perhatian terhadap kaderisasi, bertahap dalam langkah, lebih mengutamakan aspek amaliah produktif daripada propaganda, dan memberi perhatian sangat serius kepada dunia pemuda. Dan khusus terhadap permasalahan politik, Hasan Al-Bana dengan tegas menyatakan bahwa seorang Muslim tidak pernah sempurna ke-Islamannya kecuali dia seorang Politisi, yang memiliki perhatian yang mendalam kepada urusan umatnya.
Dakwah yang dilakukan ole IM berkarakter rabbaniyah, yang menyeru manusia untuk menjauhi, menentang, melawan tirani materialisme, dan kembali beriman kepada Allah, dan selalu merasa dalam pengawasannya. Dakwah IM juga memiliki karakter insaniyah, yang mengajak kepada persaudaraan diantara sesama manusia dan berusaha membahagiakan manusia.
Sementara masalah ideologi, IM banyak mengadopsi dakwah salafiyah untuk dijadikan sebagai gerakan dakwahnya. IM menekankan kepada pentingnya penelitian dan pembahasan terhadap dalil serta pentingnya kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, serta membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan untuk mencapai kesempurnaan tauhid. Dakwah IM banyak dipengaruhi oleh Syekh Abdul Wahab, Sanusiyah, dan Rasyid Ridhla, yang semuanya merupakan kelanjutan dari madrasah Ibnu Taimiyah. IM menjadikan tasawuf sebagai sarana pendidikan dan peningkatan jiwa seperti yang pernah dilakukan para ahli tasawuf terdahulu yang akidahnya benar dan jauh dari segala bentuk bid’ah, khurafat, menghinakan diri dan jauh dari sifat negatif.
Gerakan Ikhwan banyak melahirkan tokoh pemikir Islam kaliber dunia, antara lain Sayyid Qutub, Yusuf Al-Qardhawy, Said Hawa, Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Mahmud Sawaf, Musthafa As-Siba’i, Musthafa Masyhur, Abdul Lathif Abu Qurrah, Abdullah Azam, dan lain sebagainya. Dari deretan kader IM tersebut, nama Sayyid Qutub tercatat sebagai tokoh yang cukup legendaris. Dia tercatat sebagai salah seorang kader penerus cita-cita IM yang namanya sangat terkenal. Sikapnya yang istiqamah pada prinsip, tidak mau berkompromi pada kebathilan, dan kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah menjadikan dirinya dituduh dengan berbagai tuduhan telah melakukan makar terhadap negara. Dan karena itu pada akhirnya dia harus mati di atas tiang gantungan rezim.[5]
2.        Gerakan Pembaharuan Di Indonesia
Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh kedua abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu menimbulkan restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok intelektual, priyayi, dan profesional. Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap antipati terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang diidentifikasi sebagai produk kolonial sekaligus produk orang kafir. Sementara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan identitas politik yang melekat pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.
 Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial, maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu yang identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk pribumi menempati posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan India.
 Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang cepat sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial.
Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah perkotaan.
Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia pada abad XIX juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun aktivitas, dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa karena unsur-unsur lokal sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran di dalam masyarakat seperti yang terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan, dan wayang. Kondisi seperti ini dapat dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam di Jawa pada awal abad XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam dan berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang saja.
 Selain itu, KH. Ahmad Rifa'i, salah seorang ulama di Jawa yang sangat disegani oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan abad XIX menyatakan bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak menyimpang dari akidah Islamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler antara sekelompok masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru dalam kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti pemahaman dan pengamalan ajar-an Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam banyak hal yang berhubungan dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat.
 Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antar kelompok, yang terpolarisasi dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai "kaum tua" berhadapan dengan "kaum muda" atau antara kelompok "pembaharuan" berhadapan dengan "antipembaharuan". Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam di Indonesia, selain disebabkan oleh dinamika internal juga tidak dapat dipisahkan dengan perluasan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Islam sejak awal muncul sebagai kekuatan di balik perlawanan terhadap kolonialisme, baik dalam pengertian idiologis maupun peran langsung para ulama dan umat Islam secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai perlawanan yang terjadi sepanjang abad XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang Bonjol, Perang Aceh, dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh unsur Islam yang sangat kental.
 Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung melihat Islam sebagai ancaman langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini. Setiap aktivitas yang berhubungan dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap sebagai langkah untuk melawan penguasa. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh C. Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX pemerintah kolonial secara tegas memisahkan Islam dari politik. Akan tetapi Islam sebagai ajaran agama dan kegiatan sosial dibiarkan berkembang walaupun tetap berada dalam pengawasan yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial yang berlebihan terhadap Islam ini membatasi kreativitas umat, baik dalam pengertian ajaran, pemikiran, maupun penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat secara umum.
 Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya sikap taqlid kepada para ulama tertentu pada sebagian besar umat Islam di Indonesia pada waktu itu.  Pemerintah kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara kelompok santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain itu, aktivitas kristenisasi yang dilakukan oleh missi Katholik maupun zending Protestan terhadap penduduk pribumi yang telah beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan zending sebagai pendukung utama dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana yang besar dari pemerintah.[6]

3.        Gerakan Muhammadiyah
a.         Arti Nama Muhammadiyah
Muhammadiyah berasal dari kata bahasa arab “Muhammad”, yaitu nama Nabi dan Rasul Allah yang terakhir. Kemudian mendapatkan “ya’ nisbiyyah” yang artinya menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti umat Muhammad Saw atau pengikutnya, yaitu semua orang Islam yang mengakui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir.
Sedangkan secara istilah, Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 08 Dzulhijjah 1330 H/ 18 November 1912 M di Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud untuk ber-tafa’ul (berpengharapan baik), dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangannya dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, semata-mata demi terwujudnya “Izzul Islam wal Muslimin”, kejayaan Islam dan kemulyaan hidup umat Islam sebagai realita.[7]

b.         Latar Belakang
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya KH. Abu Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Sementara ibunya Siti Aminah adalah anak KH. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa.
 Sebagai anak keempat dari keluarga KH. Abubakar, Muhammad Darwis mempunyai 5 orang saudara perempuan dan I orang saudara laki-laki. Seperti layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang diarahkan pada pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca Quran dan pengetahuan agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran. Ia belajar fiqh dari KH. Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari KH. Muhsin. Selain belajar dari dua guru di atas yang juga adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis belajar ilmu agama lslam lebih lanjut dari KH. Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur.
 Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab Saudi ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada KH. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang.  Menurut beberapa catatan, kemampuan intelektual Muhammad Darwis ini semakin berkembang cepat dia menunaikan ibadah haji pertama pada tahun 1890, beberapa bulan setelah perkawinannya dengan Siti Walidah pada tahun 1889.
 Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang berasal dari Indonesia seperti: Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten, maupun para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama bermukim di Mekah kurang lebih delapan bulan, telah membuka cakrawala baru dalam diri Muhammad Darwis, yang telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat dari semakin, luas dan bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh, dan dari Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.
 Sesudah pulang dari menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca kitah-kitab lain yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Semangat membaca Ahmad Dahlan yang besar ini dapat dilihat pada kejadian ketika ia membeli buku menggunakan sebagian dari modal sebesar 1500 setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji yang pertama, yang sebenarnya diberikan oleh keluarganya untuk berdagang. Sementara itu, keinginan untuk memperdalam ilmu agama Islam terus muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam upaya untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan ibadah haji kedua pada tahun 1903, dan bermukim di Mekah selama hampir dua tahun. Kesempatan ini digunakan Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama Islam baik dari para guru ketika ia menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.
 Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh Sa' id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara itu ilmu falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiraat, Ahmad Dahlan belajar dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Ahmad Dahlan juga secara reguler mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.
 Berdasarkan koleksi buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian besar adalah buku yang dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di antara buku-buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain: Kosalatul Tauhid karangan Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan Muhammad Abduh, Kanz AL-Ulum, Dairah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi, Fi Al -Bid'ah karangan Ibn Taimiyah, Al Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn Taimiyah, Al-Islam wa-l-Nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan Rahmah al Hindi, Tafsshil al-Nasyatain Tashil al Sa'adatain, Matan al-Hikmah karangan Atha Allah, dan Al-Qashaid al-Aththasiyvah karangan Abd al Aththas.
 Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di dalam masyarakat dimulai setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan mulai dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang masih kanak-kanak dan remaja. Dia mengajar pada siang hari sesudah dzuhur, dan malam hari, antara maghrib sampai isya. Sementara itu, sesudah ashar Ahmad Dahlan mengikuti ayahnya yang mengajar agama Islam kepada orang-orang tua. Apabila ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya memberikan pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan kyai, sebagai pengakuan terhadap kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam memberikan pelajaran agama Islam.
 Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan agama Islam yang dimiliki, pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam  dunia Islam, serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga sering muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib lain yang cenderung menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di serambi masjid besar Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran agama Islam kepada orang-orang yang datang ke masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.
Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa Tengah.  Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang berlangsung setiap malam Jum`at.
 Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
 Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah difokuskan pada persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan rencana pembentukan sebuah organisasi.
 Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan. Akan tetapi mereka tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
 Walaupun secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu di Kweekscbool Jetis.
 Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama yang berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad Saw. Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
 Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo secara resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran dasar yang diajukan kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.[8]

c.         Faktor Berdirinya Muhammadiyah
1)        Faktor Subyektif
Faktor subyektif yang sangat kuat, bahkan dapat dikatakan sebagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap al-Qur’an, baik dalam hal gemar membaca maupun menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Beliau  menelaah sedemikiaan telitinya, dipertanyakan juga kalau ada sebab-sebab yang menjadikan sesuatu ayat diturunkan (asbabun nuzul), dipertanyakan apakah yang musti harus dilakukan. Sikap KH. Ahmad Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam surat An-Nisa ayat 82, dan surat Muhammad ayat 24, yaitu melakukan tadabbur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam setiap ayat. Dalam memahami surat Ali Imran ayat 104, KH. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan, organisasi, atau persyarikatan yang teratur dan rapi, yang tugasnya berkhidmat melaksanakan misi dakwah Islam, amar ma’ruf nahi munkar, di tengah-tengah masyarakat luas.
2)        Faktor Obyektif
Adapun faktor obyektif berdirinya Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
a)        Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
b)        Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku “Khalifatullah fil ‘ardhi”.
c)        Semakin meningkatnya gerakan kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
d)        Penetrasi bangsa-bangsa Eropa, terutama bangsa Belanda ke Indonesia.
e)        Pengaruh dari gerakan pembaharuan dalam dunia Islam.[9]

C.        Muhammadiyah Dalam Tiga Matra
1.             Aswaja dan Ideologi Muhammadiyah
Konsep akidah atau ideologi dalam Muhammadiyah dimaknai sebagai sebuah kepercayaan hakiki yang tidak boleh tercampur oleh keyakinan dan kepercayaan lain maupun keragu-raguan akan ke-Tuhanan Allah Swt. Dalam Muhammadiyah disepakati bahwa sumber akidah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Maknanya adalah apa saja yang telah diwahyukan Allah Swt dalam al-Quran dan disabdakan oleh Nabi Muhammad dalam sunnahnya yang shahih wajib diyakini, diimani dan diamalkan. Dalam bidang akidah, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip toleransi dalam ajaran Islam. Prinsip toleransi menurut pandangan Muhammadiyah adalah dengan menghormati agama lain dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing.[10]
Adapun ideologi Aswaja sendiri bagi kalangan Muhammadiyah sangat jarang sekali terdefinisikan. Hal ini bisa dilihat dari jarangnya berbagai buku ke-Muhammadiyah-an yang menyinggung tentang Aswaja. Dalam Muqaddimah Muhammadiyah dan AD-ARTnya pun sama sekali tidak menyinggung tentang apa itu Aswaja. Dari berbagai buku yang penulis baca, hanya buku “Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam” karya Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban yang membahas tentang Aswaja. Pembahasannya pun juga tidak lengkap.
Ahlussunnah Wal Jamaah dalam perspektif Muhammadiyah adalah Mengi’tiqadkan rukun iman enam perkara, dan mengimankan bahwa Allah Swt memiliki sifat kesempurnaan serta Maha Suci dari sifat-sifat kekurangan, demikian pula Allah mempunyai asmaul husna. Dengan demikian sebenarnya faham yang dianut oleh mereka yang menamakan diri atau dinamakan Ahlussunnah Wal Jamaah itu biasa-biasa saja, tidak ada hal yang istimewa, karena telah menjadi akidah umumnya umat Islam termasuk umat Islam di Indonesia ini sejak dahulu.[11]
Dalam beberapa masalah memang Aswaja mempunyai faham yang berbeda dengan beberapa golongan lain, seperti Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Syik’ah, dan sebagainya, sebagaimana paham umat Islam pada umumnya berbeda dengan golongan-golongan tersebut. Seperti dalam pandangan Aswaja bahwa dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menyebutkan seolah-olah Allah bersifat seperti mahluk (ayat mutasyabbihat) seperti mempunyai wajah, tangan, duduk, dan sebagainya. Hal tersebut seperti disebutkan dalam Surat Al-Fath ayat 10; Surat Thoha ayat 5; Surat Ar-Rahman ayat 26; dan Surat Az-Zumar ayat 67.
Dalam pandangan golongan Salaf Aswaja bahwa Allah memang seperti yang disabdakan sendiri oleh-Nya yang mempunyai tangan, wajah, dan duduk. Hanya kemudian bagaimana keadaan wajah dan tangan-Nya serta cara duduk-Nya adalah sesuai dengan kemulian Dzat-Nya dan hanya Dia yang mengetahuinya. Akan tetapi golongan khalaf dari Aswaja berpendapat bahwa dalam memahami ayat mutasyabbihat seperti itu supaya menggunakan ta’wil atau pengalihan arti. Hal ini bertujuan agar supaya orang tidak terdorong untuk mempercayai keadaan Tuhan seperti mahluk sebagaimana golongan Mujassimah. Ole karena itu maka kemudian oleh golongan kholaf tangan diartikan sebagai kekuasaan, duduk diartikan sebagai memerintahkan kerajaan-Nya, dan wajah diartikan sebagai diri atau Dzat Allah.[12]
Dalam pandangan Muhammadiyah, ideologi yang banyak digaungkan adalah seputar masalah tajdid´seperti yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan. Tajdid yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah tersebut adalah bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang sebelumnya berpijak kepada pemahaman Islam yang kokoh dan luas.  Dengan pandangan Islam yang demikian maka KH. Ahmad Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliyah mu’amalah dunyawiyyah sehingga Islam menjadi agama ang menyebarkan kemajuan.
Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolekif manusia yang memiliki corak masyarakat tengahan (ummatan wastahan) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan bathiniyah, rasionalitas dan spiritualitas, akidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerja keras, kediplinan, dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan.[13]
Ideologi Muhammadiyah sendiri dapat dipahami dalam 4 Hakekat Muhammadiyah, yaitu
a.        Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian (harakah ushuliyah), yaitu memurnikan keyakinan tauhid Islam dari kemusyrikan, takhayul (animisme dan dinamisme), khurafat (mistisme), syirik (menyekutukan Allah) dengan mahluknya, yang mana hal tersebut sangat fatal secara teologi tetapi juga fatal secara intelektual.
b.        Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan (harakah tajdid),
c.         Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf nahy munkar, yaitu  
d.        Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan,
Muhammadiyah dalam pandangan keagamaannya menganut paham Islam yang berkemajuan. Dalam pernyataan pikiran Muhammadiyah Abad Kedua hasil Muktamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta dinyatakan secara tegas tentang “Pandangan Islam Berkemajuan”. Pada bagian agenda abad kedua dinyatakan Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai ajaran ajaran tentang kemajuan untuk mewujudkan peradaban umat manusia yang utama. Kemajuan dalam pandangan Islam melekat dengan misi ke-Khalifahan manusia di bumi yang sejalan dengan sunatullah kehidupan. Karena itu setiap muslim baik individual maupun kolektif berkewajiban menjadikan Islam sebagai agama kemajuan (din al-hadlarah) dan umat Islam sebagai pembawa misi kemajuan yang membawa rahmat bagi kehidupan.
Kemajuan dalam pandangan Islam bersifat multi aspek, baik dalam kehidupan keagamaan maupun dalam seluru dimensi kehidupan, yang melahirkan peradaban utama sebagai bentuk peradaban alternatif yang unggul secara lahiriah dan ruhaniah. Islam yang berkemajuan dan melahirkan pencerahan secara teologis merupakan refleksi dari nilai-nilai transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi yang terkandung dalam pesan al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 dan 110 yang menjadi inspirasi kelahiran Muhammadiyah. Secara ideologis, Islam yang berkemajuan untuk pencerahan merupakan bentuk transformasi al-Ma’un untuk menghadirkan dakwah dan tajdid secara aktual dalam pergulatan hidup keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Transformasi Islam bercorak kemajuan dan pencerahan itu merupakan wujud dari ikhtiar meneguhkan dan memperluas pandangan keagamaan yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan mengembangkan ijtihad di tengah tantangan kehidupan modern abad 21 yang sangat kompleks.[14]

2.             Ijtihad dan Bermadzhab
Muhammadiyah adalah termasuk kelompok yang menganggap bahwa pintu ijtihad selalu terbuka. Keterbukaan ini memungkinkan Ijtihad dilakukan setiap waktu utuk menyikapi berbagai permasalahan yang membutuhkan solusi dan jawaban. Konsep terbukanya pintu Ijtihad ini seperti yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah serta golongan pembaruan lainnya yang melihat kejumudan pemikiran umat Islam. Sehingga hal tersebut menimbulkan kemunduran bagi umat Islam, baik dalam ilmu pengetahuan dan peradaban. Dengan adanya pintu ijtihad yang selalu terbuka maka peradaban dan ilmu pengetahuan umat Islam akan semakin maju.
Adapun praktek Ijtihad tersebut dalam perspektif Muhammadiyah ada 3 macam, yaitu:
a.        Ijtihad Bayani (Semantik), yaitu Ijtihad terhadap Nash Mujmal atau global baik karena belum jelas lafdz/kata/kalimat yang dimaksud maupun karena lafadz tersebut mengandung makna ganda, mengandung ari musytarak, atau karena pengertian lafadz dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang jumbuh (mutasyabbihat) ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arrudl). Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad dengan jalan tarjih yaitu apabila tidak dapat ditempuh dengan cara al-jam’u wat taufiq.
b.        Ijtihad Qiyasy, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illat. Dan dalam qiyas, Muhammadiyah memberikan ketentuan sebagai berikut:
1)        Hal yang akan ditetapkan hukumnya dengan qiyas itu sudah muncul dan terjadi di tengah-tengah masyarakat.
2)        Hal yang akan ditetapkan hukumnya memang dirasa perlu ditetapkan hukumnya karena akan diamalkan.
3)        Hal yang akan ditetapkan hukumnya lewat qiyas bukan merupakan hal yang termasuk ibadah mahdlah.
c.         Ijtihad Istislahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash sama sekali secara khusus, walaupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum ditetapkan berdasarkan íllah untuk kemaslahatan.[15]
Muhammadiyah juga mengakui adanya Ijtihad Jama’i atau ijtihad yang dilakukan secara berkelompok. Dalam menetapkan tuntutan yang berhubungan dengan masalah agama baik bagi kehidupan perseorangan ataupun bagi masyarakat, Muhammadiyah melakukannya melalui musyawarah Majlis Tarjih oleh para ahlinya, dengan cara yang sudah lazim yang disebut tarjih. Adapun terjih sendiri ialah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.[16]
Dalam Pokok-Pokok Majlis Tarjih ditetapkan bahwa Majlis Tarjih tidak mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat Imam-Imam Madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan as-Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. Selain itu juga ditetapkan bahwa dalam masalah akidah atau tauhid, hanya menggunakan dasar yang bersumber dari al-Qur’an atau hadis mutawatir. Muhammadiyah juga tidak menolak Ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. [17]

3.             Gerakan Tajdid dan Pengaruh Wahabisme
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Wahabi merupakan julukan terhadap kelompok Muwahhidun yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Najed Saudi Arabia. Ibnu Abdul Wahab bagi sebagian orang dianggap sebagai seorang pembaharu dalam Islam di abad modern ini. Sedangkan di Indonesia, pendapat Muhammad bin Abdul Wahab menjadi rujukan oleh beberapa kelompok. Dalam beberapa buku kalangan Muhammadiyah sendiri tidal sedikit yang mengutip pendapatnya, atau murid dan tokoh kelompoknya.
Menurut Haedar Nasir (Ketua Umum Muhammadiyah), konsep pemurnian ajaran Islam menurut Ibnu Abdul Wahab berbeda dengan konsep dengan Muhammadiyah. Bagi pengikut Wahabiyah, gerakan pemurnian Islam merupakan jalan lurus yang diyakini sebagai wujud menegakkan tauhid yang murni dan membersihkannya dari praktik-praktik syirik dan bid’ah yang menodainya. Esensi pemurnian tersebut merupakan satu-satunya dari dimensi keyakinan, pemahaman, dan pengamalan ajaran Islam yang dipraktekkan oleh Wahabiyah.  Pemurnian tersebut seringkali diidentikkan dengan tajdid fil Islam sebagaimana pandangan umum yang mewarnai gerakan untuk “Kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis”.
Boleh jadi, KH. Ahmad Dahlan sempat menyerap ilmu dan pemikiran Muhammad ibnu Abdul Wahab sewaktu dua kali bermukim di Makkah. Sebagaimana beliau dikenal membaca pemikiran Ibnu Taimiyah, Imam Ghazali, Muhammad Abduh, Rasyid Ridhla, ulama-ulama besar pembaruan lainnya di dunia Islam. Termasuk diantarany adalah Syekh Khotib Minangkabau yang juga menjadi guru beliau ketika belajar di Makkah. Walaupun toh begitu, KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah yang didirikannya memiliki pandangan, karakter, dan orientasi gerakan yang berbeda dengan Wahaby dan gerakan Islam lain. Walaupun dalam sejumlah hal memiliki kesamaan dengan pemikiran dan gerakan Islam di belahan dunia Muslim sejauh semuanya merujuk kepada sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, serta membuka pintu ijtihad.[18]
Senada dengan Haedar Nasir, Tafsir (Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah) mengatakan bahwa langkah yang dilakukan oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab  sama dengan apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah, khususnya pada aspek akidah. Di bidang akidah, Muhammadiyah tampil dengan corak yang puritan (murni). Pada bidang inilah Muhammadiyah melakukan purifikasi (proses pemurnian) yang paling dominan[19].
Tidak mengherankan jika sebagian kalangan mengidentikkannya dengan Wahabiyah. Muhammadiyah menjadi tertuduh. Thohir Luth (Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur) bahkan berpendapat bahwa tuduhan tersebut karena ada maksud secara politis yang ingin mengalihkan opini publik untuk membatasi ruang gerak dakwah Muhammadiyah yang terus maju dan menunjukkan amal nyata yang semakin spektakuler. Model politik seperti itu sudah lama terbaca oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan mereka tidak tertarik menanggapi politik dengan politik yang lebih jelek lagi. [20]
Dalam perkembangannya, terjadi paradoks dan ironi dalam langkah pembaruan. Pemurnian yang dipahami sebatas kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis, sementara membuka pintu ijtihad kurang mendapat perhatian purifikasi seperti diidentikkan dengan tekstualisasi. Akibatnya, yang terjadi adalah pembaruan yang sempit cenderung jika tidak boleh dikatakan picik. Sebab begitu mudah mengvonis bid’ah kepada suatu hal yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena jika sesuatu tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah begitu cepat divonis bid’ah, lalu peluang ijtihad ada dimana ? ini artinya keinginan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebenarnya ditutup kembali oleh semangat kembali (kepada al-Qur’an dan as-Sunnah) yang sempit. Puritan ini mungkin lebih tepat disebut sebagai puritan radikal.[21]
Sementara itu, KH. Ahmad Dahlan sangat menghargai kultur lokal, seperi rasa toleransi. Beliau tidak pernah memimpin gerakan untuk membongkar kuburan-kuburan keramat, makam para wali, atau syekh-syekh tarekat di Indonesia sebagaimana pengikut Wahaby yang menghancurkan monumen sejarah situs Muslim, makam Fathimah, bahkan makam Nabi Muhammad Saw hampir saja dihancurkan. Kearifan KH. Ahmad Dahlan terhadap kultur lokal ini hatus dimaknai sebagai satu penghargaan beliau terhadap kultur Indonesia. Sehingga pemaknaan ini melahirkan kesadaran ber-Islam yang penuh tasamuh terhadap sesama komunitas Islam lainnya di negeri ini, sebagaimana KH. Ahmad Dahlan telah merintisnya.[22]
Tarjih Muhammadiyah sejak tahun 2000 telah mengoreksi penyempitan makna tajdid atau gerakan untuk kembali kepada ajaran Islam yang autentik itu dengan menambahkan dimensi “Dinamisasi” atau pembaharuan dalam arti luas. Sehingga tajdid bermakna pemurnian plus pengembangan atau pengembangan plus pemurnian sebagai satu kesatuan gerakan tajdid. Lebih dari itu, Islam sebagai ajaran tentunya melampaui segala penyempitan dan reduksi tafsir, sehingga dimensi Islam pun dipahami bukan sekedar aspek akidah  tetapi juga ibadah, ahlak, dan muamalah dunyawiyyah; yang semuanya ialah Islam. Islam dalam pandangan Majlis Tarjih Muhammadiyah bahkan bukan sekedar mengandung perintah-perintah (al-awamir) dan larangan-larangan (an-nawahy), tetapi juga petunjuk-petunjuk (al-irsyadat) bagi kehidupan umat manusia di dunia dan akhirat, yang menunjukkan keluasan kandungan Islam yang sama sekali tidak cukup memadai manakala hanya dikontruksi dengan satu aspek, satu esensi, dan satu model tafsir.[23]
Sebagai gerakan tajdid atau pembaruan, Muhammadiyah memiliki karakter pada pemurnian ajaran Islam, tetapi juga pada pengembangan atau dinamisasi, yang boleh jadi memiliki persentuhan atau kesamaan pada aspek-aspek tertentu dengan gerakan pembaruan lainnya. Namun, Muhammadiyah memadukan kedua dimensi tajdid itu dalam gerakannya sehingga menampilkan Islam yang berkemajuan secara mendasar  dan luas, yang menunjukkan keseimbangan. Muhammadiyah dengan menghargai setiap gerakan Islam yang lain, memiliki kepribadian sendiri sebagai gerakan Islam. 
Dalam pandangan tajdid, Muhammadiyah bersifat pemurnian dan pembaruan. Adapun pandangan keagamaannya bersifat Non-Madzhab. Dan dalam memahami ajaran Islam menggunakan pendekatan Bayani (tekstual), Burhany (rasional-kontekstual), dan ‘Irfani (spiritual) secara terpadu. Muhammadiyah meyakini, memandang, dan mengamalkan Islam yang mengandung ajaran akidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah dunyawiyah secara menyeluruh, sehingga tidak terperangkap pada pembidangan dan penerapan Islam yang sempit dan parsial.[24]

D.       Penutup
Konsep ideologi dan tajdid Muhammadiyah banyak memberikan warna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, serta diskursus kajian Islam di negeri ini. Tajdid yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah tersebut adalah bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang sebelumnya berpijak kepada pemahaman Islam yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian maka KH. Ahmad Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliyah mu’amalah dunyawiyyah sehingga Islam menjadi agama ang menyebarkan kemajuan. Konsep yang juga mengadopsi berbagai ideologi pembaruan yang pernah muncul di Timur Tengah tersebut kemudian diberikan tambahan dimensi Dinamisasi yang dapat membedakannya dengan gerakan pembaruan yang sudah ada sebelumnya. Dengan perpaduan tersebutlah maka kemudian Muhammadiyah menyajikan dakwah kultural sebagai gerakan dakwah utamanya. Dengan demikian maka diharapkan ideologi yang disebarkan dapat diterima oleh masyarakat luas.





DAFTAR PUSTAKA

Haedar Nasir. 2013. Muhammadiyah dan Wahabisme - Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru; Anatomi Gerakan Wahabiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Muhammadiyah.or.id. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah. (Online, Diakses 28 Juli 2017)(http://www.muhammadiyah.or.id/id/4-content-179-det-sejarah-berdiri.html).
Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban. 2009. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam.  Yogyakarta: Surya MediatTama.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2016.  Al-Islam dan Ke-Muhammadiyahan. Yogyakarta: Majlis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Suara Muhammadiyah. 2017. Manhaj Gerakan Muhammadiyah; Ideologi, Khittah dan Langkah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Tafsir. 2013. Muhammadiyah dan Wahabisme-Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru; Muhammadiyah, Identikkah dengan Wahabiyyah ?. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Thohir Luth. 2013. Muhammadiyah dan Wahabisme-Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru; Wahabi Menyelamatkan, Muhammadiyah Tertuduh. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.



[1] Aktifis Pergerakan ’15 Jawa Tengah,  Direktur Program Dauroh Santri Nusantara (DSN), PC GP Ansor Kabupaten Semarang, Wakil Bendahara PKC PMII Jawa Tengah
[2] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban. 2009. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam.  Yogyakarta: Surya MediatTama. Hlm:28.
[3] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban. Op.Cit. Hlm: 34.
[4] Ibid. Hlm:36.
[5] Ibid. Hlm: 52-55.
[6] Muhammadiyah.or.id. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah. (http://www.muhammadiyah.or.id/id/4-content-179-det-sejarah-berdiri.html).
[7] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban. Op.Cit. Hlm: 98-99.
[8] Muhammadiyah.or.id. Op.Cit.
[9] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban. Op.Cit. Hlm: 100-105.
[10] Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2016.  Al-Islam dan Ke-Muhammadiyahan. Yogyakarta: Majlis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hlm: 65-67.
[11] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban. Op.Cit. Hlm: 276
[12] Ibid. Hlm: 278.
[13] Suara Muhammadiyah. 2017. Manhaj Gerakan Muhammadiyah; Ideologi, Khittah dan Langkah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. Hlm:243-245.
[14] Haedar Nasir. 2013. Muhammadiyah dan Wahabisme-Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru; Anatomi Gerakan Wahabiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. Hlm: 83-84.
[15] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban. Op.Cit. Hlm: 272.
[16] Ibid. Hlm: 271-274.
[17] Ibid. Hlm:283.
[18] Haedar Nasir. Op.Cit. Hlm:81.
[19] Tafsir. 2013. Muhammadiyah dan Wahabisme-Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru; Muhammadiyah, Identikkah dengan Wahabiyyah ?. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. Hlm:140.
[20] Thohir Luth. 2013. Muhammadiyah dan Wahabisme-Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru; Wahabi Menyelamatkan, Muhammadiyah Tertuduh. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. Hlm:156.
[21] Tafsir. Op.Cit.Hlm:140.
[22] Thohir Luth. Op.Cit. Hlm:156.
[23] Haedar Nasir. Op.Cit. Hlm: 72-74.
[24] Ibid. Hlm 80-82.