Mei 2017 - Sang Pemburu Badai

Rabu, 24 Mei 2017

Niat Menyambut Bulan Puasa Oleh Habib Abu Bakar Al-Adeni Al-Masyhur

19.41 0
 Niat Menyambut Bulan Puasa Oleh Habib Abu Bakar Al-Adeni Al-Masyhur
 Niat Puasa Oleh Habib Abu Bakar Al-Adeni Al-Masyhur


Datangnya Ramadhan harus disambut dengan suka cita dan gembira. Untuk itu, harus ada niat yang mengantarkan suka cita itu. Berikut adalah niat menyambut Bulan Ramadhan oleh Al-Habib Abu Bakar Al-Adeni Al-Masyhur:
نَوَيْنَا مَانَوَاهُ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالسَّلَفُ الصَّالِحُ مِنْ آلِ البَيْتِ الْكِرَامِ وَالصَّحَابِهِ الْأَعْلَامْ
Kami niat sebagaimana niat Nabi SAW dan para salafuna shalih dari para ahlulbait Nabi yang mulia dan para sahabat yang agung.
وَنَوَيْنَا الْقِيَامَ بِحَقِّ الصِّيَامِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ يُرْضِيْ المَلكُ العَلاَّمُ
Kami niat melaksanakan puasa dengan sesempurna mungkin yang membuat ridho Allah SWT.

وَنَوَيْنَا الْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقِيَامِ وَحِفْظِ الْجَوَارِحِ عَنِ الْمَعَاصِيْ وَالْآثَامِ
Kami niat menjaga sholat tarawih dan menjaga angota badan dr segala maksiat dan dosa.
وَنَوَيْنَا تِلَاوَةَ الْقُرْآنِ وَكَثْرَةِ الذِّكْرِ وَالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى سَيِّدِ الْأَنَامِ وَنَوَيْنَا تَجَنُّبَ الْغِيْبَةِ وَالنَّمِيْمَةِ وَالْكَذِبِ وَأَسْبَابِ الْحَرَامِ
Kami niat rutin membaca Al-Qur'an dan banyak berdzikir serta sholawat pada Nabi Muhammad pemimpin manusia & menjauhi ghibah,adu domba,berdusta dan segala hal yg menyebabkan perkara yang haram dan dosa.
وَنَوَيْنَا كَثْرَةِ الصَّدَقَاتِ وَمُوَاسَاةِ الْأَرَامِلِ وَالْفُقَرَاءِ وَالْأَيْتَامِ
Kami niat banyak bersodaqoh dan menyantuni para janda,orang fakir juga anak yatim.
وَنَوَيْنَا كَمَالَ الْإِلْتِزَامِ بِآدَابِ الْإسْلَامِ وَالصَّلَاةِ فِي الْجَمَاعَةِ فِيْ أَوْقَاتِهَا بِانْتِظَامٍ
Kami niat menjaga dengan sebaik baiknya akhlak yang diajarkan dalam agama Islam serta menjaga sholat jama'ah tepat pada waktunya dengan sempurna.
وَنَوَيْنَا كُلَّ نِيَّةٍ صَالِحَةٍ نَوَاهَا عِبَادُ اللهِ الصَّالِحُوْنَ فِيْ الْعَشْرِ الْأَوَائِلِ وَالْأَوَاسِطِ وَالْأَوَاخِرِ وَلَيْلَةِ الْقَدَرِ فِيْ سَائِرِ اللَّيَالِيْ وَالْأَيَّامِ
Kami niat dengan semua niat-niat baik yang telah diniatkan para sholihin di 10 pertama,10 kedua serta 10 terakhir dan malam lailatul qodar juga di setiap malam dan harinya.
Sumber : Beberapa riwayat mutawatir dari sahabat-sahabat saya yang berguru langsung kepada Habib Abu Bakar Al-Adeni Al-Masyhur & Website Duta Islam

Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah : Analisa Tekstual dan Kontekstual Aqidah dan Manhaj NU dari Masa ke Masa

19.06 0
Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah : Analisa Tekstual dan Kontekstual Aqidah dan Manhaj NU dari Masa ke Masa
Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah

(Analisa Tekstual dan Kontekstual Aqidah dan Manhaj NU dari Masa ke Masa)


Muqaddimah
Nahdlatul Ulama merupakan bentuk pelembagaam faham Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia. NU didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ary, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri, serta ulama dan tokoh Indonesia lainnya atas petunjuk para ulama’ sepuh, utamanya Syaikhona Kholil Bangkalan. NU dideklarasikan di Surabaya, pada tanggal 31 Januari 1926 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah.
Dalam Musyawarah Nasional Ulama NU tahun 2006 di Surabaya, tentang Bahtsul Masail Maudlu’iyyah Fikrah Nahdliyyah dijelaskan bahwa pembentukan Jam’iyyah NU dilatarbelakangi oleh dua faktor dominan: Pertama, adanya kekhawatiran dari sebagian umat Islam yang berbasis pesantren terhadap gerakan modernis yang meminggirkan mereka. Kedua, sebagai respons ulama-ulama berbasis pesantren terhadap pertarungan ideologis yang terjadi di dunia Islam pasca penghapusan kekhalifahan Turki, serta munculnya gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani dan gerakan kaum Wahabi di Hijaz.
Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa sebenarnya inti utama pendirian NU adalah mempertahankan faham Ahlussunnah Wal Jamaah yang selama ini telah mengakar kuat di Indonesia dalam masa yang sangat lama. Faham yang disebarkan oleh para Walisongo tersebut telah menjadi satu dengan budaya dan peradaban dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Maka tidak mengherankan jika ada budaya dan peradaban lain yang ingin merubahnya banyak yang kemudian menolaknya.
Akan tetapi apabila diperhatikan lebih detail lagi, faham Ahlussunnah Wal Jamah di Nusantara mengalami pertumbuhan serta perkembangan yang berbeda dengan yang ada di berbagai negara atau daerah arab sebagai pusat pertama Aswaja digaungkan. Bahkan bisa dikatakan bahwa perkembangan tersebut mempunyai kekhususan serta identitas-identitas tersendiri, walaupun subtansinya masih sama. Perubahan perkembangan tersebut sangat terlihat sekali, dan menuai sikap positif dari masyarakat Internasional. Perkembangan faham Aswaja di Nusantara tersebut pada akhir-akhir ini juga sering disebut sebagai Islam Nusantara.
Aswaja yang ada di nusantara ini yang kemudian dilembagakan oleh NU terus maju dan berkembang baik dari segi aqidah maupun manhajnya. Oleh karena itu penulis akan menganalisa pada fokus permasalahan tertentu yang berkaitan dengan perkembangan tekstual dan kontekstual aqidah dan manhaj Aswaja dari masa ke masa.


Ahlussunnah Wal Jamaah Dalam Perspektif NU
Hadrostus Syekh KH. Hasyim Asáry mengatakan bahwa antara faham Ahlussunnah Wal  Jamah dan Nahdlatul Ulama tidak akan pernah bisa dipisahkan. Aswaja merupakan faham yang melandasi serta menjadi dasar jam’iyyah NU. NU didirikan pun juga tidak lepas dari keinginan untuk mempertahankan agar aqidah Aswaja tetap berdiri tegak di Indonesia. Oleh karena itu seringkali ketika dikatakan Aswaja di Indonesia, maka itu adalah NU. Dan ini juga sudah mendapatkan pengakuan dari dunia Internasional.
Sebagai peletak dasar pondasi-pondasi NU, KH. Hasyim Asy’ary mendefinisikan Sunnah dalam Kitab Risalah Ahlusuunah Wal Jamaaah[2] yaitu
اسم للطريقة المرضية المسلوكة في الدين سلكها رسول الله صلى الله عليه وسلم أو غيره ممن هو علم في الدين كالصحابة رضي الله عنهم، لقوله صلى الله عليه وسلم "عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Aswaja yaitu nama bagi sebuah jalan dalam agama Islam yang ditempuh oleh Rasulullah Saw atau orang-orang yang menjadi panutan dalam beragama seperti para sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum ajma’in, yang didasarkan pada sabda Nabi “Ikutilah sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku”
Sedangkan Aswaja sendiri dalam kitab beliau yang lain, yaitu Ziyadatut Ta’liqat[3] didefinisikan sebagai berikut:
أهل السنة فهم أهل التفسير والحديث والفقه، فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة النبي الله صلى الله عليه وسلم والخلفاء بعده الراشدين وهم الطائفة الناجية قالوا وقد اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون والمالكيون والحنبليون.
“Aswaja yaitu kelompok Ahli Tafsir, Ahli Hadis, dan Ahli Fiqih. Merekalah kelompok yang mendapatkan petunjuk untuk tetap berpegang teguh dengan Sunnah Nabi Muhammad Saw, dan Khulafaur Rasyidin setelah beliau wafat. Mereka adalah kelompok yang selamat (di dunia dan akhirat). Para ulama mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah sekarang terhimpun dalam penganut madzhab Hanafi, Syafii, Maliki, dan Hanbali.”

Dari dua definisi di atas yang dimunculkan oleh KH. Hasyim Asyáry dapat dipahami bahwa sejatinya Aswaja bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Aswaja adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Saw, dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Aswaja merupakan Islam murni yang berlangsung dari Rasulullah, kemudian diteruskan oleh para sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang menjadi pendiri Aswaja. Yang ada hanyalah ulama yang merumuskan kembali ajaran Islam tersebut setelah lahirnya beberapa faham dan aliran keagamaan yang berusaha mengaburkan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya yang murni itu. [4]
Menurut KH. Said Aqil Siradj, sampai saat ini memang belum ada pengertian yang lebih epistimologis (nadzriyyat al-ma’rifat) yang mendefinisikan Aswaja secara tuntas dan menyeluruh. Kalaupun istilah Aswaja sering disebut dalam buku-buku klasik maupun dalam wacana pengajaran agama di pesantren, biasanya itu demi penyederhanaan cara penyebutan dan kepraktisan saja. Begitu pula terminology yang sudah berlaku di kalangan Nahdliyyin saat ini juga masih memerlukan penyempurnaan.
Oleh karena itu beliau memandang bahwa definisi tentang Aswaja (yang dibatasi madzhab-madzhab tertentu) yang selama ini diyakini oleh banyak Nahdliyyin tampak mempertemukan sejumlah hal yang saling kontradiktif. Mendefinisikan Aswaja dengan dalam fiqih mengikuti madzhab ini, akidah ini, dan tasawuf ini berarti ghair jami’ mani’. Begitu pula ketika kita yakini Aswaja sebagai madzhab, maka akan timbul isykal juga bagaimana mungkin dalam sebuah madzhab mengandung beberapa madzhab ? dari sinilah KH. Said Aqil Siradj memandang bahwa Aswaja bukanlah sebagai sebuah madzhab, melainkan hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja yang di dalamnya masih memuat banyak aliran dan madzhab.
Akan tetapi bukan berarti bahwa pengertian dan definisi yang dianut kita selama ini keliru. Namun, pengertian Aswaja yang ada selama ini masih dibatasi pada madzhab-madzhab tertentu. Misalanya yang mendefinisikan Aswaja dalam aqidah mengikuti madzhab Asyáry dan Maturidy, dalam bidang fiqih mengikuti Madzhab Hanafi, Maliki, Syafií, dan Hanbali, dan dalam bertasawwuf mengikuti salah satu dari Imam Al-Junaidi dan Imam Al-Ghazali.[5]
Ketiadaan satu definisi dalam Aswaja tersebut maka kemudian menyebabkan pendefinisiannya yang ada berkembang sangat beragam. Berbagai tokoh mendefinisikan Aswaja sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing. Dalam NU sendiri pengertian Aswaja juga sangat beragam, walaupun mempunyai subtansi yang sama. Diantara definisi yang beragam tersebut adalah
a.    Dalam AD ART NU hasil Muktamar NU ke 33 di Jombang tahun 2015 menyebutkan bahwa Aswaja adalah sebuah “Faham”, yang secara lengkapnya berbunyi sebagai berikut dalam Pasal 5 Anggaran Dasar NUNahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah, dalam bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ary dan Imam Abu Mansur al-Maturidi; dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali); dan dalam bidang tasawuf mengikuti madzhab Imam Al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghazali”.[6]
b.     KH. Said Aqil Siraj mengatakan bahwa Aswaja bukanlah sebuah madzhab, tetapi sejatinya lebih merupakan sebuah metode berfikir (manhajul fikr), atau sebuah paham yang di dalamnya memuat banyak aliran dan madzhab pemikiran. Paham Aswaja bisa diibaratkan sebagai sebuah tenda besar yang didalamnya memuat banyak aliran dan madzhab pemikiran.[7]
c.    Nurcholish Majid menganalisa Aswaja sebagai sebuah tinjauan dari perspektif historis, bahwa kata wal jama’ah dalam kata Ahlussunnah Wal Jamaah mengandung semangat non-sektarianisme. Menurut Cak Nur, semangat non-sekretarianismelah yang mendorong dianutnya paham irja’, yaitu keyakinan bahwa Allah saja yang berhak memutuskan apakah seseorang akan masuk neraka atau surga.[8]
d.      KH. M. Daniel Royan (Rois Syuriyah PCNU Kendal) mendefinisikan Aswaja sebagai berikut
هم الذين يتمسكون بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم وسنة صحابته
“Kelompok yang berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah Saw, serta sunah sahabat-sahabatnya”
Ta’rif  atau definisi tersebut merupakan definisi yang diambil dari hadis nabawi “ما أنا عليه اليوم وأصحابي”. Menurut beliau, orang yang memplokamirkan definisi tersebut adalah Imam Ahmad ibnu Hanbal.[9]
e.   Dalam buku hasil diskusi Purna Siswa Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo Kota Kediri mendefinisikan Aswaja sebagai “Pengikut thariqah yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabat dan selalu berada dalam kelompok mayoritas dari umat terdahulu”. [10]
f.   Forum Kajian Ilmiah Jimat Ilmiah 16 Lirboyo mendefinisakan Aswaja sebagai “mayoritas orang-orang yang bersatu, berpegang teguh pada ajaran Nabi Saw, dan tuntunan para sahabat”. Forum ini juga menyebutkan bahwa Abu Hasan Al-Asyáry dan Abu Mansur Al-Maturidy sebagai “Pendiri/Muassis Aswaja”. Aswaja juga disebut sebagai Madzhab, serta mempunyai nama lain yaitu Al-Firqah An-Najiyah, At-Thaifah Al-Mansurah serta As-Sawadul A’dham. Akan tetapi dalam halaman yang lain, Forum ini menyebut Aswaja sebagai manhajuul fikr (metodologi pemikiran), yang sudah berlangsung dan terus dipeluk serta diyakini sejak zaman Rasulullah Saw masih hidup dan para sahabatnya.  Paham ini terus menerus menjadi paradigma pemikiran Umat Islam setelahnya yang masih mengikuti tuntunan hidup yang diajarkan oleh Nabi Saw dan para sahabat. Pada halaman lain juga disebutkan bahwa Imam Asyáry dan Imam Maturidy adalah perumus terhadap akidah yang diyakini sesuai dengan pijakan para sahabat dan tabiín. Dan semua ajaran itu terkodifikasikan dengan sistematika baru yang yang beliau ciptakan.[11]
Dari berbagai definisi di atas kita dapat melihat ketidak ragaman kalangan Nahdliyyin dalam mendefiniskan Aswaja. Walaupun mempunyai subtansi yang hampir sama, tetapi hal tersebut mempunyai jami ­dan mani’ yang berbeda. Bagi orang yang membacanya pun akan sulit memahami perbedaan tersebut, utamanya masyarakat awam. Oleh karena itu perlu kiranya untuk memberikan sebuah definisi yang jelas serta syamil (komprehensif) dan dapat menjembatani berbagai persepsi, agar kedepannya tidak memunculkan sebuah standar ganda.
Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat KH. Said Aqil Siradj yang mengatakan bahwa pengertian Aswaja yang diberikan KH. Hasyim Asy’ary yang dipegang kuat oleh Nahdliyyin sampai saat ini juga merupakan pemikiran cemerlang yang sangat praktis dan kondusif. Hal itu dikarenakan ajaran Aswaja tidak lah pernah jumud atau mandek, tidak kaku, tidak eksklusif, tidak elitis, dan juga tidak mengenal status quo. Aswaja bisa berkembang secara fleksibel dan luwes, berkat potensi nahdlah yang dimilikinya. Yaitu, potensi penerimaan bangsa yang datang belakangan terhadap peradaban bangsa sebelumnya, disertai kepampuan untuk meracik dan membentuk kembali peradaban itu sesuai dengan kebutuhannya.[12]
Ta’rif Aswaja yang dikemukakan oleh KH. Hasyim Asy’ary di atas juga sesuai dengan berbagai definisi ulama, baik itu yang mutaqaddimin maupun mutaakkhirin. Diantara kesesuaian definisi tersebut adalah dengan defenisi Aswaja yang beberapa waktu yang lalu didefinisikan oleh Pertemuan Internasional Ulama’ Aswaja di Chechnya. Dalam pertemuan tersebut, para ulama’ dari berbagai negara merumuskan kembali Aswaja, serta persaudaraan Islam Internasional. Oleh karena itu, definisi Aswaja yang diberikan oleh Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary sudah sangat relevandan sangat kondusif sampai era modern ini. Dan bagi warga nahdliyyin sendiri maka sudah menjadi keharusan untuk mencantumkan, serta menjadikan rujukan utama bagi definisi Aswaja dari apa yang telah dirumuskan oleh KH. Hasyim Asy’ary.


Qanun Asasi Nahdlatul Ulama
Qanun Asasi merupakan undang-undang dasar NU yang berisi tentang landasan syar’i mengapa NU didirikan. Qanun asasi secara langsung diletakkan oleh Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary. Semenjak Muktamar NU ke-33 di Jombang pada tahun 2015, disepakati bahwa Muqaddimah dalam AD-ART NU diganti dengan Muqaddimah Qanun Asasi yang pertama kali dibuat oleh Hadrotus Syekh. Pada waktu sebelum Qanun Asasi ditetapkan kembali, muqaddimah yang ada merupakan hasil ijtihad para peserta muktamar, utamanya komisi yang membidangi AD ART.
Dalam Muqaddimah Qanun Asasi tersebut, berdasarkan analisa penulis setidaknya KH. Hasyim Asy’ary mengutip 43 ayat al-Qur’an, 5 Hadis Nabi, 4 Perkataan Sahabat, 1 Pendapat Ulama’, dan 2 sya’ir.[13] Adapun ayat yang dikutip tersebut adalah sebagai berikut:
a.        Surat Al-Ahzab; 45-46
b.        Surat An-Nahl; 125
c.         Surat Az-Zumar; 17-18
d.        Surat Al-Isra; 111, 36
e.        Surat Al-An’a; 153
f.          Surat An-Nisa; 95, 115, 66-68
g.        Surat Al-A’raf; 157, 99
h.        Surat Al-Hasyr; 10
i.          Surat Al-Hujurat; 13
j.          Surat Al-Fathiir; 28
k.         Surat Al-Ahzab; 23, 56
l.          At-Taubah; 119, 100, 87
m.      Surat Luqman; 15
n.        Surat Al-Anbiya; 7
o.        Surat Ali Imran; 7, 104, 200, 103, 8, 193-194
p.        Surat Al-Anfal; 25, 21, 46
q.        Surat Huud; 113
r.         Surat At-Tahriim; 6
s.         Surat Al-Maidah; 2 (diulang 2 kali)
t.          Surat A-Hujurat; 10
u.        Surat Al-’Ankabut; 69
v.         Surat As-Syuro; 38
w.       Surat Al-Kahfi; 84
Adapun Hadis Nabawi yang dikutip dalam Muqaddimah Qanun Asasi adalah sebagai berikut:
a.        Hadis yang diriwayatakan oleh Imam Suyuthi
يد الله فوق الجماعة، فإذا شذ الشّاذ منهم اختطفه الشيطان كما يختطف الذئب من الغنم
b.        Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لا تحاسدوا ولا تناجشوا ولاتباغضوا ولا تدابروا، ولايبع بعضكم على بيع بعض، وكونوا عباد الله إخوانا، المسلم أخو المسلم لايظلمه ولايخذله، ولا يخقره التقوى ها هنا" ويشير إلى صدره ثلاث مرات "بحسب امرئ من الشرّ أن يحقر أخاه المسلم، كل المسلم على المسلم حرام، دمه وماله وعرضه
c.         Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Hakim
فانظروا عمن تأخذون دينكم
d.        Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
عن عمران بن حصين، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "لا تزال طائفة من أمتي على الحق ظاهرين، على من ناوأهم حتى يأتي أمر الله، وينزل عيسى ابن مريم
e.        Hadis Yang diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdady dalam Kitab Al-Jami’
إذا ظهر الفتن والبدع وسب أصاحابي فلينظر العالم علمه، فمن لم يفعل ذلك فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين
Adapun perkatan Sahabat yang dikutip dalam Muqaddimah Qanun Asasi adalah sebagai berikut
a.        Perkataan Sayyidina Ali Ra(ada 3 perkataan beliau yang dikutip).
1.     إن الحق يضعف بالإختلاف والإفتراق، وإن الباطال قد يقوى بالاتحاد والاتفاق.
2.     إن الله لم يؤت أحدا بالفرقة خيرا لا من الأولين ولا من الأخرين، لأن القوم إذا تفرقت قلوبهم ولعبت بهم أهواءهم فلا يرون للمنفعة العامة محلا ولا مقاما، ولا يكون أمة متحدة بل أحادا مجتمعين أجسادا متفرقين قلوبا وأهواء، نحسبهم جميعا وقلوبهم شتى.
3.     فليس أحد وإن اشتد على حرصه، وطال في العمل اجتهاده، ببالغ حقيقة ما الله أهله من الطاعة، ولكن من واجب حقوق الله على العباد النصيحة بمبلغ جهدهم، والتعاون على إقامة الحق بينهم، وليس أمرؤ من عظمت في الحق منزلته، وتقدمت في الدين فضيلته، بفوق أن يعاون على ما حمله الله من حقه، ولا امرؤ وإن ضغرته النفوس واقتحمته العيون، بفوق أن يعين على ذلك أن يعاون عليه.
b.        Perkataan Sayyidina Umar Ra.
يهدم الإسلام جدال المنافق بالكتاب
Adapun sya’ir yang dikutip dalam Muqaddimah Qanun Asasi adalah sebagai berikut
a.        Sya’ir dari Sayyidina Ali Ra
كونوا جميعا يا بني إذا عــــرا   # خطب ولا تتفرقوا أحادا
تأبي القداح إذا اجتمعين تكسرا # وإذا افترقن تكسرت أفرادا
b.        Syair yang tidak disebutkan siapa pengarangnya
إنما الأمة الوحيدة كالجســـــــــ    # ــــــــــــــــم وأفرادها كالأعضاء
كل عضو له وظيفة صنع     # لا ترى الجسم عنه في استغناء
Adapun pendapat ulama’ yang dikutip dalam Muqaddimah Qanun Asasi adalah pendapat Sayyid Ahmad bin Abdullah As-Segaff:
إنها (أي نهضة العلماء) قد سطعت بشائرها، واجتمعت دوائرها، فأين تذهبون عنها، أيها المعرضون، كونوا من السابقين، أولا فمن اللاحقين، وإياكم أن تكونوا من الخالفين، فيناديكم لسان التقريع بقوارع ....الخ
Dari berbagai Ayat-ayat al-Qur’an, Hadis Nabawi, Pendapat sahabat, Perkataan serta Syair para ulama, oleh Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary meraciknya menjadi sebuah tulisan yang sangat epik. Dalam tulisan tersebut sangat banyak sekali dimuat berbagai hal yang menjadi landasan NU dalam berjam’iyyah. Dalam melaksanakan program kerja serta penyusunan berbagai rancangan yang dilakukan tidak boleh keluar dari Khittah Muqaddimah Asasi ini. dan bisa dikatakan bahwa Qanun Asasi merupakan landasan yang menjiwai Nahdlatul Ulama.
Dari analisa yang penulis lakukan, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi pokok inti dari Muqaddimah Qanun Asasi tersebut, yaitu:
a.   Ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip dalam Muqaddimah Qanun Asasi tersebut berisi tentang berbagai aturan serta etika yang sangat berkaitan erat dengan masyarakat umum dalam kehidupan mereka beragama, berbangsa, dan bernegara. Dalam ayat-ayat tersebut juga dijelaskan bahwa trah manusia ketika diciptakan adalah sebagai mahluk sosial yang antara satu dengan lainnya harus saling mengenal, berinteraksi, saling membantu, menjaga perasaan, menepati janji, larangan berpecah belah, saling menyakiti, dan melanggar batas orang lain seperti yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Selain itu juga dijelaskan tentang kewajiban untuk mengikuti ulama’, serta orang-orang berilmu yang mendapatkan petunjuk dari Allah Swt.
b.  Dalam hadis-hadis yang dikutip berisi tentang pentingnya untuk hidup berkelompok dan berorganisasi (ber-jam’iyyah). Vox Populi Vox Day (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan). Dalam setiap kelompok mempunyai tugas dan fungsi masing-masing yang saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Ketika keluar dari sebuah kelompok atau kelompok itu pecah, maka akan lebih mudah bagi setan untuk menyesatkan dan menghancurkan. Karena itu persatuan dan ikatan batin antara yang satu dengan yang lain merupakan penyebab terpenting timbulnya kebahagiaan serta faktor paling kuat untuk menciptakan persatuan dan kasih sayang.
c.   Peringatan akan timbulnya perpecahan yang terjadi dalam agama dan bangsa. Sudah banyak contoh umat dan bangsa terdahulu yang binasa karena terjadinya perpecahan. Beliau mengatakan bahwa “Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan, dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kebangkrutan, sumber keruntuhan  dan kebinasaan, serta penyebab kehinaan dan kenistaan”.
d.   Pentingnya menjaga sanad keilmuan dalam Ahlussunnah Wal Jamaah. Ketersambungan sanad seseorang dengan gurunya sampai kepada Nabi Muhammad Saw, menunjukkan kualitas ilmu yang dimiliki, serta kualitas ibadah yang dilakukan. Timbulnya para pelaku bid’ah, atau kelompok yang seringkali menuduh bid’ah kepada orang lain dengan mengaku-ngaku kembali kepada Kitabullah, semuanya tersebut disebabkan karena mereka tidak mempunyai sanad keilmuan.
e.     Dalam Muqaddimah tersebut, kutipan beliau dari hanya satu orang ulama’ yaitu Sayyid Ahmad bin Abdullah As-Segaff yang memberikan komentar tentang pengakuan kepada NU sebagai sebuah organisasi yang menggembirakan, menyatukan bangunan yang tegak, menyatukan berbagai daerah, serta larangan untuk berpaling dari NU. Dengan demikian NU telah menjadi sebuah organisasi yang menyatukan berbagai pemahaman Aswaja yang telah ada pada era-era sebelumnya di Indonesia (قد سطعت بشائرها), serta berkeinginan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, serta mempertahankannya(واجتمعت دوائرها).




Fikrah Nahdliyyah
Fikrah Nahdliyyah adalah kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang dijadikan landasan berfikir Nahdlatul Ulama (Khittah Nahdliyyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islahul ummah (memperbaiki ummat). Fikrah Nahdliyyah dibuat untuk menjaga nilai-nilai historis dan meneguhkan Nahdlatul Ulama pada garis-garis perjuangannya (khittah), serta menjaga konsistensi warga Nahdliyyin agar tetap pada koridor yang telah ditetapkan. Fikrah Nahdliyyah ini diputuskan dalam Musyawarah Nasional Ulama Nomor 02/Munas/VII/2006 di Surabaya tentang Bahtsul Masail Maudluiyyah Fikrah Nahdliyyah.[14]
Manhaj Fikroh Nahdliyyah (metode berfikir ke-NU-an) dapat digunakan untuk merespon berbagai persoalan, baik persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan. Dalam fikrah nahdliyyah tersebut disebutkan bahwa NU memiliki manhaj Ahlussunnah wal Jamaah sebagai berikut:
a.     Dalam bidang Aqidah atau Teologi, NU mengikuti manhaj dan pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ary dan Abu Mansur Al-Maturidy.
b.    Dalam bidang Fiqih atau Hukum Islam, NU bermadzhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu al-Madzahib al-Arba’ah, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
c.  Dalam bidang Tasawuf, NU mengikuti  Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid Al-Ghazali.
Selain Manhaj, Fikrah Nahdliyyah juga memiliki Khashaish (ciri-ciri dan karakteristik). Adapun Khashaish Fikrah Nahdliyyah tersebut adalah:
a.   Fikrah Tawashutiyyah (Pola Pikir Moderat). Artinya, NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang), dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. NU tidak tafrith atau ifrath.
b.    Fikrah Tasamuhiyyah (Pola Pikir Toleran). Artinya, NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun akidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.
c.  Fikrah Islahiyyah (Pola Pikir Reformatif). Artinya, NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju arah yang lebih baik (الاصلاح إلى ما هو الأصلح).
d.  Fikrah Tathowwuriyah (Pola Pikir Dinamis). Artinya, NU selalu melakukan konstektualisasi  dalam merespon berbagai persoalan.
e.   Fikrah Manhajiyyah (Pola Pikir Metodologis).  Artinya, NU senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.[15]
Selain Fikrah Nahdliyyah di atas yang telah ditetapkan dalam Munas, KH. Said Aqil Siradj menambahkan bahwa ciri utama manhaj atau paham Aswaja adalah sangatlah lentur, dan fleksibel. Kelenturan ini sering dirumuskan sebagai tawasuth (berada di tengah-tengah), tawazun (seimbang), I’tidal (tegak lurus), dan tasamuh (toleran). Dan perlu diingat, ciri ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu akidah, syariat, muamalah, akhlak’tasawuf, dan sosial-politik. Sedangkan KH. Afifudin Muhajir mengatakan bahwa sebenarnya al-wasathiyyah  mempunyai arti lain, yakni al-waqiiyyah atau realistis. Ini bukan sikap pasrah atau menyerah pada keadaan, melainkan mempertimbangkan kenyataan yang ada dan tidak bersikap mutlak-mutlakan, tapi sambil tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal. [16]


Ijtihad Dalam Perspektif Ulama’ Nahdliyyin
Sikap dasar bermadzhab telah menjadi pegangan nahdliyyin sejak berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindak lanjuti dengan pengembalian hukum fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ubudiyyah, mu’amalah, munakahah, jinayat dan qadha’. Selain mempertimbangkan qaul yang diambil itu berdasarkan  kekuatan qaul tersebut, juga dipertimbangkan pengambilan sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer), hajiyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier).
Pengertian istinbath al-ahkam di kalangan ulama’ nahdliyyin juga bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya yaitu, al-Qur’an dan al-Hadis. Akan tetapi penggalian hukum dilakukan dengan men-tahqiq-kan secara dinamis nash-nash fuqaha’ dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Istinbath langsung dari sumber primer (al-Qur’an dan al-Hadis) yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara itu istinbath dalam batas madzhab disamping lebih praktis dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat (uraian teks) kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku.[17]
Menurut Jaih Mubarak[18], secara garis besar pengambilan keputusan hukum  Islam di kalangan nahdliyyin dapat dibagi menjadi 3 macam prosedur, yaitu:
1.   Mengambil jawaban dari kitab-kitab yang sudah ada. Jika terdapat beberapa qaul atau wajah, maka yang dilakukan adalah taqrir jama’i untuk menentukan pilihan terhadap salah satu pendapat.  Dan metode ini juga mempunyai prosedur tersendiri.
2.    Ilhaqul Masail Binadzairiha (إلحاق المسائل بنظائرها), yaitu mempersamakan hukum suatu kasus atau masalah yang dijawab oleh ulama’ terhadap masalah atau kasus serupa yang telah dijawab oleh ulama’ lain. Dengan kata lain, pendapat ulama’ yang sudah jadi disebut sebagai ushul atau pokok, dan kasus atau masalah yang belum ada hukumnya disebut furu’ atau cabang. Metode ini merupakan salah satu cara yang digunakan dalam berijtihad.
3.   Istinbath Hukum sebagai alternatif terakhir, yaitu dapat dilakukan apabila suatu masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standard sehingga tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat dan tidak memungkinkan para ulama untuk melakukan ilhaq karena tidak ada mulhaq bih dan wajh ilhaq. Istinbath dilakukan secara jama’i (kolektif) dengan mempraktekkan kaidah ushul dan kaidah fikih.
Rumusan hukum hasil produk ijtihad nahdliyyin bukan merupakan keputusan akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila diperlukan. Bila di kemudian hari ada salah seorang ulama’ (meskipun bukan peserta forum bahtsul masail syuriyah) menemukan nash/qaul atau ibarat lain dari salah satu kitab dan ternyata bertentangan dengan keputusan tersebut, maka keputusan itu bisa ditinjau kembali dalam forum yang sama. Tidak ada perbedaan antara ulama’ senior maupun junior, antara yang sepuh dan yang muda dan antara kiyai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang paling mendasar adalah benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan subtansi masalah dan latar belakangnya.[19]
Menurut KH. Sahal Mahfudz, dalam terminologi ushul fiqih modern sering kali ditemukan istilah Ijtihad Jama’i. dalam aplikasinya ijtihad jama’i meliputi dua hal. Pertama, ijtihad dalam upaya memecahkan status hukum permasalahan baru yang belum di singgung oleh al-Qur’an, al-Sunnah, dan pembahasan ulama-ulama terdahulu. Jadi masalah ini dapat dikatakan masalah yang benar-benar baru (al-masail al-mahaddatsah), karena bukan hanya al-Alqur’an dan al-Sunnah tidak membicarakannya, juga hal ini belum pernah dibahas oleh ulama terdahulu. Kedua, ijtihad untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan cita kemaslahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran Islam. Hukum masalah yang akan diijtihadi itu telah dibahas oleh imam-imam mujtahid terdahulu, tapi karena ada beragam pandangan yang saling menampik antara yang satu terhadap lain, maka tugas kita secara kolektif adalah memilih pendapat yang paling tepat dan paling sesuai dengan ruh agama, yaitu kemaslahatan.
Dalam kalangan nahdliyyin juga dikenal istilah yang hampir mirip dengan ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif. Istilah tersebut adalah taqrir jama’i, yaitu “upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah”. Selain itu juga dikenal istilah ilhaqul masail bi nadzairiha, yaitu “menyamakan hukum suatu kasus/masalah serupa yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab”.[20]
Dalam ijtihad individu kadangkala seseorang itu menyentuh suatu aspek hukum dalam obyek pembahasan tertentu, sementara dia tidak menaruh perhatian pada aspek lainnya. Terkadang seseorang menghafal segala sesuatu yang orang lain tidak menghafalnya. Sedangkan diskusi kelompok semacam ijtihad kolektif dapat menemukan point-point yang tersembunyi atau dapat memunculkan secara jelas perkara-perkara yang sulit, atau mengingatkan beberapa masalah yang terlupakan, dan ini merupakan berkat dari musyawarah. Diantara produk kolektif adalah adanya usaha yang ditangani oleh sekelompok orang, atau usaha yang dilakukan oleh sebuah lembaga sebagai sebuah ganti dari usaha individu.
Dasar tentang ijtihad kolektif menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi adalah kisah Sayyidina Ali yang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang apa yang harus dilakukan jika dihadapakan pada sebuah perkara yang belum pernah ada keputusan hukumnya dari al-Qur’an dan hadis. Kemudian Nabi Muhammad Saw menjawab, “Engkau musyawarahkan perkara itu dikalangan para pakar fiqih dan orang-orang ahli ibadat dari kaum Mukmin, dan janganlah engkau sekali-kali menetapkan hukum masalah ini menurut pendapatmu sendiri”. Demikian inilah yang disebut dengan ijtihad kolektif.[21]
Metode ijtihad kolektif seperti inilah yang pernah ditempuh oleh Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Abu Bakar ketika menghadapi suatu perkara dan tidak mendapatkan dasar hukumnya dari al-Qur’an dan hadis, maka beliau mengundang para tokoh diantara kaum muslimin dan para ulama mereka untuk diajak musyawarah. Apabila pendapat mereka atas suatu perkara itu disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut. Begitu pula dengan Sayyidina Umar, apabila tidak menemukan keputusan al-Qur’an dan hadis serta tidak pula menemukan keputusan dari Abu Bakar maka beliau mengundang para tokoh-tokoh kaum Muslim dan ulama-ulama mereka untuk diajak bermusyawarah. Apabila pendapat mereka atas masalah tersebut disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut.
Dengan adanya ijtihad kolektif ini bukan berarti membunuh (meniadakan) dan tidak memerlukan ijtihad individu. Sebab yang menerangi jalan menuju kepada ijtihad kolektif adalah hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid untuk didiskusikan secara kolektif. Setelah diteliti dan didiskusikan, maka keluarlah suatu keputusan dari lembaga tersebut, baik berdasarkan ijma’ maupun pendapat mayoritas. Apabila tidak melewati jalur penelitian, maka hasil ijtihad individu ini dapat berakibat bahwa sebagian besar keputusan secara kolektif itu nanti di dalamnya terdapat celah yang dapat dijadikan bahan kritikan dan keraguan. Karenanya, hak individu dalam berijtihad itu masih ada pada setiap keadaan. Bahkan, sebenarnya proses ijtihad itu pada dasarnya adalah proses ijtihad individu. Sedangkan ijtihad kolektif merupakan permusyawaratan terhadap hasil-hasil yang telah dicapai oleh setiap individu sebagaimana yang telah kita ketahui.[22]
Di kalangan NU, pelaksanaan ijtihad atau taqrir jama’i tadi adalah melalui Bahtsul Masail. Sedangkan bahtsul masail secara istilah seperti yang diterminologikan  dalam sambutan buku Ahkamul Fuqoha oleh KH. Sahal Mahfudz adalah “salah satu forum diskusi keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyarakat”.[23] Dari definisi tersebut maka bisa difahami bahwa yang dinamakan bahtsul masail haruslah sebuah forum diskusi yang disitu setidaknya terdapat tiga orang atau lebih. Kemudian yang menjadi obyek diskusi adalah permasalahan keagamaan yang sedang berkembang dimasyarakat dan harus segera direspon dan dicarikan solusinya.
Bahtsul masail dapat disebut sebagai salah satu metode ijtihad kolektif karena dalam forum atau lembaga tersebut para ulama’, cendikiawan dan santri selalu aktif mengagendakan pembahasan tentang problematika aktual dengan berusaha secara optimal untuk memecahkan kebuntuan hukum islam akibat perkembangan sosial masyarakat yang terus menerus tanpa mengenal batas. Sementara secara tekstual tidak terdapat landasannya dalam al-Qur’an dan al-Hadis, atau ada landasannya namun pengungkapannya secara tidak jelas. Kompetensi para ulama’, santri dan cendikiawan yang mengikuti bahtsul masail diharapkan dapat menemukan sebuah solusi dan pemecahan terhadap problematika umat Islam.
Keputusan bahtsul masail dalam komunitas nahdliyyin yaitu dibuat dalam kerangka bermadzhab secara qouli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan yang telah ditentukan seuai dengan ketetapan Nahdlatul Ulama’ yang disusun dalam Munas Alim Ulama NU di Lampung pada tahun 1992. Adapun ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: ketika terjadi dalam suatu kasus masalah dan di sana terdapat lebih dari satu qoul pendapat, maka dilakukan taqrir jam’i untuk memilih satu qoul atau wajah. Sedangkan apabila dalam sebuah kasus tidak ada satu pun qoul pendapat atau wajah sama sekali yang memberikan penjelasan, maka dilakukan prosedur ilhaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para peserta bahtsul masail. Apabila dalam sebuah kasus tidak ada satu qoul atau wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbath jama’i atau ijtihad secara kolektif dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya
Dalam sebuah permasalahan apabila ditemukan dua qaul atau lebih maka harus mengikuti prosedur pemilihan qaul atau pendapat para ulama’. Prosedur tersebut adalah ketika dijumpai beberapa qaul dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat. Pemilihan salah satu pendapat dapat dilakukan dengan cara mengambil dan mempertimbangkan pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat. Selain dengan pertimbangan tersebut juga diusahakan untuk mengambil pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi’I, serta pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama’.[24]
Ketentuan-ketentuan di atas kemudian dipraktekkan oleh para mubahitsin (peserta bahtsul masail) untuk menganalisa permasalahan yang disodorkan kepada mereka. Teks ibarat dari berbagai kitab yang dibawa oleh para mubahitsin kemudian dibahas satu persatu untuk dicari ibarat manakah yang lebih tepat untuk menghukumi permasalahan tersebut. Pencarian ibarat ini adalah dengan cara memperhatikan illatul hukmi atau wajhul ilhaq yang mempunyai kesamaan dengan permasalahan yang dibahas. Ketika memang tidak memungkinkan melaui metode ilhaq maka dilakukan istinbath jama’i atau ijtihad secara kolektif oleh para mubahitsin dengan tetap memperhatikan kaedah fiqhiyyah dan kaedah ushuliyyah. Adanya istinbath jama’i tadi juga dapat dilaksanakan setelah mendapatkan arahan dari muharrir atau musohhih.

Ikhtitam
Perkembangan aqidah dan manhaj Aswaja An-Nahdliyyah baik dalam bidang aqidah maupun manhaj fiqih seperti yang penulis sampaikan di atas dari hari ke hari memang semakin menunjukkan kepada kualitas yang lebih baik. Akan tetapi perkembangan tersebut tidak sejalan dengan pemahaman serta implementasinya di kalangan masyarakat yang menunjukkan kepada tren yang negatif. Banyak masyarakat yang masih belum memahami akan arti fikrah nahdliyyah yang berisikan landasan berfikir yang berfaham Aswaja. Buruknya pemahaman tersebut ternyata juga masih ditambahi lagi dengan pelaksanaan dalam ritual-ritual keseharian kalangan nahdliyyin yang semakin hari semakin berkurang.
Oleh karena itu, maka ada perlunya apabila lebih dikonkritkan pemahaman Aswaja agar bisa difahamai dan dilaksanakan oleh khalayak nahdliyyin. Pelaksanaan tersebut bisa dilaksanakan oleh para cendikiawan nadliyyin, utamanya para kiyai dan santri. Selain itu juga perlu difikirkan kembali bagaimana strategi untuk menggaungkan kembali Aswaja ke tengah-tengah masyarakat. Sehingga apabila hal tersebut dapat terlaksana, ruh nahdliiyah yang digagas oleh Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary dalam Muqaddimah Qanun Asasi dapat terpatrikan dalam hati setiap umat Islam.







Daftar Pustaka


Abdurrhaman Wahid, Dkk. 2016. Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih Sampai Madzhab Kebangsaan. Jakarta: PT. Mizan Pustaka.
Forum Kajian Ilmiah Jimat ’16. 2016. Menghayati Agama, Islam & Aswaja. Kediri. Lirboyo Press.
Hasyim Asy’ary. 1998. Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jombang: Maktabah Al-Masruriyyah.
Hasyim Asy’ary. tt. Ziyadatu Ta’liqat ‘Ala Mandzumati Syekh Abdullah bin Yasin Al-Pasuruani. Jombang: Maktabah At-Turats Al-Islami.
Jaih Mubarok. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press.
LTN NU. 2007. Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004). Surabaya: LTN NU Jawa Timur & Khalista.
Marzuqi Mustamar. Tt. Al-Muqtathofat li Ahlil Bidaayat. Malang: Penerbit Ma’had Sabilur Rosyad As-Salafi.
M. Daniel Royan. Tt. Haqiqatu Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Menara Jogjakarta.
NU Online. 2015. AD-ART NU. (Online). Diakses 20 Mei 2017.
PCNU Kabupaten Semarang. 2012. AD ART NU. Ungaran: PCNU Kabupaten Seamarang.
Purna Siswa Aliyah MHM Lirboyo Kota Kediri. 2007. Polaritas Sektarian: Rekonstruksi Doktrin Pinggiran. Kediri: Lirboyo Press.
Sahal Mahfudz, Sahal. 1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS.
STAINU Kebumen. 2013. Teks dan Kontekstualisasi Amaliyah Ahlussunnah Wal jamaah. Kebumen: STAINU Press.
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. 2015. Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: Dari Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah NU. Surabaya: Khalista.
Yusuf Al-Qardhawi. 2000. Ijtihad Kontemporer; Kode Etik Dan Berbagai Penyimpangan. Surabaya: Penerbit Risalah Gusti.



[1] Aktifis Pergerakan ’15 Jawa Tengah,  Direktur Program Dauroh Santri Nusantara (DSN), PC GP Ansor Kabupaten Semarang, Wakil Bendahara PKC PMII Jawa Tengah
[2] KH. Hasyim Asy’ary. 1998. Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jombang: Maktabah Al-Masruriyyah. Hlm:5.
[3] KH. Hasyim Asy’ary. tt. Ziyadatu Ta’liqat ‘Ala Mandzumati Syekh Abdullah bin Yasin Al-Pasuruani. Jombang: Maktabah At-Turats Al-Islami. Hlm:23.

[4] Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. 2015. Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: Dari Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah NU. Surabaya: Khalista. Hlm:7.
[5] KH. Abdurrhaman Wahid, Dkk. 2016. Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih Sampai Madzhab Kebangsaan. Jakarta: PT. Mizan Pustaka. Hlm:138.

[6] NU Online. 2015. AD-ART NU. (Online). Diakses 20 Mei 2017.
[7] KH. Abdurrhaman Wahid, Dkk. Op.Cit. Hlm:140.
[8] Ibid. Hlm:125-126.
[9] M. Daniel Royan. Tt. Haqiqatu Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Menara Jogjakarta. Hlm:4-5.
[10] Purna Siswa Aliyah MHM Lirboyo Kota Kediri. 2007. Polaritas Sektarian: Rekonstruksi Doktrin Pinggiran. Kediri: Lirboyo Press. Hlm:19.
[11] Forum Kajian Ilmiah Jimat ’16. 2016. Menghayati Agama, Islam & Aswaja. Kediri. Lirboyo Press. Hlm:227-228, 333.
[12] KH. Abdurrhaman Wahid, Dkk. Op.Cit. Hlm:150.
[13] Lihat Kitab Al-Muqtathofat li Ahlil Bidaayat karya KH. Marzuqi Mustamar. Hlm:90; Teks Dan Kontekstualisasi Amaliyah Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah. 2013. Hlm:127; Muqaddimah Qanun Asasi yang diterjemahkan KH. Musthofa Bisri dalam AD ART NU Cetakan PCNU Kabupaten Semarang. Hlm:3.
[14] Tim Aswaja NU Center. Op.Cit. Hlm:166-167.
[15] Ibid. Hlm: 169-170.
[16] KH. Abdurrhaman Wahid, Dkk. Op.Cit. Hlm:150.
[17] KH. Sahal Mahfudz, Sahal. 1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS. Hlm:26-28.
[18] Jaih Mubarok. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press. Hlm:179-181.
[19] KH. Sahal Mahfudz. Op.Cit. Hlm:37
[20] LTN NU. 2007. Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004). Surabaya: LTN NU Jawa Timur & Khalista. Hlm:446.
[21] Dr. Yusuf Al-Qardhawi. 2000. Ijtihad Kontemporer; Kode Etik Dan Berbagai Penyimpangan. Surabaya: Penerbit Risalah Gusti. Hlm:139.
[22] Ibid.
[23] LTN NU. Op.Cit. Hlm:XVII.
[24] Ibid. Hlm:446-447.