September 2016 - Sang Pemburu Badai

Jumat, 30 September 2016

Sejarah Dan Perkembangan Hukum Keluarga Di Maroko

05.03 0
Sejarah Dan Perkembangan Hukum Keluarga Di Maroko
Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)



A.    Sejarah Hukum Keluarga
Hukum Keluarga adalah segala aturan, hukum, dan perundangan yang menyangkut kehidupan berkeluarga. Beberapa negara mempunyai aturan perundangan yang satu dan betul-betul disebut dengan Hukum Keluarga (Family Law). Sementara negara lainnya mempunyai hukum keluarga yang tersebar di berbagai aturan perundangan.
Dalam sejarah, sejak dulu hingga kini hukum keluarga ini adalah satu-satunya hukum Islam yang selalu diterapkan oleh masyarakat Muslim; baik mereka yang hidup di negara dan kerajaan Islam, seperti Mesir dan Saudi Arabia; negara semi sekuler, seperti Indonesia dan Malaysia; negara sekuler atau non Muslim, seperti komunitas Muslim di Singapura dan Amerika yang tentu saja hanya diberlakukan untuk komunitasnya sendiri. Hal ini berarti bahwa hukum Islam yang berkaitan dengan kehidupan sebuah keluarga hampir bisa dipastikan diterapkan baik secara formal maupun non formal oleh komunitas Muslim tanpa menunggu sebuah negara menjadi Islam atau masyarakat menjadi mayoritas dalam sebuah negara.

B.     Sejarah Hukum Keluarga di Maroko
Upaya reformasi hukum keluarga yang adil dan setara salah satunya dapat kita pelajari dari Maroko dengan Mudawanah-nya. Mudawanah telah mencapai prestasi yang cukup spektakuler dalam melakukan reformasi hukum keluarga Islam yang didasarkan pada cara pandang yang adil dan setara pada laki-laki dan perempuan baik dalam kedudukan mereka sebagai suami dan istri, maupun orang tua dan anak.
Maroko adalah sebuah negara berbentuk kerajaan Islam dengan populasi sebanyak 31.993.000 jiwa. Jumlah ini sedikit lebih banyak dari populasi Propinsi Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk 30.775.846 jiwa. Bahasa utamanya adalah Arab dan bahasa Asing terpopulernya adalah Perancis. Penganut Muslim mencapai 99 persen dengan mazhab Sunni. Jadi Muslim Sunni dapat disebut sebagai mayoritas tunggal di negara ini. Pada 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah, selanjutnya disebut Mudawanah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad.
Beberapa capaian signifikan dalam Hukum Keluarga ini adalah adanya ketentuan sebagai berikut; (1) Keluarga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya bahwa laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga; (2) perempuan tidak membutuhkan ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi UU untuk menentukan sendiri calon suaminya dan menolak untuk dipaksa menikah dengan lelaki yang bukan pilihannya; (3) batas usia minimum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum di mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun, yang mengatur laki-laki dan perempuan dari praktik pernikahan dini; (4) poligami mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan poligami.
Capaian tersebut tentu saja diawali dengan sejarah panjang dalam menentukan dan melaksanakan langkah-langkah strategis. Pertama, melakukan koordinasi dengan aktifis-aktifis perempuan lintas sektoral. Koalisi para aktifis perempuan diakui sebagai kekuatan dahsyat yang memungkinkan revisi Hukum Keluarga ini. Kedua, merumuskan Hukum Keluarga seperti apa yang ingin dicapai dan perubahan-perubahan apa yang dikehendaki. Ketiga, membangun argumentasi teologis maupun non teologis yang kuat dari berbagai perspektif termasuk HAM dan CEDAW. Keempat, melakukan advokasi ke pengambil kebijakan. Tuntutan perubahan Hukum Keluarga dengan berbagai argumentasi tersebut dikemukakan kepada anggota DPR yang mempunyai otoritas membuat Undang-Undang (UU), pemerintahan, dan partai. Kelima, membentuk opini publik agar masyarakat memahami dan menyadari apa yang sedang diperjuangkan, baik melalui media, demonstrasi di jalan-jalan dan memobilisasi massa dari berbagai elemen masyarakat dan kekuatan politik.
Keberhasilan gerakan Mudawanah dalam melahirkan hukum keluarga (al-Mudawanah al-Usrah) yang adil dan setara ini tidak bisa dilepaskan dari peran penting Raja Muhammad al-Malik as-Sa'id sebagai pemilik otoritas tertinggi di bidang politik sebagai pemimpin negara sekaligus otoritas tertinggi di bidang agama sebagai pemimpin para Ulama di Maroko. Pada awalnya perlunya revisi hukum keluarga untuk menjamin keadilan bagi laki-laki sekaligus perempuan ini selalu dibahas di mana saja hingga ke kerajaan. Setelah proses yang cukup lama akhirnya tuntutan perubahan Hukum Keluarga tersebut mendapat sambutan yang positif dari Raja dengan dibentuknya Komisi Khusus  yang menelaah draft usulan perubahan Hukum Keluarga dan selalu melibatkan kalangan aktifis perempuan dalam setiap pembahasannya. Setelah tiga tahun diproses oleh Komisi Khusus ini, akhirnya Raja mengesahkan Revisi Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) pada 2004.
Proses perjuangan tidak kalah penting dengan hasilnya. Ditetapkannya Hukum Keluarga yang mengakomodir perempuan dalam setiap prosesnya merupakan jalan bagi terwujudnya demokrasi bagi perempuan di Maroko. Tentu peran serta Raja tidak bisa diabaikan dalam hal ini karena ia sendirilah yang menghadapi serangan dari kelompok Muslim Konservatif. Namun tidak sedikit dari kalangan konservatif yang kemudian menyetujui revisi tersebut dan menyadari bahwa penolakan tersebut bukanlah soal agama melainkan politik. Misalnya, mereka mengatakan bahwa keharusan ijin wali bagi perempuan untuk menikah hanyalah soal politik (bukan agama).
Salah satu catatan penting dari keberhasilan reformasi Hukum Keluarga di Maroko ini adalah pentingnya membangun argumentasi yang didasarkan pada tradisi agama dan sosial Maroko sendiri sehingga masyarakat dapat diyakinkan bahwa reformasi ini adalah dari dan untuk mereka sendiri. Perspektif sosial merupakan argumen yang utama. Perubahan sosial saat ini telah memungkinkan banyak perempuan terlibat dalam mengurus negara dengan menjadi anggota legislatif dan menjalankan tugas negara. Tidak mungkin ketika perempuan bisa mengendalikan negara, tidak bisa mengendalikan diri sendiri. Artinya, dalam era di mana seorang perempuan yang sudah bisa mengendalikan negara dengan menempati berbagai jabatan strategis negara, pastilah para perempuan lainnya telah bisa mengendalikan diri sendiri.
Secara teologis pun ternyata banyak ditemukan tradisi pemikiran Islam di berbagai bidang yang dapat dijadikan argumentasi untuk mendukung perubahan Hukum Keluarga ini. Sayangnya baik ayat, hadis, maupun pandangan para ulama klasik yang mendukung dan mendorong lahirnya keadilan gender dalam keluarga Muslim ini kalah dengan berbagai macam kepentingan yang bertentangan dengannya. Apa yang terjadi di Maroko sesungguhnya merupakan contoh konkrit di mana Islam selalu ditafsirkan ulama dalam konteks politik tertentu, lebih-lebih jika melibatkan penguasa. Tafsir dapat melahirkan ketidakadilan bila dilakukan dengan asumsi yang tidak adil dan oleh subyek yang tidak adil. Namun, juga bisa melahirkan dan menjamin keadilan bila dilakukan oleh pemegang otoritas yang adil dan mempunyai cara pandang yang adil pada laki-laki dan perempuan sebagaimana terjadi Maroko.
Jika keadilan gender telah terjadi semenjak dalam keluarga, maka mimpi tentang dunia yang adil pun dapat lebih mudah menjadi nyata.

C.    Sekilas Tentang Negara Maroko
Saat ini penduduk Maroko berjumlah 33.723.418 jiwa, 99 % adalah muslim penganut sunni Maliki.[1] Maroko adalah negara yang berbentuk kerajaan, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-mamlakah al-maghribiah (kerajaan yang di Barat), terkadang juga disebut dengan al maghrib al aqsha (kerajaan yang terjauh di Barat). Dalam Bahasa Inggris disebut dengan Marocco, yang berasal dari bahasa Spanyol Maruecos, bahasa latinnya Morroch, di masa pra modern Arab dikenal dengan Marrakesh. Maroko mencapai kemerdekaannya dari Prancis pada tahun 1956 dengan sistem kerajaan konstitusional yang berada di Barat Laut Afrika.[2]
Sejak awal abad 20, Maroko berada di bawah kekuasaan “perlindungan” Prancis. Pada bulan Agustus 1953, Ahmed Belbachir Haskouri, salah seorang tangan kanan Sultan Muhammad V memproklamirkan Sultan Muhammad V sebagai penguasa Maroko yang sah. Pada Oktober 1955, kelompok Jaish al-Tahrir atau Pasukan Pembebasan yang dibentuk oleh Komite Pembebasan Arab Maghrib melancarkan serangan ke jantung pertahanan dan pemukiman Prancis di kota-kota besar di Maroko. Peristiwa di atas, bersama peristiwa lain di masa itu telah meningkatkan solidaritas di kalangan orang Maroko. Masyarakat Maroko mengenal masa itu sebagai masa revolusi yang digerakkan oleh Raja dan Rakyat atau Taourat al-Malik wa Shaab dan dirayakan setiap tanggal 20 Agustus.[3]

D.    Perkembang Hukum Keluarga di Maroko
1.      Kedudukan Wali dalam Hukum Keluarga Maroko
Bentuk peraturan hukum keluarga di Maroko dipengaruhi oleh negara yang secara politik telah lama mendominasinya yaitu Spanyol dan Prancis. Diantara pengaruh tersebut adalah adanya kodifikasi hukum keluarga yang dikenal dengan Code of Personal Status atau mudawwanah al ahwal al shakhsiyyah yang terjadi pada tahun 1957-1958. Terakhir hukum keluarga di Maroko ditetapkan pada tanggal 3 Februari 2004 yang disebut mudawwanah al ahwal al shakhsiyyah al jadidah fil al maghrib. Undang-Undang ini berisi 400 Pasal, terdapat tambahan 100 pasal dari undang-undang yang ditetapkan pada tahun 1957.
Wali nikah dalam hukum keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan bahwa dalam perkawinan harus terpenuhi: kebolehannya seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan untuk menikah. Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan Pasal 18, seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi walinya.
Penjelasan kedudukan wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam pernikahan menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah menghapus kedudukan wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya). Ketentuan ini juga menghapuskan kedudukan wali adlol, karena pada dasarnya wali adlol muncul karena adanya hak wali bagi orang tua terhadap anak perempuannya.
Apabila dibandingkan dengan hukum Jordania yang sama memakai mazhab Hanafi dalam masalah wali, tampaknya Maroko cenderung lebih jauh memberikan pemahaman terhadap kewenangan perempuan dalam pernikahan. Maroko mengangap bahwa perwalian bukanlah hak dari orang tuanya, tetapi hak anak perempuan itu sendiri.
2.      Usia dalam Perkawinan
Batas minimal usia boleh kawin di Maroko bagi laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali jika perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan. Pembatasan umur demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam al-qur’an, al-hadits maupun kitab-kitab fiqh. Hanya saja para ulama madzhab sepakat bahwa baligh merupakan salah satu syarat dibolehkannya perkawinan, kecuali dilakukan oleh wali mempelai. Imam Malik menetapkan usia 17 tahun baik bagi laki-laki maupun wanita untuk mengkategorikan baligh, sementara Syafi’I dan Hambali menentukan umur 15 tahun, dan hanya Hanafi yang membedakan batas umur baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun, sedangkan bagi wanita 17 tahun. Batasan ini merupakan batas maksimal, sedangkan batas minimal adalah laki-laki 15 tahun, dan perempuan 9 tahun, dengan alasan bagi laki-laki yang sudah mengeluarkan sperma dan wanita yang sudah haid sehingga bisa hamil. Dalam hal ini nampaknya Maroko mengikuti ketentuan umur yang ditetapkan oleh Syafi’I dan Hambali.
3.      Masalah Poligami.
Negara Maroko berbeda dengan Negara Tunisia yang melarang secara mutlak aturan mengenai poligami, pada prinsipnya bermaksud membatasi terjadinya poligami dengan harapan dapat diterapkan prinsip keadilan bagi para istri. Dalam undang-undang keluarga tahun 1958 menegaskan bahwa jika dikhawatirkan ketidakadilan akan terjadi diantara istri-istri, maka poligami tidak diperbolehkan. Namun, tidak ada pasal dalam undang-undang itu yang memberikan otoritas untuk menyelidiki kapasitas atau kemampuan suami untuk berlaku adil dalam poligami. Selain itu undang-undang Maroko juga mengatur masalah poligami antara lain sebagai berikut:
Pertama, jika seorang laki-laki ingin berpoligami, ia harus menginformasikan kepada calon istri bahwa ia sudah berstatus seorang suami.
Kedua, seorang wanita, pada saat melakukan akad nikah perkawinan, boleh mencantumkan taqlid talaq yang melarang calon suami berpoligami. Jika di langgar maka istri berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.
Ketiga, walaupun tidak ada pernyataan seorang wanita, seperti di atas, jika perkawinan keduanya menyebabkan istri pertama terluka maka pengadilan bisa membubarkan perkawinan mereka.


4.      Perkawinan Bersyarat
Ayat 38 undang-undang keluarga (personal law) 1958 mengatakan bahwa jika sebuah ikatan perkawinan disertai dengan persyaratan yang bertentangan dengan hukum syari’ah atau esensi dari perkawinan, maka perkawinan dapat dianggap sah, persyaratannya-lah yang tidak berlaku. Bukanlah persyaratan yang bertentangan dengan esensi perkawinan jika si istri menyatakan bahwa dia akan bekerja di dunia publik. Persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan yang menghalalkan sesuatu yang telah dilarang oleh agama misalnya suami mensyaratkan bahwa dengan perkawinannya dengan adik perempuan istrinya atau ibu istrinya boleh ia kawini juga. Atau dengan mengharamkan sesuatu yang halal misalnya istri mensyaratkan perkawinannya, suaminya tidak boleh berjalan dengannya keluar kota atau tidak boleh ‘berkumpul’ dengannya. Dalam hal ini menurut madzhab Maliki, perjalanan dan perkumpulan itu tetap halal, hanya persyaratannya saja yang haram.
5.      Pembubaran Perkawinan oleh Pengadilan
Menurut undang-undang Maroko, seorang istri dapat mengajukan gugat cerai ke pengadilan jika:
a.       Suami gagal menyediakan biaya hidup,
b.      Suami mampunyai penyakit kronis yang menyebabkan istrinya merana.
c.       Suami berlaku kasar (menyiksa) istri sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan kehidupan perkawinan.
d.      Suami gagal memperbaiki hubungan perkawinan setelah waktu empat bulan ketika suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya.
e.       Suami meninggalkan istri sedikitnya selama satu tahun tanpa memperdulikan istrinya.
Ketiga ulama madzhab: Maliki, Syafi’i dan Hambali menyetujui poin-poin tersebut sebagai alasan bagi istri menuntut perceraian pada hakim, sementara Hanafi mengatakan, hakim tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan talaq kepada wanita, apapun alasannya, kecuali bila suami dari wanita tersebut impotent.
6.      Talaq (Khulu’) dan Proses Perceraian
a.       Talaq (Khulu’)
Talaq (Khulu’) adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan perceraian tersebut. Perceraian dengan Khulu ini dilakukan jika perkawinan tidak dapat di pertahankan lagi, dengan syarat perceraian dan jumlah harus atas persetujuan dan kesepakatan suami istri.
Di Maroko, aturan tentang Khulu’ diambil dari madzhab Maliki dengan tekanan pada kebebasan istri pada transaksi tersebut. Imam Malik mengatakan jika istri selama perkawinan tidak merasakan kebahagiaan, bahkan merasa didzalimi, maka istri boleh menuntut cerai dengan mengembalikan sejumlah mahar yang telah diberikan suami kepadanya. Pada undang-undang Maroko diisyaratkan umur istri mencapai 21 tahun untuk dapat melakukan kesepakatan Khulu’, hal mana yang tidak pernah ditetapkan madzhab Maliki dan juga madzhab-madzhab yang lain. Selain itu, pelaksanaan Khulu’ tidak boleh mengorbankan hak-hak anak.
b.      Proses Perceraian
UU Maroko menetapkan, istri berhak membuat taklik talak, bahwa suami tidak akan melakukan poligami. Sementara apabila dilanggar dapat menjadi alasan perceraian. Perceraian harus didaftarkan oleh petugas dan disaksikan minimal 2 orang saksi. Dari teks yang ada dapat dipahami bahwa perceraian diluar Pengadilan tetap sah.[4]
Menurut undang-undang Maroko, seorang istri dapat mengajukan gugat cerai ke pengadilan jika: 1. Suami gagal menyediakan biaya hidup; 2. Suami mampunyai penyakit kronis yang menyebabkan istrinya merana; 3. Suami berlaku kasar (menyiksa) istri sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan kehidupan perkawinan; 4. Suami gagal memperbaiki hubungan perkawinan setelah waktu empat bulan ketika suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya; 5. Suami meninggalkan istri sedikitnya selama satu tahun tanpa memperdulikan istrinya.[5]
7.      Pencatatan Perkawinan
Dalam melaksanakan perkawinan, Maroko juga mengharuskan pencatatan perkawinan. Disamping mengharuskan pencatatan, Maroko juga mensyaratkan tanda tangan dua notaris untuk absahnya pencatatan perkawinan. Selain itu catatan asli harus dikirimkan ke Pengadilan dan salinan (kopinya) harus dikirim ke kantor Direktorat Pencatatan Sipil. Demikian juga istri diberi catatan asli, dan kepada suami diberikan salinannya, selama maksimal 15 hari dari akad nikah. Tetapi tidak ada penjelasan tentang perkawinan yang tidak sejalan dengan ketentuan ini.[6]
8.      Hukum Kewarisan
Prinsip wasiat wajibah yang diadopsi oleh Tunisia dari hukum wasiat Mesir (1946) juga diberlakukan di Maroko dengan beberapa perubahan. Maroko merupakan negara keempat dan terakhir setelah Mesir, Syiria dan Tunisia yang mengadopsi aturan ini. Menurut undang-undang Maroko (1958) hak untuk mendapatkan wasiat wajibah tersedia bagi anak dan seterusnya ke bawah dari anak laki-laki pewaris yang telah meninggal. Aturan ini tidak ditemukan dalam madzhab manapun dalam fiqih tradisional, sebab warisan hanya diperuntukkan bagi ahli waris yang masih hidup.[7]
9.      Revisi Undang-Undang Keluarga Maroko 1958
Pada tahun 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad. Beberapa perubahan yang berhasil digolkan adalah (1) Keluarga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya bahwa laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga, (2) perempuan tidak membutuhkan ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi UU untuk menentukan sendiri calon suaminya, (3) batas usia minimum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum di mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun, (4) poligami mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan poligami.[8]



DAFTAR PUSTAKA

Muzdhar, Muhammad Atho’ & Khairuddin Nasution. 2003. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dan Kitab-Kitab Fikih. Jakarta: Ciputat Press.
Nasution, Khoiruddin. 2002. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinana Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. INIS
http://en.wikipedia.org/wiki/Talk:List_of_Muslim_majority_countries
http://id.w3dictionary.org/index.php?q=kingdom%20of%/20morocco\
http://www.sahabatmaroko.com/index.php?option=com_content&view=article&id=112&Itemid=55 : Sejarah Singkat Maroko
http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukum-keluarga-yang-setara.html






[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Talk:List_of_Muslim_majority_countries
[2] http://id.w3dictionary.org/index.php?q=kingdom%20of%/20morocco\
[3]Sejarah singkat Maroko, http://www.sahabatmaroko.com/ index.php?option= com_ content&view= article&id=112&Itemid=55
[4] Khoiruddin Nasution, Op.Cit, h. 251-252.
[5] M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Op.Cit, h. 113.
[6] Khoiruddin Nasution, Op.Cit, h. 156.
[7]http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negara-maroko/ dikutip pada hari minggu, 5-04-2012, jam 20.00 WIB.
[8] http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukum-keluarga-yang-setara.html dikutip pada hari minggu 5-04-2012 jam 21.00 WIB.
Diposkan oleh Andhika Kharis di 07.27

Sejarah Peradilan Pada Permulaan Islam

05.00 0
Sejarah Peradilan Pada Permulaan Islam
Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)



                  
  1. Peradilan Zaman Jahiliyah (Sebelum Datangnya Islam)
Keadaan Arab Sebelum Islam Datang
Pada zaman Jahiliyyah sebelum Nabi Muhammad lahir terdapat emapat kerajaan besar dan mempunyai pengaruh luas yang mengelilingi jazirah arab. Empat kerajaan tersebut adalah kerajaan Romawi,kerajaan Persia, Dinasti Hindi di India dan Kerajaan Yunani. Kerajaan Persia terkenal terkenal sebagai sumber khurafat atau khayalan keagamaan dengan berbagai filasafat yang berbeda-beda dan tak jarang berbenturan. Contohnya adalah aliran Zaradasytiyyah (Zoroaster) yang dianut oleh penguasa kerajaan Persia. Diantara ajarannya adalah mengutamakan pernikahan seorang pria dengan ibunya, anaknya atau saudaranya. Selain itu juga terdapat aliran filsafat Mazkiyyah yang berfaham bahwa wanita dan harta itu adalah milik bersama dan bisa dipergunakan untuk umum (Al-Bouty, 1993:19).
Sedangkan kerajaan romawi telah dirasuki oleh jiwa kolonialisme. Mereka mengandalkan kepada kekuatan militer dan ambisi kolonialismenya untuk menyebarkan agama nasrhani dan memenuhi syahwat mereka dalam menguasai dunia. Kebejatan mereka tidak kalah dibandingkan kerajaan Persia. Kehidupan dengan hedonisme dan keglamoran, kecurangan dalam transaksi ekonomi dan hukum, beratnya pajak merupakan contoh diantara bejatnya kelakuan dinasti ini.
Disisi lain ada kerajaan Yunani yang tenggelam dalam khurafat dan mitos-mitos verbal yang berkembang tanpa memberikan suatu hasil yang berfaedah. Dan kerajaan Hindi seperti yang diungkapkan oleh Abu Al-Hasan An-Nadwy adalah sebuah kerajaan yang pada saat itu sedang mengalami puncak kemerosotan baik dalam bidang agama, akhlak maupun kemasyarakatan. Kerajaan ini termasuk yang ikut andil besar dalam kerusakan moral dan sosial zaman itu (Al-Bouty, 1993:20).
Adapun jazirah arab pada waktu itu adalah daerah yang tenang, yang jauh dari hiruk pikuk dunia luar pada waku itu. Penduduknya tidak banyak terpengaruh dengan paham atau aliran yang berkembang di luar arab pada waktu itu. mereka juga tidak mempunyai kekuatan militer yang bisa menjadikan mereka seperti orang romawi. Mereka juga tidak menpunyai filasafat yang dapat mereka gunakan untuk membolak-balikkan akidah agama sesuai kehendak hati mereka.
Karakteristik dari orang arab pada waktu itu diumpamakan seperti inti atom yang tidak mudah melebur dengan zat apapun sehingga pandangan mereka seperti manusia yang suci fitrahnya. Mereka juga mempunyai kecenderungan yang kuat untuk menjadi manusia yang terpuji.  Hal ini bisa dilihat dalam perilaku mereka sebagai orang yang setia dalam memenuhi janji, menjunjung tinggi kemulyaan, harga diri dan kasing sayang (Al-Bouty, 1993:20-21).

Perundang-undangan Zaman Jahiliyyah
Seperti pada masyarakat hukum yang ada pada zaman sekarang, umat jahiliyah juga telah mengenal perundang-undangan yang kemudian dijadikan sebagai dasar dalam peradilan mereka. Produk Qowanin atau undang-undang yang mereka hasilkan berbeda antara wilayah yang satu dengan yang lainnya yang dipengaruhi oleh kebutuhan, daerah serta aspek-aspek yang lainnya. Ambillah contoh penduduk negeri Yaman telah memiliki perundangan dan peradilan yang lebih mapan dibandingkan daerah arab yang lainnya disebabkan negeri Yaman pada waktu itu telah berdiri mamlakah atau kerajaan disana. Sedangkan di kota Makkah dan Yatsrib sendiri legislasi atau usul taysri’ lebih didasarkan kepada tokoh adat atau tokoh suatu golongan (Ali, 2001:142).
Dikarenakan tidak adanya sistem peradilan yang terlegitimasi secara umum di seluruh penjuru daerah Arab, maka tentu saja tidak dapat diharapkan bisa menemukan suatu sistem peradilan atau lembaga-lembaga hukum yang mempunyai undang-undang yang terkodifikasi. Dengan ketiadaan tersebut maka tidak pula ada suatu kepastian hukum yang berfungsi untuk  menyelesaikan suatu sengketa (lil fashli fil khusumat). Begitu juga tidak akan ditemukan bentuk-bentuk hukuman yang baku bagi pelanggar suatu peraturan seperti yang bisa kita pada zaman sekarang ini. Walaupun orang-orang arab sebenarnya mengetahui diluar arab telah ada qowanin atau undang-undang yang terkodifikasi sepaperti kitab undang-undang Hamurabi dan Kitab undang-undang justinien (Institute de justinien/ mudawwanah justiniyah) ternyata undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan dalam masyarakat arab. Hal ini disebabkan karena sebuah perundangan hanya dapat diterapkan pada sebuah masyarakat politik yang terikat dalam suatu peraturan atau konsensus/kekuasaan (Ali, 2001:142).
Tidak adanya undang-undang yang terkodifikasi dalam sistem masyarakat arab bukan berarti menunjukkan tidak adanya hukum yang diterapkan kepada pelanggar peratutaran atau tidak adanya hukum yang mengatur hubungan sosial dalam suatu masyarakat atau yang menentukan hak-hak para hakim dan terdakwa.  Hal tersebut juga tidak menunjukkan bahwa di jazirah arab pada waktu itu tidak ada seorang ahli tata negara. Peraturan atau perundangan yang diterapkan dalam masyrakat arab pada waktu itu lebih banyak bersumber kepada ‘urf dan kebiasaan yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Walaupun masyarakat seperti ini tidak memiliki sebuah peradilan dengan pegawai, pencatatan serta perundangan yang terkodifikasi seperti pada masa sekarang akan tetapi secara subtansinya mereka telah memiliki lembaga peradilan (Mahakim) dan pengadil (Hakim) (Ali, 2001:143).
Peradilan bukanlah suatu pekerjaan resmi bagi orang arab seperti yang kita lihat pada waktu sekarang. Hakim pada waktu itu bukanlah seorang pegawai negara yang mempunyai kekuatan yuridis dan keputusunnya tidak bersifat memaksa. Masyrakat jahiliyah yang mempunyai kasus boleh mengajukan atau tidak mengajukan kasusnya yang dia hadapi kepada seorang hakim (Ali, 2001:308).
Kota-kota di Jazirah Arab seperti kota Makkah dan Kota Yastrib mempunyai kemandirian dalam penerapan hukumnya. Mereka membentuk dan melaksanakan hukumnya tanpa ada pengaruh dari luar daerah. Produk-produk hukum mereka disebut dengan hukumat mudun. Sedangkan yang membuat dan menelurkan produk hukum tersebut adalah para pimpinan dan tokoh terpandang di kota tersebut. Mereka menyelesaikan perselisihan dengan bertendensi kepada ‘urf dan adat. Sedangkan tempat terjadinya peradilan juga berada di tempat tertentu sepeti Darun Nadwah atau di tempat ibadah atau di rumah seorang tokoh masyarakat. Adapun ketika terjadi sengketa dengan suatu golongan atau bangsa lain maka penyelesaiannya adalah dengan cara berlindung pada peradilan dari luar golongan mereka yang telah dipekati oleh para pimpinan dari kedua pihak yang berselisih. Selain itu juga ada ketentuan bahwa pengadil dalam peradilan tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan kasus ini. Keputusan hakim atau pengadil yang telah diketuk palu harus ditaati oleh kedua pihak (Ali, 2001:143).
Maka ketika kita ingin menyimpulkan tentang sumber hukum yang ada pada zaman jahiliyah atau sebelum adanya rasul akan didapatkan hasil bahwa sumber hukm pada zaman jahiliyah bersumber pada 4 hal, yaitu : ‘Urf, Agama (warisan nenek moyang), Ketetapan seorang pemimpin dan yang terakhir adalah pandangan para cendikiawan atau tokoh terpandang. Ketika Islam datang beberapa kebiasaan orang arab dihapuskan karena bertentangan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman (Ali, 2001:150).

Konsep keadilan menurut masyarakat jahiliyah
Adil adalah kesetaraan dan tidak berat sebelah. Syariat pada masyarakat jahiliyah juga mewajibkan untuk terciptanya keadilan dengan memberikan suatu hak kepada orang yang berhak. Dan keadilan merupakan tujuan akhir dalam peradilan mereka. Hanya saja konsep tentang keadilan berbeda antara orang yang satu dengan yang lain sebab berbedanya waktu dan tempat. Adakalanya suatu hukum itu adil dipandang oleh suatu kaum tetapi batil atau dholim bagi penduduk yang lain. Dan adakalanya suatu hukum itu adil dalam suatu konteks zaman tetapi tidak adil di zaman yang lain. Hal tersebut bisa saja terjadi karena aspek-aspek yang melatarbelakangi suatu perkara telah berubah dan berganti sehingga hal yang mulanya dipandang adil berubah menjadi dholim bagi sebagian orang. Dan dari sinilah Islam membatalkan sebagian hukum yang berlaku di zaman jahiliyah, membersihkan sebagian yang lain serta menetapakan bagian yang lainnya. Hal ini dikarenakan adanya aspek datangnya Islam dan berubahnya stigma masyarakat arab terhadap konsep keadilan (Ali, 2001:156).

Konsep Hakim Bagi Masyarakat Arab Jahiliyyah
Hakim adalah pelaksana hukum di tengah masyarakat dan orang yang mencegah terjadinya kedholiman. Setiap kabilah arab mempunyai hakim. Para hakim itu terkenal dengan intelegensinya yang sangat tinggi, luasnya wawasan, keadilan dan kemampuan mereka dalam menghilangkan kedholiman dan keteraniayaan. Bahkan ada diantara para hakim di tanah arab yang namanya sangat terkenal sampai keluar kabilah sehingga banyak anggota suku-suku lain yang bertahakkum / melakukan peradilan pada hakim tersebut yang terkenal akan kejujuran dan keadilannya dalan memutuskan perkara (Ali, 2001:307).
Hakim yang ada pada setiap suku tidak melulu harus seorang kepala suku. Bisa saja seorang hakim adalah dari kalangan penduduk biasa namun mereka terkenal di masyarakatnya sebagai sebagai orang jenius, berwawasan dan mengenal seluk beluk sukunya dengan baik, hafal nasab dan hal lain-lainnya. Yang perlu menjadi perhatian bahwa orang arab selalu menamakan hakim bagi orang-orang yang bisa memecahkan permaslahan atau menyelesaikan sengketa. (Ali, 2001:308)
Hakim pada zaman jahiliyah itu ada beberapa tipe. Pertama adalah hakim yang diangkat masyarakat karena dikaruniai beberapa kelebihan dan keistimewaan yang kemudian masyarakat mencari solusi dengan meminta pemecahan masalah kepadanya. Hakim tipe kedua adalah kuhhan, jamaknya kahin yaitu para dukun atau peramal. Hakim tipe seperti ini adalah orang yang dijadikan sebagai sumber rujukan dan istifta’ oleh para masyrakat jahiliyah dalam permasalahan yang berkaitan dengan pepohonan, bebatuan, tempat-tempat keramat dan hal-hal yang berbau takhayul lainnya. Hakim tipe ketiga yaitu ‘urraf. Hakim tipe yang keempat adalah para fuqoha (juridis) dan mufti jahiliyah yang dijadikan sebagai referensi dalam permasalahan keagamaan (Ali, 2001:308).
Diantara hakim zaman jahiliyah dahulu adalah : Aksam bin Shoifi bin Rayyah, Hajib bin Zararah bin Adas, Al-Aqra’ bin Habis, Abu Uyayinah, Rabiah bin Makhosyin, Dhomroh bin Abi Dhomroh yang berasal dari Bani Tamim. Sedangkan dari Bani Quraisy ada Af’a bin Hasin, Uyainah bin Hashon, Abu Jahal bin Hisyam, Anas bin Mudrik, Hasyim bin Abdi Manaf, Abdul Mutholib, Abu Tholib, Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah. Dan hakim arab pertama yang tercatat dalam buku sejarah adalah Al-Af’a Al-Jahramy. Kasus besar yang pernah ditanganinya adalah sengketa waris di bani Nazar bin Ma’ad. (Ali, 2001:309-311).

Hakim Wanita Di Jazirah Arab
Walaupun dikenal sebagai masyarkat jahiliyah, ternyata perdaban masyarakat arab telah mengenal hakim wanita. Para wanita zaman itu bisa menempati kedudukan atau dianggap sebagai hakim karena mempunyai kemampuan dalam menelurkan sebuah produk hukum, menyelesaikan pertikaian dan berpandangan luas. Diantara para hakim wanita tersebut adalah Jum’ah binti Habis Al-Iyyadi, Khisilah binti Amir bin Dorb Al-Udwany, Khadzam binti Ar-Rayyan dan Hindun binti Al-Khossy Al-Iyyadiyah (Ali, 2001:311).

 Contoh Kasus Peradilan Zaman Jahiliyyah
Nama Hakim
Kasus atau Produk Hukum
-          Amr bin Dharb Al-Udwany
-          Darz bin Khauth bin Abdullah At’Tha’i

-          Permasalah khunsa (wanita pria/ bencong)
-          Amir Bin Jasim Bin Ghanam Bin Habib
-          Anak perempuan sebagai ahli waris

-          Amir bin Dharb Al-Udwany
-          Orang pertama yang mencetuskan penyelesaian hukum dengan undian memakai tongkat
-          Diyat dengan 100 ekor unta
-          Sofwan bin Umayyah bin Muhris Al-Kinany
-          Termasuk orang yang mengharamkan khamr atau minuman keras dengan alasan untuk memulyakan dan menjaga kesehatan
-          Abdul Mutholib

-          Termasuk orang yang mengharamkan khamr, Zina
-          Memerintahkan meninggalkan kedholiman dan berbuat curang
-          Menganjurkan berakhlak mulia dan memenuhi janji
-          Mengharamkan pernikahan dengan mahram
-          Memotong tangan pencuri
-          Walid bin Mughirah
-          Memotong tangan pencuri
-          Qasamah/ Sumpah
-          Dzul Majasid Al-Yasykary
-          Orang pertama yang mencetuskan hak waris anak perempuan dan memberikan bagian setengah dari laki-laki.
Sumber: Kitab Al-Mufasshol Fi Tarikhil Arab Qabla Al-Islam


  1. Peradilan Zaman Rasulullah
Rasulullah Saw. Adalah hakim pertama dalam Islam. Beliau menjadi hakim setelah menyampaikan risalahnya atau setelah menjadi Rasul. Nabi bertindak menjadi hakim juga sebagai seorang muballigh yang menyampaikan syariat Allah. Sedangkan pada waktu itu masyarakat arab Islam belum mempunyai Hakim dan Nabi tidak menunjuknya (Ash-Shiddieqy, 2001:7).
Setelah Islam mulai tersebar ke seantereo arab maka Nabi Muhammad mulai menentukan peradilan Islam yang pengelolaannya diserahkan kepada penguasa daerah terkait. Dan adakalanya Nabi Muhammad secara langsung menunjuk seorang sahabat untuk menjadi seorang hakim. Selain berfungsi sebagai hakim, orang yang ditujuk oleh Nabi juga berkedudukan sebagai mufti dan muballigh. Mufti berfungsi untuk memberikan fatwa bagi orang yang memerlukan, sedangkan muballigh berfungsi untuk mengajarakan dan menyebarluaskan agama Islam (Ash-Shiddieqy, 2001:8).
Para sahabat yang dikirim Rasulullah untuk menjadi hakim ke berbagai tempat mendapatkan pendidikan peradilan secara langsung oleh Rasulullah. Pendidikan yang pernah diterapkan antara lain dengan cara menguji intelegensia mereka dalam memutuskan perkara. Kadangkala Nabi Muhammad menyuruh sahabat untuk memutuskan perkara dihadapan beliau sendiri. Praktek inilah yang kemudian dijadikan isyarat untuk melegitimasi antara kekuasaan Eksekutif dan Legislatif.
Diantara sahabat yang pernah bertindak sebagai hakim adalah Umar bin Khattab, Ali Bin Thalib, Muadz bin Jabal dan yang lainnya.  Peristiwa pengujian terhadap Muadz bin Jabal dijadikan sebagai dasar olah para ulama’ dalam melegitimasi penggunaan akal dengan metode ijtihad atau qiyas dalam memutuskan suatu kasus hukum (Ash-Shiddieqy, 2001:9-10).
Dalam memutuskan perkara, Nabi Muhammad berpedoman kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada beliau. Selain itu Nabi Muhammad dibekali kemampuan berijtihad untuk memutuskan perkara yang tidak disebutkan dalam wahyu. Sedangkan alat pembuktian yang ada pada zaman Rasulullah adalah : Bayyinah (Fakta/Bukti Formil & Materiil), sumpah, saksi, bukti tertulis, firasat dan qur’ah (undian) (Ash-Shiddieqy, 2001:8).
Tidak seperti pada zaman sekarang, pada zaman Nabi Muhammad tidak mengenal istilah penjara. Orang-orang yang melakukan pelanggaran terhadap perundangan (syariat) Islam terkena hukuman sendiri semisal tidak dibiarkan bercampur atau berinteraksi dengan orang lan. Mereka ditahan dalam rumah atau di dalam Masjid. Kemudian ada juga yang diawasi oleh orang yang bersengketa atau yang mewakili (Ash-Shiddieqy, 2001:11).



Daftar Pustaka

Al-Bouty, Muhammad Said Ramdhan. 1993. Fiqh As-Sirah Muhammad. Beirut: Dar Al-Fikr.
Ali, Jawwad. 2001. Al-Mufasshol Fi Tarikhil Arab Qabla Al-Islam. Juz 10. Madinah: Dar As-Saqi.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Peradilan Dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.