Januari 2016 - Sang Pemburu Badai

Rabu, 27 Januari 2016

Contoh File KKN IAIN Salatiga Tahun 2015 di Desa Jetis Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang

08.05 0
Contoh File KKN IAIN Salatiga Tahun 2015 di Desa Jetis Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang




Monggo mendownload dengan meng-klik link atau tulisan berikut. Jangan lupa membaca al-Fatihah agar proses downloadnya lancar dan tidak terkendala apapun !

File Proposal
Cover Proposal
Proposal Pengadaan Buku 
Proposal Pengadaan Juz Amma, Iqra' dan Al-Qur'an 
Berita Acara Penerimaan
Tanda Terima

File Laporan
Cover & Daftar Isi
Isi Laporan KKN

Lampiran Jadwal Kegiatan


Setelah mendownload jangan lupa untuk mengucapkan terimkasih serta mendoakan pemilik blog agar selalu sehat dan diberikan ilmu yang manfaat.

Nb: Jangan lupa diedit laporan dan proposalnya sesuai dengan kebutuhan anda.... !!!

Senin, 04 Januari 2016

Bermadzhab Dalam Islam

17.45 0
Bermadzhab Dalam Islam

Bermadzhab Dalam Islam

Dalam soal menjalankan ibadat, umat Islam telah sepakat bahwa al-Quran dan al-Hadits adalah dua sumber utama yang wajib ditaati dan diamalkan. Kedua-duanya merupakan pedoman dan rujukan paten bagi umat Islam di muka bumi ini. Hal ini tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang kafir dan munafiq. Para ulama ushul sepakat, bahwa orang yang mempunyai kemampuan mengistinbath hukum secara langsung dari sumbernya, yaitu al-Quran dan al-Hadits, maka wajib berpegang dan mengamalkan hasil ijtihadnya dan tidak dibenarkan kalau sampai mengambil hasil ijtihad ulama lain. Sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 59: “…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya (al-Quran dan al-Hadits).”
Namun kenyataannya sekarang adalah tidak semua orang Islam mampu melakukan istinbath (mengeluarkan hukum) dari al-Quran dan al-Hadits seperti imam-imam madzhab. Inilah sebabnya mengapa ada madzhab dan taqlid. Dan ternyata sejarah membuktikan, bahwa taqlid tidaklah menyebabkan umat menjadi jumud atau beku. Sebaliknya, seruan ijtihad dan bebas madzhab hanya menimbulkan perpecahan dan kehinaan yang berkepanjangan bagi umat ini.
Seruan agar umat berijtihad tanpa melihat apakah umat memiliki kemampuan dan kelayakan sebagai mujtahid atau tidak, adalah satu seruan yang berbahaya yang dapat menimbulkan kekacauan dan perpecahan serta kerusakan di berbagai sektor kehidupan. Asy-Syahid asy-Syeikh Dr. M. Said Ramadhan al-Buthiy dalam kitabnya yang berjudul Alla Madzhabiyyah Akhtharu Bid`atin Tuhaddidu asy-Syarii`at al-Islamiyyah” telah menjelaskan panjang lebar tentang bahaya bebas madzhab. Banyak orang salah sangka bahwa adanya madzhab berarti sama dengan memicu perpecahan. Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermadzhab, bahkan ada yang sampai anti madzhab. Kesalahfahaman mereka tentang hakekat bermadzhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar kepada mereka.
Madzhab-madzhab fiqh itu bukanlah representasi dari perpecahan atau perseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya, adanya madzhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada al-Quran dan al-Hadits. Madzhab empat yang ada dan kita kenal selama ini adalah hasil ijtihad ulama-ulama yang tidak diragukan lagi kemampuannya di bidang itu, yaitu, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.
Ijtihad sebagaimana yang telah ketahui, adalah menggali isi al-Quran dan al-Hadits untuk dikaji, diteliti dan dianalisa sehingga membuahkan hukum-hukum Islam yang konkrit dan positif. Buah atau hasil ijtihad itulah yang kemudian oleh orang disebut “madzhab”. Jelasnya, orang yang bermadzhab sama artinya dengan orang yang mengamalkan al-Quran dan al-Hadits, karena semua pendapat yang difatwakan oleh imam-imam madzhab adalah hasil dari kajian mereka terhadap al-Quran dan al-Hadits. Bahkan untuk memudahkan orang-orang awam, mereka siang malam berusaha mengkaji dan menggali hukum-hukum didalam al-Quran dan al-Hadits yang notabene ribuan dan tidak berurutan, mereka atur sedemikian rupa, diurutkan dari bab ke bab. Sehingga hukum-hukum islam lebih mudah dipelajari.
Kemudian sebagai manusia biasa, mereka juga bisa salah, tentu kita maklumi itu. Dan ini bukan berarti kita lalu menolak atau bahkan anti dengan mereka hanya gara-gara ada satu atau dua kesalahan yang timbul dari mereka. Sebab kesalahan satu dua dalam rangka menggarap persoalan yang ribuan banyaknya adalah sudah wajar dan logis. Justru yang tidak wajar dan tidak logis adalah menolak seluruh persoalan-persoalan tersebut hanya karena adanya satu atau dua kesalahan tadi.
Ironinya ada sebagian orang yang mungkin karena dengki atau iri atau karena kepentingan pribadi, bermaksud menghapus secara total madzhab-madzhab yang ada dengan cara menolak dan mengibarkan bendera “anti madzhab”, serta mengharuskan setiap orang Islam agar berijtihad atau menggali hukum secara langsung dari sumbernya, tanpa melihat apakah mereka memiliki kemampuan dan kelayakan sebagai mujtahid atau tidak.
Apa yang terjadi jika semua orang melepaskan diri dari madzhab-madzhab yang ada dan mereka semua dibebaskan berijtihad. Padahal kita tahu bahwa tidak setiap orang Islam mempunyai kesempatan dan kemampuan dalam mempelajari agama secara mendalam, sehingga tidak setiap orang pula mampu mengistinbath (menggali hukum) langsung dari sumbernya? Pertanyaan ini sama jawabannya dengan pertanyaan, apa yang terjadi jika orang-orang sakit ditangani oleh buruh-buruh bangunan? Atau apa yang terjadi jika Negara ini dipimpin oleh orang-orang yang bukan ahlinya? Jawabannya tiada lain hanyalah kekacauan dan kerusakan total akan menimpah segi-segi kehidupan umat manusia. Sebab mereka melakukan usaha tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan keahliannya. Para imam madzhab laksana para koki-koki hebat yang dapat meramu bumbu-bumbu mentah menjadi sebuah masakan yang enak dan lezat lagi aman dari berbagai macam penyakit. Hasil ijtihad mereka kalau salah tetap akan mendapatkan satu pahala sedangkan jikalau benar maka dua pahala baginya. Untuk urusan makanan saja tidak bisa sembarangan orang bisa meramunya, apalagi ini adalah urusan syariat Islam! Sebuah pertanggungan jawab antara hamba dengan Rabbnya di akhirat kelak.

Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad

17.42 0
Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad
Terbuka Dan Tertutupnya Pintu Ijtihad

A.    Pendahuluan
Dasar pertama dan utama dalam syariat Islam untuk menetapkan dan membuat undang-undang berdasarkan hukum Islam ialah terbukanya pintu ijtihad bagi mereka yang ahli dalam bidang hukum. Ijtihad dalam konteks etimologi mempunyai pengertian mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan atau mengerjakan sesuatu. Sedangkan dalam konteks terminology ulama ushul, ijtihad diartikan sebagai upaya pengerahan kemampuan seorang faqih (pakar fiqh) dalam menggali hukum-hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah. Terbukanya pintu ijtihad lebar-lebar karena hukum-hukum yang disebutkan secara tegas dan jelas (nash) dalam al-Qur'an dan al-Hadits memang terbatas jumlahnya. Ibnul Qayyim di dalam kitabnya A'lam al- Muwaqqi'in mengatakan bahwa jumlah ayat-ayat yang merupakan dasar dalam al-Qur'an tidak lebih dari lima ratus ayat. Sedangkan jumlah hadits-hadist Nabi SAW yang menjadi dasar penentuan hukum hanya sekitar lima ratus hadits yang tersebar di antara ratusan ribu hadist yang ada. Dengan demikian, maka dasar syariat hukum islam, baik dari al-Qur'an maupun Hadist Nabi SAW berjumlah seribu nash. Dan itulah yang menjadi sumber pengambilan segala peraturan dan undang-undang Islam yang demikian kayanya, yang hingga kini tetap bermanfa'at dan dibutuhkan oleh umat agama ini.
Al-Qur'an telah mengajarkan agar umat Islam berijtihad, berupaya menarik kesimpulan hukum serta menerima pengarahan para ulama dan ahli-ahli pikir mereka. Allah SWT berfirman : "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)." [Q.S. al-Nisa':83]. Ayat ini jelas berisi anjuran yang cukup tegas, untuk beristinbath dan berijtihad, yakni mengambil kesimpulan dan berusaha mencari hukum dengan mengadakan perbandingan dan lain sebagainya.
Sejarah juga telah menceritakan kapada kita, bagaimana Rasulullah SAW melatih para sahabatnya dalam memutuskan suatu hukum dan mendorong mereka agar mengerahkan segala kemampuan daya fikirnya untuk berijtihad. Beliau menenangkan hati para sahabat agar tidak ragu atau takut salah dalam usaha ijtihadnya. Karena seorang mujtahid yang benar dalam ijtihadnya akan diberi dua pahala. Dan bagi yang salah dalam ijtihadnya akan memperoleh satu pahala. Allah SWT berfirman: "Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS.Al-Ahzab:5]


B.     Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
Para ulama membagi tingkatan mujtahid menjadi lima tingkatan:
1.      Al-Mujtahid al-Muthlaq al-Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang menciptakan kaidah-kaidah sendiri dalam ijtihadnya, seperti Imam Abu Hanifah al-Nu'man, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal. Imam Ibnu Abidin menyebut tingkatan ini sebagai tingkatan Mujtahid fi al-Syar'i.
2.      Al-Mujtahid al-Muthlaq Ghoiru al-Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad yang terdapat dalam mujtahid mustaqil, hanya saja ia tidak mampu menciptakan kaidah-kaidah sendiri, akan tetapi menggunakan kaidah yang telah disusun oleh imam madzhab mereka. Mujtahid semacam ini juga disebut sebgai Mujtahid Muthlaq Muntasib Ghairu Mustaqil. Termasuk dalam tingkatan ini adalah para murid dari para imam madzhab, seperti Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad dari Madzhab Hanafi, Ibnu al-Qasim dari Malikiyah, al-Buwaity dan al-Muzani dari Syafi'iyyah dan Abu Bakar al-Atsram dari Hanabilah. Imam Ibnu Abidin menyebut tingkatan ini sebagai Mujtahid fi al-Madzhab. Mereka adalah para mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum dari dalil-dalinya berdasarkan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh guru-guru mereka, meskipun mereka berbeda pendapat dengan imamnya mengenai beberapa hukum dalam masalah furu' akan tetapi mereka mengikuti imamnya dalam kaidah-kaidah ushul. Menurut sebagian ulama dua tingkatan ini sudah tidak ada lagi sejak beberapa abad tahun yang lalu.
3.      Al-Mujtahid al-Muqoyyad, atau disebut juga sebagai mujtahid fi al-masail (beberapa masalah) yang tidak ada keterangan yang jelas dari imam madzhab. Mujtahid ini juga disebut sebagai Mujtahid Takhrij. Mereka seperti al-Thahawy, al-Karkhy dan al-Halwany dari Hanafiyah, al-Abhari dan Ibnu Abi Zaid al-Qayrawany dari Malikiyah, Abu Ishaq al-Syairazi, al-Marudzi, Muhammad bin Jarir dan Ibnu Khuzaimah dari Syafi'iyyah dan al-Qadli Abu Ya'la dan al-Qadli Abu Ali bin Abu Musa dari Hanabilah. Para ulama menyebut mereka sebagai Ashhabu al-Wujuh karena mereka mampu mengeluarkan hukum suatu maslah yang tidak ada keterangan dari pendapat-pendapat imam mereka.
4.      Mujtahid al-Tarjih, yaitu seorang mujtahid yang mampu untuk mentarjih (mengunggulkan) satu pendapat dari Imam Madzhab atas pendapatnya yang lain atau mentarjih di antara pendapat yang telah diungkapkan oleh Imam Madzhab dan pendapat yang diungkapkan oleh murid-muridnya atau pendapat dari imam yang lain (madzhab lain). Tugas mereka adalah mengutamakan sebagian riwayat dari sebagian yang lain. Mereka seperti al-Qadury dan al-Marghinani dari Hanafiyah, al-Allamah al-Kholil dari Malikiyah, al-Rafi'I dan al-Nawawi dari Syafi'iyyah dan al-Qadli 'Ula'uddin al-Mardawi dari Madzhab Hanbali.
5.      Mujtahid Fatwa, yaitu seorang mujtahid yang mempunyai kepedulian untuk menjaga eksistensi madzhabnya dengan cara mengutip, mengkaji dan mengupas suatu pendapat. Selain itu mereka juga mampu untuk membedakan antara pendapat yang lebih kuat, kuat dan lemah. Hanya saja mereka belum mampu untuk mnelusuri lebih jauh mengenai dalil-dalinya atau bentuk qiyas-qiyasnya. Dari kalangan Hanafiyah yang telah mencapai tingkatan ini adalah para pengarang kitab matan dari golongan ulama muta'akhirin, seperti pengarang kitab al-Kanzu, pengarang kitab al-Dur al-Mukhtar , pengarang kitab al-Wiqayah dan pengarang kitab Majma' al-Anhar. Sedangkan dari kalangan Madzhab Syafi'i terdapat Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli.

C.    Benarkah pintu ijtihad masih terbuka?
Permasalahan ini sangat menarik untuk kita bahas, karena sebagaian ulama telah mngklaim bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah tidak bisa lagi ditemukan. Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini, sebagaimana penuturan Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dipicu karena banyaknya orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid. Bahkan yang lebih heran lagi, mereka mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah al-Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana yang telah diuraikan oleh para ulama tidak terpenuhi dalam diri mereka. Fatwa tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab.
Imam al-Manawi dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid imam madzhab menjadi dua versi. Mereka meminta Imam Suyuthi, jika beliau merupakan mujtahid yang paling rendah yakni mujtahid fatwa untuk mentarjih dari beberapa versi pendapat tersebut mana pendapat yang lebih unggul berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para mujtahid. Maka Imam suyuthi mengembalikan pertanyan-pertanyaan itu tanpa menulis sesuatu. Beliau mengemukakan alasan bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang menghalangi beliau untuk meneliti masalah-masalah itu." Selanjutnya Ibnu Hajar berkata: "Renungkanlah kesulitan ijtihad pada tingkatan ini yakni ijtihad fatwa yang merupakan tingkat ijtihad yang paling rendah, sehingga jelaslah bagimu bahwa orang yang mendakwakkan ijtihad lebih-lebih ijtihad mutlak sebenarnya pada hakekatnya mereka sedang dalam kebingungan dan kerancauan dalam cara berfikirnya. Bahkan Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup sejak tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan bahwa ketika para imam terjadi pertentangan yang panjang mengenai kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih utama dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka berdua? Para imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku diktekan dari dadaku. Dan ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak untuk menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang yang tidak faham sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-madzhab (yakni ijtihad mutlak). Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kebohongan yang besar.
Di dalam kitab al-Anwar, Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam setelah menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun. Imam al-Qafal ketika menjelaskan tentang masalah fatwa menyatakan bahwa orang yang telah memenuhi persyaratn ijtihad sudah tidak ditemukan lagi pada zamanya. 
Akan tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab perlu untuk kita teliti. Buktinya para ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sekelompok umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang urusan Allah SWT (hari kiamat)." [H.R. Muslim]. Mereka juga mengatakan bahwa ijtihad merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya menyebabkan kaum muslimin untuk sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mereka (para mujtahid) adalah orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang untuk memperbaharui urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya]. Mereka adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak akan sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT. Para ulama dari madzhab Hanbali menyatakan bahwa pintu ijtihad dengan berbagai tingkatannya masih terbuka.

D.    Pintu ijtihad tidak pernah tertutup
Ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau ke-3 H. jika kita mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan telah tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama mengatakan bahwa mujaddid-mujaddid itu adalah para mujtahid. Kita ketahui pada abad pertama muncul Umar bin Abdul Azis, sebagaimana pernyataan al-Imam al-Dzahabi, beliau telah mencapai tingkatan ijtihad. Kemudian pada abad ke-2 muncul Imam Syafi'i, lalu disusul Ibnu Suraij pada abad ke-3, beliau termasuk pembesar mujtahid dan termasuk dalam kelompok Ashhab al-Wujuh, sedangkan pada abad ke-4 terdapat Imam Abu Thayib Sahl bin Muhammad al-Sha'aluki atau Syeikh Abu Hamid sebagai imam penduduk Irak. Keduanya termasuk mujtahid dan Ashhabal-Wujuh.
Selanjutnya pada abad ke-5 terdapat Imam al-Ghazali, sebagaimana fatwa Ibnu Sholah, beliau termasuk mujtahid. Lalu pada abad ke-6 terdapat Imam Rafi'i, pada abad ke-7 Syeikh Ibnu Daqiq al-'Id, abad ke-8 Imam al-Bulqini. Kemudian pada generasi selanjutnya muncul Imam Suyuthi beliau mendakwakan diri telah mencapai tingkat mujtahid, beliau berkata: "Telah sempurna pada diriku kriteria untuk berijtihad dengan berkat pertolongan Allah SWT, seandainya aku menghendaki untuk menulis satu karya tentang suatu masalah yang disertai dengan komentar-komentar, dalil-dali baik secara naqli maupun qiyas dan perbedaan pendapat di antara madzhab, maka sungguh aku akan mampu untuk melakukannya berkat anugerah Allah SWT."

E.     Kesimpulan
Dari kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak. Hal itu dapat kita tinjau dari beberapa hal:
1.      Para Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak oleh kelompok kedua (yang berpendapat bahwa pintu ijtihad dengan segala macamnya masih terbuka) telah menyatakan sendiri bahwa mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak terdapat seorang mujtahid mutlak. Dalam kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).
2.      Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat kedua belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak haruslah menguasai ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal itu sebagaimana penuturan beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat sulit bagiku dan paling jauh dari penalaranku." 
Dari uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri tidak mnguasai alat-alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah. Namun kalau kita renungkan, harusnya ijtihad di zaman sekarang lebih mudah jika dibandingkan pada zaman Imam Syafi'i atau imam-imam yang lain. Di zaman kita sekarang semua disiplin ilmu yang digunakan untuk berijtihad telah terbukukan, sehingga seharusnya hal itu memudahkan bagi kita. Bandingkan dengan zaman Imam Syafi'I, dimana kitab-kitab hadits maupun kitab-kitab lain yang memuat disiplin ilmu untuk berijtihad masih sangat langka atau mungkin belum tertulis. Pada zaman imam-imam terdahulu ketika ingin mencari hadits maka harus membuka satu persatu, lembar per lembar beberapa kitab hadits. Sedangkan di zaman kita sekarang untuk mencari dan meneliti suatu hadits merupakan sesuatu yang sangat mudah, kita tinggal mengetik redaksi hadits tersebut lalu tinggal enter, maka hadits yang kita inginkan akan segera tampil. Pertanyaannya, mengapa di zaman sekarang tidak lagi bermunculan para imam sekaliber al-Syafi'i, al-Ghazali, al-Nawawi ataupun al-Suyuthi? Hal itu tiada lain karena Allah SWT telah melemahkan daya fikir umat ini sebagai peringatan akan berakhirnya zaman dan semakin dekatnya hari kiamat. Karena itu semua termasuk dari tanda-tanda kiamat yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Termasuk tanda-tanda kiamat adalah hilangnya ilmu dan tetapnya kebodohan." [H.R. Muslim].

Imam Malik Dan Perkembangan Madzhab Malikiyah

17.33 0
Imam Malik Dan Perkembangan Madzhab Malikiyah
 
BAB I
PENDAHULUAN

Setelah berakhirnya masa khilafah Islamiyah, fase selanjutnya adalah masa tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Pada fase ini umat Islam sudah tersebar ke berbagai belahan dunia. Para pembesar tabi’in tidak terpusat lagi di Makkah Madinah seperti pada era sahabat. Perluasan wilayah secara besar-besaran menyebabkan banyak para tabi’in dikirim ke berbagai wilayah untuk menyebarkan ajaran agama Islam. 
Walaupun begitu toh perkembangan ajaran islam di berbagai tempat tidak sepesat perkembangan Islam di tempat asalnya, Makkah dan Madinah. Di Makkah dan Madinah banyak sekali bermunculan para mujtahid baik dari generasi tabi’in maupun tabi’it tabiin. Banyak kaum muslimin dari luar Makkah dan Madinah berkunjung untuk menimba ilmu disitu. Ini membuktikan bahwa Makkah dan Madinah masih merupakan pusat utama keilmuan Islam yang murni, yang belum tercampur dengan keilmuan lain terutama dari yunani.
Salah satu mujtahid besar yang lahir dari kota Madinah adalah Imam Malik bin Anas, muassis madzhab Maliki. Madzhab Maliki merupakan salah satu madzhab Islam berfaham ahlussunnah wal jamaah yang dapat bertahan sampai sekarang. Madzhab ini merupakan madzhab yang terkenal dengan madzhab ahlul hadis karena konsentrasi pendirinya ke hadis nabawi. Selektifnya pemilahan hadis yang dilakukan oleh Imam Malik serta  dalamnya analisis yang dilakukan olehnya menjadikan fundamen dasar madzhab Maliki sangatlah kuat.
Imam Malik terkenal sebagai seorang Mujtahid yang berpegang teguh kepada Hadis. Jika Abu Hanifah terkenal sebagai Ahlur Ra’yi, maka Imam Malik disebut dengan Ahlul Hadis. Diantara karya besarnya dalam bidang Hadis adalah Kitab Al-Muwatha’. Beliau menulis dan meneliti karyanya ini selama 40 tahun. Kitab inilah yang kemudian menjadi fundamen dasar dan menjadi pokok utama dalam pemikiran dan perkembangan madzhab Maliki. Dalam kitab inilah Imam Malik menuangkan gagasannya terhadap model ijtihad baru seperti amalu ahlil madinah dan qaul sahabi.


BAB II
IMAM MALIK DAN PERKEMBANGAN MADZHAB MALIKIYYAH


A.    Biografi Imam Malik
Nama lengkap Imam Malik adalah Malik ibnu Anas ibnu Abi ‘Amar Al-Ashbaghi. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau adalah Ulama yang hidup di dua zaman. Beliau lahir pada zaman bani Umayyah, tepatnya pada pemerintahan al-Walid Abd Malik (setelah era kepemerintahan Umar ibn Abd Aziz) dan wafat pada zaman Bani Abbas, tepatnya pada era pemerintah Harun al-Rasyid (tahun 179 H). beliau sempat mersakan hidup pada zaman bani Umayyah selama 40 tahun, dan Bani Abbasiyah 46 tahun.
Imam Malik menyaksikan berbagai pemberontakan rakyat dan kezaliman penguasa waktu itu. Beliau tidak memihak kepada pemberontak dan tidak pula kepada pemerintah. Beliau memilih tidak memihak kepada pemberontak karena menurutnya suatu keadaan tidak dapat diperbaiki dengan pemberontakan. Sedangkan ketidak berpihakannya kepada pemerintah muncul setelah beliau menyaksikan pemerintah sering melakukan penindasan terhadap lawan politiknya, seperti terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib. Dalam menyikapi pemberontakan ini Imam Malik pernah berkata, “Apabila seorang kepala negara mampu berlaku adil dan masyarakat senang menerimanya, kita tidak boleh memberontak terhadapnya. Jika ia tidak berlaku adil, rakyat harus bersabar dan memperbaikinya. Apabila ada yang memberontak karena ketidakadilannya, kita tidak boleh membantu pemerintah menindas pemberontak itu” (Mubarok, 2000:79).
Imam Malik terkenal sebagai seorang Mujtahid yang berpegang teguh kepada Hadis. Jika Abu Hanifah terkenal sebagai Ahlur Ra’yi, maka Imam Malik disebut dengan Ahlul Hadis. Diantara karya besarnya dalam bidang Hadis adalah Kitab Al-Muwatha’. Beliau menulis dan meneliti karyanya ini selama 40 tahun. Pada awal mulanya kitab ini memuat lebih dari sepuluh ribu hadis. Setelah diteliti dan dibuang hadis-hadis yang terdapat cacatnya maka tinggal sekitar 1500 hadis yang terdapat dalam kitab ini. Kitab ini telah disyarahi oleh banyak sekali ulama’ baik salaf maupun khalaf, diantaranya adalah Tanwir Al-Hawalik karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi As-Syafi’I (Al-Sayyis, 1999:180).
Walaupun sama-sama berfahamkan ahlussunnah wal jamaah yang diikuti oleh jumhurul ulama’, tetapi ada banyak perbedaan yang terdapat antara Imam Malik dan Abu Hanifah. Diantara hal yang menyebabkan madzhab Maliki berbeda dengan madzhab Hanbali adalah pertama, banyak pendapat-pendapat Imam Malik yang dibukukan oleh Imam Malik sendiri di kota kelahirannya dengan disertai alasan-alasannya. Dengan demikian maka kita bisa melihat dengan jelas dasar-dasar madzhabnya seperti yang kita lihat dari kitabnya, Al-Muwatha’. Kedua, madzhab Maliki merupakan hasil karya penelitiannya. Sumbangan dari murid-muridnya hanya mengenai pendapat-pendapat yang tidak keluar dari dasar-dasar yang ditetapkan oleh Imam Malik, dan oleh karena itu murid-murid imam Malik termasuk dalam tingkatan Mujtahid Madzhab (Hanafi, 1991:152).

B.     Guru dan Murid Imam Malik Serta Penerusnya di Era Modern
Mayoritas ulama’ yang menjadi guru Imam Malik adalah ulama’ Madinah, karena seumur hidup Imam Malik tidak pernah keluar dari Madinah kecuali untuk berhaji. Diantara Ulama yang pernah menjadi tempatnya menimba ilmu adalah:
1.         Abdurrahman bin Hurmuz (Tabi’in, Wafat 117 H).
2.         Nafi’ Maula Ibnu Umar.
3.         Ibnu Syihab Az-Zuhri.
4.         Rabiah bin Abdurrahman (Al-Sayyis, 1999:178).
Sedangkan muridnya sendiri yang kemudian menjadi ulama’ dan tersebar ke seluruh penjuru dunia berjumlah lebih dari 1300 ulama’. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah:
1.      Imam Syafi’i (W. 204 H) adalah salah satu mudrid Imam Malik yang kemudian mendirikan madzhab sendiri.
2.      Abdurrahman Ibnu Qasim Al-Maliki (W. 191 H) adalah salah seorang ulama’ yang berguru kepada Imam Malik lebih dari 20 tahun. Beliau termasuk ulama’ yang berperan dalam penyusunan kitab al-Mudawwanah dan ikut menyebarkan madzhab Maliki di Mesir.
3.      Abu Muhammad Abdullah Ibnu Wahab (W. 197 H). Beliau berguru kepada Imam Malik lebih dari 17 tahun. Termasuk karyanya adalah kitab Ahwal Al-Qiyamah. Beliau berperan menyebarkan madzhab Maliki di Mesir dan Maghrib (Maroko).
4.      Asyhab (W. 204 H).
5.      Ibnul Furut (W. 213 H).
6.      Yahya Al-Laitsi..
7.      Utsman bin Hikam Al-Jadzami.
8.      Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthuby.
9.      Abdurrahman Al-Mahzumi.
10.  Abdullah bin Nafi’ Maula Bani Mahzum, dan yang lainnya (Hanafi, 1991: 153-154, Rayyan, tt: 118).
Berkat ketekunan para murid-muridnya maka madzhab Maliki banyak tersebar ke seleruruh penjuru dunia. Diantara negara-negara yang menjadi pusat madzhab Maliki adalah Maroko, Tunisia, Muritania, Afrika Utara, Mali, Somalia, Senegal, Sudan, Uni Emirat Arab, Spanyol, Prancis dan sebagian negara Mesir dan Yaman. Bahkan madzhab Maliki ini menjadi madzhab resmi di beberapa negara seperti Maroko dan Tunisia. Sedangkan di Spanyol dan Prancis Undang-Undang Dasar dan beberapa undang-undangnya merupakan turunan dan adopsi dari kitab-kitab madzhab Maliki, salah satunya adalah Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd atau yang lebih terkenal di Eropa dengan julukan Averoes (Rayyan, tt: 120-121).
Diantara ulama’ madzhab Maliki kontemporer yang banyak memberikan sumbangan pemikiran dan karya bagi madzhab Maliki di Zaman modern ini adalah Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki. Nama lengkap beliau adalah As-Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw dari jalur Hasan bin Ali Radhiyaallahu ‘Anhuma. Sayyid Muhammad merupakan salah satu doktor alumni Al-Azhar Mesir dengan gelar Ph.D yang beliau dapatkan pada umur 25 tahun. Tesisnya dalam bidang hadits banyak mendapatkan pujian dari banyak kalangan ulama dan profesor internasional.
Ayahnya, As-Sayyid Alawi Al-Maliki merupakan salah seorang ulama’ Makkah terkenal di abad yang lalu. Beliau telah mengajar berbagai ilmu Islam turats di Masjidil Haram selama hampir 40 tahun. Ratusan murid dari seluruh pelosok dunia telah mengambil faedah daripada beliau melalui kuliah beliau di Masjidil Haram, dan ramai di kalangan mereka telah memegang jawatan penting agama di negara masing-masin. Malah, Raja Faisal (Raja Arab Saudi) tidak akan membuat keputusan berkaitan Makkah melainkan setelah meminta nasihat dari As-Sayyid Alawi.
Sayyid Muhammad sendiri selain mengajar di Al-Azhar Mesir juga dilantik menjadi Profesor di Ummul Qura University Makkah dan mengajar disitu. Setelah wafat ayahandanya beliau menggantikan kedudukannya mengajar di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawy di Madinah. Diantara karyanya dalam bidang ushul fiqh adalah Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi Usul al-Fiqh, Sharh Manzumat al-Waraqat fi Usul al-Fiqh, dan Mafhum at-Tatawwur wa altTajdid fi al-Shari‘ah al-Islamiyyah.  Sedangkan karya beliau dalam bidang fiqh diantaranya Al-Risalah al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha dan Al-Ziyarah al-Nabawiyyah bayn as-Shar‘iyyah wa al-Bid‘iyyah.

C.    Metode dan Dasar Madzhab (Ushulul Madzhab) Maliki
Sebagai sebuah madzhab yang dapat bertahan dan berkembang sampai sekarang tentunya madzhab Maliki mempunyai fundamen yang sangat kuat untuk menopang madzhabnya. Fundamen tersebut merupakan metode ijtihad yang dikembangkan oleh Imam Madzhab yang realistis dan relevan untuk kemudian dipraktekkan di berbagai tempat dan waktu yang berbeda. Metode ijtihad itulah yang kemudian diwarisi oleh para murid-muridnya dan bisa bertahan sampai sekarang.
Metode ijtihad dalam madzhab maliki berbeda dengan madzhab yang lain karena saking banyaknya. Metode ini terkenal dengan adillah ‘isyrin (20 Metode Dasar), yaitu:
1.      Ushulul Khamsah (5 dasar pokok) dalam al-Qur’an, yaitu
a)        Nash al-Qur’an.
b)        Dzahir al-Qur’an yaitu lafadz yang umum
c)        Dalil al-Qur’an, yaitu Mafhum Muwafaqah.
d)       Mafhum al-Qur’an, yaitu Mafhum Mukhalafah.
e)        Tanbih al-Qur’an, yaitu memperhatikan illatnya.
2.      Ushulul Khamsah (5 dasar pokok) dalam al-Hadis, yaitu seperti diatas.
3.      Ijma’.
4.      Qiyas.
5.      Amalu Ahli Madinah (Tradisi/perbuatan penduduk Madinah). Ini merupakan salah satu metode Ijtihad yang identik dengan Imam Malik yaitu dengan cara mengambil perbuatan penduduk madinah yang telah menjadi tradisi untuk menjadi dalil.  Beliau berpendapat demikian karena Madinah merupakan tempat tinggal Nabi Muhammad Saw dan mayoritas sahabat. Sehingga perilaku dan perbuatan para penduduknya banyak menuruni perbuatan Nabi dan para sahabatnya. Bahkan menurut Imam Malik, Amalu Ahli Madinah ini merupakan hujjah yang harus didahulukan atas qiyas dan khabar wahid (hadis yang diriwayatkan cuma dari satu jalur) walaupun itu khabar wahid. Dan yang kemudian menjadi kontroversial adalah hal tersebut merupakan metode ijtihad yang tidak ada ulama’ atau Imam Madzhab lain yang mempraktekkannya. Bahkan beberapa ulama banyak memberikan bantahan terhadap metode ini seperti Imam Syafi’I dalam kitabnya al-Um, Laits bin Sa’d dalam Risalahnya dan Abu Yusuf dalam Kitabnya.
6.      Qaul Shahabi, yaitu pendapat para sahabat terkemuka ketika sah jalur sanadnya dan tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Metode ini menjadi hujjah yang didahulukan atas qiyas menurut Imam Malik. Imam Ghazali merupakan salah satu ulama yang tidak sepakat dengan metode ijtihad ini karena sahabat tidaklah ma’shum (terjaga dari berbuat salah) sehingga dapat keliru dalam berijtihad, seperti yang dijelaskan dalam kitabnya al-Mushtashfa.
7.      Istihsan.
8.      Saddu Dzara’i.
9.      Muraatul Khilaf.
10.  Istihbab.
11.  Mashalihul Mursalah.
12.  Syar’u Man Qablana (Al-Sayyis, 1999:181-185).

D.    Kitab-Kitab Madzhab Maliki
Sebagai sebuah madzhab besar dan dapat bertahan puluhan abad, madzhab Maliki telah banyak mewariskan banyak sekali kitab-kitab yang menjadi pustaka Turats Islami. Diantara kitab-kitab yang menjadi bahan referensi utama dalam madzhab Maliki adalah:
1.         Al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Kitab ini telah banyak sekali disyarahi oleh para ulama’ dari berbagai madzhab.
2.         Al-Mudawwanah Al-Kubra karya Abdussalam At-Tanukhi.
3.         Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd Al-Qurthuby Al-Andalusi.
4.         Al-I’tisham karya Abi Ishaq Ibnu Musa As-Syatibi.
5.         Mukhtashar Kholil ala Matn al-Risalah li Ibn Abi Zaid Aql-Qairawani karya Syaikh Abdul Madjid As-Syarnubi Al-Azhari.
6.         Syarah Tanqih al-Fushul fi Ikhtishar al-mahsul fil Ushul karya Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Idris al-Qurafi yang merupakan kitab dalam fan ushul fiqh.
7.         Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam karya Abu Ishaq ibn Musa Al-Syatibi yang merupakan kitab dalam fan ushul fiqh, dan yang lainnya (Mubarok, 2000:100).

E.     Contoh Produk Hukum Madzhab Maliki.
Diantara beberapa contoh produk hukum madzhab Maliki atau Imam Malik adalah:
1.        Menikahkan Anak Gadis Dengan Paksa.
Dalam pelajaran fikih munakahat dikenal dengan istilah wali mujbir. Wali berhak menikahkan anak gadisnya dengan paksa tanpa ada izin dari anak yang bersangkutan. Imam Malik berpendapat bahwa bapak yang anak perempuannya tanpa izin dari anak yang bersangkutan adalah sah. Hujjah Imam Malik adalah amal ahli Madinah.
2.        Hak Bulan Madu Bagi Suami yang Berpoligami.
Suami yang beristri lebih dari seorang berhak berbukan madu dengan istri yang baru dinikahinya. Menurut Imam Malik, apabila perempuan yang dinikahinya masih gadis hak bulan madunya adalah 7 malam. Sedangkan apabila perempuan yang dinikahinya berstatus janda maka hak bulan madunya adalah 3 malam (Mubarok, 2000:92-93).
3.        Menikahi Perempuan Dalam Masa Iddah.
Ulama’ sepakat tentang ketidakbolehan menikah bagi wanita yang masih dalam keadaan iddah, baik karena ditinggal mati maupun cerai. Namun ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan sanksi bagi perempuan yang melanggarnya, yakni menikah dalam keadaan iddah dan sudah melakukan hubungan suami istri. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Al-Tsauri, perempuan tersebut harus dipisahkan, apabila waktu tunggunya telah selesai ia boleh menikah kembali dengan laki-laki yang menikahinya tadi. Sedangkan menurut Imam Malik, ia wajib dipisahkan dan baginya diharamkan (selamanya) menikah dengan laki-laki yang menikahinya dalam waktu tunggu. Hujjah ini berdasarkan qaul sahabi, yaitu pendapat umar bin khattab yang diriwayatkan dari az-Zuhri (Mubarok, 2000:98).
4.        Eksistensi Lembaga Pemerintahan dan Syarat Kepala Negara
Dalam hal ini dikemukakan oleh Ibnu Kholdun, salah seorang ulama’ madzhab Malikiyyah. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pembentukan pemerintahan (imamah) dan pengangkatan kepala negara (imam) adalah suatu keharusan. Para sahabat nabi dan para tabi’in telah membuat konsensus umum (ijma’) bahwa mendirikan pemerintahan adalah wajib menurut hukum. Jika pembentukan imamah itu atas petunjuk syariat, yakni dengan cara ijma’, maka wajibnya adalah fardhu kifayah. Bagaimana cara pembentukannya itu menjadi wewenang dan tanggung jawab ahlul halli wal ‘aqdi. Bila ia sudah terbentuk, setiap individu wajib menunjukkan ketaatan kepadanya. Menurut Ibnu Kholdun, disamping kepala negara harus dipilih oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, kepala negara juga harus memenuhi lima persyaratan: a) Berilmu Pengetahuan; b) Al-Kifayat; c) Berlaku Adil; d) Sehat panca Indra; dan e) Keturunan Quraisy (Pulungan, 2002: 58, Musa, 1990:72).




BAB III
PENUTUP

Alhamdulillahirabbil‘alamin, berkat usaha keras bersama dari teman-teman satu kelompok, tugas pembuatan makalah ini dapat selesai dengan tanpa ada halangan suatu apapun. Tentunya dalam pembuatan Makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Dari itu, kami memohon dengan sangat kepada ibu Dosen dan teman-teman pembaca untuk selalu membimbing kami agar Makalah kami menjadi lebih baik lagi.
Demikian ada kurang dan lebihnya, atas nama segenap anggota kelompok senantiasa mohon ma'af yang sebesar-besarnya. Dan  akhirnya semoga Makalah ini selalu membawa kemanfaatan bagi  kita semua . Amin.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Sayis, Muhammad Ali. 1999. Tariikh Al-Fiqhi Al-Islami; The History Of The Islamic Jurisprudence. Beirut: Dar Al-Fikr.
Hanafi, Ahmad. 1991. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah dan Perkembangan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakaraya.
Musa, M. Yusuf. 1990. Politik Dan Negara Dalam Islam. Al-Ikhlas. Surabaya.
Pulungan, J. Suyuthi. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Rayyan, Ahmad Ali Taha. tt. Mudzakarat Fi Taariikhi Al-Tasyri’ Al-Islami. Tareem: Maktabah Al-Ahgaff.