2016 - Sang Pemburu Badai

Sabtu, 31 Desember 2016

REFLEKSI AKHIR TAHUN 2016 PBNU: PUDARNYA SEMANGAT TOLERANSI

12.06 0
REFLEKSI AKHIR TAHUN 2016 PBNU: PUDARNYA SEMANGAT TOLERANSI

No.: 1135/A.II.03/12/2016


السلام عليكم ورحمةالله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

اللهم صل على سيدنا محمد


Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah menjaga dan melindungi bangsa Indonesia hingga dapat melalui Tahun 2016 dengan selamat. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, yang setia menjaga dan merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai mu’âhadah wathaniyyah (konsensus nasional), berdasarkan Pancasila sebagai tali pengikat (kalimatun sawa’) seluruh komponen bangsa yang ber-Bhineka Tungga Ika.

Sebagai negeri Muslim terbesar di dunia yang menganut demokrasi, bangsa Indonesia harus bersatu padu di tengah konstelasi dunia yang kian bergolak, dengan mengencangkan ikatan tali persaudaran sesama umat Islam (ukhuwwah Islâmiyyah), sesama warga bangsa (ukhuwwah wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan universal (ukhuwwah insâniyyah).

Ekonomi dunia belum sepenuhnya pulih sejak resesi tahun 2008. Perebutan pengaruh dua negara adikuasa, Amerika dan Tiongkok, akan menyeret kawasan Laut China Selatan sebagai daerah bergolak. Negeri-negeri mayoritas Muslim di Timur Tengah terbelit spiral kekerasan dan perang saudara yang belum berhenti sejak gelombang Arab Spring meletup tahun 2010. Bangsa Indonesia, pemerintah dan rakyatnya, harus merespons pelbagai isu dunia ini dalam kaca mata kepentingan nasional (national interest).

Simpati, solidaritas, dan perhatian terhadap konflik di Timur Tengah dalam rangka ukhuwwah Islâmiyyah harus senafas dengan upaya memperkuat NKRI dan merekatkan persaudaraan kemanusiaan. Kecenderungan mengimpor konflik Timur Tengah ke dalam negeri harus dihentikan. Adu domba dengan kabar-kabar bohong (hoax) untuk memantik permusuhan tidak sejalan dengan upaya memupuk persatuan nasional yang sudah diletakkan dasar-dasarnya oleh founding fathers.

PBNU mengingatkan seluruh elemen bangsa untuk merefleksikan terus menerus kesepakatan-kesepakatan dasar bangsa Indonesia yang mencakup Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Seluruh ikhtiar mengisi pembangunan harus dijiwai dan diorientasikan untuk memperkuat konsensus nasional, bukan malah untuk mempertajam perbedaan. Takdir bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk, plural, multietnis dan multiagama, harus disyukuri sebagai berkah untuk saling berlomba memberikan yang terbaik kepada bangsa dan negara, bukan menuntut yang lebih banyak.

Menutup lembaran tahun 2016, PBNU menyampaikan butir-butir refleksi pemikiran mencakup berbagai isu kebangsaan sebagai berikut:

1. Politik Kebangsaan
Tahun 2016 diwarnai narasi penonjolan politik identitas yang rentan menggerogoti sendi-sendi konsensus nasional berdasarkan Pancasila sebagai kalimatun sawa’. Perhelatan politik Pilkada DKI dan konflik Timur Tengah dieksploitasi sebagai bahan bakar untuk menyulut benih-benih perpecahan antarelemen bangsa. Media sosial tidak menjelma sebagai arena pertarungan opini yang konstruktif, tetapi justru malah menjadi panggung provokasi fitnah dan kebencian. Polarisasi tersebut melibatkan penggunaan sentimen SARA untuk tujuan politik yang sesungguhnya berbahaya bagi kelangsungan sendi-sendi konsensus nasional.

PBNU mengingatkan semua pihak untuk kembali kepada jati diri bangsa yang mengakui kemajemukan, dalam wadah perjanjian yang diikat dengan semangat Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan adalah tambahan energi untuk melipatgandakan kekuatan, bukan benih untuk menumbuhkembangkan perpecahan.


PBNU mengingatkan bahwa demokrasi yang tengah dikonsolidasikan sebagai sistem untuk mengalokasikan kesejahteraan publik berpotensi dibajak oleh gerakan fundamentalisme agama dan ideologi fundamentalisme pasar. Kebebasan telah memberikan panggung kepada kelompok radikal mengekspresikan pikiran dan gerakannya yang berpotensi menggerogoti NKRI melalui isu SARA, provokasi permusuhan, dan terorisme.

Dunia maya berkembang pesat sedemikian rupa menjadi panggung penyebaran kabar-kabar bohong dan berita-berita palsu untuk mengadu domba antarelemen bangsa dan mengobarkan permusuhan antargolongan.

PBNU melihat pemerintah gagap membangun counter-narrative sehingga radikalisme dapat tumbuh subur di dunia maya. Moderatisme dan toleransi digempur setiap hari oleh tayangan dan konten radikal yang begitu mudah disebar dan viral di media sosial.

PBNU mengimbau kepada netizen untuk bijak dan arif dalam menggunakan media sosial sebagai arena berbagi ilmu dan kebaikan, bukan wahana penyebaran fitnah dan kontes permusuhan. Gerakan digital literacy (melek digital) perlu digalakkan, termasuk melalui instrumen pendidikan formal, agar dunia maya berfungsi konstruktif sebagai agen kohesi sosial.

Di sisi lain, fundamentalisme pasar telah ‘memperalat’ demokrasi sebagai sistem yang melayani kepentingan modal. Demokrasi berubah menjadi demokrasi pasar yang menempatkan modal sebagai tuan, bukan rakyat yang datang ke bilik suara dalam pemilu. Rakyat memang telah memilih pemimpin dan wakil-wakil mereka secara langsung, tetapi episentrum kebijakan masih berpusat di tangan pemilik kapital. Regulasi dibuat tidak sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan rakyat, tetapi kepada pemilik modal. Rakyat tetap di pinggir dan tak berdaya di tengah sumber daya alam yang habis terkikis. Hutan-hutan gundul, flora-fauna rusak, air tercemar limbah, dan suhu bumi naik karena pemanasan global.

Fundamentalisme pasar menyisakan ketimpangan sosial. Ketimpangan langgeng di dalam sistem pasar bebas yang membiarkan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang yang menguasai aset-aset ekonomi dan alat-alat produksi. Di semua negara, radikalisme tumbuh bersemi di tempat yang gagal mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan juga ketimpangan.

2. Ekonomi dan Kesejahteraan
PBNU melihat orientasi pembangunan ekonomi belum sepenuhnya dijiwai oleh ruh konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum dan menciptakan kemakmuran bagi sebesar-besar rakyat Indonesia. Pembangunan ekonomi belum inklusif karena menyisakan trilogi ketimpangan yaitu ketimpangan antarindividu, antarwilayah, maupun antarsektor ekonomi.

Kue ekonomi nasional masih dinikmati oleh segelintir orang yang menempati 20 persen teratas dari struktur piramida ekonomi nasional dan 40 persen kelas menengah. Secara regional, pembangunan memusat di Jawa dan Sumatera, yang menyumbang 81% PDB nasional meninggalkan pulau-pulau yang lain.

Dalam kaca mata sektor ekonomi, pembangunan ditopang bukan oleh sektor penghasil barang yang padat karya (tradable), tetapi oleh sektor jasa dan keuangan yang padat modal (non tradable). Sektor pertanian, lapangan usaha penyerap tenaga kerja terbesar (sekitar 38 juta orang), mengalami involusi dan menjadi lumbung kemiskinan. Jumlah keluarga tani menyusut menjadi 26 juta, dua pertiganya adalah petani gurem yang terpuruk karena penyusutan lahan, hancurnya infrastruktur pertanian, dan minimnya hubungan pertanian dengan kesejahteraan.

Kue ekonomi tumbuh, tetapi tidak merata. Koefisien gini masih cukup tinggi yaitu 0,4 dan 0,6 untuk rasio gini penguasaan tanah. Secara nominal, kekayaan 50 ribu orang terkaya setara dengan gabungan kepemilikan 60 persen aset penduduk Indonesia. Segelintir orang mendominasi kepemilikan atas jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan dan obligasi pemerintah, serta penguasaan tanah.


Padahal al Quran jelas dan tegas mengatakan (Al-Hasyr:7):

كي لايكون دولة بين الأغنياء منكم (الأيــة)

“Janganlah harta itu berputar-putar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian”.

Untuk mengurangi ketimpangan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama merekomendasikan agar Pemerintahan memberi perhatian lebih kepada pertanian. Upaya pembenahan sektor pertanian harus dimulai dari reforma agraria yang pada intinya redistribusi tanah untuk petani.

Pemerintah dapat mencetak lahan-lahan pertanian baru dari sekitar 23 juta hektar lahan kering yang ‘nganggur’ dan membagikannya kepada petani sebagai kebijakan afirmasi. Langkah berikutnya adalah meningkatkan produktivitas lahan, memperbaiki dan merevitalisasi infrastruktur irigasi, memproteksi harga pasca panen, memperbaiki infrastruktur pengangkutan untuk mengurangi biaya logistik, dan menekan impor pangan, terutama yang bisa dihasilkan sendiri di dalam negeri. Tanpa upaya sungguh-sungguh, Indonesia tidak akan mencapai swasembada pangan. Kebutuhan akan terus dipasok dari impor dan Indonesia akan tergantung kepada bangsa lain untuk memenuhi hajat hidup rakyatnya.

3. Hukum dan Keadilan
Tidak ada demokrasi tanpa keadilan dan kepastian hukum. Pengurus PBNU melihat hukum di Indonesia masih bermasalah baik di tingkat substansi, struktur, maupun kultur.

Di tingkat substansi, banyak produk hukum dan perundang-undangan yang dibuat dengan mengingkari dasar, semangat, dan filosofi bernegara sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 1945 yang sekaligus merupakan politik hukum nasional. Dampaknya, banyak produk perundang-undangan tercerabut dari nilai agama, budaya, adat-istiadat dan tradisi yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia, serta dimintakan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.

Di tingkat struktur, Indonesia belum mempunyai institusi penegak hukum yang berwibawa yang ditandai dengan banyaknya kasus mafia peradilan dan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, sehingga semakin memperlemah efektivitas penegakan hukum. Selain itu, rumitnya birokrasi penegakan hukum juga makin memperjauh masyarakat pencari keadilan untuk mendapat keadilan hukum.

Di tingkat budaya, hukum gagal mendapat tempat dalam kerangka budaya masyarakat karena hukum dibuat berbeda dengan aspirasi rakyat. Akibatnya tingkat kepatuhan terhadap hukum rendah dan gagal menjadi instrumen tertib sosial karena hukum tidak berdaulat dan tumpul ke atas tajam ke bawah.

PBNU mendesak peningkatan mutu regulasi yang dijiwai ruh konstitusi, penuntasan reformasi institusi penegak hukum, dan penegakan hukum yang tegas terutama di tiga bidang yang menyangkut kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu korupsi, terorisme, dan penyalahgunaan narkoba.

PBNU mendukung perluasan norma hukum dalam revisi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang memungkinkan aparat melakukan tindak pre-emptif untuk mencegah terjadinya terorisme.


4. Kehidupan Beragama
Gejala menurunnya toleransi beragama di Indonesia dapat meretakkan konstruksi NKRI yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Gangguan terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama dan keyakinan masih kerap terjadi dan dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran. Tanpa ketegasan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menindak aksi-aksi intoleran, negara akan kalah oleh kelompok yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak.

Sampai saat ini, diakui atau tidak, kita sebagai pribadi maupun sebagai sebuah bangsa belum bisa beranjak dari kegusaran tema radikalisme beragama. Radikalisme beragama dalam bahasa yang paling sederhana adalah tindakan kekerasan, eksklusif, rigid, sempit, dan juga memonopoli kebenaran.

Gerakan radikalisme adalah satu langkah dan pintu masuk bagi tindakan terorisme. Teror yang sedemikain menjamur adalah pekerjaan rumah besar bagi negara untuk lebih intens sekaligus serius dalam usaha-usaha kontra radikalisme dan juga deradikalisasi atau usaha-usaha peredaman teror lainnya. Sebab tanpa usaha itu berarti negara sudah “tidak hadir” di kehidupan rakyatnya.

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

“Kebijakan pemimpin harus didasarkan kepada kemaslahatan rakyat”

Sikap intoleran sejatinya juga merupakan cermin gagalnya pemeluk agama dalam memahami maqashid al-syar’iah. Alih-alih melaksanakan ubudiyah, namun justru terjebak pada simbol-simbol keagamaan saja.

PBNU menyerukan pemerintah dan aparat penegak hukum menindak tegas kelompok intoleran yang melanggar hukum dan juga ketertiban sosial.

Selamat menyongsong pergantian tahun. Semoga kita selalu senantiasa dalam lindungan Allah SWT untuk bisa menapaki kehidupan yang lebih sejuk, aman, tenteram, dan damai.

شكراً ودمتم في الخير والبركة والنجاح

والله الموفق إلى أقوم الطريق
والسلام عليكم ورحمةالله وبركاته

 ttd

Dr. KH. Ma’ruf Amin
Rais Aam
KH. Yahya Cholil Staquf
Katib Aam
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA
Ketua Umum
Dr. Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal


Minggu, 13 November 2016

DSN - Daurus Tsani (Putaran Kedua) : Firqah Islam Dan Peta Pemikiran Islam Modern

16.21 2
DSN - Daurus Tsani (Putaran Kedua) : Firqah Islam Dan Peta Pemikiran Islam Modern
Bersama KH. Dr. Shidqan Maesur, Lc., MA.




Muqaddimah
Pemateri pada awal pembicaraannya dalam Dauroh Santri Nusantara (DSN) - Daurus Tsani Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Jetis, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang mengawali dengan sebuah kata mutiara untuk memberikan semangat kepada para santri :

أنتم شبان اليوم رجال الغد
“Kalian para santri pada saat ini adalah para pemuda dan para remaja, dan suatu saat nanti akan menjadi tokoh-tokoh yang meneruska perjuangan para ulama’ dan kiyai”
Dan beliau juga mengutip sebuah kalimat dalam kitab Iddzotun Nasyi’in :

في أيديكم أمر الأمة، وعلى أقدامكم حياتها
“Dalam kekuasaan kalian lah diletakkan permasalahan umat ini, dan dalam  derang langkah kaki kalian lah keberlangsungan hidup umat ini tetap terjaga”


Firqah-Firqah Islam
Firqah merupakah kata jamak (plural) yang mufradnya adalah Firaq. Arti dari firqah sendiri adalah kelompok, golongan, pantan, dan lain sebagainya. Seringkali kata firqah juga disebut dengan istilah madzhab atau madrasah. Akan tetapi kata madzhab lebih sering identik dengan kelompok fiqih. Pada zaman ulama’ salaf juga sering kali dikenal istilah Madrasah Naqli (aliran pemikiran tekstual) dan Madrasah Aqliyyah ( aliran pemikiran kontekstual).

Oleh para ulama’ tarikh (sejarah), agar pembahasan tentang firqah-firqah dalam Islam lebih terarah, maka dibuatlah pembagian terhadap firqah-firqah tersebut. Pembagian didasarkan kepada subtansi pemikiran, latar belakang, serta tujuan dari setiap firqah tersebut. Adapun pembagiannya menjadi 3 bagian, yaitu

1.      Firqah Siyasiah, yaitu kelompok atau golongan yang subtansi pemikiran serta tujuan dari kelompok tersebut lebih berorientasi kepada politik atau kekuasaan, tetapi juga tidak menutup kemungkinan bahwa firqah tersebut juga mempunyai ideology sendiri. Contoh dari firqah ini adalah Syiah dan Khawarij. Kedua firqah tersebut muncul menjelang tahun 40 H, yang berawal pada saat konflik antara Ali dan Muawiyah. Khawarij Merupakan kelompok yang sangat kejam dan berniat untuk membunuh para tokoh-tokoh Islam. Mereka adalah orang muslim yang taat tetapi berfaham radikal. Ibnu Muljam (seorang tokoh khawarij dan pembunuh Ali) sendiri merupakan seorang Hafidzul Qur’an dan pernah bertugas di Mesir. Bahkan ketika membunuh Ali pun dia sambil membaca ayat Al Qur’an. Semangat khawarij muncul pada saat sekarang dengan banyaknya kelompok-kelompok yang berperilaku seperi mereka. Pada era modern ini beberapa kelompok radikal mempunyai kemiripan dengan khawarij, seperti orang-orang yang tekun dalam ibadahnya, serta mempunyai pemahaman agama yang mumpuni tetapi kemudian mereka sangat mudah untuk menuduh kelompok lain sebagai kafir atau murtad. Oleh karena itu beberpa ulama’ memberikan nama terhadap kelompok garis keras seperti ini sebagai neo khawarij.

2.      Firqah I’tiqadiyah, yaitu kelompok atau golongan yang lebih berkonsentrasi kepada pemikiran, serta membahas masalah ketauhidan atau ushuluddin (ideologi agama), dan tidak berorientasi kepada kekuasaaana atau politik. Contoh dari firqah ini adalah firqah Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyyah, Jabariyah, Qadariyyah, serta Wahabiyah pada era modern ini. Ahlussunnah wal jamaah sendiri lebih diidentikkan dengan firqah I’tiqadiyyah karena subtansi dari pemikirannya berkutat pada masalah ideologi (tauhid) yang dibangun pondasinya oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ary dan Abu Mansur Al-Maturidy. Sedangkan Wahabiyyah dibangun oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab, salah seorang tokoh di Arab Saudi. Ibnu Abdul Wahab sendiri sering kali mengkaji serta mengimplementasikan ajaran ideology yang disusun oleh Ibnu Taimiyyah. Sedangkan secara fiqih, Wahabiyyah mengikuti madzhab Hanbali. Wahabiyyah sendiri terhitung sebagai madzhab yang kurang konsisten dengan konsep firqah atau madzhab mereka, seperti pada awal mulanya pernah mengharamkan meminum kopi tetapi sekarang mereka menghalalkannya.

3.      Firqah Fiqhiyyah atau Madzahib Fiqhiyyah, yaitu kelompok atau golongan yang lebih berkonsentrasi terhadap ijtihad dalam ranah fiqih atau produk-produk hukum Islam. Bagian dari firqah atau madzhab ini sudah sering kita ketahui diantaranya adalah Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Dzohiry, Thobary, Ats-Tsuary, dan lain sebagainya. Syafiiyah sendiri terhitung sebagai mazhab yang diikuti oleh mayoritas umat Islam modern.


Thareqat atau sufi juga seringkali disebut sebagai firqah bagi sebagian kalangan. Tetapi sebagian ulama’ jugatidak memasukkannya menjadi firqah tersendiri, karena setiap macam dari 3 kelompok firqah tadi juga sudah mempunyai ciri khas dalam bilang tasawwuf, atau setiap dari kelompok tersebut juga sudah mempunyai nilai-nilai tasawuf sendiri.

Sangat banyak kitab yang berbicara tentang firqah-firqah dalam Islam. Akan tetapi kitab yang paling bagus atau menjadi kitab induk dalam bidang ini adalah Kitab Taarikhul Madzahib Al-Islamiyyah fi Al-Siyasah Wal Aqaid Wal Madzahib Al-Fiqhiyyah karya Imam Abu Zahrah.


Peta Pemikiran Islam Modern : Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama atau NU jika didefinisikan sebagai sebuah organisasi adalah organisasi massa yang mengikuti aqidah Ahalussunnah wal Jamaah yang mengikuti konsep Maturidiyyah dan Asy’ariyyah, dalam fiqihnya mengikuti madzhab empat, dan dalam tasawufnya mengikuti mengikuti madzhab taswauf yang mu’tabarah (seperti Imam Junaidi, Imam Bahaudin An-Naqsabandi, Imam As-Syadzili dan lain sebagainya). Akan tetapi jika mendefinisakan seperti apakah orang NU maka akan sangat sulit didefinisikan karena banyak macamnya dan beraneka ragam pemikirannya.

NU secara organisasi berdiri tahun 1926, tetapi masyarakat NU sendiri sudah ada pada zaman sebelumnya. Walaupun secara organisasi terlahir lebih belakang, tetapi secara amaliyah NU jauh lebih ada sebelum Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri pada awalnya sama dengan NU dalam ritualnya, akan tetapi kemudian mulai menajadi beda ketika ada Majlis Tarjih yaitu sebuah lembaga yang berfungsi untuk memberikan keputusan dan menjadi rujukan dalam permasalahan-permasalahan agama Islam. Majlis Tarjih sendiri seringkali diisi oleh para pakar muda Muhammadiyah.

NU adalah organisasi yang memiliki konsep washatiyyah, yaitu bersikap moderat atau di tengah-tengah dan dapat merangkul siapapun. Selain itu NU juga mempunyai konsep tasamuh, yaitu bersikap toleran, dan tawazun, yaitu bersikap adil dan seimbang. Konsep ini merupakan warisan dari para walisongo yang berhasil menyebarkan Islam di tanah nusantara dengan konsep tersebut. Maka tidak heran apabila NU kemudian banyak pengikutnya dan dapat diterima oleh semua golongan, serta dapat merangkul semua orang dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan budaya. Oleh karena itu pada era modern ini NU tidak hanya menjadi organisasi terbesar se-Indonesi, tetapi juga se-Dunia.

Dalam menyikapi isu-isu terkini, utamanya terkait isu penistaan agama oleh Guernur Basuki Tjahya Purnama (Ahok) beliau menghimbau kepada umat Islam untuk tidak mudah terprovokasi masalah tersebut. Kita dituntut untuk lebih jeli dan dewasa menyikapi isu yang berkembang. Dan menurut beliaupun sebenarnya tidak ada penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, dan kita bisa melihat videonya secara langsung di Youtube.

Keadaan yang berkembang pada saat ini pun lebih condong mengarah kepada permasalahan politik, sudah tidak murni lagi kepada permasalahan penegakan hukum. Beliau sepakat dengan arahan PBNU yang mengintruksikan kepada warga NU untuk tidak terlibat aktif dalam demo tanggal 04 November 2016 kemarin. Dalam hal ini yang ingin dikedepankan oleh PBNU adalah untuk menjaga agar Indonesia tetap aman damai dalam bingki uruh NKRI. PBNU dalam hal ini pun sudah sangat bersikap moderat, dengan tidak mendukung demontrasi yang dilaksanakan, serta mendukung dan menyerahkan kepada aparat penegak hukum untuk menangani dan menyelesaikan permasalahan ini.



Kalimatul Ikhtitam (Closing Statement)
Pada kalimatul ikhtitam (closing statement) oleh K. M. Rozi Toha, beliau mengajak kita sebagai warga NU untuk tetap menjaga ukhuwah (rasa persaudaraan), serta tidak memancing pertentangan dengan sesama. Santri tidak boleh terprovokasi, apalagi sampai mengikuti demo. Mengikuti arahan PBNU dalam menyikapi permasalahan bangsa ini merupakan hal yang paling selamat, dan harus paling dikedepankan. NU sebagai benteng NKRI tentunya akan selalu terdepan menolak segala tindakan-tindakan yang dapat menghancurkan keutuhan negeri ini.

Bagi para santri dan alumni agar selalu berdoa untuk keselamatan bangsa ini. Para ulama’ dan pahlawan tidaklah mudah memperjuangkan Republik Indonesia. Dengan penuh perjuangan, mengorbankan nyawa dan harta, mereka berkeinginan agar Negara ini tegak berdiri. Oleh karena itu kita harus selalu menjaganya. Jangan sampai kita mudah diadu domba. Jangan sampai Negara ini terjadi perpecahaan dan perang saudara. Oleh karena itu marilah kita dengan sekuat tenaga berjuang untuk mempertahankan NKRI, serta dengan selalu berdoa untuk Negara kita agar tetap jaya. 


Catatan Santri Duta Perdamaian (2) : Damai Dalam Dialog Lintas Agama

16.04 0
Catatan Santri Duta Perdamaian (2) : Damai Dalam Dialog Lintas Agama
oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)




Catatan saya kali ini adalah tentang perjalanan dalam kegiatan dialog lintas agama. Kegiatan ini dikemas dalam “Semiloka Fundamentalisme Agama; Studi Kasus Kekerasan Berbasis Agama” yang diselenggarakan oleh Dialog Center UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) dengan sponsor UEM Jerman. Kegiatan lintas agama seperti ini bukan lah kegiatan yang pertama kali saya ikuti. Tetapi kegiatan kali ini merupakan dialog lintas agama yang intens karena diselenggarakan selama 3 hari di Wisma Sabda Mulia, di sebelah timur lapangan Pancasila Kota Salatiga.

Menjadi peserta dalam kegiatan ini adalah para perwakilan berbagai pimpinan keagamaan seperti pendeta Gereja, Wihara, dan Pura; perwakilan organisasi seperti FKUB, IPNU, IPPNU, PMII. Dan Gusdurians; perwakilan kampus seperti STIAB Samaratungga Ampel, STT Sangkakala Getasan, STAB Syailendra, dan IAIN Salatiga; dan saya sendiri satu-satunya yang mewakili LSM, yaitu Lembaga Desaku Maju. Ada sekitar 40 peserta dari berbagai usia, dengan usia paling tua 86 tahun yang berasalan dari perwakilan gereja, dan untuk agama Islam sendiri semuanya diwakili oleh kalangan muda (mahasiswa).

Bagi sebagian kalangan, kegiatan lintas agama seperti ini masih menjadi sebuah ke-haram-an atau pantangan. Tidak sedikit bagi mereka yang masih menganggap sinis akan kegiatan seperti ini, sepeti dengan menuduhnya ada program pemurtadan, program kelompok liberal, serta tuduhan-tuduhan yang lainnya. Maka sah-sah saja bagi sebagian orang untuk kemudian berprasangka buruk, atau kemudian menjadi anti terhadap kegiatan-kegiatan seperti itu. Bagi setiap orang yang memiliki sebuah keyakinan atau aqidah tentunya mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi keyakinan mereka. 

Begitupun dengan saya, perasaan curiga juga sering kali muncul dalam mengikuti kegiatan seperti ini. Tetapi hal itu bukan menjadi alasan saya untuk tidak mengikuti kegiatan tersebut. Bukan karena merasa yakin aqidah saya tidak terganggu, tetapi karena saya lebih yakin bahwa setiap agama mengajarkan perdamaian, mengajarkan persaudaraan, dan tidak ada yang mengajarkan permusuhan. Selain itu juga, bersahabat dengan orang non muslim juga bukan berarti sesuatu yang dilarang, karena Nabi Muhammad sendiri mempunyai banyak tetangga dan sahabat akrab yangnon muslim juga. Bahkan dengan mengikuti kegiatan seperti itu saya dapat lebih mengenalkan apa itu Islam, apa itu ajaran Muhammad yang penuh kasih sayang, yang akan menjelaskan kepada sebagian orang yang pada akhir-akhir ini merasa sentiment terhadap orang Islam karena perilaku beberapa golongan radikal.

Dr. Zainudin dari Dialog Center UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dialog antar umat beragama adalah cara yang paling bermatabt dalam menjalin perbedaan keyakinan agama, sebab dalam dialog orang akan bertemu tatap muka untuk saling memahami dan menghargai perbedaan, baik teologis maupun etnis, suku, bahasa, dan asal usul. Melalui dialog antar iman, orang akan merasa bahwa empati dan toleransi terhadap orang yang berbeda agama akan muncul sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan orang lain. 


Dalam berdialog antar umat beragama beliau memberikan rumus agar hasilnya  dapat sukses dan maksimal, yaitu harus dilakukan dalam kesetaraan dam tidak boleh merasa paling dominan, sehingga semua pemeluk agama pemeluk agama-agama bisa bertegur sapa dan toleransi. Kenyataan bahwa hubungan agama-agama terjadi keretakan bisa diakibatkan karena pemeluk agama masih tertutup dan belum mau terbuka, sehingga eksklusifitas keagamaan masih sering muncul. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi keretakan antar umat beragama perlu dilakukan langkah-langkah kongkrit yaitu keterbukaan komunikasi social antar umat beragama dengan saling menghormati dan menghargai perbedaan dalam kehidupan social.

Pada sesi panel materi, kegiatan tersebut diawali oleh pemaparan tentang fudamentalisme dari berbagai agama. Dari agama Islam diwakili Dr. Agus Muh Najib, M.Ag. (Dialog Center UIN Sunan Kalijaga), agama Kristen diwakili Prof. Dr. John Titally (Rektor UKSW Salatiga), agama Budha diwakili oleh Suranto, S.Ag., M.A. (Dosen STAB Syailendra), dan agama Hindu diwakili oleh Rama Wikusatya Dharma Telaga. Dari materi yang disampaikan hamper semuanya menjelaskan tentang sejarah panjang fundamentalisme yang muncul dalam agamanya masing-masing, dan bagaimana bahaya faham tersebut dalam bermasyarakat dan beragama. Hampir semua panelis sepakat akan bahaya sebuah faham fundamentelis. Semua panelis juga sepakat tentang bagaimana semua agama sejatinya menyebarkan akan sebuah kedamaian, dan menolak akan tindakan kekerasan baik itu terhadap pemeluk agamanya sendiri maupun terhadap pemeluk agama lain.

Akan tetapi yang kemudian menjadi menarik bagi saya adalah apa yang disampaikan oleh perwakilan dari agama Budha, Suranto S.Ag., M.A. Beliau menekankan bahwa sejatinya dalam agama Budha sendiri lebih menekankan kepada pemahaman teks-teks kitab suci secara murni, yang menunjang seseorang untuk lebih taat terhadap ajaran agamanya. Mungkin bagi sebagian kalangan sikap seperi ini dapat dianggap sebuah sikap fundamentalis. Sehingga apabila seseorang itu lebih akan berbakti dengan sikap fundamentalis, maka itu sangat dianjurkan. Oleh karena itu, selama faham fundemantalis hanya diimplementasikan dalam agamanya masing-masing maka itu tidak menjadi masalah. Akan tetapi beliau juga memberikan catatan, yaitu apabila efek dari fundamentalisme sudah masuk pada ranah kekerasan, maka hukum pun juga harus ikut bertindak.
“Agama memang sumber pencerahan, tetapi jangan cemari pencerahan itu dengan melakukan kejahatan atas nama agama. Belajarlah dari keanekaragaman, karena tidak ada jaminan bahwa perdamaian hanya akan terjadi ketika hanya ada satu agama yang berkembang. Menumbuhkan cinta kasih dalam perbedaan menjadi akar keharmonisan” (Suranto, Dosen STAB  Syailendra).

Kamis, 10 November 2016

Bupati Kabupaten Semarang Pimpin Deklarasi Santri Cinta Damai

05.38 0
Bupati Kabupaten Semarang Pimpin Deklarasi Santri Cinta Damai

Tuntang – Bupati Kabupaten Semarang, dr. Mundjirin, S.pog memimpin Deklarasi Santri Cinta Damai dalam penutupan Workshop Pesantren For Peace Provinsi Jawa Tengah di Pon-Pes Edi Mancoro Tuntang Kabupaten Semarang, 1-3 November 2016. Acara yang diikuti oleh perwakilan 30 pondok pesantren se-Jawa Tengah tersebut mengambil tema “Membangun Pemahaman Perdamaian Berbasis Pesantren Persepektif HAM”. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Jerman, European Union (EU), dan Pondok Pesantren Edi Mancoro sebagai panitia lokal.

Dalam sambutannya dr. Mundjirin mengatakan bahwa santri merupakan salah satu benteng pertahanan NKRI, serta pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Tetapi pada akhir-akhir ini beberapa orang menuduh pesantren sebagai sarang terorisme dan pembibitan orang-orang radikal. “Saya berharap acara seperti ini dapat memberikan pengalaman bagi para santri, sehingga dapat menunjukkan eksistensi mereka dalam mempromosikan HAM dan Perdamaian”, jelasnya di akhir sambutan.

Di akhir acara, Bupati memimpin pembacaan deklarasi Santri Cinta Damai yang diikuti oleh seluruh hadirin. Adapun bunyi deklarasi tersebut adalah
Bismillahirrahmaanirrahim
Atas Nama Cinta Perdamaian
Dengan Mengucakan Asma Allah yang Rahman dan Rahim, yang memiliki banyak sebutan namun satu ada-Nya.
Kami Santri Indonesia yang lair dalam keluarga Muslim, dibesarkan dan dididik dengan nilai-nilai Islami yang Universal dan meruakan Rahmat bagi seluruh alam; bersama ini kami mendeklarasikan:
Satu; Berpegang teguh pada aqidah dan ajaran Islam yang cinta damai
Dua; Bertanah air satu, tanah air Indonesia; Berideologi satu, Ideologi Pancasila; Berkonstitusi satu, Konstitusi UUD 1945; Berkebudayaan satu, kebudayaan Bhineka Tunggal Ika.
Tiga; Menolak segala macam dan bentuk kekerasan yang dilakukan atas nama agama, dalam hal ini khususnya agama Islam.
Empat; Menolak pemaksaan pemahaman yang dilakukan oleh para penganut kekerasan atas nama Islam dengan cara intimidasi.
Lima; Ikut bereran aktif dalam penanaman nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) di tengah-tengah Pesantren dan Masyarakat.
Enam; Ikut berperan aktif dalam pencegahan dan penanganan konflik di tengah-tengah masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi  rasa toleransi, persaudaraan, serta penghormatan atas hak-hak orang lain.
La Haula Wala Quwaata Illa Billahil ‘Aliyyil ‘Adzim

Hadir dalam acara diatas Direktur CSRC Dr. Irfan Abu Bakar, perwakilan Uni Eropa Saiti Gusrini, Camat Banyubiru, perwakilan Kemenag, NU, Muhamadiyah, dan tamu undangan. Sebelumnya selama tiga hari peserta mendapatkan materi-materi, yaitu “Hak Asasi Manusia dalam Islam” oleh Dr. Sidqan Hamzah (Dosen Undip), “Perdamaian Dalam Islam” oleh Haryo Aji Nugroho, Lc., M.Pd. (Dosen IAIN Salatiga), “Toleransi Dalam Islam” oleh KH. M. Dian Nafi (PWNU Jawa Tengah), dan “Resolusi Konflik” oleh Fahsin M. Fa’al, M.Si. (PP GP Ansor). (Julius Hisna/Muhammad Najmuddin Huda)