Mei 2015 - Sang Pemburu Badai

Sabtu, 30 Mei 2015

Menggagas Konsep Constitutional Complaint Dalam Kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia

12.10 0
Menggagas Konsep Constitutional Complaint Dalam Kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia
Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri (Julius Hisna)



BAB I
Pendahuluan

Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara berdampingan secara horizontal dengan kekuasaan negara lainnya yang dalam UUD 1945 dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Hal ini berarti bahwa UUD 1945 telah menentukan bahwa kekuasaaan kehakiman memiliki kedudukan sebagai kekuasaan negara yang implementasinya secara subtantif dipegang oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman serta Mahkamah Konstitusi. Diaturnya kehakiman dalam bab tersendiri dengan 19 ketentuan dapat ditafsirkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang mandiri (otonom) dan tidak ada keharusan baginya untuk, baik diperintah maupun memerintah, membantu maupun mendampinngi kekuasaan pemerintahan negara (Hoesein, 2013:78).
Ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman jelas berbeda dengan ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan negara lainnya, seperti kekuasaan legislatif dan eksekutif. Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu elemen dari rumusan negara berdasar atas hukum. kekuasaan menurut Ibnu Kholdun diartikan sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan (Hoesein, 2013:79).
Membicarakan kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman tidak terlepas dari persoalan, baik penegakan hukum maupun penemuan hukum, karena keduanya merupakan fungsi dari kekuasaan kehakiman. Persoalan penegakan hukum merupakan konsekuensi dari prinsip-prinsip yang diatur dalam negara hukum, sehingga kekuasaan negara diciptakan, diatur, dan ditegakkan oleh suatu perangkat hukum. Pandangan tersebut sebagai pembatasan dari suatu kekuasaaan negara sehingga terhindar dari kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan kehidupan negara. Kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman merupakan dua hal yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, karena fungsi kekuasaan itu dapat dijalankan jika lembaga memiliki kedudukan tertentu dalam kekuasaaan (negara), sehingga ia memiliki kewenangan dan dapat mengimplementasikan secara bertanggung jawab. Hal itu berarti kedudukan kekuasaan kehakiman juga akan berkaitan dengan kekuasaan negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan merupakan susunan ketatanegaraan yang masing-masing memiliki kedudukan, susunan, tugas dan wewenang sebagai lembaga negara (Hoesein, 2013:78).
Amandemen UUD 1945 telah memberikan perubahan di bidang kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif yang sangat mendasar. Perubahan tersebut diantaranya adalah kekuasaan kehakiman tidak lagi hanya mejadi monopoli Mahkamah Agung dengan badan-badan peradilan di bawahnya, melainkan juga oleh Mahkamah Konstitusi. Terlepas dari berbagai kritik yang tak mungkin di hindari haruslah di akui bahwa pada saat ini dapat di katakan bahwa MK menjadi kiblat dalam penegakan supermasi konstitusi; artinya hampir setiap ada masalah konstitusi masyarakat selalu berpaling ke MK. Keadaan tersebut di sebabkan oleh keberanian MK melakukan ijtihad dalam pengujiaan undang-undang maupun dalam memutus sengketa kewenangan dan sengketa hasil pemilu.
         Namun, dari performance MK yang seperti itu kemudian timbul harapan yang terlalu besar kepadanya sehingga keraplah masyarakat bertanya dan meminta MK memutus hal-hal yang di luar kewenangannya. Alasan berpalingnya seseorang kepada MK adalah selain terlalu banyak berharap kepada MK tanpa tahu persis lingkup kewenangannya dapat juga di sebabkan oleh adanya masalah pelanggaran hak konstitusional, tetapi tidak ada instrumen hukum yang jelas untuk menyelesaikan atau memperkarakannya atau tidak ada penyaluran penyelesaiannya.
Salah satu hal yang menjadi permohonan banyak orang di luar kewenangan MK adalah tentang Constituional Complaint. Constitutional Complain adalah pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak ada instrumen hukum atasnya  untuk memperkarakannya atau tidak tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum (peradilan). Banyak kalangan yang mengusulkan Constitutional Complain untuk ditambahkan sebagai salah satu tugas MK. Akan tetapi dalam hal ini banyak kalangan yang berbeda pendapat apakah penambahan tugas dan wewenang MK tersebut harus dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 ataukah cukup melalui revisi di UU tentang MK. Kemudian masih juga banyak kalangan yang belum sepakat sejauh manakah Constitutional Complain tersebut dapat diterapkan. Kedua permasalahan inilah yang coba kami angkat dalam makalah kami.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mahkamah Konstitusi (MK) Sebagai Amanah UUD 1945
Fondasi yang paling tepat dan kokoh bagi sebuah demokrasi berkelanjutan (a sustainable democrary) adalah sebuah negara konstitusional (constitusional state) yang bersandar kepada sebuah konstitusi yang kokoh yang dapat melindungi dirinya dari ancaman, baik dari dalam maupun luar pemerintahan. Konstitusi yang kokoh yang mampu menjamin demokrasi yang berkelanjutan hanyalah konstitusi yang mampu mengatur secara rinci batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan yudisial secara seimbang dan saling mengawasi (checks and balances), serta memberi jaminan yang cukup luas bagi hak-hak warga negara dan hak-hak asasi. Konstitusi yang kokoh bagi sebuah constitusional state yang mampu menjamin demokrasi yang berkelanjutan juga harus merupakan konstitusi yang legimate, dalam arti pembuatannya harus secara demokratis, diterima dan didukung sepenuhnya oleh seluruh komponen masyarakat dari berbagai aliran dan faham, aspirasi dan kepentingan (Fadjar, 2006:6).
Amandemen UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia telah memberikan perubahan di bidang kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif yang sangat mendasar. Perubahan tersebut diantaranya adalah kekuasaan kehakiman tidak lagi hanya mejadi monopoli Mahkamah Agung dengan badan-badan peradilan di bawahnya, melainkan juga oleh Mahkamah Konstitusi. Saat ini dapat di katakan bahwa MK menjadi kiblat dalam penegakan supermasi konstitusi; artinya hampir setiap ada masalah konstitusi masyarakat selalu berpaling ke MK. Keadaan tersebut di sebabkan oleh keberanian MK melakukan ijtihad dalam pengujiaan undang-undang maupun dalam memutus sengketa kewenangan dan sengketa hasil pemilu.
Pada dasarnya perubahan konstitusi harus berlandaskan pada nilai-nilai paradigmatik yang timbul dari tuntutan perubahan itu sendiri. Melalui paradigma perubahan akan dapat dijelaskan perbedaan penting antara konstitusi lama dengan konsep perubahan yang diinginkan. Paradigma itu mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting yang mendasar atau jiwa perubahan konstitusi. Nilai dan prinsip itu dapat digunakan untuk menyusun telaah kritis terhadap konstitusi lama dan sekaligus menjadi dasar bagi perubahan konstitusi atau penyusunan konstitusi baru (Fadjar, 2006:14).
Amandemen UUD 1945 telah memberikan perubahan di bidang kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif yang sangat mendasar. Perubahan tersebut diantaranya adalah kekuasaan kehakiman tidak lagi hanya mejadi monopoli Mahkamah Agung dengan badan-badan peradilan di bawahnya, melainkan juga oleh Mahkamah Konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban seprti dalam pasal 24C UUD 1945, yaitu:
1.        Menguji UU terhadap UUD 1945.
2.        Memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
3.        Memutus pembubaran partai politik.
4.        Memutus perselisihan hasil pemilu.
5.        Wajib memutus pendapat DPR tentang impeachment terhadap presiden.
Selain itu, perubahan tersebut juga  memberikan penegasan tentang judicial review, yaitu bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh MA. Sedangkan untuk pengujian tentang konstitusionalitas undang-undang dilakukan oleh MK.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK mempunyai kedudukan sebagai berikut:
1.      Merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan keuasaan kehakiman.
2.      Merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
3.      Sebagai penegak hukum, dan keadilan.
Sedangkan tugas dan fungsinya adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

B.     Constitutional Complain Sebagai Wewenang MK
Menurut Mahfudz M.D. (2010:287) Constitutional Complain adalah pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak ada instrumen hukum atasnya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum (peradilan). Constitutional Complain juga bisa dilakukan atas adanya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang langsung melanggar isi konstitusi, tetapi tidak secara jelas melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di bawah UUD. Begitu juga bisa dijadikan objek Constitutional Complain adalah putusan pengadilan yang melanggar hak-hak konstitusional padahal sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi; misalnya adanya putusan kasasi atau herziening (peninjauan kembali) dari Mahkamah Agung yang ternyata merugikan hak konstitusional seseorang.
Constitutional Complain telah menjadi kewenangan MK di berbagai Negara di antaranya adalah Mahkamah Konstitusi federal di Negara Jerman. Sebagai Negara federal German menganut sistem sentralisasi dalam pengujian peraturan perundang-undangan di mana kewenangan untuk melakukan pengujian hanya dilekatkan pada MK. Wewenang MK federal dalam memutus perkara Constitutional Complain adalah terhadap pelanggaran hak-hak dasar dalam konstitusi.     
Di Negara Indonesia sendiri Constitutional Complain belum menjadi salah satu wewenang di lembaga kekuasaan kehakiman manapun, termasuk MK. Padahal kebutuhan akan adanya putusan terhadap pelanggaran atas hak-hak konstitusional warga negara sudah sangat mendesak. Hal ini dikarenakan konstitusi belum memberikan perlindungan secara menyeluruh terhadap hak konstitusional warga di karenakan masih terdapat celah hukum. diantara contoh pelangaran hak konstitusional terjadi pada kasus  Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus menguji pasal 23 ayat 1 UU No. 4 Tshun 2004 yang menyebutkan bahwa peninjauan kembali (PK) boleh dilakukan oleh jaksa bertentangan dengan Pasal 263 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1981 yang menyebutkan PK hanya oleh terpidana atau ahli warisnya. Uji materi tersebut tidak dapat mebatalkan putusan MA karena putusan MK bersifat prospektif (kedepan), sehingga hal ini membatalkan hak konstitusioanl Pollycarpus. Menyikapi hal ini menurut Mahfudz M.D. yang paling tepat adalah dengan menggunakan Constitutional Complain.
       Dalam era pasca reformasi ini dapat di katakan bahwa MK menjadi kiblat dalam penegakan supremasi konstitusi, artinya hampir setiap ada masalah konstitusi masyarakat selalu berpaling ke MK. Keadaan tersebut di sebabkan oleh keberanian MK melakukan ijtihad dalam pengujiaan undang-undang maupun dalam memutus sengketa kewenangan dan sengketa hasil pemilu. Namun, dari performance MK yang seperti itu kemudian timbul harapan yang terlalu besar kepadanya sehingga keraplah masyarakat bertanya dan meminta MK memutus hal-hal yang di luar kewenangannya.            Padahal dari sudut konstitusi MK sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk menilai hal-hal tersebut. Berdasarkan ketentuan pasal 24c UUD 1945 MK hanya berwenang melakukan pengujiaan undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya di atur dalam UUD, memutus sengketa hasil pemilu, dan memutus pembubaran parpol; sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat atau dakwaan (impachment) DPR bahwa presiden/ wakil presiden telah melanggar hal-hal tertentu di dalam UUD 1945 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden.
            Alasan berpalingnya seseorang kepada MK adalah selain terlalu banyak berharap kepada MK tanpa tahu persis lingkup kewenangannya dapat juga di sebabkan oleh adanya masalah pelanggaran hak konstitusional, tetapi tidak ada instrumen hukum yang jelas untuk menyelesaikan atau memperkarakannya atau tidak ada penyaluran penyelesaiannya. Dalam kasus ini, misalnya, tidak jelasnya Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri atau lebih dapat di perkarakan ke mana. Jika akan di bawa ke MA melalui pengujian yudisial peraturan perundang-undangan sebagaimana di atur dalam UU No. 10 Tahun 2004; jika akan diperkarakan melalui PTUN juga kurang tepat  karena isi SKB tersebut dapat di nilai sebagai pengaturan (bukan penetapan) karena ada muatannya yang bersifat umum. Sedangkan dari sudut konstitusi MK juga sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk menilai SKB tersebut atau menjadi keputusan Bokerpakem atau Fatwa Majlis Ulama Indonesia. Maka seperti dalam kasus SKB tiga Menteri tentang Ahmadiyah kemudian banyak menimbulkan polemik diantara banyak pihak.
            Melihat pada permasalaha diatas maka sudah sepatutnya kalau Constitutional Complain dimasukkan sebagai salah satu wewenang MK. Hal ini menjadi sangat penting karena persoalan yang berhubungan dengan hak-hak konstitutional warga negara ternyata belum semuanya dapat diselesaikan melalui kewenangan yang dimiliki MK selama ini, terutama kewenangan Judicial Review. Oleh karena itu Constitutional Complain dapat dijadikan solusi terhadap kekurangan dan kelemahan yang dimiliki MK dalam memutus perkara yang berhubungan dengan hak konstitutional warga negara.
Dalam hal ini terdapat pandangan banyak pihak, apakah kewenangan tersebut dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 atau ke dalam revisi UU MK. Pihak yang mengusulkan Constitutional Complain menjadi tambahan kewenangan MK dan masuk dalam amandemen UUD 1945 diantaranya Mahfudz MD. Beliau berpandangan bahwa Constitutional Complain berhubungan erat dengan permasalahan hak-hak dasar warga negara, sehingga patut untuk dimasukkan dalam UUD 1945. Sedangkan pihak yang mengusulkan Constitutional Complain cukup masuk dalam revisi UU MK berpendapat bahwa kewenangan tambahan MK tersebut cukup dimasukkan dalam revisi UU MK. Hal ini disebabkan karena mengamandemen konstitusi sangatlah sulit, serta harus memperhatikan struktur, faktor kulrtural dan kondisi negara bersangkutan. Sehingga Constitutional Complain cukup masuk dalam revisi UU MK, tidak melalui amandemen UUD 1945 (Hukum Online, 2008:1).
Melihat pada pendapat-pendapat diatas kami lebih setuju bahwa Constitutional Complain seyogyanya dimasukkan dalam amandemen UUD 1945. Hal ini dikarenakan karena Constitutional Complain berhubungan erat dengan hak dasar konstituional warga negara dan harus ada pada kewenangan MK, serta sejajar dengan kewenangan MK yang lain yang sudah termaktub dalam UUD 1945. Selain itu juga permasalahan yang ada selama ini belum semuanya dapat diselesaikan dengan melalui kewenangan yang dimiliki MK selama ini, terutama kewenangan Judicial Review.
Akan tetapi jika kewenangan memutus Constitutional Complain diberikan kepada MK dengan cara dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 maka akan membutuhkan waktu yang sangatlah lama. Belum tentu dalam kurun waktu sepuluh tahun yang akan datang akan terjadi amandemen UUD 1945. Apalagi jika amandemen hanya bertujuan untuk memasukkan kewenangan memutus Constitutional Complain, maka akan semakin sulit. Selain itu juga mengamandemen konstitusi harus memperhatikan struktur, faktor kulrtural dan kondisi negara bersangkutan. Faktor politis pun juga perlu menjadi pertimbangan dalam melakukan amandemen. Maka jalan yang lebih mudah untuk ditempuh adalah dengan cara memasukkan kewenangan MK dalam memutus Constitutional Complain dalam revisi UU MK. Merivisi UU tidaklah sesulit mengamandemen konstitusi dasar Indonesia.
Dalam hal ini kami berpandangan bahwa untuk mempercepat warga negara mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak konstitutionalnya, maka tambahan kewenangan MK dalam memutus Constitutional Complain lebih baik dimasukkan terlebih dahulu dalam revisi UU MK. Melakukan revisi UU MK dengan alasan yang sangat mendesak ini serta menghindari adanya kekosongan tidak akan terlalu membutuhkan waktu yang sangat lama serta proses yang sulit dibandingkan jika melakukan amandemen UUD 1945. Akan tetapi ini bukan berarti kewenangan memutus Constitutional Complain tidak perlu dimasukkan dalam UUD 1945. Tambahan kewenangan ini harus sejajar dengan kewenangan-kewenangan MK yang sudah termaktub terlebih dahulu. Oleh karena itu, jika suatu saat nanti amandemen UUD 1945 dilakukan maka kewenangan memutus Constitutional Complain juga harus ikut dimasukkan. Akan tetapi, sebelum amandemen itu ada maka harus dilakukan terlebih dahulu revisi UU MK yang salah satu tujuannya untuk menambahkan kewenangan MK dalam memutus Constitutional Complain untuk menjamin hak-hak konstitutional warga negara.

C.    Menggagas Obyek Constitutional Complain
Mahkamah konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman diharapakan mampu mengembalikan citra lembaga peradilan di Indonesia sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat dipercaya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Melalui lima kewenangan konstitusional yang dimilikinya, MK harus mengawal UUD 1945 dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan negara demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution) (Fadjar, 2006:119).
            Untuk menlengkapi dan memaksimalkan tugas dan wewenang MK sebagai penjaga dan penafsir tertinggi konstitusi, maka adanya Constitutional Complain menjadi sebuah keharusan yang ada pada wewenang MK. Akan tetapi dalam hal ini perlu difikirkan pula hal mana sajakah yang  dapat dijadikan sebagai obyek dari Constitutional Complain. Jangan kemudian kewenangan tambahan yang urgent tersebut diberikan tanpa batasan dan aturan yang jelas.
            Apabila melihat pada pengertian yang dikatakan oleh Mahfudz, MD., maka bisa dilihat dua hal yang menjadi obyek dari permohonan Constitutional Complain tersebut. Kedua hal tersebut adalah:
1.        Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak ada instrumen hukum atasnya untuk memperkarakannya.
2.        Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum (peradilan).
Kedua hal diatas merupakan pijakan dasar yang dapat digunakan untuk membatasi obyek perkara mana sajakah yang masuk dalam lingkup Constitutional Complain.
            Selain harus harus memahami obyek mana sajakah yang menjadi kewenangan dalam Constitutional Complain, juga perlu diberikan pula adanya aturan dan batasan yang jelas. Aturan dan batasan ini dapat dikatakan juga sebagai syarat apakah suatu perkara tersebut dapat dikatan sebagai obyek komplain hak konstitusional ataukah tidak. Aturan dan batasan ini bisa dilihat dalam peranturan perundang-undangan yang sudah ada. Diantara aturan dan batasan yang dapat kami simpulkan adalah:
1.             Constitutional Complain berhubungan erat dengan pelanggaran hak konstitusional warga negara yang tidak ada instrumen hukum untuk menyelesaikannya atau tidak lagi tersedia jalur penyelesaian hukum. Ini harus dipahami bahwa setiap warga negara memiliki hak-hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-undang Dasar, dan ketiadaan instrumen hukum bukan kemudian menjadi alasan seseorang untuk tidak bisa mendapatkan keadilan.
2.             Constitutional Complain harus lah terhadap perkara yang berupa pelanggaran langsung terhadap konstitusi dasar negara Indonesia. Ini harus dipahami bahwa obyek perkara harus bersinggungan langsung dengan hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945, bukan masalah yang bersinggungan dengan undang-undang di bawah konstitusi. Selain itu juga dapat dipahami bahwa peraturan di bawah Undang-undang pun jika bertentangan secara langsung dengan konstitusi dapat dijadikan sebagai obyek Constitutional Complain, walaupun tidak secara langsung bertentangan dengan undang-undang diatasnya. Hal ini dikarenakan lembaga kekuasaan kehakimanb yang diberikan wewenang sebagai penafsir konstitusi hanyalah Mahkamah Konstitusi.
3.             Constitutional Complain merupakan jalan terakhir yang diajukan setelah tidak tersedia lagi penyelesaian terhadap perkara tersebut. Perlu dipahami bahwa jalan terakhir yang dimaksud disini bukan hanya melalui penyelesaian hukum di pengadilan, tetapi juga melalui penyelesaian lain di lembaga legislatif melalui legislatif review dan penyelesaian di lembaga eksekutif melalui executive review.
Untuk aturan dan batasan yang terakhir ini memang harus dicantumkan. Hal ini disebabkan bahwa Constitutional Complain merupakan langkah terakhir dari adanya beberapa proses yang telah dilalui sebelumnya. Selain itu ini juga bisa dijadikan sebagai sebuah kontrol normatif dalam menciptakan sebuah peraturan.
                                                                                      
D.    Legislatif Review dan Execitive Review Sebagai Syarat Constitutional Complain
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa yang menjadi obyek dari Constitutional Complain adalah semua pelanggaran terhadap langsung terhadap konstitusi dasar negara Indonesia. Ini harus dipahami bahwa obyek perkara harus bersinggungan langsung dengan hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945, bukan masalah yang bersinggungan dengan undang-undang di bawah konstitusi. Selain itu juga dapat dipahami bahwa peraturan di bawah Undang-undang pun jika bertentangan secara langsung dengan konstitusi dapat dijadikan sebagai obyek Constitutional Complain, walaupun tidak secara langsung bertentangan dengan undang-undang diatasnya. Hal ini dikarenakan lembaga kekuasaan kehakiman yang diberikan wewenang sebagai penafsir konstitusi hanyalah Mahkamah Konstitusi.
Untuk menghindari menumpuknya persoalan di MK hanya karena sebuah perkara bertentangan dengan konstitusi atau hak kontitusional warga negara, maka harus disyaratkan pula bahwa Constitutional Complain merupakan jalan terakhir yang telah dilalui sebelumnya penyelesaian hukum yang lain. Penumpukan perkara seperti ini telah terjadi di Mahkamah Konstitusi Federal negara Jerman yang  mana merupakan satu-satunya lembaga kekuasaan kehakiman yang diberikan wewenang untuk menyelesaikan semua persoalan sengketa perundang-undangan dan konstitusi. Oleh karena itu perlu dipandang pula bahwa legislative review dan executive review merupakan langkah penyelesaian yang sudah harus ditempuh oleh seseorang sebelum orang tersebut mengajukan Constitutional Complain. Hal ini juga berfungsi sebagai sebuah kontrol normatif terhadap sebuah peraturan yang diperkarakan.
Legislative review merupakan bagian proses politik di bidang peraturan perundang-undangan dan lebih dipengaruhi oleh faktor politik sehingga proses perubahan produk hukum tersebut tidak dilakukan melalui proses judicial atau dalam koridor normatif yang biasa dijalankan oleh lembaga kekuasaan kehakiman, melainkan melalui proses politik oleh lembaga politik. Peraturan perundang-undangan yang diputuskan dan/atau ditetapkan untuk dicabut oleh pembuatnya, maka secara otomatis pada saat diputuskan/ditetapkan tidak berlaku lagi, dan pada saat bersamaan lembaga pembuatnya menerbitkan peraturan yang baru. Berbeda dengan judicial review, bahwa setiap ketentuan perundang-undangan  yang diputus oleh badan kekuasaan kehakiman, maka ketentuan tersebut tidak berlaku lagi, tetapi badan kekuasaan kehakiman tidak memutuskan berlakunya peraturan baru, karena tidak memiliki kewenangan (original jurisdiction) sebagai badan pembuat undang-undang (Hoesein, 2013:61).
Demikian pula excutive review diartikan sebagai penilaian atau pengujian peraturan perundang-undangan oleh pihak eksekutif, artinya segala bentuk produk hukum pihak eksekutif diuji oleh pihak eksekutif baik kelembagaan dan kewenangan yang bersifat hierarkis. Dalam istilah yang sama juga diperkenalkan istilah “kontrol internal”yang dilakukan oleh pihak sendiri terhadap produk hukum yang dikeluarkan baik yang berbentuk pengaturan (regeling) maupun penetapan (beschikking). Akan tetapi, jika kontrol normatifnya dilakukan oleh badan lain dalam hal ini Peradilan Tata Usaha Negara, maka hal tersebut bukan executive review, melainkan kontrol segi hukum (legal control).
Dalam hal hubungan ini, maka objek executive review lebih terhadap keputusan yang bersifat abstrak dan mengatur, serta mengikat secara umum atau dikenal dengan “regeling”, dan diluar itu yakni yang bersifat “beschikking” menjadi objek legal control peradilan tata usaha negara. Dengan demikian semua tindakan atau perbuatan administrasi negara yang dijalankan oleh pemerintah dapat dikontrol oleh hukum baik secara internal (executive review) atau secara eksternal, yaitu oleh badan kekuasaan kehakiman yang dalam hal ini adalah peradilan tata usaha negara (Hoesein, 2013:62).
Dalam hubungannya dengan executive review, maka objeknya adalah peraturan dalam kategori regeling yang dilakukan melalui pendekatan “perubahan” sebagai ketentuan atau melalui pendekatan “pencabutan” peraturan tertentu dan menggantinya  dengan peraturan baru. pengujian internal ini disebabkan oleh perubahan norma hukum diatasnya yang berubah, yakni undang-undangnya berubah atau perubahan sosial yang tidak diantisipasi oleh peraturan tersebut dan menghendaki untuk diubah. Oleh karena itu, pengujian internal dalam arti executive review ini dilakukan untuk menjaga peraturan yang diciptkan oleh pemerintah (eksekutif) tetap sinkron, dan konsisten segi normatifnya secara vertikal dan terjaga pula tertib hukumnya dan kepastian hukum, agar rasa keadilan masyarakat atas perubahan sosial-ekonomi (Hoesein, 2013:63).


 
BAB III
PENUTUP

Dari pemaparan diatas setidaknnya bisa disimpulkan beberapa hal yang juga menjadi rekomendasi:
  1. Constitutional Complain seyogyanya dimasukkan dalam amandemen UUD 1945. Hal ini dikarenakan karena Constitutional Complain berhubungan erat dengan hak dasar konstituional warga negara dan harus ada pada kewenangan MK, serta sejajar dengan kewenangan MK yang lain yang sudah termaktub dalam UUD 1945. Selain itu juga permasalahan yang ada selama ini belum semuanya dapat diselesaikan dengan melalui kewenangan yang dimiliki MK selama ini, terutama kewenangan Judicial Review. Akan tetapi jika kewenangan memutus Constitutional Complain diberikan kepada MK dengan cara dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 maka akan membutuhkan waktu yang sangatlah lama. Belum tentu dalam kurun waktu sepuluh tahun yang akan datang akan terjadi amandemen UUD 1945. Dalam hal ini kami berpandangan bahwa untuk mempercepat warga negara mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak konstitutionalnya, maka tambahan kewenangan MK dalam memutus Constitutional Complain lebih baik dimasukkan terlebih dahulu dalam revisi UU MK. Melakukan revisi UU MK dengan alasan yang sangat mendesak ini serta menghindari adanya kekosongan tidak akan terlalu membutuhkan waktu yang sangat lama serta proses yang sulit dibandingkan jika melakukan amandemen UUD 1945. Akan tetapi ini bukan berarti kewenangan memutus Constitutional Complain tidak perlu dimasukkan dalam UUD 1945. Tambahan kewenangan ini harus sejajar dengan kewenangan-kewenangan MK yang sudah termaktub terlebih dahulu. Oleh karena itu, jika suatu saat nanti amandemen UUD 1945 dilakukan maka kewenangan memutus Constitutional Complain juga harus ikut dimasukkan. Akan tetapi, sebelum amandemen itu ada maka harus dilakukan terlebih dahulu revisi UU MK yang salah satu tujuannya untuk menambahkan kewenangan MK dalam memutus Constitutional Complain untuk menjamin hak-hak konstitutional warga negara.
3.        Adanya Constitutional Complain menjadi sebuah keharusan yang ada pada wewenang MK maka perlu difikirkan pula hal mana sajakah yang  dapat dijadikan sebagai obyek dari Constitutional Complain. Jangan kemudian kewenangan tambahan yang urgent tersebut diberikan tanpa batasan dan aturan yang jelas. Dari pengertian yang dikatakan oleh Mahfudz, MD., maka bisa dilihat dua hal yang menjadi obyek dari permohonan Constitutional Complain tersebut, yaitu: Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak ada instrumen hukum atasnya untuk memperkarakannya dan Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum (peradilan).
4.        Selain harus harus memahami obyek mana sajakah yang menjadi kewenangan dalam Constitutional Complain, juga perlu diberikan pula adanya aturan dan batasan yang jelas. Aturan dan batasan ini dapat dikatakan juga sebagai syarat apakah suatu perkara tersebut dapat dikatan sebagai obyek komplain hak konstitusional ataukah tidak. Aturan dan batasan ini bisa dilihat dalam peranturan perundang-undangan yang sudah ada. Diantara aturan dan batasan yang dapat kami simpulkan adalah:
a.       Constitutional Complain berhubungan erat dengan pelanggaran hak konstitusional warga negara yang tidak ada instrumen hukum untuk menyelesaikannya atau tidak lagi tersedia jalur penyelesaian hukum.
b.      Constitutional Complain harus lah terhadap perkara yang berupa pelanggaran langsung terhadap konstitusi dasar negara Indonesia secara langsung.
c.       Constitutional Complain merupakan jalan terakhir yang diajukan setelah tidak tersedia lagi penyelesaian terhadap perkara tersebut.
5.        Perlu dipahami bahwa jalan terakhir yang dimaksud disini bukan hanya melalui penyelesaian hukum di pengadilan, tetapi juga melalui penyelesaian lain di lembaga legislatif melalui legislatif review dan penyelesaian di lembaga eksekutif melalui executive review. Untuk aturan dan batasan yang terakhir ini memang harus dicantumkan. Hal ini disebabkan bahwa Constitutional Complain merupakan langkah terakhir dari adanya beberapa proses yang telah dilalui sebelumnya. Selain itu, ini juga bisa dijadikan sebagai sebuah kontrol normatif dalam menciptakan sebuah peraturan


Daftar Pustaka

Fadjar, Abdul Mukthie. 2006. Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press.
Hoesein, Zainal Arifin. 2013. Judicial Review Di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mahfud MD, MOH. 2010. Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 


*Makalah ini disampaikan dalam Eliminasi Debat Kontitusi Mahasiswa Nasional Antar Perguruan Tinggi tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 24-26 Mei 2015.

Efektivitas Pidana Penjara Dan Remisi Bagi Koruptor

12.06 0
Efektivitas Pidana Penjara Dan Remisi Bagi Koruptor
Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri (Julius Hisna)



BAB I
Pendahuluan

A.    Pendahuluan
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas di masyarakat, perkembangannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara. Kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan juga semakin sistematis dengan lingkup yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor utama penghambat keberhasilan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Ketidakberhasilan pemerintah dalam memberantas korupsi juga menimbulkan citra buruk Pemerintah di mata masyarakat yang tercerrmin dalam bentuk ketidak percayaan dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Menyadari hal tersebut, lahirlah UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Konsideran UU tersebut menjelaskan bahwa praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dan pihak lain. Perbaikan di bidang legislasi juga diikuti dengan diberlakukannya UU No. 31 tahun 1999 sebagai penyempurnaan atas UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK). Konsideran UU tersebut secara tegas menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nsional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Pada tahun 2001, UU No. 31 Tahun 1999 disempurnakan dan diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 dan pada tahun 2002 diperbaiki dengan UU NO. 30 Tahun 2002. UU inilah yang menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disingkat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Walaupun kemudian usaha telah dilakukan baik dengan memperbaiki Peraturan Perundang-Undangan maupun dengan memperbaiki sistem yang ada, pembahasan mengenai bandit negara alias koruptor seakan tidak ada habisnya. Hal ini sejalan dengan perlakuan yang sangat istimewa didapatkan sang koruptor dari negara. Koruptor memang telah mendapat tempat yang senyaman-nyamannya di republik ini. Selain masa hukuman yang harus dijalankan tidak lama dan bahkan ada putusan bebas, koruptor juga acapkali mendapat berbagai fasilitas pengurangan hukuman atau remisi.
Wacana terbaru terkuak dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, akan memberikan remisi kepada koruptor. Menurut politisi PDI Perjuanan itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang menjadi dasar para terpidana kasus korupsi bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Perlakuan sangat istimewa terhadap koruptor juga menjadi jawaban mengapa hingga kini korupsi sangat sulit dimusnakan di bumi pertiwi ini, padahal memberantas korupsi adalah salah satu agenda reformasi yang harus segera dituntaskan. Alhasil, bukannya mengurangi jumlah koruptor, melainkan bakal menambah sebanyak-banyaknya koruptor baru.
Memang bukan rahasia lagi, tidak terlalu sulit seseorang untuk menjadi kaya raya secara instan, tanpa kerja keras dan tanpa proses panjang. Seseorang hanya dengan menjadi koruptor, kekayaan hingga turun-temurun akan menghinggapinya. Bagaimana dengan hukumannya? Ternyata, dalam menjalani hukuman seorang koruptor tidak terlalu pusing memikirkannya, sebab ada berbagai fasilitas mewah bak hotel berbintang di dalam sel dan jaminan pengurangan hukuman menantinya. Inilah yang membuat tidak habis-habisnya dan semakin suburnya korupsi di negeri ini.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas setidaknya ada 3 hal yang dapat dijadikan sebagai rumusan masalah, yaitu:
1.             Bagaimanakah bahaya korupsi dan perkembangannya serta pembernatasannya di Indonesia ?
2.             Bagaimanakah efektivitas pidana yang selama ini diterapkan kepada para koruptor?
3.             Bagaimana pandangan para ahli hukum terhadap remisi koruptor ?, dan bagaimanakah penyikapan kita terhadap remisi tersebut ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Korupsi dan Perkembangan Dari Waktu ke Waktu
Korupsi adalah tindakan (siapa saja) yang mengambil sumber daya (dalam bentuk uang atau meteri lainnya) yang menjadi hak publik. Dampak buruk yang bisa ditimbulkan oleh perbuatan korupsi sangat besar. Dampak negatif dari korupsi diantaranya adalah mengabaikan penegakan hak politik masyarakat, mengabaikan penegakan hak ekonomi masyarakat dan hilangnya masyarakat memperoleh pelayanan sosial.
Tindak pidana korupsi merupakan fenomena hukum yang sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis serta lingkupnya yang mamasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Di tengah upaya pembanguna nasional di berbgai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugina negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan mebawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistemastis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkah telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan dengan cara biasa, tetapi dituntut cara-cara luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu perlu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa (Asmawi, 2010:98-99).
Realitas masyarakat kita, korupsi telah mengotori dan membelenggu hampir seluruh institusi penegakkan hukum. Mereka yang seharusnya menjadi garda depan untuk penjatuhan pidana yang keras terhadap koruptor malah menjadi pihak yang paling tercamar, bergelepotan dengan korupsi. Apabila keadaan yang telah berkembang semacam ini, tak pelak, bahwa penjatuhan pidana yang keras dan di laksanakan tanpa pandang bulu merupakan tuntutan yang tidak bisa di tawar-tawar lagi, dengan prioritasnya adalah penegak hukum. Dengan mengkaji kondisi aktual masyarakat dalam hubungannya dengan tindak pidana yang di nilai paling mengancam, kita akan lebih mudah memahami bagaimana suatu bangsa atau negara memperlakukan para pelaku tindak pidana atas kejahatan yang di anggap paling merugikan masyarakatnya itu (Nitibaskara, 2007:12).
Sementara itu, berbeda yang berlaku di jepang, di negeri tirai bambu, perlakuan terhadap pelaku tindak pidana di lihat dari berat ringannya unsur keberbahayaan (dangerousnes) yang di kandung kejahatan yang di lakukan. Menurut Edward J Epstein dan Simon Hing yan Wong, ada dua konsep keberbahayaan di dalam criminal justice syestem di china. Pertama, dangerousnes to society (she Hui Weihaixing) yang di pandang sebagai a fundamental charactic of crime. Korupsi tergolong ke dalam konsep ini, dan oleh karenanya para pelakunya pantas di kenai sanksi yang berat, termasuk hukuman mati. Kedua Individual dangerousnes (Renshen Weixianxing), yakni kejahatan-kejahatan yang di lakukan oleh pribadi-pribadi yang berwatak anti sosial. Kedua konsep ini is applied in sentencing , remission, parole, and the methods employed to reform convicted persons (Nitibaskara, 2007: 14).
Adanya diskriminasi dapat di jadikan pertanda bahwa telah terjadi judicial corruption. Kita terpaksa hanya mampu membaca indikator, karena untuk mengungkapkan korupsi di dunia peradilan sangat sulit. Padahal, seperti  menurut Garland tersebut, peradilan adalah bagiann yang perlu di reformasi terlebih dahulu sebelum kita melakukan reformasi penerapan sanksi pidana (Nitibaskara, 2007: 18).
Dalam satu segi kita harus mengakui, bahwa buruknya instrumen-instrumen penegakkan hukum adalah merupakan produk masyarakat. Kenyataan ini memaksa kita, bahwa apabila hendak melakukan reformasi terhadap terpidana tindak pidana korupsi, yang juga harus kitai kikis adalah budaya korup. Untuk mengatasi hal ini, salah satu caranya adalah memberi gelombang kejut yang berupa hukuman yang keras kepada setiap pelaku korupsi, agar hukuman ini tidak seperti contoh pada awal tulisan ini, maka segala diskriminasi dalam penegakkan hukum tindak pidana korupsi harus di singkirkan. Nabi Muhammad SAW mengajarkan, andaikata putrinya sendiri yang kedapatan mencuri harus di potong tangannya. Jadi, Kuncinya reformasi ini adalah dua; hukuman keras yang segera di laksanakan dan tanpa diskriminasi (Nitibaskara, 2007: 18).
Ada pameo yang menyatakan, bahwa berbuat kasihan terhadap penjahat, mencelakakan rakyat (mercy to the criminal, cruelty to the people), atau memaafkan yang buruk, melukai yang baik (pardoning the bad is injuring the good). Demikian pula halnya, penghukuman yang timpang dalam pemberantasan korupsi, akan melukai hati rakyat. Ketaatan pada hukum (law abiding) para warga, sangat di tentukan oleh bagaimana hukum tersebut senyatanya di tegakkan (the real law enforcement). Kita ambil contoh warga negara negeri jiran, Malaysia dan Singapura mereka taat terhadap hukum, karena hukum benar-benar di tegakkan untuk semua orang dengan proses penghukuman di jalankan secara lugas (Nitibaskara, 2007: 23).
Di belahan bumi mana pun, senantiasa terdapat kecenderungan pejabat tinggi negara yang tersangkut perkara korupsi sulit di jerat hukum. Terlebih-lebih bila pejabat-pejabat tersebut tengah menduduki posisi-posisi strategis. Berbagai macam power yang di pegangnya akan menjadi batu sandungan serius bagi penegakkan hukum atas dirinya. Untuk menumbuhkan citra hukum di tegakkan, proses hukum formal mungkin di jalankan. Tetapi, berkat berbagai power (terutama politik dan uang) tersebut, hasil akhir proses itu sejak awal sejak awal sudah dapat di ramalkan. Mereka akan bebas dari segala tuntutan. Realitas buram ini juga tak sunyi mewarnai pengadilan kita.
Sangat besar harapan masyarakat, agar para hakim yang tengah menyidangkan kasus-kasus korupsi tidak silau dengan tingginya suatu jabatan yang tengah di duduki terdakwa. Para pengadil itu seyogyanya mempertimbangkan jabatan hanya sebatas pada penggunaan jabatan tersebut sebagai sarana untuk melakukanb kejahatan sebagaimana yang di tuduhkan. Jenis-jenis kekuasaan lain yang tak terkait dengan kasus korupsi yang di sidangkannya, sebaiknya tidak turut menjadi bahan pertimbangan dalam menilai perkara yang tengah di hadapi (Nitibaskara, 2007: 46).
Dakwaan korupsi terhadap petinggi negara memiliki persamaan prinsipil, yakni tindak pidana yang di dakwakan tersebut berkaitan erat dengan jabatan yang di sandang tatkala kejahatan itu di lakukan. Jabatan (okupasi), yang di dalamnya mengandung sejumlah power and authority(kekuasaan dan kewenangan), menjadi instrumen utama di mungkinkannya kejahatan yang di tuduhkan itu dapat di laksanakan pelaku. Karena, hampir senantiasa bertalian dengan jabatan,  maka tindak pidana korupsi sering pula di kelompokkan sebagai occupational crime (kejahatan jabatan), yakni kejahatan yang terlaksananya mensyaratkan adanya suatu jabatan atau jenis pekerjaan terrtentu yang di lindungi undang-undang (Nitibaskara, 2007: 47).
Dominannya unsur kejahatan dalam tindak pidana ini, menyebabkan pelaku tindak pidana korupsi tergolong sulit di lacak secara yuridis di bandingkan dengan rata-rata pelakutindak pidana lain, karena ia memiliki kedudukan yang di topang oleh berbagai ketentuan yang memungkinkan di jalankannya kekuasaan diskresional. Dengan kekuasaan itu, korupsi yang di lakukan dapat di bungkus dengan kebijakan (policy) yang sah, sehingga dari segi hukum dapat di nilai sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi jabatan resmi. Itulah antara lain sebabnya, semakin tinggi tempik jabatan yang di duduki, semakin powerfull pelaku delik ini. Ia mempunyai kegiatan (toughness) tersendiri yang tidak dipunyai prang lain dalam menghadapi setiap jerat hukum pidana yang mungkin sewaktu-waktu mengancam dirinya. Jaringannya luas, struktur birokasi yang di dudukinya kokoh, dan fasilitas yang berupa berbagai kemudahan (termasuk akses pada uang) lumayan banyak. Kesemuanya itu memungkinkan ia dapat bertahan pada posisinya sekalipun berbagai macam berbagai tuduhan tindak pidana menerpanya. Barangkali tepat istilah Ezzat E Fattah(1997), menamakan mereka sebagai penjahat-penjahat berkekuasaan dan penjahat-penjahat yang memegang kekuasaan (powerfull criminals and criminals in power) (Nitibaskara, 2007: 48).

B.     Evektivitas Pidana Penjara Bagi Koruptor
Berdasarkan pertimbangan kondisi aktual di negara kita, perbuatan koruptor itu sudah mengancam national security. Karena itu, tak ada yang lain yang lebih tepat untuk memperlakukan mereka kecuali punitive strategeis (strategi-strategi penghukuman), salah satunya melalui pidana penjara yang lama (long term imprisonment) atau melalui pidana mati dan menyegerakan eksekusinya (Nitibaskara, 2007: 17).
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakkan hukum. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakkan hukum inipun termasuk ke dalam bidang kebijakan social, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang di hadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternative. Dengan demikiaan masalah pengendaliaan atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem social seperti di kemukakan oleh packer di atas, tetapi juga merupakan  masalah kebijakan (the problem of policy) (Arief, 2010: 17).
Ada sementara pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan  atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan “ peninggalan dari kebiadaban kita masa lalu ’’(a vestige of our savage past) yang seharusnya di hindari. Pendapat ini tampaknya di dasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindak perlakuaan atau pengenaan penderitaaan yang kejam. Memang sejarah hikim pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuaan yang oleh ukuran-ukuran sekarang di pandang kejam dan melampui batas. Di kemukakan selanjutnya bahwa gerakan perbaharuan pidana di Eropa Kontinental dan di Inggris terutama justru merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana. Atas dasar pandangan demikiaan pulalah kiranya ada pendapat bahwa teori retributive atau teori pembalasan dalam hal pemidanaan merupakan a relic of barbarism (Arief, 2010: 18).
Pandangan atau alam pikiran untuk menghapuskan pidana dan hukum pidana seperti dikemukakan di atas menurut Roeslan Saleh adalah keliru. Beliau mengemukakan tiga alasan yang cukup panjang mengenai masalah perlunya pidana dan hukum pidana. Adapun inti alasannya adalah sebagai berikut:
1.             Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak di capai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapi tujuan itu boleh menggunakan paksaan.
2.             Ada usaha-usaha perbaikan atau perawataan yan tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelangaran-pelanggaran norma yang telah di lakukannya itu dan tidaklah dapat di biarkan begitu saja
3.             Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat (Arief, 2010: 20).
Secara lebih umum M. Cherif Bassiouni juga menegaskan bahwa kita tidak tahu dan tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan perlakuan (teatmen) apa yang paling efektif untuk mencegah atau memperbaiki atau kitapun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas masalah ini secara pasti. Menurut Bassiouni, kita harus mengetahui sebab-sebab kejahatan dan untuk mengetahui hal ini, kita memerlukan pengetahuan yang lengkap mengenai etiologi tingkah laku manusia (Arief, 2010: 107)..
Sehubungan dengan factor-faktor efektivitas pidana yang di kemukakan di atas, Soerjono Soekanto mengemukakan beberapa factor yang perlu di perhitungkan dalam menentukan efektivitas suatu sanksi. Faktor-faktor yang di kemukakannya antara lain:
1.             Karakteristik atau hakekat dari sanksi itu sendiri;
2.             Persepsi warga masyarakat dalam menanggung resiko;
3.             Jangka waktu penerapan sanksi negative itu;
4.             Karakteristik dari orang yang terkena oleh sanksi;
5.             Peluang-peluang yang memang (seolah-olah) di berikan oleh suatu kebudayaan masyarakat;
6.             Karakteristik dari perilaku yang perlu di kendalikan atau di awasi dengan sanksi negatif itu;
7.             Keinginan masyarakat atau dukungan social terhadap perilaku yang akan di kendalikan (Arief, 2010: 108).
Di samping itu, di kemukakan pula empat hal yang harus di penuhi agar hukum dapat berlaku efektif dalam arti mempunyai dampak positif, yaitu:
1.             Hukum positif  tertulis yang ada harus harus mempunyai taraf sinkronisasi vertical dan horizontal yang selaras.
2.             Para penegak hukum harus mempunyai kepribadian yang baik dan dapat memberikan teladan dalam kepatuhan hokum.
3.             Fasilitas yang mendukung proses penegakan hokum harus memadai; dan
4.             Warga masyarakat harus dididik agar dapat mematuhi hukum.
Dengan demikian jelas tidak mudah menentukan efektivitas  suatu jenis sanksi pidana. Malahan dapat di katakan, penelitian efektivitas pidana penjara tidak banyak mempunyai arti selama belum di ketahui seberapa jauh keempat hal yang di kemukakan Soerjono di atas telah di usahakan atau di penuhi (Arief, 2010: 108).
Dalam tinjauan teori maslahat yang notabene diakomodasi dalam doktrin hukum pidana Islam, Pola pemidanaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas dapat dikualifikasi sebagai domain hukum ta’zir, dan ini juga merupakan konsekuensi logis dan kualafikasi tindak pidana korupsi sebagai kategori tindak pidana ta’zir. Karena karakter fleksibiltasnya, pola pemidanaan kategori hukum pidana ta;zir dapat diubah dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan keadaan sehingga di dalamnya aspek rasionalitas memainkan peran yang sangat penting. Dari sini lah kehadiran maslahat sebagai kerangka acuan merupakan conditio sine qua non (Asmawi, 2010:181).
Pola pemidanaanUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut dapat dipandang telah mengandung aplikasi maslahat berupa jalbul mashalih wa dar’u mafasid karena pemidanaan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan keuangan negara/perekonomian negara demi terwujudnya kesejahteraan hidup rakyat. Lebih dari itu, pola pemidanaan tersebut juga dapat dipandang telah mengakomodasi maslahat, yakni membela kepentingan rakyat banyak denga melindungi harta kekayaan negara dari pengggerogotan para koruptor melalui penetapan sanksi pidana yang adil dan efektif. Hal ini sejalan dengan salah satu komponen maslahat, yakni hifz mal, dimana kepentingan yang dilindungi ialah kepentingan hidup rakyat/negara (maslahah ‘ammah) (Asmawi, 2010:182).
Dalam perspektif hukum pidana Islam, bentuk-bentuk pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dipandang telah mengandung maslahat. Secara teoritis, diakui bahwa penentuan bentuk pidana terhadap suatu macam tindap pidana korupsi (sebagaimana telah diintrodusir UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) telah mempertimbangkan aspek rasionalitas yang antara lain berupa tujuan pemidanaan, efektivitas pidana dan social cists analysis. Dalam hal tujuan pemidanaan, dapat dikatakan bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mempertimbangkan:
  1. Tujuan prevensi, yaitu mencegah dilakukannya tindak pidana.
  2. Tujuan resosialisasi dan rehabilitasi, yakni memaysrakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
  3. Tujuan reformasi sosial, yakni menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat (Asmawi, 2010:182).
Dalam hal efektivitas pidana, pidana penjara dan pidana denda hingga kini masih diterapkan dalam berbagai sistem hukum pidana yang berlaku di segenap penjuru dunia. Hal ini berarti pidana penjara diakui efektivitasnya. Dalam hal social costs analysis, pidana penjara dan pidana denda membawa efek berupa keuntungan sosial yang nota bene relatif mengungguli kerugian sosial yang ditimbulkannya. Hal demikian inilah yang merupakan wujud aplikasi maslahat dalm formulasi bentuk-bentuk pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apalagi  mengingat sanksi pidana bagi tindak pidana korupsi masuk domain hukum ta’zir, yang notabene bersifat dinamis, relatif, dan fleksibel. Dalam kaitan ini, pemidanaan harus datang dari institusi negara yang berwenang secara hukum (Asmawi, 2010:183).

C.    Remisi Untuk Koruptor
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 32 tahun 1999, yang kemudian disempurnakan dengan PP Nomor 99 Tahun 2012 menyebutkan bahwa yang disebut dengan remisi adalah “pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”. Dalam Pasal 34A PP terbaru tersebut dinyatakan juga tentang remisi bagi seorang koruptor, yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a.    bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b.    telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi;
PP Nomor 99 Tahun 2012 telah mengatur, narapidana kasus korupsi, terorisme dan narkotika tidak bisa mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat, sehingga para koruptor yang divonis setelah tahun 2012 pun tak berhak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Remisi hanya dapat diberikan kepada justice collaborator, itu pun masih dengan syarat-syarat tertentu. Dasar aturan tersebut tentu saja merupakan upaya besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), untuk memberikan efek jera kepada koruptor. Akan tetapi, kini upaya memberantas koruptor pun dikhawatirkan akan terbelenggu dengan kebijakan pembantu presiden Jokowi. Wacana terbaru terkuak dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang akan memberikan remisi kepada koruptor. Menurut politisi PDI Perjuangan itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang menjadi dasar para terpidana kasus korupsi bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Wacana pemberian remisi bagi koruptor ini menyebabkan banyak pro dan kontra di masyararakat. Setidaknya, bagi pihak yang setuju (pro) terhadap wacana ini memberikan beberapa alasan mengapa koruptor boleh diberikan remisi. Alasaan tersebut seperti beberapa yang kami kutip di media online diantaranya adalah; Pertama, merevisi PP merupakan langkah untuk mengembalikan wewenang Kementerian Hukum dan HAM dalam mengatur dan membina para tahanan untuk menjadi lebih baik. Remisi merupakan hak dari warga negara dan tetap diberikan dengan memperketat persyaratan tapi tidak menutup untuk mendapatkan remisi. Ketika dia menenuhi syarat dia berhak diberikan remisi. Konteks pembinaan yang dilakukan oleh Menkumham adalah dengan kewajiban yang selama ini tertuang dalam PP 99 dan pemberian remisi. Selama ini dalam perkara vonis, Kemenkumham dan Aparat Penegak Hukum (APH) kerap berbeda pendapat dan memiliki standar berbeda dalam hal vonis.
Kedua, pemberian remisi ini menjadi salah satu cara dari Kemenkumham untuk bisa memberikan treatment pada terpidana khususnya korupsi untuk bisa lebih baik lagi. Remisi dinilai  bukan sembarang obral, tetapi lewat pemberian remisi untuk bisa memotivasi terpidana agar tak terjerembab dalam lubang kesalahan yang sama. Apalagi, remisi memang berhak diberikan kepada terpidana ketika ia memang kooperatif dalam proses peradilan. Dalam konteks kasus korupsi, ketika terpidana sudah memberikan denda kerugian negara, maka semestinya koruptor tersebut bisa diberikan kesempatan untuk memulai hidup lebih baik lagi.
            Sedangkan banyak pihak yang tidak setuju dengan adanya pemberian remisi ini memberikan beberapa alasan. Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah bahwa sebagai seorang penjahat kejahatan besar seorang koruptor tidak perlu untuk mendapatkan sebuah keringanan. Kemudian alasan yang selanjutnya adalah pemberian remisi tersebut akan menciderai rasa keadilan dan merupakan kemudnduran terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Kami memandang bahwa seorang koruptor tidak seyogyanya bisa mendapatkan remisi, kecuali bagi justice collaborator. Alasan yang dapat kami berikan adalah
1.        Berdasarkan pertimbangan kondisi aktual di negara kita, perbuatan koruptor itu sudah mengancam national security. Karena itu, tak ada yang lain yang lebih tepat untuk memperlakukan mereka kecuali punitive strategeis (strategi-strategi penghukuman), salah satunya melalui pidana penjara yang lama (long term imprisonment) atau melalui pidana mati dan menyegerakan eksekusinya. Sehingga adanya remisi bagi koruptor haruslah ditolak.
2.        Realitas masyarakat kita, korupsi telah mengotori dan membelenggu hampir seluruh institusi penegakkan hukum. Mereka yang seharusnya menjadi garda depan untuk penjatuhan pidana yang keras terhadap koruptor malah menjadi pihak yang paling tercamar, bergelepotan dengan korupsi. Apabila keadaan yang telah berkembang semacam ini, tak pelak, bahwa penjatuhan pidana yang keras dan di laksanakan tanpa pandang bulu merupakan tuntutan yang tidak bisa di tawar-tawar lagi, dengan prioritasnya adalah penegak hukum. Dengan mengkaji kondisi aktual masyarakat dalam hubungannya dengan tindak pidana yang di nilai paling mengancam, kita akan lebih mudah memahami bagaimana suatu bangsa atau negara memperlakukan para pelaku tindak pidana atas kejahatan yang di anggap paling merugikan masyarakatnya itu
3.        Ada pameo yang menyatakan, bahwa berbuat kasihan terhadap penjahat, mencelakakan rakyat (mercy to the criminal, cruelty to the people), atau memaafkan yang buruk, melukai yang baik (pardoning the bad is injuring the good). Demikian pula halnya, penghukuman yang timpang dalam pemberantasan korupsi, akan melukai hati rakyat. Ketaatan pada hukum (law abiding) para warga, sangat di tentukan oleh bagaimana hukum tersebut senyatanya di tegakkan (the real law enforcement).
4.        Terhadap alasan yang mengatakan bahwa pidana penjara yang lama tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi koruptor sangatlah keliru. Pemberian pidana yang berat kepada para koruptor sebenarnya telah sesuai dengan efektivitas pidana penjara yang telah mencakup hal-hal seperti karakteristik atau hakekat dari sanksi itu sendiri, Persepsi warga masyarakat dalam menanggung resiko, Jangka waktu penerapan sanksi negative itu, karakteristik dari orang yang terkena oleh sanksi dan keinginan masyarakat atau dukungan social terhadap perilaku yang akan di kendalikan
5.        Dalam perspektif hukum pidana Islam, bentuk-bentuk pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dipandang telah mengandung maslahat. Secara teoritis, diakui bahwa penentuan bentuk pidana terhadap suatu macam tindap pidana korupsi (sebagaimana telah diintrodusir UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) telah mempertimbangkan aspek rasionalitas yang antara lain berupa tujuan pemidanaan, efektivitas pidana dan social cists analysis. Dalam hal tujuan pemidanaan, dapat dikatakan bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mempertimbangkan tujuan prevensi, tujuan resosialisasi dan rehabilitasi, serta tujuan reformasi sosial, yakni menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
6.        Pemberian remisi bukan merupakan sebuah kewajiban dari Menkum HAM. Apabila kita mengacu terhadap dasar hukum remisi sebagaimana Keppres No 174 Tahun 1999  tentang Remisi, di dalam ketentuan tersebut tidak ada pernyataan wajib memberikan remisi terhadap narapidana. Akan tetapi, remisi tersebut akan diberikan Menkum HAM apabila narapidana berkelakuan baik selama menjalani pidana.
7.        Di dalam Keppres No 174 pasal 3 ayat 1 huruf a dinyatakan bahwa  narapidana hanya diberi remisi apabila yang bersangkutan bisa berbuat baik kepada negara, serta melakukan perbuatan yang bermanfaat untuk kemanusiaan. Sedangkan perbuatan korupsi tidak hanya merugikan negara tetapi juga merampas, mencuri, merampok dan menggerogoti keuangan negara hingga bisa berakibat buruk terhadap penyelenggaraan negara. Jadi tidak pantas apabila perampok uang negara dikatakan berbuat baik kepada negara, lalu diberikan remisi untuk cepat atau lambat mereka akan bebas, serta menikmati kehidupan dengan uang hasil rampasan dari negara. Tidak hanya itu, perampok uang negara yang dinamakan koruptor itu juga bisa menyengsarakan kehidupan berbangsa dan bernegara, juga langsung dirasakan rakyat.
Melihat alasan-alasan diatas yang kami kemukakan maka setidaknya remisi terhadap para Koruptor tidak perlu untuk tetap diberikan. Jika remisi ini tetap diberikan maka akan bertentangan dengan upaya pemerintah selama ini untuk memberantas korupsi.  Remisi ini akan mengendorkan semangat para penegak hukum yang selama ini sudah bersusah payah dalam menangkap para koruptor. Selain itu, remisi juga akan menyakiti rakyat Indonesia karena ketimpangan dalam penegakan keadilan terhadap para penjahat kelas kakap.


BAB III
PENUTUP


Dari pemaparan diatas setidaknnya bisa disimpulkan beberapa hal yang juga menjadi rekomendasi:
1.                  Ada pameo yang menyatakan, bahwa berbuat kasihan terhadap penjahat, mencelakakan rakyat (mercy to the criminal, cruelty to the people), atau memaafkan yang buruk, melukai yang baik (pardoning the bad is injuring the good). Demikian pula halnya, penghukuman yang timpang dalam pemberantasan korupsi, akan melukai hati rakyat.
2.                  Dalam tinjauan teori maslahat yang notabene diakomodasi dalam doktrin hukum pidana Islam, Pola pemidanaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas dapat dikualifikasi sebagai domain hukum ta’zir, dan ini juga merupakan konsekuensi logis dan kualafikasi tindak pidana korupsi sebagai kategori tindak pidana ta’zir. Karena karakter fleksibiltasnya, pola pemidanaan kategori hukum pidana ta;zir dapat diubah dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan keadaan sehingga di dalamnya aspek rasionalitas memainkan peran yang sangat penting. Dari sini lah kehadiran maslahat sebagai kerangka acuan merupakan conditio sine qua non.
3.                  Dalam perspektif hukum pidana Islam, bentuk-bentuk pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dipandang telah mengandung maslahat. Secara teoritis, diakui bahwa penentuan bentuk pidana terhadap suatu macam tindap pidana korupsi (sebagaimana telah diintrodusir UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) telah mempertimbangkan aspek rasionalitas yang antara lain berupa tujuan pemidanaan, efektivitas pidana dan social cists analysis. Dalam hal tujuan pemidanaan, dapat dikatakan bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mempertimbangkan:
a.         Tujuan prevensi, yaitu mencegah dilakukannya tindak pidana.
b.         Tujuan resosialisasi dan rehabilitasi, yakni memaysrakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
c.         Tujuan reformasi sosial, yakni menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4.                  Pemberian remisi bukan merupakan sebuah kewajiban dari Menkum HAM. Apabila kita mengacu terhadap dasar hukum remisi sebagaimana Keppres No 174 Tahun 1999  tentang Remisi, di dalam ketentuan tersebut tidak ada pernyataan wajib memberikan remisi terhadap narapidana. Akan tetapi, remisi tersebut akan diberikan Menkum HAM apabila narapidana berkelakuan baik selama menjalani pidana.
5.                  Melihat alasan-alasan diatas yang kami kemukakan maka setidaknya remisi terhadap para Koruptor tidak perlu untuk tetap diberikan. Jika remisi ini tetap diberikan maka akan bertentangan dengan upaya pemerintah selama ini untuk memberantas korupsi.  Remisi ini akan mengendorkan semangat para penegak hukum yang selama ini sudah bersusah payah dalam menangkap para koruptor. Selain itu, remisi juga akan menyakiti rakyat Indonesia karena ketimpangan dalam penegakan keadilan terhadap para penjahat kelas kakap.




Daftar Pustaka


Arief, Barda Nawawi. 2010. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Yogyakarta: Genta Publishing.
Arief, Barda Nawawi. 2008. Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.
Asmawi. 2010. Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI.
Nitibaskara, Tb. Ronny Rahman.2007. Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Andryan. 2015. Polemik Remisi Koruptor. (Online). (http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/03/25/154266/polemik-remisi -koruptor/#.VV9HdslGnO8, diakses 15 Mei 2015).
Republika. Dua Alasan Kemenkumham Bersikikuh Remisi Koruptor. (Online). (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/03/24/nlpp86-dua-alasan-kemenkumham-bersikikuh-remisi-koruptor, diakses 15 Mei 2015).
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia. 2012.  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Jakarta: Kemenkumham.
Sekretariat Negara. 1999. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi. Jakarta: Sekretaris Negara.





*Makalah ini disampaikan dalam Debat Kontitusi Mahasiswa Nasional Antar Perguruan Tinggi tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 24-26 Mei 2015.