2015 - Sang Pemburu Badai

Minggu, 13 Desember 2015

Jangan Larut Dalam Kegagalan Wahai Kader NU !

10.46 0
Jangan Larut Dalam Kegagalan Wahai Kader NU !
Sehari kalah dua kali mungkin sangat menyakitkan. Apalagi hal tersebut berhubungan dengan sesuatu yang besar dan berkaitan erat dengan jabatan saya sebagai Ketua PC.

Kekalahan saya yang pertama adalah pada hari rabu jam 2 pagi. Yaitu saat calon Ketua PP IPNU yang kami jagokan bersama dengan rekan-rekan Ketua PC IPNU se-Jawa Tengah harus kalah dari calon lain dengan selisih 7 suara (221 berbanding 214 suara). Padahal dalam tahap pemilihan pertama calon yang kami usung ungguk jauh, bahkan seumpama dalam tahap pertama mendapatkan tambahan 5 suara saja maka akan menang secara aklamasi dan tidak perlu ada tahap kedua.

Kekalahan saya yang kedua adalah pada hari rabu jam 16.00 ketika saya mendapatkan info bahwa cabup-cawabup yang selama ini kami dukung secara organisatoris kalah telak dengan cabup incumbent/petahana (info sementara 67% berbanding 33%). Senior kami yang selalu menjadi inspirasi kami ternyata belum diberikan amanah untuk memipmpin negeri ini. Dan saya yakin dari 33% suara yang didapatkan, 32,5%nya adalah dukungan murni untuk senior saya yang maju menjadi cawabup dan 0,5% adalah dukungan untuk cabup yang dia dampingi.

Kekecewaan tidak boleh berlarut-laru seperti yang sering saya katakan kepada sahabat-sahabat saya ketika dimintai nasehat. Hal itu lah yang memang saya coba lakukan walaupun memang sulit. Selalu ada hikmah dibalik itu. Hikmah yang ada benang merahnya diantara 2 kegagalan tersebut adalah bahwa selama proses menuju klimaksnya ternyata merekatkan ukhuwah nahdliyyah yang belum pernah saya rasakan seerat ini.

Pada kejadian yang pertama saya merasakan bahwa rasa ukhuwah nahdliyyah sesama Ketua dan kader PC sangatlah kuat, utamanya dengan yang sama berasal dari Jawa Tengah. Mungkin pertama kali ukhuwah tersebut terbangun karena adanya persamaan calon yang diusung, tetapi lambat laun perasaan saya lebih merekat karena bersama dengan kader-kader yang bersemboyankan "Belajar, Berjuang & Bertaqwa".

Pada kejadian yang kedua, saya merasakan bahwa pada proses beberapa bulan menuju hari pencoblosan, konsolidasi antara warga nahdliyyin untuk mengsukseskan kader mereka sangatlah intens. Utamanya konsolidasi yang dilakukan bersama dengan Banom NU. Dengan adanya intensitas pertemuan yang sangat tinggi tersebut maka lambat laun saya merasakan bahwa inilah NU sejati yang bersatu untuk mendukung kader terbaiknya berkhidmah kepada jam'iyyah dan tanah kelahirannya. Ukhuwah Nahdliiyah tersebut lah yang terbangun antara kader-kader NU sejati. Dari hal tersebut lah saya memahami dari senior saya bahwa orang-orang NU yang tidak memperjuangkan jam'iyyahnya maka ke-NU-annya pantas dipertanyakan, kalau perlu dijabut sekalian status NU-nya. Dalam Pilkada ini lah maka bisa dilihat mana orang yang berjuang untuk jam'iyyahnya, dan mana orang yang lebih mementingkan nafsu pribadinya. 

Maka dari proses itu lah sebenarnya saya telah dapat menikmati dan merasakan kemenangan, bukan kegagalan seperti yang saya rasakan pada mulanya. Kemenangan itu adalah ukhuwah Nahdliyyah kita lebih terbangun dengan adanya dua kejadian diatas. Ukhuwah tersebut adalah yang selama ini harus kita bangun bersama denganukhuwah islamiyyah, ukhuwah wathoniyyah dan ukhuwah basyariyyah. Allah akan selalu menjaga orang-orang yang berjuang di jalan-Nya. Dan semoga kita tetap termasuk dalam golongan santri Hadrotussyekh Hasyim Asy'ary.

Waallahul musta'aan,

a/n Seluruh kader yang telah memperjuangkan NU

Rabu, 02 Desember 2015

Pemikiran Politik Islam Zaman Pertengahan

05.52 0
Pemikiran Politik Islam Zaman Pertengahan
Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)




Pendahuluan
 
     Di kalangan umat Islam ada pendapat bahwa Islam adalah agama yang komprehenif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Oleh karenanya, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu, atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan dan politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad dan empat Al-Khulafa al-Rasyidin.
    Sayyid Qutb berpendapat, bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan amat lengkap sebagai suatu sistem kehidupan yang tidak saja meliputi tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga sistem politik termasuk bentuk dan ciri-cirinya, sistem masyarakat, sistem ekonomi dan sebagainya.
     Pemikiran politik islam pada zaman pertengahan merupakan bukti akan kayanya khazanah Islam dalam bidang kepemerintahan dan ketatanegaraan. Pendapat dari para juris dan cendikia pada zaman itu menawarkan konsep yang beragam tentang pilihan berpolitik. Ini tentunya menunjukkan bahwa tingkat keilmuan Islam dalam bidang politik pun tidak kalah dengan teori-teori yang selama ini kita kenal dari barat.
     Dan yang mejadi keunggulan lagi adalah, dasar ijtihad para cendikia itu selalu merujuk kepada zaman Nabi dan empat orang khalifah sesudahnya yang hidup beberpa abad sebelum para juris dan cendikia itu menelurkan penemuannya. Sistem perpolitikan yang diajarkan oleh Nabi kemudian dilanjutkan oleh khulafaur rosyidin menjadi bahan untuk mereka olah yang kemudian menghasilkan produk-produk teori dan sistem perpolitikan yang tidak kalah hebatnya dengan teori-tori barat. Ini juga menunjukkan bahwa sistem perpolitikan dalam Islam telah ada sebelum dan telah maju sebelum barat mengenal akan itu.
   Dalam makalah ini kami mencoba menyajikan tentang khazanah pembahasan politik dan ketatanegaraan pada zaman pertengahan. Obyek-obyek pembahasan mengenai proses terbentuknya negara sampai bentuk negara tersebut adalah ruang lingkup yang kami tekankan dalam makalah kami. Selain itu juga banyak pendapat-pendapat  para juris dan cendikia yang kami kutip disini, dengan harapan dapat menjadi perbandingan dan pertimbangan, serta menambah khazanah keilmuan kita.






Pemikiran Politik Islam Zaman Pertengahan
 Pembahasan mengenai pemikiran politik Islam pada zaman pertengahan oleh para cendikiawan-cendikiawan muslim setidaknya dapat dirumuskan menjadi sembilan pokok pembahasan, yaitu; Proses terbentuknya negara, Unsur-unsur dan sendi-sendi negara, Eksistensi lembaga pemerintahan, Pengangkatan kepala negara, Syarat-syarat kepala negara, Tugas dan tujuan pemerintahan, Pemberhentian kepala negara, Sumber kekuasaan, dan Bentuk pemerintahan. Dan diantara cendikiawan-cendikiawan muslim yang ikut meramaikan pemikiran tentang politik Islam (siyasah) pada abad pertengahan adalah al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Imamul Haramain al-Juwaini, al-Baghdadi dann Ibnu Hazm.

  1. Proses Terbentuknya Negara
Tidak semua cendikiawan pada masa pertengahan yang memikir tentang proses terbentuknya Negara. Diantara yang ikut melakukan pembahasan tentang teori terbentuknya suatu Negara adalah al-Mawardi, al-Ghazali dan Ibnu khaldun.
a.       Al-Mawardi : menurutnya manusia itu adalah mahluk sosial, tidak mungkin seseorang mampu mecukupi hajat hidupnya sendirian, kecuali berhubungan dengan yang lain. Al-Mawardi melihat sisi urgensi perlunya manusia berkumpul dan bekerjasama dari sisi penciptaan manusia oleh Allah Swt. Manusia adalah mahluk lemah dan paling banyak kebutuhannya. Untuk itu perlu memerlukan kerjasama. Usaha manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya lahir dan batin yang memerlukan bantuan orang lain adalah bukti kelemahannya. Meski begitu, Allah tidak membiarkan posisi manusia yang lemah itu. Dia mengaruniainya dengan sesuatu yang dapat membimbingnya untuk memperoleh kebahagiaan, yaitu akal. Akal berperan menunjukkan jalan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ditambahkan oleh al-Mawardi bahwa perbedaan (kemampuan fisik, otak, pengetahuan, keahlian, bakat dan sebagainya) menjadi faktor pendorong tolong menolong dan kerjasama diantara manusia.[1]
b.      Al-Ghazali : menurutnya manusia itu diciptakan oleh Allah tidak bisa hidup seorang diri, ia butuh berkumpul bersama yang lain, mahluk jenisnya itu. Dan urgensi mengapa manusia suka berkumpul karena didorong oleh dua sebab. Pertama, kebutuhan untuk mempertahankan keturunan (reproduksi). Kedua, untuk mengadakan kerjasama atau tolong-menolong (ta’awun) dalam rangka memperoleh makanan dan mempertahankan hidup, pakaian dan tempat tinggal untuk melindungi dari panas dan dingin, dan melindungi harta dan keluarga dan harta dari segala macam gangguan dan pendidikan anak.[2]
c.       Ibnu Khaldun : baginya organisasi kemasyarakatan bagi umat manusia adalah suatu keharusan. Hal ini telah dinyatakan oleh para filosof bahwa manusia itu menurut tabiatnya adalah  mahluk politik atau mahluk sosial. Organisasi kemasyarakatan itu, menurut para filosof, disebut kota, al-madina (Arab), polis (latin). Sedangkan urgensi perlunya manusia berkumpul dan bekerjasama menurut Ibnu Khaldun adalah karena kemampuan manusia yang terbatas, memaksanya untuk bekerjasama dengan orang lain. Karena itu, organisasi kemasyarakatan adalah adalah suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi mereka tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagai khalifahnya untuk memakmurkan dunia ini. Kemampuan berfikir dan keterampilan tangan akan menimbulkan perbedaan pengetahuan, keahlian dan bakat tangan diantara mereka. Karena itu mereka harus tolong menolong. Dan untuk mewujudkannya memerlukan organisasi kemasyarakatan bagi mereka, yang oleh Ibnu Khaldun disebut umran (peradaban). Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara para anggota masyarakat. Kehadiran raja sebagai penengah, pemisah sekaligus hakim itu merupakan suatu keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan kata lain, jabatan raja adalah suatu lembaga alami bagi kehidupan bernegara.[3]

  1. Unsur-Unsur dan Sendi-Sendi Negara
Sudah menjadi pendapat  yang universal bahwa unsur-unsur negara yang pokok adalah adanya kumpulan manusia atau masyarakat, yang dalam kajian ilmu politik disebut rakyat, adanya wilayah tertentu dan adanya pemerintahan atau pemimpin. Pendapat inilah yang juga menjadi pegangan para cendikiawan muslim pada abad pertengahan. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sendi-sendi negara itu.
a.       Al-Mawardi : menurutnya, setelah terbentuknya negara, ia harus memiliki beberapa unsur-unsur sebagai sendinya dalam rangka menjamin kerjasama dan ikatan-ikatan sesama anggota masyarakat dalam fungsi kehidupan. Sendi-sendi itu adalah: pertama, berlandaskan agama yang berfungsi untuk mengendalikan diri dari godaan hawa nafsu dan menjadi tiang penyangga bagi kemaslahatan dan keutuhan negara. Kedua, negara harus memiliki raja yang perkasa. Ia berperan mengintegrasikan keinginan-keinginan rakyat yang beragam, membimbing negara merealisir tujuannya, memelihara agama, melindungi keamanan dan sumber rezeki rakyat. Raja adalah khalifah atau imam. Ketiga, keadilan yang menyeluruh. Terwujudnya keadilan akan menciptakan persatuan, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negeri, yang akhirnya mengamankan kedudukan penguasa. Keadilan harus dimulai dari diri sendiri yang tercermin pada melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan, kemudian berlaku adil terhadap orang lain yang mencakup berlaku adil terhadap bawahan, berlaku adil terhadap atasan dan berlaku adil terhadap sesama.  Keempat, keamanan negara yang merupakan dari keadilan. Dan aniaya adalah produk dari ketidakadilan. Kelima, wilayah yang memiliki tanah subur. Keenam, harapan yang optimis.[4]
b.      Al-Ghazali : dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup rakyatnya, negara memerlukan sejumlah unsur yang menjamin tegaknya sebuah negara, yaitu: pertanian, penggembalaan, perburuan, pertambangan, pemintalan, pembangunan dan politik (siyasah). Politik disini adalah yang berhungan dengan pengelolaan negara, pengaturan kerjasama antar warga negara untuk menjamin kepentingan bersama, menyelesaikan sengketa antara mereka dan melindungi ancaman dan bahaya yang datang dari luar. Dalam bidang politik ini memerlukan, pertama ahli pengukur tanah, kedua militer untuk memelihara keamanan dan ketertiban negara, ketiga kehakiman untuk menyelesaikan perselisihan dan pertikaian antara warga negara, dan keempat adalah hukum, yaitu undang-undang yang memelihara moral masyarakat yang harus mereka patuhi agar tidak terjadi perselisihan dan pelanggaran hak, yaitu undang-undang Tuhan di bidang muamalah. Untuk mengatur itu semua dibutuhkan seorang raja atau kepala negara yang bertugas mengelola segala urusan rakyat dan negara.[5]

  1. Eksistensi Lembaga Pemerintahan
Pemerintahan atau disebut juga dengan Imamah atau Khalifah adalah kepemimpinan umum bagi umat Islam dalam urusan agama dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Nabi SAW. Dan pendapat para cendikiawan muslim abad pertengahan mengenai fungsi keberadaan lembaga pemerintahan dan dasar otoritas mendirikannya adalah;
a.       Al-Mawardi : menurutnya Imamah dijabat oleh khalifah atau pemimpin (al-rais), atau raja (al-mulk), atau penguasa (al-sulthan), atau kepala negara (qaid al-daulat) yang kepadanya diberikan label agama. Inilah yang tampak dalam pendahuluan kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyyat[6]
الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا، وعقدها لمن يقوم بها في الأمة
Yang maksudnya adalah bahawa sesungguhnya Allah menjadikan bagi umat seorang pemimpin untuk menggantikan fungsi Nabi (al-nubuwwat) untuk melindungi agama (Khirasat ad-Din) dan Allah mempercayakan kepadanya memegang kekuasaan memegang kekuasaan politik (Siyasat Al-Dunya)  untuk mengelola urusan agama yang disyariatkan dan mengatur terwujudnya kemaslahatan ummat.
Sedangkan teori tentang kontrak (‘ahd) yang membawa kepada terbentuknya lembaga Imamah adalah bahwa Imamah itu dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Dan dasar pembentukan bagi umat, menurut al-Mawardy adalah wajib secara ijmak walaupun ada perbedaan tentang dasar kewajiban itu sendiri apakah berdasarkan akal atau berdasarkan hukum agama (bi al-syara’). Pendapat pertama mengatakan bahwa kewajiban itu berdasarkan akal dengan alasan bahwa manusia itu adalah mahluk sosial. Dalam berhubungan dan pergaulan diantara mereka mungkin terjadi perselisihan, permusuhan dan dan penganiayaan. Karenanya diperlukan seorang pemimpin yang akan mencegah dari hal-hal tersebut. Jadi secara logika manusia membutuhkan pemerintahan. Seandainya tidak ada penguasa niscaya masyarakat menjadi kacau balau dan menjadi perusak. Pendapat kedua mengatakan bahwa kewajiban adanya imamah berdasarkan hukum agama (bi al-syara’) karena eksistensi Imamah adalah untuk melaksanakan syariat. Ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi[7]
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Yang maksudnya adalah bahwa eksistensi syariat itu akan bisa berdiri dan berjalan sebagaimana mestinya apabila memang dijalankan oleh seorang pemimpin dengan pemerintahannya. Maka adanya pemerintahan itu wajib karena untuk menegakkan syariat itu sendiri.
Sedangkan kewajiban penetapan adanya Imamah itu sendiri adalah fardhu kifayah (kaewajiban kolektif) yang mana jika ada di antara anggota masyarakat yang melakukannya maka gugurlah kewajiban itu dari seluruh anggota masyarakat.[8]
b.      Al-Ghazali : senada dengan al-Mawardi, al-Ghazali juga berpendapat bahwa pembentukan khalifah adalah wajib syar’i. Dasarnya ijma’ umat, dan kategori wajibnya fardhu kifayah. Ijma’ umat itu menurut al-Ghazali terdapat dalam historis umat Islam, yaitu terjadinya ijma’ pengangkatan seorang khalifah yang menggantikan Nabi setelah beliau wafat. Konsep ijma’ menurut al-Ghazali adalah konsensus seluruh ulama dan masyarakat awam dalam waktu yang tidak terbatas. Menurutnya, ijma’ umat terhadap perlunya imamah dimaksudkan dalam rangka memelihara syariat dan ketertiban agama, yang demikian tidak terwujud kecuali ada penguasa yang ditaati. Selain alasan tersebut, al-Ghazali juga mengemukakan alasan lain, yaitu menurutnya manusia itu cenderung bermasyrakat agar mereka bisa kerjasama dan tolong menolong itu sering terjadi persaingan dan pertentangan, maka untuk mengatasinya diperlukan pemerintah atau penguasa, untuk melayani kepentingan rakyat. Pemikiran al-Ghazali tersebut mengandung arti bahwa agama dan politik, dunia dan akhirat mempunyai kaitan erat yang tak dapat dipisahkan.
Al-Ghazali merumuskan teori hubungan antara agama dan politik yang sangat dekat dan saling bergantung. Agama adalah dasar dan sultan (kekuasaan politik) adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh dan suatu dasar tnapa penjaga akan hilang.
Dan al-Ghazali mendefinisikan siyasat sebagai usaha memperbaiki kehidupan rakyat dengan membimbing mereka ke jalan yang lurus yang menyelamatkan mereka di dunia dan di akhirat. Politik baginya adalah alat untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.  Pengertian ini lebih luas dari pengertian politik sekarang yang hanya berkaitan dengan urusan sekuler (duniawi).[9]
c.       Ibnu Khaldun : seperti halnya al-Mawardi dan al-Ghazali, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pembentukan pemerintahan (imamah) dan pengangkatan kepala negara (imam) adalah suatu keharusan. Para sahabat nabi dan para tabi’in telah membuat konsensus umum (ijma’) bahwa mendirikan pemerintahan adalah wajib menurut hukum. Jika pembentukan imamah itu atas petunjuk syariat, yakni dengan cara ijma’, maka wajibnya adalah fardhu kifayah. Bagaimana cara pembentukannya itu menjadi wewenang dan tanggung jawab ahlul halli wal ‘aqdi. Bila ia sudah terbentuk, setiap individu wajib menunjukkan ketaatan kepadanya.[10]
d.      Imamul Haramain Al-Juwaini : berbeda dengan al-Mawardi, al-Juwaini berpendapat bahwa kewajiban mendirikan Imamah itu hanya berdasrkan ijma’ saja, bukan atas dasar perintah nash atau wahyu karena Imamah tidak masuk dalam prinsip i’tiqod (keyakinan). Al-Haramain berkesimpulan bahwa tidak ada nash dari Nabi yang menetapkan seseorang untuk menjadi Imam atau Khalifah susudahnya. Jadi pembentukan Imamah berdasarkan ijma’, bukan karena pertimbangan nash. Ijma’ dalam pemikirannya adalah kesepakatan ulama’ seluruh umat tentang hukum yang berkesesuaian dengan kebiasaan. Pendapat ini berbeda dari konsep ijma’ menurut ulama’ pendahulunya, yaitu kesepakatan seluruh umat.
e.       Ibnu Taimiyah : berbeda dengan juris sunni, Ibnu Taimiyah tidak mengemukakan metode ijma’ sebagai alasan wajib mendirikan imamah. Ia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia dan melaksanakan syariat Islam. Menurutnya, kesejahteraan manusia tidak dapat diwujudkan kecuali dengan bermasyarakat.  Untuk mengaturnya tidak bisa tanpa pemimpin.
Menegakkan pemerintahan bagi Ibnu Taimiyah karena jaran agama. Dibentuknya pemerintahan itu dimaksudkan untuk mengabdi kepada Allah. Pengadilan dengan pimpinan kepada Allah dan Rosul-Nya merupakan pendekatan diri kepada Allah. Jadi pemerintahan adalah alat mengabdi kepada Allah, bukan alat untuk mencari kedudukan dan materi. Mendirikan negara menurut Ibnu Taimiyah bukan karena pertimbangan ijma’. Tetapi karena perintah agama untuk mewujudkan kesejehteraan umat, mencegah perbuatan-perbuatan yang merugikan, menegakkan keadilan, menggalang persatuan dalam kehidupan bermasyarakat, dan untuk melaksanakan syariat Islam. Untuk realisasinya memerlukan kekuasaan dan pemimpin.[11]

  1. Pengangkatan Kepala Negara
Pengangkatan kepala negara dengan sistem pemilihan merupakan materi yang menjadi obyek utama pembahasan  para juris sunni pada abad pertengahan.
a.       Al-Baghdadi : beliau mengatakan bahwa tidak ada kesepakatan pendapat tentang pengangkatan cara kepala negara; apakah dengan dengan sistem penunjukan atau pemilihan. Pada umumnya kelompok sunni, termasuk Mu’tzailah dan Khawarij, menetapkan dengan cara pemilihan. Ini dilakukan denga ijtihad yang bertanggung jawab oleh mereka yang memenuhi syarat melakukannya untuk memilih seseorang yang pantas untuk menduduki jabatan itu. Tapi menurutnya boleh juga dengan cara penunjukan. Dan pengangkatan Imam secar wasiat menurutnya juga sah, tapi hukumnya tidak wajib.
Khalifah terpilih menurut al-Baghdadi harus dibaiat oleh para pemilih sebagai bukti terjadinya kontrak diantara kedua belah pihak.
Mengenai jumlah imam yang berkuasa, ia berbeda dengan al-Baqillani. Ia dapat menerima dua Imam secara simultan karena wilayah mereka terbagi; dipisahkan oleh laut seperti daulah Umayah di Spanyol dan daulah Abbasiyah di Baghdad. [12]
b.      Al-Mawardi : menurutnya pemerintahan terbentuk melalui dua kelompok umat: pertama, ahlul ikhtiyar yaitu mereka yang berhak memilih dan kedua, ahlul imamat yaitu orang-orang yang berhak memangku kepala negara.
Ahlul Ikhtiyar adalah mereka yang memenuhi kualifikasi, yaitu: 1) Berlaku adil dengan segala persyaratannya dalam segala tindak dan tingkah laku; 2) Berilmu pengetahuan yang dengannya dapat mengetahui siapa yang berhak menjadi kepala negara menurut syarat-syarat yang ditentukan; 3) Memiliki wawasan dan kearifan.
Dengan kulitas ini mereka dapat menentukan pilihan kepada seorang yang lebih pantas diangkat jadi kepala negara dan mampu mengelola urusan negara dan rakyat.
Dan untuk mengangkat kepala negara, menurut al-Mawardi tersapat dua cara: pertama, cara pemilihan oleh Ahlul Khalli Wal ‘Aqdi, yakni para ulama’, cendikiawan dan pemuka masyarakat atau disebut juga Ahlul Ikhtiyar. Kedua cara penunjukan atau wasiat oleh kepala negara yang sedang berkuasa.
Menurut al-Mawardi, salah satu tugas terpenting dari Ahlul Khalli Wal ‘Aqdi adalah mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap kandidat kepala negara apakah ia telah memenuhi persyaratan. Jika telah memenuhi syarat si calon di minta kesediaannya lalu ditetapkan sebagai kepala negara dengan ijtihad atas dasar ridha dan pemilihan yang diikuti dengan pembaiatan. Dalam pemabaiatan tidak ada paksaan. Rakyat yang telah memabaiat harus mentaaatinya. Tetapi jika ada di antara pemilih yang tidak setuju kepada kepala negara terpilih, karena pengangkatannya harus atas dasar persetujuan dan pemilihan, maka jabatan kepala negara harus diserahkan kepada orang yang dipandang lebih berhak memegang jabatan terhormat itu. Mayoritas ulama’ fiqh dan teologi sepakat bahwa imamah dibentuk atas dasar persetujuan oleh Ahlul Ikhtiyar. Pendapat al-Mawardi menunjukkan bahwa proses pengangkatan kepala negara merupakan persetujuan dua belah pihak; antara pemilih dan yang dipilih sebagai suatu hubungan dua pihak dalam mengdakan perjanjian atas dasar sukarela. Konsekuensinya kedua belah pihak mempunyai kewajiban dan hak secara timbal balik. Dengan demikian, al-Mawardi telah merumuskan teori kontrak sosial dalam ketatanegaraan. Sedangkan dasar pembenaran pengangkatan kepala negara dengan cara penunjukan oleh penguasa yang sedang berkuasa didasarkan kepada ijma’, yaitu kesepakatan umat untuk mengangkat dua khaliafah; Abu Bakar dan Umar.
Menurut al-Mawardi, calon yang akan dipilih menjadi pemimpin harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada saat itu. Dan al-mawardi juga tidak dapat menerima adanya dua orang yang berkuasa dalam satu waktu di dunia Islam.[13]
c.       Imamul Haramain Al-Juwaini : penetapan imamah adalah dengan cara pemilihan. Dan tidak disyaratkan adanya ijma’ dalam pengangkatan kepala negara, tapi hal itu mesti dilakukan walapun belum ada ijma’ umat dan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi atas pengangkatan itu. Jumlah pemilih juga tidak menjadi ukuran sahnya suatu pemilihan. Al-Haramain dapat menerima pengangkatan imam oleh seseorang dari anggota Ahlul Halli Wa ‘Aqdi.
Seperti al-Baghdadi, al-Haramain juga dapat menerima dua orang kepala negara yang berkuasa pada waktu yang sama di dalam wilayah yang luas, berjauhan dan terpisah. Sedangkan dalam dalam wilayah yang sempit, hanya boleh satu imam atas dasar ijma’.[14]

  1. Syarat-Syarat Kepala Negara
Para juris sunni mencita-citakan terwujudnya pelaksanaan syariat Islam, keadilan dan kesejahteraan rakyat melalui kekuasaan politik dan pemerintahan. Hal ini tercermin dalam syarat-syarat kepala negara yang mereka kemukakan.
a.       Al-Baghdadi : orang yang berhak memegang jabatan khlaifah harus memiliki kualitas berikut: 1) Berilmu pengetahuan, minimal untuk mengetahui apakah undang-undang yang dibuat para mujtahid sah menurut hukum agama dan peraturan peraturan lainnya; 2) Bersifat jujur dan saleh; 3) Bertindak adil dalam menjalankan segala tugas pemerintahan dan berkemampuan mengelola administrasi; 4) Berasal dari keturunan Quraisy. Pendapat terakhir ini sesuai dengan hadits bahwa pemimpin itu harus dari orang Qurasy dan mereka belum pernah terbukti gagal melaksanakannya.[15]
b.      Al-Mawardi : seorang khalifah harus memenuhi kualifikasi berikut: 1) Adil dengan segala persyaratannya; 2) berilmu pengetahuan agar ia mampu berijtihad; 3) Sehat pendengaran dan penglihatannya serta lisan; 4) memiliki anggota tubuh yang sempurna; 5) Berwawasan luas untuk mengatur rakyat dan mengelola kemaslahatan umum; 6) Keberanian untuk melindungi rakyat dan menghadapi musuh; 7) Dari keturunan Quraisy.[16]
c.       Imam Al-Haramain Al-Juwaini : syarat seorang kepala negara adalah: 1) Seorang Mujtahid, sehingga ia tidak butuh minta fatwa kepada orang lain dalam beberapa hal; 2) Mampu mengurus kemaslahatan segala sesuatu dan memeliharanya dengan baik; 3) Punya kelebihan dalam mengatur militer dan mempertahankan pertahanan; 4) Memiliki kepentingan  yang luas untuk memeikirkan kepentingan kaum muslimin; 5) Memilikki sifat lemah lembut; 6) Menegakkan hukum bagi pelanggar hukum; 7) Muslim laki-laki yang merdeka.[17]
d.      Al-Ghazali : syarat seorang kepala negara adalah: 1) Laki-laki dewasa (baligh); 2) Berakal sehat; 3) Sehat pendengaran dan penglihatan; 4) Merdeka; 5) Dari suku Quraisy; 6) Punya keekuasaan yang nyata (al-najdat); 7) Memiliki kemampuan (kifayat); 8) Wara’; 9) Berilmu.
Menurut al-Ghazali, wanita, orang buta, anak-anak, orang fasik, orang jahil dan pembeo tidak boleh menjadi seorang kepala negara. Tetapi apabia yang menjadi penguasa adlah seorang yang fasik, maka berlakulah hukum terhadap rakyatnya, sebagaimana tetap berlaku suatu pemerintahan yang diperoleh dengan jalan kudeta.[18]
e.       Ibnu Hazm : syarat-syarat pemegang jabatan imamah adalah: 1) Dari kalangan Quraisy; 2) Baligh; 3) Laki-laki; 4) Muslim; 5) Paling menonjol dalam masyarakatnya, mengetahuai huku-hukum agama, secara keseluruhan takwa kepada Allah, tidak dikenal berbuat fasik. Bahwa disamping seseorang memenuhi syarat-syarat tersebut, maka sangat diutamakan kalau ia ahli di dalam bidang keagamaan tertentu seeperti maslah ibadah, politik dan hukum, untuk dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya sehingga tidak merusak sedikit pun dari hal-hal tersebut, menjauhi dosa-dosa besar, baik dikala sendirian maupun dihadapan umum dan seandainya melakukan dosa-dosa kecil tidak diketahui orang.
Keempat sifat ini tidak disukai ada pada orang yang memegangnya, maka kepemimpinan sah tetapi tidak boleh dipatuhi. Dan mentaati dia selama dia taat kepada Allah adalah wajib, sedangkan menentang dia karena dia tidak mentaati Allah juga wajib.[19]
f.       Ibnu Khaldun : Disamping kepala negara harus dipilih oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, kepala negara juga harus memenuhi lima persyaratan: 1) Berilmu Pengetahuan; 2) Al-Kifayat; 3) Berlaku Adil; 4) Sehat panca Indra; 5) Keturunan Quraisy.[20]

  1. Tugas Dan Tujuan Pemerintahan
       Pembentuakan pemerintahan atau khalifah dalam pandangan para juris sunni wajib berdasarkan hukum agama sebagai pengganti tugas kenabian mengatur kehidupan dan urusan umat baik keduniaan maupun keagamaan dan untuk memelihara agama.
a.       Al-Baghdadi : berpendapat bahwa pemerintah bertujuan melaksanakan undang-undang dan peraturan, melaksanakan hukuman bagi para pelanggar hukum, mengatur militer, mengelola pajak dan mengurus lembaga perkawinan. [21]
b.      Al-Mawardi : lembaga imamah mepunyai tugas dan tujuan umum. Yaitu, sebagai berikut:[22]
1.    Mempertahankan dan memelihara agama menurut prinsip-prinsipnya yang ditetapkan dan apa yang menjadi ijmak oleh salaf (generasi pertama umat islam).
2.    Melaksanakan kepastian hukum diantara pihak-pihak yang bersengketa atau berperkara.  Dan berlakunya keadilan universal antara pihak yang menganiaya dan dianiaya.
3.    Melindungi wilayah Islam dan memelihara kehormatan kehormatan rakyat agar merka aman baik jiwa maupun raga.
4.    Memelihara hak-hak rakyat dan hukum-hukum Tuhan.
5.    Membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh.
6.    Jihad terhadap orang-orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar mereka mengakui eksistensi Islam.
7.    Memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan syara’, nash, dan ijtihad.
8.    Mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif.
9.    Meminta pendapat dan pandangan orang-orang terpercaya.
10.                        Dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah dan kepala negara harus langsung menanganinya dan meneliti keadaan yang sebenarnya.
c.       Al-Ghazali : Tugas dan tujuan lembaga pemerintahan adalah lembaga yang memiliki kekuasaan dan menjadi alat untuk melaksankan syari’at,  mewujudkan kemaslahatan rakyat, menjamin ketertiban urusan dunia dan urusan agama.[23]
d.      Ibnu Taimiyah : tugas dan tujuan utama pemerintahan adalah untuk melaksanakan syari’at islam demi terwujudnya kesejahteraan umat, lahir batin, serta tegakknya keadilan dan amanah dalam masyarakat.[24]
e.       Ibnu Hazm : tujuan yang diharapkan (pada imam) ialah ia dapat membimbing masyarakat dengan sifat yang tidak lemah, keras diu dalam menghadpai kemungkaran, tetapi tidak kasar dan tidak melanggar yang wajib dan selalu waspada dan tidak lengah, berjiwa berani, tidak kikir mempergunakan harta yang menjadi haknya dan tidak berlaku boros tehadap harta yang bukan haknya. Tegasnya, seorang Imam harus bisa menegakkan hukum-hukum al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasul, sehingga dengan demikian segala kebaikan dapat terhimpun pada tingkah lakunya.[25]

  1. Pemberhentian Kepala Negara
       Para juris sunni tidak ada yang membicarakan bagaimana cara dan mekanisme pemberhentian kepala Negara. Mereka hanya membahas kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan terjadinya hal itu.
a.       Al-Baghdadi : menjelaskan bahwa seorang imam yang tanpa cacat dan tindakannya tidak bertentangan dengan syari’at umat wajib mendukung dan mentaatinya. Tapi apabila ia menyimpang dari ketetapan syari’at, masyarakat harus memilih diantara dua tindakan, mengembalikan ia kepada kebaikan atau mencopot dan menberikan jabatannya pada orang lain. [26]
b.      Al-Mawardi  : kepala Negara yang cacat keadilannya, dan sesuatu menimpa fisiknya  sehingga tidak mampu menjalankan roda pemerintahan boleh diberhentikan. Kepala Negara dikatakan cacat keadilannya apabila ia melakukan perbuatan yang salah dan fasiq, keluar dari jalan yang benar, perbuatan dan keyakinannya bercampur dengan hal-hal tercela dan munkar lantaran menurut hawa nafsu. Sedangkan yang dimaksud sesuatu yang menimpa fisiknya adalah  1) Kehilangan panca indra; 2) Kehilangan organ tubuh; 3) Kehilangan kebebasan untuk bertindak karena menjadi tawanan.
Jika kepala Negara yang fasiq kembali bersikap adil, maka ia tidak boleh melaksanakan jabatannya kecuali dengan kontrak sosial yang baru. Artinya, kepala Negara yang fasiq harus disingkirkan dan tidak lagi sah menduduki jabatan itu. Jika kepala Negara berada dalam tawanan maka rakyat harus memilih orang lain yang memiliki kekuatan.[27]
c.       Al-Juwaini : kepala negara yang diangkat melalui pemilihan tidak boleh memberhentikannya kecuali ada suatu peristiwa atau perubahan dalam dirinya yang membolehkan untuk itu. Apabila dia fasiq atau fajir (perbuatan dosa dan tidak berlaku adil), maka pemberhentiannya adlah mungkin. Dikatakan mungkin karena tidak ada dasar hukum(ketetapan) untuk memberhentikannya. Pengunduran diri seorang kepala negara bila ia tidak lagi merasa mampu meikul tanggung jawab kedudukannya, juga adalah mungkin. Pendapat al-Juwaini yang tidak tegas dalam maslah ini , karena hal tersebut sangat tergantung pada hasil ijtihad apakah diberhentikan atau tidak.[28]

  1. Sumber kekuasaan
        Sumber kekuasaan dibagi menjadi beberapa teori, Yaitu sebagai berikut:[29]
a.       Teori ketuhanan.
Menurut teori ini kekuasaan berasal dari tuhan(devine right kings). Penguasa bertahta atas kehendak tuhan sebagai pemberi kekuasaan.
b.      Teori kekuatan.
Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan politik beasal dari kekuatan dalam persaingan kelompok. Negara dibentuk oleh kelompok yang menang, dan kekuatanlah yang membentuk kekuasaan dan pembuat hukum.
c.       Tori kontrak sosial.
Teori kontrak sosial adalah teori yang menerangkan bahwakekuasaan diperoleh melalui perjanjian mesyarakat. Artinya kekuasaan politik bersumber dari rakyat dan legitimasinya berasal dari perjanjian masyarakat.
       Al-Baghdadi, Al-Mawardi lebih condong kepada paham teori kontrak sosial. Artinya,  bagi mereka sumber kekuasaan berasal dari masyarakat. Hal ini karena gagasan mereka tentang proses pembentukan Negara adalah atas dasar kehendak manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik untuk berkumpul disuatu tempat dalam rangka kerja sama dan tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi, tabiat manusia yang demikian merka kaitkan dengan keyakina agama. Sebagai ciptaan dan kehendak tuhan atas manusia.
       Berbeda dengan pandangan Al-Ghazali yang lebih condong pada teori ketuhanan. Dengan mendasarkan pada ayat 59 surat an-Nisa yang memerintahkan orang-orang mu’min taat pada allah, kepada rasulNya dan kepada para pemimpin, dan ayat 26 surat ali imron yang menegaskan bahwa allah memberikan kerajaan(kekuasaan) kepada yang ia kehendaki. Al-Ghazali mendukung adagium yang mengatakan bahwa kepala Negara atau sultan merupakan bayangan allah diatas muka bumiNya. Karena itu rakyat harus wajib mengikuti dan menaatinya, tidak boleh menentangnya. Alur pemikiran ini menurut Muhammad Jalal Syraraf dan Ali Al-Mu’thi Muhammad, mengandung arti bahwa kekuasaan kepala Negara itu muqaddas(suci). System pemerintahan dalam pemikiran Al-Ghazali adalah teokrasi. Tapi walaupun sesorang menjadi sultan atau kepala Negara atas kehendak allah, namun menurut al- ghazali, ia juga harus mendapat  tafwidh (penyerahan kekuasaan) dan tauliyat (pengankatan dari orang lain).
       Pendapat Ibn Taimiyah dapat ditinjau dari dua sudut pandangan. Bila didasarkan pada penolakan terhadap doktrin syi’ah tentang adanya nash penetapan ali sebagai imam sesudah nabi, maka ini berarti ia menerima system pemilikan, dan sumber kekuasaan adalah rakyat. Tapi bila dilihat pada pendapatnya, ”makhluk adalah hamba allah dan para pemimpin adalah wakil-wakil allah atas hamba-hambaNya dan mereka juga merupakan adalah wakil-wakil hamba-hamba allah Allah atas diri mereka sendiri”, dan dukungannya terhadap ungkapan bahwa sultan adalah bayangan allah diatas muka bumiNya , bisa mengandung arti bahwa sumber kekuasaan berasal dari allah.[30]

  1. Bentuk pemerintahan
       Apabila dikaitkan dengan bentuk bentuk pemerintahan yang ada dan yang bberkembang sekarang, pemikiran politik dari beberapa tokoh sunni kasik memiliki kecondongan yang berbeda-beda.
a.       Al-ghozali : lebih condong kepada bentuk pemerintahan monarki. Hal ini didasarkan pada pendapatnya bahwa sesorang yang akan menjadi kepala Negara harus mendapatkan tafwidh dari pemegang kekuasaan, dan inilah yang berlaku saat itu. Pemikir-pemikir lain pun juga dapat digolongan kedalam alur pemikiran al-Ghazali. Penggolongan ini didasarkan pada penolakan mereka terhadap doktrin politik Syiah dan doktrin politik Khawarij yang bebas dan terbuka. Sebab untuk menyebut mereka cenderung kepada bentuk atau macam pemerintahan lain, aristokrasi dan demokrasi misalnya, tidak terlihat indikasi pemikiran mereka yang mengarah kesana.[31]
b.      Ibn Khaldun : corak pemerintahan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.    Al-Mulk Al-Thabi’iy, suatu pemerintahan yang mengikuti hawa nafsu, sewenang-wenag dan monopoli.
2.    Al-Mulk Al-Siyasiy, pemerintahan yang mengendalikan kepada rekayasa akal pikiran dalam mewujudkan kemaslahatan dunia dan menghapuskan kemlaratan.
3.    Khilafah atau Imamah, pemerintahan yang mengikuti ajaran agama dalam mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Karena hal ihwal dunia harus mengikuti ketentuan syara’ untuk kemaslahatan hidup diakhirat.[32]
           





Daftar Putaka

Pulungan, J. Suyuthi. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sjadzali, Munawir. 1990. Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. UI-Press. Jakarta.
Musa, M. Yusuf. 1990. Politik Dan Negara Dalam Islam. Al-Ikhlas. Surabaya.
Al-Mawardi. t.t.  Ahkam Al-Sulthaniya. Dar Al-Fikr. Beirut.
Al-Subky, Tajuddin. 1991. Al-Asybah Wa Al-Nadhair. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Madinah.
Al-Syirazi, Abu Ishaq. 1998. Al-Muhadzab., Darul Fikr. Beirut.


[1] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 219-221
[2] Ibid, hlm. 219
[3] Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, UI-Press, Jakarta, 1990, hlm. 99-101.
[4] J. Suyuthi Pulungan, op,cit., hlm. 226-227
[5] Ibid., hlm. 227.
[6] Al-Mawardi, Ahkam Al-Sulthaniyat, Dar Al-Fikr, Beirut, tt., hlm 1.
[7] Tajuddin Al-Subky, Al-Asybah Wa Al-Nadhair, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Madinah, 1991, hlm. 90.
[8] J. Suyuthi Pulungan, op.cit., hlm. 232.
[9] Ibid., hlm. 236.
[10] Ibid., hlm. 236-239.
[11] Ibid., hlm. 241.
[12] Ibid., hlm. 244.
[13] Ibid., hlm. 245-247.
[14] Ibid., hlm. 249-250.
[15] Ibid., hlm. 254.
[16] Ibid., hlm. 255; Dan M. Yusuf Musa, op.cit., hlm. 59-60.
[17] J. Suyuthi Pulungan, op.cit., hlm. 255; Dan M. Yusuf Musa, op.cit., hlm 62.
[18] Abu Ishaq Al-Syirazi, Al-Muhadzab, Darul Fikr, Beirut, 1998, Juz 3, hlm 343.
[19] M. Yusuf Musa, Politik Dan Negara Dalam Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1990, hlm. 60-61.
[20] J. Suyuthi Pulungan, op.cit., hlm. 258; Dan M. Yusuf Musa, op.cit., hlm 72.
[21] J. Suyuthi Pulungan, op.cit., hlm. 260.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 261.
[25] M. Yusuf Musa, op.cit., hlm. 61-62.
[26] J. Suyuthi Pulungan, op.cit., hlm. 626.
[27] Ibid.
[28] Ibid., hlm. 263.
[29] Ibid., hlm. 264.
[30] Ibid., hlm. 265.
[31] Ibid., hlm. 268.
[32] Ibid., hlm. 270.