November 2015 - Sang Pemburu Badai

Selasa, 10 November 2015

Sejarah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis

09.23 1
Sejarah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis
Oleh Muhammad Najmuddin Huda (Julius Hisna)



Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin merupakan sebuah pesantren yang telah berumur lebih dari setengah abad. Seperti yang dikemukakan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Kiyai Rozi Toha (09 Mei 2015), pesantren ini didirikan oleh kakek beliau yang bernama KH. Danusyiri. KH. Danusyiri sendiri pada mulanya adalah seorang pendatang di dusun Jetis. Beliau adalah putra dari KH. Muhammad Rozi, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Huda Petak yang masih berada di Kecamatan Susukan. Jika dirunut dari silsilah keturunan, KH. Muhammad Rozi merupakan keturunan dari Mbah Mlangi, salah seorang ulama’ yang menjadi tangan kanan Pangeran Diponegoro. Mbah Mlangi yang mempunyai nama asli Kiyai Nur Iman ini dimakamkan di Mlangi, Sleman, Yogyakarta.
Danusyiri kecil dilahirkan di Desa Petak Desa Sidoarjo Kecamatan Susukan. Nama kecil beliau adalah Ahmad Basuni. Ketika berhaji ke Makkah kemudian nama beliau diganti dengan Danusyiri. Danusyiri memulai thalabul ilmi-nya dengan kedua orang tuanya. Dari orang tuanya, Danusyiri kecil belajar berbagai macam-macam ilmu pesantren, seperti nahwu, fiqih, aqidah, tarikh dan lain sebagainya. Setelah kenyang menyerap ilmu dari orang tuanya, maka Danusyiri melanjutkan pencarian ilmunya dengan menjadi santri di Tegal, Grabagan yang diasuh Mbah Kiyai Hisyam. Di pesantren tersebut Danusyiri tinggal selama beberapa tahun. Selain ke Tegal Grabagan, KH. Danusyiri juga pernah mengenyam pendidikan pesantren di Desa Plumbon Kecamatan Suruh, yang diasuh oleh KH. Hasyim.
Setelah menamatkan pendidikan di pesantren KH. Hasyim, kemudian Danusyiri melakukan tuntunan sunnah rasul yaitu dengan mempersunting Nyai Fathimah, putri dari seorang tohoh Masyarakat di Babadan Tengaran. Dari pernikahan tersebut KH. Danusyiri dikaruniai 4 putra dan 4 putri. Karena tuntutan dakwah dan permintaan Lurah Desa Gentan, pada tahun 1943 Danusyiri hijrah dari dusun Petak ke Jetis. Dusun Jetis merupakan salah satu dusun yang masih dalam wilayah kecamatan Susukan yang berjarak + 1,5 kilometer dari Petak.
Kiyai Rozi menambahkan, selain aktif berdakwah KH. Danusyiri juga ikut berjuang melawan penjajahan Belanda, baik pada masa agresi Belanda ke I, masa Pendudukan Jepang dan agresi Belanda ke II. Sewaktu masih berada di Petak, KH. Danusyiri sudah menjadi komandan perang yang memimpin para gerilyawan baik yang terdiri dari unsur santri maupun masyarakat desa. Karena perlawanan yang sangat begitu hebat menyebabkan pasukan Belanda marah dan melakukan pengeboman terhadap Masjid Petak yang pada saat itu dijadikan sebagai markas pejuang kemerdekaan dari kecamatan Susukan dan sekitarnya. Ketika Danusyiri sudah bertempat tinggal, pasukan penjajah juga menjadikan dusun Jetis sebagai obyek serangannya. Hal tersebut menyebabkan KH. Danusyiri beserta keluarga dan para santrinya mengungsi ke desa Karang Kepoh di wilayah kabupaten Boyolali Kota.
Setelah dirasa cukup aman, KH. Danusyiri beserta para keluarga dan santrinya kembali ke dusun Jetis. Kedatangannya ke dusun Jetis untuk kedua kalinya beliau gunakan untuk memulai menata kembali pesantren yang pernah dirintisnya. Pada mulanya Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin hanya lah sebuah surau atau masjid kampung biasa. Tetapi lambat laun semakin banyak santri yang ingin bermukim disitu. Melihat kondisi tersebut maka KH. Danusyiri memulai membangun pesanten yang berada disebelah masjid tersebut. Pesantren yang dibangun pertama kali tersebut juga merupakan sebuah bangunan sederhana yang terbuat dari papan kayu.
Setelah KH. Danusyiri wafat pada tahun 1964, kepemimpinan pondok pesantren kemudian diteruskan oleh salah seorang putranya yang bernama Dzofari atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Muhammad Toha. Nama yang terakhir ini menurut Kiyai Rozi Toha merupakan nama yang beliau dapatkan ketika berhaji ke Makkah. Sebagai salah seorang dari keluarga pesantren, Toha mulai menimba ilmu dari orangtuanya semenjak kecil. Dibawah asuhan kedua orangtuanya, Toha kecil mulai mendapatkan dasar-dasar pendidikan agama Islam. Selain itu Toha kecil juga menyenyam pendidikan di salah satu pesantren di Punduh Kabupaten Magelang. 
Kiyai Rozi Toha menambahkan, setelah menginjak dewasa ayahnya kemudian diambil menjadi menantu oleh seorang kiyai yang masih terhitung pamannya sendiri, yaitu KH. Jufri. KH. Jufri merupakan putra dari KH. Abdul Djalil yang merupakan menantu dari KH. M. Rozi yang juga kakek dari KH. M. Toha. Dari pernikahan tersebut, KH. M. Toha dikaruniai 5 orang putra putri.
Selain menjadi seorang Kiyai, KH. Muhammad Toha juga pernah berprofesi menajadi pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Susukan. Beliau adalah seorang ulama’ yang wawasannya sangat luas dan paham dengan persoalan pemerintahan. Pada masa kepemimpinan beliau inilah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang pada mulanya hanya mempunyai bangunan untuk asrama putra, kemudian juga dibangun untuk asrama putri. Pada mulanya santri putri masih bermukim di rumah KH. Toha, baru kemudian tahun 1986 dibuatkan lah asrama tersendiri yang permanen.
Setelah beliau wafat pada tahun 1982, estafet kepimpinanan pesantren diteruskan oleh dua orang putranya, yaitu KH. Mubarok Toha dan KH. Anis Toha. KH. Mubarok Toha merupakan alumnus Pondok Pesantren Al-Muayyad Solo dan UNU Jakarta. Beliau pernah berprofesi menjadi guru, dan menjadi anggota DPRD Kabupaten Semarang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bersama dengan saudara-saudaranya, KH. Mubarok Toha ikut membesarkan PPP di wilayah Kabupaten Semarang pada masa Orde Baru. Akan tetapi setelah terjadi prahara nasional dengan diturunkannya KH. Abdurrahman Wahid dari posisinya sebagai Presiden, keluarga pesantren ini sepakat untuk uzlah (mengasingkan diri) dari dunia perpolitikan dan kembali konsentrasi ke dunia dakwah dan pendidikan pesantren.
Dibantu dengan saudara-saudaranya, yaitu KH. Anis Toha, K. Huda Toha, K. Rozi Toha dan keponakannya K. Ulin Nuha, KH. Mubarok Toha berusaha untuk mengembangkan lagi pesantrennya agar dapat menjawab tuntutan zaman. Pada masa beliau inilah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pesantren yang pada mulanya hanya mempunyai satu komplek, kemudian karena bertambahnya para santri maka dibangun lagi komplek yang kedua dan ketiga. Komplek kedua Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin atau kemudian yang lebih dikenal dengan istilah PPRT II masih berada satu dusun dengan komplek pertama atau yang kemudian lebih dikenal dengan PPRT I atau PPRT induk. Jarak antara keduanya + 400 meter. PPRT II diasuh oleh KH. Anis Toha, yang merupakan putera kedua dari KH. Toha. Sedangkan komplek yang ketiga atau yang kemudian dikenal dengan PPRT III berada di dusun yang berbeda dengan PPRT I dan II. PPRT III berada di dusun Gumuk yang masih berada dalam wilayah Desa Gentan, yang berjarak + 700 meter dari PPRT Induk. PPRT III diasuh oleh K. Munawari Al-Hafidz, salah satu alumni dari PPRT Induk dan pernah menjadi santri yang langsung berguru kepada KH. M. Toha.
Menurut Kiyai Ulin Nuha (09 Mei 2015), pada mulanya Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin  merupakan pesantren yang mempunyai konsentrasi pada pendalaman kitab kuning. Untuk memenuhi tuntutan zaman, maka kemudian didirikanlah lembaga pendidikan formal berupa Madrasah Ibtida’iyyah (MI) yang berada dibawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama’. Setelah itu juga didirikan Madrasah Diniyah Tingkat Wustho (MDW) dan Madrasah Diniyah Tingkat Ulya (MDU) yang ijazahnya disetarakan dengan SMP untuk tingkat wustho dan SMA untuk tingkat ulya. Madrasah tersebut saat ini dipimpin oleh K. Ulin Nuha. Selain itu, beberapa tahun kemudian juga didirikan Madrasah Diniyah Awaliyah, yang merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang siswanya adalah santri atau masyarkat yang pada waktu paginya menimba ilmu di sekolah formal luar pesantren. 
Seperti yang diungkapkan oleh K. Ulin Nuha, selain dibekali dengan pendidikan keagamaan, santri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin juga diberikan ketrampilan yang lain, seperti komputer, jahit menjahit, tata boga, perikanan, dan yang lainnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan keahlian yang dapat membantu para santri untuk terjun di masyarakat nantinya. Selain itu, pesantren ini juga sering mengadakan pelatihan atau seminar dan kegiatan lainnya yang bekerjasama dengan masyarakat, intansi pemerintah atau organisasi lainnya.
Setelah ditinggal wafat oleh ketiga pengasuhnya, saat ini Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin diasuh oleh K. Rozi Toha dan K. Ulin Nuha sebagai pengasuh pesantren induk, K. Zaid Zuhdi sebagai pengasuh PPRT II dan K. Munawari Al-Hafidz pada PPRT III. Saat ini Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin mempunyai santri putra putri + 250 orang yang terbagi di 3 komplek pondok pesantren. Adapun susunan organisasi Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah sebagai berikut:
Pengasuh                                 : K. M. Muh. Rozi Thoha
  K.  M. Ulin Nuha
                                      K. Munawari Al-Hafidz
  K. M. Zaid Zuhdi                              
Dawan Pertimbangan              : Agus M. Najmuddin Huda (Gus Uud)
                                                   Ustadz Abdurrohman
                                      Ustadz M. Triyono Djablawy
Ketua                                     : M. Ja’farin
Sekertaris                                : M. Taufiq Maulana
                                      Muqtafaiz
Bendahara                               : M. Asyrofi
Seksi-Seksi                              :
Seksi Pendidikan        : Mahfudz Fauzi
  Muhammad Aris
  M. Nur Saifullah Khuzain
Seksi Keamanan          : Ahmad Pujiyanto
                                      M. Agus Munir
                                      Abdul Khamid
 Seksi Penerangan       : M. Nur Huda
  Ali Ma’ruf (Jatim)
 Seksi Kebersihan        : Ahmad Sulthon
  Ahmad Sholihan
  Muqtafaiz
 Seksi Pengairan & Humas      : Mahfudz Fauzi
                                                  Habil Alwi
                                                  Faroqith Raudloh
 Seksi Koperasi                       : Ali Ma’ruf
             Seksi Kesenian & Rebana      :  Lutfil Hakim           


                            

Rangkuman Ngaji Aswaja & Kebangsaan bareng Cak Nun, Gus Yusuf & Kiai Kanjeng

08.46 0
Rangkuman Ngaji Aswaja & Kebangsaan bareng Cak Nun, Gus Yusuf & Kiai Kanjeng

(Dalam Pengajian Akbar Haflah Khotmil Qur,an dan Khaul Muassis Pondok Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis, Sabtu, 07 November 2015 M / 26 Muharram 1437 H)

Sumber : Ngaji Bareng, Kenduri Cinta 
 



Hujan sejak siang cukup merata dari Yogyakarta hingga Kabupaten Semarang. Perjalanan Cak Nun & Kiai Kanjeng menuju Dusun Jetis Desa Gentan Susukan Kab Semarang cukup lancar. Lokasi Maiyahan malam ini yang sejak sore diguyur hujan deras sudah reda saat Cak Nun dan para narasumber lain memasuki panggung dan diiringi shalawat Badar. Inilah Maiyahan “Ngaji Bareng Cak Nun, Gus Yusuf & Kiai Kanjen” dalam rangka Haflah Khotmil Qur'an dan Haul Pondok Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.

Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis merupakan lembaga pendidikan pesantren salaf. Pesantren ini menyelenggarakan pendidikan mulai dari tingkat RA/TK, MI dan juga madrasah diniyah. Madrasah diniyah ada 3 tingkatan, yaitu Awaliyah, Wustho & Ulya. Tingkatan Wustho dan Ulya merupakan persamaan dari tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Jumlah santri di pesantren ini kurang lebih 250 santri baik putra maupun putri yang tersebar di 3 komplek pesantren. Dalam menyelenggarakan pendidikan tersebut, pesantren berupaya keras untuk menjalankan asas kemandirian, tanpa meminta bantuan kepada pemerintah atau pihak lain.

Sebagai kekuatan budaya santri, Pondok Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis juga menjalankan tradisi santri sebagaimana yang lazim di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama’ (NU), seperti kegiatan khaul, akhirussanah, khotmil qur’an dan lain-lain. Malam ini khususnya acara dilangsungkan dalam rangka Khotmil Qur’an dan Khaul Muasssis pesanten.
Melalui ngaji bareng Cak Nun, Gus Yusuf dan Kiai Kanjeng, pesantren berharap agar dapat memperkuat pemahaman akan khotmil qur’an dalam perspeltif yang lebih luas.  Selain itu, diharapkan dapat membentengi para santri, civitas akademis pesantren, dan para jama’ah yang hadir dengan ilmu, pemahaman, dan sikap yang tepat dalam menghadapi berbagai aliran-aliran yang diwarnai oleh kesempitan berfikir diantaranya menyangkut soal-soal khilafiyah.

Dalam konteks kelangsungan lemabaga pendidikan pesantren di masa kini, penyelenggara juga berharap Cak Nun dapat memberikan wawasan tentang bagaimana pesantren menghadapi situasi dimana minat masyarakat untuk mengsekolahkan putra-putrinya di pesantren menurun adanya. Mungkin karena merasa bahwa masa depan anak-anak mereka kurang cukup terang dengan mondok di pesantren.

Masyarakat dusun jetis pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, tanah sangat subur ditambah dengan air gunung yang melimpah. Dari desa yang subur dan sejuk ini, Pondok Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis berharap dapat melahirkan santri-santri dengan kualitas yang baik dan mampu merespon tantangan zaman dengan sebaik-baiknya. Kesempatan kehadiran Cak Nun, Gus Yusuf  dan Kiai Kanjeng juga dimaksudkan agar memberikan bekal kepada para santri, ustadz dan masyarakat umum untuk menyadari tantangan masa depan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan.



Nggak perlu khawatir, pertahankan terus salaf-nya Pesantren ini, nanti orang akan kembali ke salaf ini. Orang khawatir masa depan anaknya tidak cerah kalau memondokkannya di pesantren itu karena mereka pikir kalau anak sekolah di luar pesantren pasti cerah. Padahal tidak juga. Kalau ngomong sugih, sekarang yang paling cepat sugih adalah perampok dan koruptor. Nah, harus kita pastikan adalah tauhid kita, juga tauhid anak-anak kita, kepada Allah. Kalau itu bisa kita tegakkan, mereka akan kembali ke pesantren Salaf," tegas Cak Nun di awal Maiyahan malam ini.

Hanya beberapa menit di awal, Cak Nun sudah melontarkan poin-poin yang amat padat melalui logika-logika sederhana, mendasar, tapi jarang dibayangkan atau disimulasi. Di antaranya, Qari yang melantunkan al-Quran diminta membawakan lagu yang sesuai dengan hatinya sendiri, tidak harus mengikut yang mana-mana, alias berdaulat. Ternyata lantunan yang murni lebih enak didengar. "Asalkan melantunkan al-Quran dengan hati yang ikhlas dan murni, insyaAllah bagus, terasa, dan sampai ke hati kita," ujar Cak Nun.

Prinsip yang selanjutnya dipaparkan Cak Nun adalah meskipun seseorang adalah ulama ia mungkin salah mungkin benar. "Anda pun demikian, mungkin salah, mungkin benar. Yang pasti benar adalah Rasulullah. Karena manusia seperti kita mungkin benar mungkin salah, maka ojo petentengan saling golek salah, tapi carilah kemungkinannya dalam menambah keyakinan kita." Di samping itu, Cak Nun mengajak kita untuk berani sedikit menafsirkan al-Qur'an. Mengapa? Sebab, seperti tertera jelas dalam ayat awal surat al-Baqarah "dzalikal kitabu la roiba fiihi hudan lil muttaqin." Al-quran adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa. Artinya, supaya mendapatkan petunjuk, jadilah orang-orang yang bertakwa. Bertakwalah, sehingga ketika membaca al-Quran walaupun sedikit, kita akan mendapatkan hidayah atau petunjuk. Selain itu, dengan sedikit "berani" menafsirkan, insyaAllah kita akan mendapatkan hidayah. Alif lam mim biasanya diartikan 'hanya Allah yang tahu maksud-nya'. Cak Nun bertanya, "Kalau misal alif lam mim saya artikan alif itu tegak, lam berarti rukuk, dan mim berarti sujud, apakah boleh? (Ragu-ragu mereka menjawab, tapi kemudian dijawab boleh)." Jadi, menafsirkan Al-Quran adalah salah satu jalan agar kita mendapatkan hidayah Allah. Apalagi kita juga memahami bahwa ayat-ayat Allah ada tiga jenisnya: literer, kauniyah, dan diri manusia.

Halaman pesantren yang terletak di sebuah desa berjarak 10 kilometer dari jalan besar yang menghubungkan Boyolali dengan Semarang sangat padat oleh hadirin. Masyarakat umum maupun para santri di pesantren ini. Sebuah kesempatan langka berjumpa dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng. "Merupakan berkah bagi kita untuk bisa ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng malam ini," ujar Gus Yusuf Chudlori dari Ponpes API Tegalrejo Magelang yang malam ini juga menjadi narasumber. Sejak ketemu di ruang transit, Gus Yusuf sangat tawadhlu tapi juga dekat dengan Cak Nun. Beberapa tahun lalu Gus Yusuf datang ke Maiyahan Mocopat Syafaat untuk ngangsu kawruh kepada Cak Nun ihwal bagaimana menghadapi gerakan-gerakan yang gampang mengafirkan orang lain sesama muslim, menuduh syirik terhadap tradisi dan budaya berlaku di masyarakat. Malam ini pun Gus Yusuf masih menunjukkan concern yang sama. Ia berpesan agar orangtua bisa menghormati para ulama dan mau belajar kepada mereka agar mereka menjadi santri yang berjiwa nusantara.

Maiyah adalah sebuah peradaban, dan seperti pernah dikatakan Mas Sabrang, sebuah peradaban dikatakan tinggi apabila mampu memahami peradaban lainnya. Terasa sekali bahwa sedari awal penjelasan-penjelasan Cak Nun adalah cara-cara cerdas dalam memahami kebekuan dan kekakuan tafsir dan penghayatan kita terhadap al-Quran selama ini, dan beliau menawarkan terobosan. Pun demikian halnya, dalam memahami dan menyikapi kesempitan-kesempitan berpikir dan sikap beragama yang diisi oleh kepengikutan buta berikut konstelasi politiknya, Maiyah sudah sangat komplet menganalisisnya, dan menawarkan jalan keluar atau penyikapan khususnya bagi Jamaah Maiyah. Tidak ada klaim, tapi dilihat dari pemikiran-pemikiran yang dilontarkan Cak Nun kepada para jamaah khususnya, sesungguhnya yang digarap oleh Cak Nun adalah kaliber-kaliber peradaban manusia.

Berapapun jumlah orang yang datang ke Maiyahan bersama masyarakat, yang dalam kenyataannya selalu sangat banyak, senantiasa ada satu yang khas: pandangan mata mereka sangat kuat melekat dengan panggung. Mereka sangat menikmati, mengikuti, dan menyimak apa yang disampaikan Cak Nun dan narasumber lainnya, sangat menikmati musik KiaiKanjeng dari satu nomor ke nomor lainnya. Pandangan mata mereka seperti menyiratkan sesuatu yang selama ini mereka cari, atau sesuatu yang mungkin tidak mereka temukan di tempat lain. Depan panggung hingga jalan, kanan-kiri panggung, juga di atas lantai dua bangunan di sisi kanan panggung, semuanya padat oleh hadirin. Baru saja mereka bertepuk tangan selepas Mas Doni membawakan lagunya Maroon Five 'One More Night'.

Saat melihat para personel KiaiKanjeng memainkan alat musiknya, sementara di kanan-kirinya penuh dengan orang, jamaah, atau hadirin, seperti tanpa ada batas seperti pada umumnya pementasan, terlihat sekali bahwa 'maqam' KiaiKanjeng adalah maqam integral dengan masyarakat, umat, dan orang-orang. Kiai Kanjeng melayani masyarakat dengan mengolah 'semesta simbol' berupa lagu-lagu dan lirik untuk mengisi kebutuhan batin manusia akan kekayaan jiwa, agar manusia segar dan penuh kembali sehingga siap menjalankan kembali visi dan tugasnya sebagai khalifatullah. Apalagi, di Maiyahan tak hanya hati yang disentuh, tapi juga pikiran yang disemai dengan terobosan-terobosan pemikiran. Itu semua berlangsung di tengah mainstream media-media yang tidak menyuguhkan apa-apa selain jalan-jalan menuju dehumanisasi.

Asiknya Maiyahan salah satunya adalah saat dibuka dialog. Sering sekali melalui dialog ini muncul respons-respons Cak Nun sangat tidak terduga, cerdas, dan tak terbayangkan sebelumnya. Lewat dialog pula sensibilitas Cak Nun sangat bicara sehingga dapat menemukan sesuatu yang tak tampak pada penanya. Seperti barusan, Cak Nun meminta penanya itu nembang Jawa, dan ternyata suaranya enak. Atas pertanyaannya sendiri, Cak Nun memberikan jawaban yang bijak dan menenteramkan. Pertanyaannya mewakili kegelisahan orang awam yang ingin belajar al-Quran tapi belum bisa dan merasa belum pantas, suatu soal yang sebenarnya memperlihatkan kerendahan hati orang kecil. "Tidak perlu cemas, Allah yang berhak menilai hati manusia, apakah dia akan masuk surga atau tidak,...".

Sebelum Cak Nun menjelaskan mengapa tadi meminta Qari melantunkan ayat al-Qur’an dengan lagu yang otentik, juga pernah seperti muncul polemik baca al-Qur’an lagu Jawa, ialah agar kita melakukan kedaulatan itu dengan baik. Lakukan saja. Tidak usah terlalu dilabeli. Label itu yang membuat bertengkar. Pemdatan-pemadatan identitas itulah yang seringkali memerangkap untuk tidak saling memahami atau menerima.

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.25 WIB. Jamaah masih bertahan. Gus Yusuf barusan diminta Cak Nun merespons. Gus Yusuf menjelaskan mengenai apa yang dimaksud bid'ah dan bagaimana posisi-nya dalam Islam. Cak Nun pun juga melengkapinya dengan sejumlah prinsip mengenai ibadah mahdhoh dan ibadah muamalah. Selebihnya, Cak Nun mengajak jamaah berpikir, kalau kita berantem sesama orang Islam, dengan orang yang beda pemahaman, apakah itu dibuat untuk berantem ataukah bagaimana. Artinya, apakah semua itu apa bukan adu domba dan pemecahbelahan. Apakah bukan memang orang Islam dibikin rapuh. Cak Nun lalu berpesan kepada Pak Camat untuk benar-benar tepat dan bijak dalam menyikapi konflik seperti itu di dalam masyarakat. "Saya senang acara malam ini dimaksudkan untuk membentengi diri kita dari kemungkinan konflik itu. Sepanjang kita sama-sama bertauhid, kita adalah ikhwah/bersaudara. Ingatlah bahwa kita punya tidak kekuatan: alamnya kaya raya, hebat manusia-manusianya, dan kita orang-orang yang beragama Islam. Karena ketiga kelebihan itulah kita diincar untuk dipecahbelah. Maka Pak Bupati dan Pak Camat harus memastikan bahwa masyarakat di daerah-daerah itu kompak, dan tidak gampang dihasut-diadudomba," pesan Cak Nun.

Memasuki akhir Maiyyahan, Cak Nun mengajak semua hadirin untuk meneguhkan ‘perkawinan bak temanten anyar’ malam ini dengan tembang Lir-Ilir aransemen Kiai Kanjeng. Gus Yusuf dan narasumber lain tampak larut dalam tembang ini, dan kemudian semuanya kepala khusyuk ketika Cak Nun melantunkan do’a agar Allah mengampuni dosa kita, membukakan pintu-pintu kebaikan dan keberkahan. Dan lantunan shalawat badar memuncaki nomer Lir-Ilir ini. Sebuah nomor magis yang terhimpun dalam album Menyorsong Rembulan.
Di penghujung pertemuan malam ini, Cak Nun meminta Gus Yusuf memimpin do’a. Maiyyahan sudah berakhir, dan jama’ah kembali ke tempat masing-masing, Kiai Kanjeng mengantarkan kepulangan mereka dengan beberapa nomer lagu.

(Beberapa kalimat telat diedit oleh penulis dari blog aslinya tanpa mengurangi makna dan masksudnya)