Januari 2015 - Sang Pemburu Badai

Kamis, 29 Januari 2015

KPK Vs Polri, Semuanya Berawal Hanya Karena Tidak Ber-Etika

07.45 0
  KPK Vs Polri, Semuanya Berawal Hanya Karena Tidak Ber-Etika
Salam Anti Korupsi

Masihkah anda mengikuti isu terpanas akhir-akhir ini ?
Sudah tahukan anda akan penyebabnya ?

KPK Vs Polri, semuanya berawal hanya karena tidak ber-Etika
  1. Pada tahun 2010 Bareskrim Polri pernah melakukan penyelidikan kasus yang dituduhkan kepada Budi Gunawan. Hasil penyelidikan tersebut memutuskan bahwa Calon tunggal Kapolri tersebut terbebas dan bersih dari melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Pada Juni 2014 KPK kemudian melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Hasil dari penyelidikan tersebut lah yang kemudian dijadikan dasar oleh KPK untuk memberikan warna merah kepada salah satu calon menteri yang diajukan oleh Presiden Jokowi tersebut. Warna merah diartikan bahwa calon menteri tersebut mengarah kepada tersangkut perkara tindak pidana yang ditangani oleh KPK, dan kemungkinan besar dalam waktu dekat akan ditetapkan menjadi tersangka. Pada waktu itu Presiden Jokowi mengikuti rekomendasi KPK & PPATK untuk tidak memasukkannya menjadi anggota kabinetnya. Tetapi pada saat pengajuan calon Kapolri yang baru, Presiden menetapkan Budi Gunawan diajukan lagi tanpa meminta pertimbangan KPK & PPATK. Karena desakan orang-orang dibelakang layar dia menjadi Calon Tunggal Kapolri. Persoalannya bukan mengapa Presiden tidak meminta pertimbangan KPK & PPATK, tetapi mengapa Presiden tetap mengajukan orang yang kemungkinan besar terlibat tindak pidana ?  
Dimanakah Etikanya ???  
Saya tidak tahu siapakah yang tidak ber-Etika, Presiden atau orang-orang dibelakang layar itu !

  1. Ketika mendengan gosip Budi Gunawan diajukan sebagai calon tunggal Kapolri, KPK seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen oleh orang tuanya, menjerit-jerit. Karena tidak dilibatkan dalam pengajuan calon Kapolri kemudian KPK berteriak di depan media dan masyarakat kalau mereka tidak diajak urun rembug. Sebagai lembaga negara super body, KPK merasa harus dilibatkan dalam hal menentukan semua pucuk pimpinan sebuah lembaga negara yang sebenarnya merupakan hak prerogatif presiden. Mengapa mereka tidak secara langsung memberikan masukan kepada presiden Jokowi, padahal mereka mempunyai akses kesitu.
Dimanakah Etikanya ???

  1. “Sakitnya tuh disini” mungkin lagu yang pas untuk menghibur Presiden Jokowi pada saat itu. Calon tunggal Kapolri yang telah dia ajukan ke DPR ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK sehari sebelum menjalani fit and propertest. KPK menetapkan Budi Gunawan menjadi tersangka setelah Presiden menetapkan menjadi calon tunggal Kapolri. KPK seakan-akan ingin meruntuhkan wibawa seorang Ulil Amri, mencoreng mukanya di depan rakyatnya sendiri. Permasalahannya sekarang menjadi lebih komplek, tidak hanya melibatkan KPK Vs Polri, tetapi juga menarik Eksekutif dan Legislatif kedalam pusaran konflik ini. Mengapa KPK tidak menetapkannya menjadi tersangka jauh hari sebelum ditetapkan sebagai calon Kapolri? padahal mereka telah mempunyai alat bukti dan akan tetap menjaga wibawa seorang Presiden. Mengapa tidak menetapkannya setelah dilantik menjadi Kapolri, sehingga suasana tidak sepanas sekarang ini ? suasana panas di musim hujan.
Dimanakah Etikanya ???

  1. Budi Gunawan pantas mendapatkan penghargaan /award karena berhasil mempersatukan DPR. DPR yang selama ini terbelah dalam dua kubu KIH dan KMP semenjak belum dilantik belum pernah akur sebelumnya. Tetapi karena ada seorang tersangka KPK yang diajukan sebagai calon tunggal Kapolri mereka bersatu padu menyanjungnya, memujinya dan meloloskannya menjadi calon tunggal  Kapolri.
Dimanakah Etikanya ???

Hanya Partai Demokrat yang konsisten menolak Koruptor menjadi seorang pejabat negara. Sebagai Partai yang mempunyai pemimpin yang berjiwa demokrat, mereka menjadi satu satunya fraksi yang menolak pencalonan Budi Gunawan. Dan pada waktu SBY menjadi Presiden juga selalu melibatkan KPK dalam memilih calon Kapolri.

  1. Seorang pejabat negara yang banyak berjasa kepada negara dalam pemberantasan Korupsi ditangkap bak seorang teroris. Bambang Widjodjanto dikepung oleh puluhan anggota Polisi ketika pulang mengantarkan anaknya ke sekolah. Wakil ketua KPK ini diborgol, diancam dilakban mulutnya, bahkan kemudian ditahan tanpa ada surat pemanggilan pemeriksaan sebelumnya. Kepada seorang pejabat yang banyak berjasa dalam menumpas musuh utama negara saja Polisi bisa bertindak seperti ini, apalagi kepada rakyat biasa ?
Dimanakah Etikanya ???

  1. Adnan Pandu Praja khawatir. Khawatir kepada pemberantasan korupsi, juga khawatir kepada dirinya dirinya. Dia mengusulkan Hak Imunitas, hak yang memberikan kekebalan hukum selama menjabat sebagai pimpinan KPK sehingga tidak dapat digugat dan dikriminalisasikan. Tapi perlukah ?. UUD 1945 menjamin kesamaan setiap orang di depan hukum. before the law, begitulah asas yang pernah saya pelajari dalam ilmu hukum. Presiden dan wakilnya, sebagai orang pertama dan kedua di negeri ini saja tidak pernah meminta hak seperti itu. Para pejuang Devisa yang jumlahnya juta’an di luar negeri saja perlindungan hukumnya masih lemah. TKI yang banyak memberikan pemasukan ekonomi kepada negara lah yang sebenarnya perlu mendapatkan perlindungan hukum yang lebih. Masih perlukah hak imunitas ?
          Dimanakah Etikanya ???


Pusaran konflik antar lembaga negara ini entah kapan selesainya. Konflik antara KPK dan Polri seakan sudah menjadi siklus 3 tahunan. Setelah kasus Cicak Buaya I (Bibit Candra Vs Susnoduadji Polri), kemudian ada Cicak Buaya II (Novel Baswedan Penyidik KPK Vs Polri), sekarang ada Cicak Vs Kebun Binatang (KPK Vs Polri, DPR dan Orang-orang dibelakang layar Jokowi). Entah, sebegitu canggihkan koruptor sehingga perlawanan pemberantasan korupsi semakin sulit. Para pegiat anti korupsi pun banyak yang dikriminalisasikan, kalau tidak dibunuh atau diancam. 

Dalam Ilmu Hukum saya pernah mempelajari tentang aturan nilai. Dalam aturan tersebut nilai moral berada diatas nilai hukum, nilai normatif dan nilai agama. Etika dan Moral merupakan kunci utama tegaknya sebuah masyarakat. Jika moralitas dari suatu masyarakat sudah mengalami degradasi dan dekadensi, maka jangan berharap sebuah hukum dan agama dapat berjalan sempurna. Yang tersisa kita hanya tinggal menunggu sebuah kehancuran negara. 
Itulah mengapa ketika memulai belajar di sekolah dasar kita dikenalkan dengan “Budi”. “Ini Budi” “Ini Ibu Budi” adalah pelajaran wajib bagi seluruh rakyat Indonesia yang mengenyam sekolah formal. Ketika sejak dasar telah dituntut untuk mengenal “Budi”. Bukan hanya sekedar mengenal nama “Budi”, tapi juga harus selalu mengingat dan memahami subtansi dari nama “Budi” itu, apa itu budi pekerti, apa itu moralitas, apa itu etika dan apa itu akhlak.  

Tetapi sekarang orang-orang yang memakai nama “Budi” pun sudah banyak yang tidak memahami apa makna Budi itu sendiri. Budi Gunawan (Calon Kapolri yang jadi tersangka KPK) dan Budi Waseso (Orang dekat Budi Gunawan yang menjadi Kabareskrim yang kemudian menyuruh melakukan penangkapan secara paksa kepada Pimpinan KPK) adalah “Budi” yang dituduh sebagai sumber konflik antar lembaga negara ini. Entah, mungkin diluar sana masih banyak orang-orang bernama “Budi” tetapi tingkah lakunya sudah tidak berbudi, tidak berpekerti dan tidak beretika. Seperti banyak orang sekarang yang bernama “Muhammad” tetapi tingkah lakunya sudah tidak terpuji.


M. Najmuddin Huda
Direktur Penelitian & Pengembangan Jaringan
Gerakan Mahasiswa Anti Korupsi (Gemak) Kota Salatiga


Minggu, 18 Januari 2015

Valas; Sejarah, Pengertian dan Kedudukannya Dalam Islam

14.10 1
Valas; Sejarah, Pengertian dan Kedudukannya Dalam Islam
Oleh. M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri

A.    Sejarah Uang
Pada awalnya manusia tidak mengenal uang, sehingga melakukan pertukaran antar barang dan jasa secara barter sampai mereka mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk membuat uang. Kemudian Allah SWT menciptakan barang tambang emas dan perak sebagai nilai untuk setiap harta. Dinar dan Dirham berfungsi sebagai medium untuk mengukur harga komoditas, disamping juga berfungsi untuk alat tukar transaksi dan barang simpanan kekayaan.
Bangsa Yunani membuat ”uang komoditas” yang disebar antara mereka. Kemudian mereka membuat emas dan perak yang berupa batangan sampai masa dimulainya percetakan uang tahun 406 SM. Mata uang utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari perak. Bangsa Romawi pada masa sebelum abad ke-3 SM. menggunakan mata uang yang terbuat dari perunggu yang disebut aes (Aes Signatum Aes Rude). Mereka juga menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Kemudian mereka mencetak Denarius dari emas yang kemudian menjadi mata uang utama imperium Romawi yang dicetak pada tahu 268 SM.
Bangsa Persia mengadopsi percetakan uang dari bangsa Lydia setelah penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang dicetak dari emas dan perak dengan perbandingan (ratio) 1:13,5. Suatu hal yang membuat naiknya nilai emas dari perak. Uang yang semula berbentuk persegi empat kemudian mereka ubah menjadi bundar dan mereka ukir pada uang itu ukiran tempat peribadatan dan tempat nyala api. Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyah tidak memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham Perak dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman. Sedangkan penduduk Mekkah tidak memperjual belikan Dinar kecuali emas yang tidak ditempa dan tidak diolah.[1]
Akan tetapi para sejarawan Islam mencatat perilaku transaksi yang memakai alat tukar berupa emas pada perak tela terjadi pada masa Nabi Tsit bin Adam A.s. Selain itu juga pernah tercatat pererdaran dirham pada masa Nabi Yusuf A.s. masih kecil. Pada saat Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul, beliau menetapkan apa yang telah menjadi tradisi penduduk Mekkah, Dinar emas dan dirham perak serta uang logam (uang tembaga) merupakan mata uang yang berlaku sejak zaman Rasulullah SAW. Mata uang tersebut terus digunakan dalam transaksi berbagai kebutuhan dan perdagangan hingga muncul mata uang kertas (paper money).[2]
History legalisasi valas dimulai semenjak Daulah Ustmaniyah (1862 M). Hanya saja pelegalan yang diprakarsai oleh ‘Utsmâniyyah belum mendapat respon secara luas dari masyarakat. Hal tersebut dikarenakan minimnya kepercayaan mayoritas penduduknya terhadap eksistensi uang kertas pada waktu itu, dan masyarakat setempat memandang penggunaannya bertentangan dengan tradisi mereka dalam bertransaksi. Di sela-sela Perang Dunia Pertama (1333 H., 1914 M.-1337 H., 1918 M.) Dawlah ‘Utsmâniyyah runtuh. Pada saat itulah uang kertas ditarik dari peredaran, kemudian kurensi emas serta perak kembali mendominasi di pasaran. Meskipun demikian, sebagian negara Islam ada yang tetap memakai uang kertas sebagai alat tukar hingga sekarang.[3]

B.     Pasar Valuta Asing atau Valas
Pasar valuta asing (bahasa Inggris: foreign exchange market, forex) atau disingkat valas merupakan suatu jenis perdagangan atau transaksi yang memperdagangkan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya (pasangan mata uang/pair) yang melibatkan pasar-pasar uang utama di dunia selama 24 jam secara berkesinambungan.
Pergerakan pasar valuta asing berputar mulai dari pasar Selandia Baru dan Australia yang berlangsung pukul 05.00–14.00 WIB, terus ke pasar Asia yaitu Jepang, Singapura, dan Hongkong yang berlangsung pukul 07.00–16.00 WIB, ke pasar Eropa yaitu Jerman dan Inggris yang berlangsung pukul 13.00–22.00 WIB, sampai ke pasar Amerika Serikat yang berlangsung pukul 20.30–10.30 WIB. Dalam perkembangan sejarahnya, bank sentral milik negara-negara dengan cadangan mata uang asing yang terbesar sekalipun dapat dikalahkan oleh kekuatan pasar valuta asing yang bebas.
Menurut survei BIS (Bank International for Settlement, bank sentral dunia), yang dilakukan pada akhir tahun 2004, nilai transaksi pasar valuta asing mencapai lebih dari USD$1,4 triliun per harinya. Mengingat tingkat likuiditas dan percepatan pergerakan harga yang tinggi tersebut, valuta asing juga telah menjadi alternatif yang paling populer karena ROI (return on investment atau tingkat pengembalian investasi) serta laba yang akan didapat bisa melebihi rata-rata perdagangan pada umumnya. Akibat pergerakan yang cepat tersebut, maka pasar valuta asing juga memiliki risiko yang tinggi.
Di bursa valas (valuta asing) ini orang dapat membeli ataupun menjual mata uang yang diperdagangkan. Secara obyektif adalah untuk mendapatkan profit atau keuntungan dari posisi transaksi yang anda lakukan. Di Bursa valas dikenal istilah Lot dan Pip. 1 Lot nilainya adalah $100.000 dan 1 pip nilainya adalah $10. Sedangkan nilai dolar di bursa valas berbeda dengan nilai dolar yang kita kenal di bank-bank. Nilai dolar di bursa
Transaksi di valuta asing dapat dilakukan dengan cara dua arah dalam mengambil keuntungannya. Seseorang dapat membeli dahulu (open buy), lalu ditutup dengan menjual (sell) ataupun sebaliknya, melakukan penjualan dahulu, lalu ditutup dengan membeli.[4]

C.    Kedudukan Uang Dalam Islam
Sebelum membahas kedudukan dan hukum valas dalam fiqih muamalah, alangkah baiknya membahas kedudukan uang dalam Islam secara mendetail terlebih dahulu. Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud mempunyai beberapa makna: baik, tunda lawan tempo atau tunai, yakni memberikan bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-tsaman (نقدني الثمن)  yakni dia membayarku harga dengan tunai. Kata uang (nuqud/money) tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam al Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukkan dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.[5]
Di kalangan para ahli fiqh terdapat beberapa istilah yang penting untuk diketahui. Diantaranya adalah:[6]
Pertama: 'Ardl dan jamak (bentuk plural)-nya 'Uruudl. 'Ardl artinya adalah sesuatu yang bukan emas dan perak. 'Urudl at-Tijarah artinya adalah benda selain emas dan perak yang diperdagangkan.
Kedua: an-Naqd. Dalam 'urf para fuqaha' Naqd adalah emas dan perak, baik yang telah dicetak menjadi mata uang ataupun berbentuk batangan, atau dalam bentuk aslinya (at-Tibr); bahan mentah emas yang berupa butiran-butiran kecil.
Sedangkan dalam fiqih juga dikenal istilah atsmaan. Atsmaan adalah jamak (bentuk plural) dari Tsaman; yang berarti mata uang yang berfungsi sebagai alat tukar ketika membeli barang. Alat tukar atau mata uang yang terbuat dari emas dan perak memiliki istilah khusus yaitu naqd. Sedangkan mata uang yang terbuat dari tembaga memiliki nama lain yaitu fals, jamak (bentuk plural)-nya fuluus, dan ini sudah dikenal sejak zaman para sahabat Nabi. Abdullah ibnu 'Umar mengatakan tentang seseorang yang bakhil dan kikir:
يحب الخمر من مال الندامى   ويكره أن تفارقه الفلوس
"Dia menyukai khamer yang dibeli dengan harta teman-temannya sesama peminum, dan membenci jika uangnya sendiri yang dipakai untuk itu ".
Para ulama fiqih menyebut mata uang dengan menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan dirham mereka menggunakan kata naqdain (mustanna). Menurut Al-Sarkhasy, nuqud hanya dapat digunakan untuk transaksi atas nilai yang terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai berdasarkan bendanya. Jadi definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar nilai harga, media transaksi dan media simpanan. Dengan demikian nampak jelas bahwa para ulama’ fikih mendefinisikan uang dari perspektif fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi dan jasa; b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat simpanan.
Kesimpulannya, mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas. Sedangkan uang lebih umum dari pada mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang. Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tetapi tidak setiap uang itu mata uang.
Islam tidak menentukan mata uang tertentu untuk dijalankan oleh umat muslim. Kalaupun Rasulullah saw menyebutkan Dinar dan Dirham bukan berarti mata uang yang harus dipraktikkan hanya terbatas kepada jenis itu saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, semua teks agama yang menyebut kata Dinar dan Dirham tidak menyebut satu-satunya alat transaksi. Kedua, karakteristik muamalah (transaksi) bersifat dinamis, diserahkan kepada kreatifitas manusia sepanjang tidak berbuat zalim. Karena pada dasarnya muamalah adalah halal. Ketiga, uang kertas dapat dianalgikan (qiyas) dengan Dinar dalam aspek sebagai stándar nilai, alat tukar dan alat saving.[7]

D.    Kedudukan Valas Dalam Fiqih Ubudiyah (Zakat)
Di era modern ini penukaran uang itu telah menjadi lahan bisnis dan industri. Dikatakan demikian karena memang uang telah menjadi barang industri, selain tiga fungsi lainnya, yaitu fungsi alat tukar, standar nilai dan menyimpan kekayaan. Oleh karenanya, transaksi keuangan bisa terjadi dalam skala kecil seperti menukar uang pecahan kecil dengan pecahan besar dengan ketentuan selisih nilainya atau antar mata uang dengan mata uang asing dalam tujuan industri dan bisnis.
Mata uang selain emas dan perak, seperti mata uang logam atau kertas tidak wajib dizakati menurut imam Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka melihat bahwa Allah ta'ala dalam al Qur'an (Q.S. at-Taubah: 34) hanya mengancam orang yang tidak mengeluarkan zakat emas dan perak saja di antara atsmaan yang ada. Padahal Allah maha mengetahui bahwa nanti akan ada atsmaan selain emas dan perak. Namun demikian Allah hanya mengancam orang yang tidak mengeluarkan zakat atsmaan dari emas dan perak. Demikian juga Rasulullah tidak menyebutkan zakat atsmaan selain emas dan perak. Menurut para ulama’, tidak diperhitungkannya emas dan perak tersebut karena pada saat itu berfungsi seperti mata uang emas dan perak pada transaksi-transaksi yang berlaku sekarang. Ketentuan ini berlaku jika memang mata uang tersebut tidak diperdagangkan. Sedangkan jika diperdagangkan seperti dalam akad sharf (pertukaran dengan mata uang asing) atau Bay' maal bi maal (pertukaran mata uang sejenis seperti rupiah dengan rupiah atau berbeda jenis) misalnya maka berlaku padanya zakat tijarah.

E.     Kedudukan Valas Dalam Fiqih Muamalah
Berangkat dari pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadîts tentang kompetensi riba dalam muamalah, para pakar hukum Islam menyimpulkan bahwa jenis-jenis harta ribawi yang dijelaskan oleh nash hanya berjumlah enam: emas, perak, gandum, jelai, kurma, dan yang terakhir garam. Dari keenam komoditas di atas, dua di antaranya mewakili komoditas uang (commodity money), sedangkan yang lainnya mewakili bahan pokok makanan. Dalam memahami matan teks teks yang menjelaskan permasalahan ini, ulama bersilang pendapat. Diantaranya adalah kelompok kontekstualis. Aliansi ini terdiri dari madzhab Hanbaliyyah, Mâlikiyyah, Hanafiyyah. Ketiga madzhab tersebut masing-masing mempunyai struktur penalaran yang bervariasi yang akan kami uraikan di bawah ini.[8]
Dalam perspektif Hanbali, terjadi kontradiksi, tetapi menurut pendapat yang lebih populer (qaul asyhar) dinyatakan bahwa ‘ilat riba dalam emas dan perak adalah jenis barang yang memakai standar timbangan (mawzûn al-jinsi). Oleh sebab itu, pintu analogi menjadi terbuka bagi setiap jenis materi yang mempunyai standarisasi timbangan. Dengan demikian uang kertas tidak termasuk harta ribawi karena standarnya bukan timbangan.
Sementara Mâlikiyyah mempunyai pandangan yang sedikit berbeda, mereka menegaskan bahwa ‘ilat riba dalam kurensi emas dan perak adalah commodity money (tsamaniyyah). Dengan demikian keharaman riba juga terdapat pada uang kertas berdasarkan inferensi-analogis (istinbath-qiyasi). Pandangan ini senada dengan madzhab Hanafiyyah, tetapi Hanafiyyah lebih memilih pendekatan hermeneutis dengan cara menelisik konteks historis yang melatari munculnya Hadîts ‘Ubâdah bin Shâmit. Proses dekontekstualisasi historis tersebut dicanangkan guna menelanjangi sosio-kultural dan ekonomi yang menyebabkan mengapa teks Hadîts tersebut berbunyi demikian, yakni teks yang hanya membatasi pada enam jenis harta ribawi. Ternyata, menurut mereka, pembatasan tersebut mempunyai tali kaitan erat dengan konteks perekonomian yang dipraktikkan pada saat itu, di mana pada umumnya dunia perdagangan masih berkisar pada jenis-jenis komoditas tersebut, dan kurensi emas dan perak merupakan dua komoditas uang yang menjadi alat tukar yang terlaku pada zaman itu.
Setelah melakukan dekontekstualisasi historis, madzhab Hanafiyyah melanjutkan kerja penafsirannya dalam rangka membumikan ruh Hadîts tersebut pada realitas kekinian. Tugas ini oleh Hanafiyyah didasarkan pada analogi kurensi uang kertas terhadap emas dan perak dengan landasan ‘ilat berupa commodity money (atsmân al-asyyâ’) dan mempunyai potensi berkembang (nama’). Dengan demikian, Hanafiyyah memandang bahwa ketentuan harta ribawi juga terlaku dalam uang kertas.[9]
Konsep di atas dalam kaitannya dengan perbankan Islam mempunyai implikasi ketentuan tukar-menukar antara barang ribawi  yaitu termasuk diantaranya perdagangan atau transaksi yang memperdagangkan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya atau yang lebih kita kenal dengan valuta asing, dengan uraian sebagaimana berikut:
  • Tukar-menukar (jual beli) antara barang-barang ribawi dalam jenis yang sama hendaklah dalam kualitas dan kuantitas yang sama (jumlah serta kadarnya sama). Di samping itu barang tersebut harus diserahkan pada saat transaksi jual beli. Misalnya, penukaran rupiah dengan rupiah dengan rupiah hendaklah Rp 1.000 dengan Rp 1.000, dan diserahkan ketika transaksi, tidak boleh Rp 1.000 dengan Rp 8.000. 
  • Jual beli antar barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang tersebut diserahkan pada saat transaksi jual beli, seperti transaksi di bank-bank valuta asing, di mana mata uang dolar Amerika Serikat (US$) ditukar dengan rupiah atau mata uang asing lainnya. Misalnya, Rp 8.000 dengan 1 dollar Amerika.
Konsekuensi yang muncul dari uraian diatas adalah uang termasuk harta ribawi dan dalam memperjualbelikannya haruslah sama jumlahnya ketika masih dalam satu macam dan satu jenis. Namun bila valas yang dimaksud beda macamnya serta nila jual (valuation) yang ada di dalamnya juga berbeda walaupun dari satu jenis maka mengganti dengan jumlah yang tidak sama tidak lagi menjadi syarat, justru boleh memberikan lebih kepada yang lain. [10]
Praktek di lapangan membuktikan sistem nilai (value system) mayoritas negara di dunia menggunakan dolar sebagai penaksir (valuer). Sehingga pelunasan hutangnya pun menggunakan standar kurs yang ada pada saat ini. Namun ketika terjadi transaksi ataupun pelunasan hutang dengan memakai dua mata uang dari dua negara yang berbeda, semisal rupiah dan dolar, maka tidak dituntut harus sama (mumatsalah)  akan tetapi yang diwajibkan hanya persamaan nominal yang terkandung. Sebaliknya ketika transaksi tersebut dalam satu macam  mata uang, ketentuan mumatsalah harus selalu ada. Karena menurut hemat kami, semua mata uang itu adalah satu jenis, sedangkan perbedaan negara merupakan representasi perbedaan macam mata uang.[11]
Menurut Imam Al-Jaziri dalam kitabnya[12], ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam melakukan jual beli valas antara dua mata uang yang berbeda. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
  • Kontan (khulul). Hukumnya tidak sah jual beli valas yang tidak kontan (tertunda).
  • Transaksi dilakukan dengan serah terima di tempat akad (التقابض فى المجلس). Yakni serah terima valas dilakukan secara langsung pada saat transaksi terjadi Berdasarkan dalil hadits di atas ( ولا تبيعوا منها غائباً بناجز). Apabila kedua pihak berpisah sebelum menerima barang atau valas yang dijual, maka transaksi dianggap batal.
  • Apabila valuta atau mata uang yang dijual berasal dari mata uang yang sama, seperti rupiah dengan rupiah, maka nilainya harus sama. Maka tidak boleh menjual beli 50.000 rupiah dengan 55.000 rupiah Indonesia.
Syarat adanya taqabuq (serah terima) dalam transaksi diatas adalah pendapat para ulama yang mengatakan bahwa uang dihukumi sebagai nuqud. Tetapi menurut pendapat ulama’ yang tidak menganggap bahwa mata uang tersebut sebagai nuqud maka boleh bertransaksi tanpa bersyarat.[13]

F.     Fatwa MUI Tentang Valas
Dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) NO: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (al-sharf) menerangkan bahwa jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:[14]
1.      Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
2.      Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
3.    Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
4.   Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Selain menjekaskan ketentuan-ketentuan tentang transaksi alas, MUI juga memberikan penjelasan tentang jenis transaksi valas yang halal dan haram. Jenis transaksi tersebut adalah[15]:
1.  Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (ِمَّما لاَ ُبَّد مِنْهُ) dan merupakan transaksi internasional.
2. Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
3.    Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
4.     Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).






[1] M. Cholil Nafis, “Mengenal Uang Kertas dalam Perspektif Islam”, NU Online, diakses dari http://www.nu-online.com, pada tanggal 23 Mei 2013 Pukul 09.30 WIB.
[2] As-Showi, “Hasiyah al-Allamah As-Showi ”, Juz III, Surabaya: Al-Hidayah, 2003, hlm. 6.
[3] Mudhor Nizar Al-‘Any, Ahkâm al-Taghayyur al-Qimat al-‘Umalât al-Naqdiyyah wa Asyariha fi Tasdîd al-Qard, Ordon: Dar Nafais, 2001, hlm. 39.
[4] Pasar valuta asing, Wikipedia, diakses dari http://www.id.wikipedia.org/wiki/Halamann: Pasar_valuta asing, Pada tanggal 29 Mei 2013, Pukul 10.00 WIB.

[5] M. Cholil Nafis, Op.Cit.
[6] Malik Bin Anas Al-Asbahi, Almudawwanah Al-Kubra, Juz I, Beirut: Darul kutub Al-Ilmiyyah, tt., hlm. 292.
[7] M. Cholil Nafis, Op.Cit.
[8] Wizarah al-Awqâf wa al-Syu’un al-Islamiyah bi al-Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, Juz 12, cet. Kuwait : Wizarah al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt., hlm. 56. Lihat pula dalam Abi Hasan ‘Ali bun Muhammad bin Habib al-Mâwardi, al-Hâwi al-Kabîr, Juz 6, Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 93-105.
[9] Wahbah az-Zuhayli, Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Juz 4, Damaskus: Dar Al-Fikr, 2000, hlm. 676.
[10] Kumpulan Makalah Pon-Pes Sirojuth Tholibin, Naqd Dan uang Kertas Oleh LBM Pon-Pes Lirboyo, Brabo: Pustaka PP. Sirbin Brabo, 2005, hlm. 2.
[11] Ibid
[12] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-fiqhu ‘Ala al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz 2, hlm. 5050-506.
[13] Muhammad At-Turmusi, Mauhibah Dzil Fadzl, Juz 4, Mesir: Matba’ah Al-‘Amirah Al-Syarfiyyah, tt., Hlm. 29.
[14] Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf), diakses dari http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/fatwa.php?id=36&pg=2, 23 Mei 2013 Pukul 09.30 WIB.

[15] Ibid.