Desember 2014 - Sang Pemburu Badai

Sabtu, 27 Desember 2014

Mengapa Kita Harus Mengucapkan Selamat Natal ?

20.37 0
Mengapa Kita Harus Mengucapkan Selamat Natal ?
Selamat Natal Tahun 2014

Salam Kemanusiaan

Saya sangat bangga selama hidup sampai sekarang ini selalu mempunyai guru dan inspirator yang mempunyai faham moderat & toleransi yang sangat tinggi. Toleransi ini mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara, mengasihi kaum mayoritas dan mengayomi kaum minoritas.

Di dalam dunia pesantren, seringkali ketika memaknai kalimat Basmalah pada lafadz Ar-Rahman adalah "Dzat kang paring welas asih maring wong Mukmin lan wong kafir ing ndalem dunyo", atau kalau dalam bahasa Indonesia adalah "Dzat yang cinta kasih terhadap semua manusia di dunia ini, apapun golongan agama, suku dan rasnya". Betapa Allah dalam pembukaan Kitab Sucinya sudah menekankan keagungan Dzat-Nya untuk mencintai dan mengasihi semua umat beragama. Betapa kitab suci al-Qur'an yang agung itu mengedepankan kasih sayang dan toleransi dalam urutan pertama ayat-ayatnya.

Manusia Panutan dalam hal toleransi tertinggi tentulah Nabi Muhammad Shallaallahu alai wasaallam. Hal ini salah satunya tampak dalam pembuatan konsensus antar umat beragama di Madinah yang kemudian lebih terkenal dengan al-Bunud al-Madinah (Piagam Madinah). Nabi Muhammad tidak memaksakan penerapan al-Qur'an / syariat Islam kepada orang-orang Yahudi & Nashrani, padahal bisa saja beliau melakukan itu. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah membuat konstitusi bersama ciptaan manusia untuk menjadi undang-undang tertinggi di Madinah pada waktu, dan bukan memaksakan kitab suci dari setiap agama untuk menjadi panutan mereka semua. Hal ini bukan berarti pembuatan konstitusi mengenyampingkan Syariat Islam, karena sebenarnya isi dari Piagam tersebut adalah subtansi ajaran Islam dalam toleransi beragama dan bernegara. 

Guru saya al-'Alim ad-Da'i ilaallah Habib Umar bin Hafidz, ad-Da'i ilaallah Habib Ali Al-Jufri, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Said Aqil Siradj, KH. Qurasy Syihab dan yang lainnya merupakan tokoh-tokoh yang mempunyai dan memahami bagaimana bertoleransi dalam kehidupan beragama dan bernegara. Dan sebenarnya dalam kajian Fiqh Da'wah & Siyasah Da'wah, Toleransi (al-Samahah) dan Moderatisme (al-Washatiyyah) merupakan pondasi utama dalam berda'wah. Ini dibuktikan dalam metode da'wah tokoh-tokoh tadi ke luar dunia Islam, sehingga banyak orang non muslim yang mengagumi tentang keagungan Islam, dan tidak sedikit kemudian orang-orang non muslim yang menjadi muallaf karena mereka. Dan toleransi ini juga mereka tampakkan dengan mengucapkan selamat natal kepada umat kristen dan tidak mengharamkannya, atau menyalah-nyalahkan orang yang tidak sefaham dengan mereka.

Akhirul Kalam, selaku Pimpinan tertinggi Pelajar NU di Kabupaten Semarang mengucapkan Selamat Natal tahun 2014 bagi Umat Kristiani di Kabupaten Semarang pada khususnya dan Umat Kristiani di seluruh dunia pada umumnya. Damai kasih Tuhan selalu kepada kalian semua.


M. Najmuddin Huda
Ketua PC IPNU Kab. Semarang 2014-2016

Apakah Agama & Negara Menghalangi Bersatunya Cinta dalam Beda Agama ???

20.33 0
Apakah Agama & Negara Menghalangi Bersatunya Cinta dalam Beda Agama ???
Salam Kemanusiaan

Kebetulan sekali hari sabtu tanggal 13 Desember 2014 kemarin saya & sahabat saya direkomendasikan oleh Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk mengikuti ritual dan prosesi acara pernikahan beda agama di Klaten bersama senior dari Percik, Mas Agung. Disebut sebagai pernikahan beda agama karena kedua mempelai mempunyai keyakinan ideologi yang berbeda, calon suami seorang muslim dan calon istri seorang kristen. Ada banyak hal menarik yang saya saksikan dari prosesi pernikahan yang diselenggarakan di sebuah hotel yang terletak di sebelah rumah dinas Bupati Klaten tersebut. Pernikahan yang biasanya hanya dilakukan berdasarkan satu keyakinan, kali ini dalam satu pernikahan dilaksanakan 2 akad dari 2 keyakinan yang berbeda. Kebetulan sekali untuk hari kemarin akad pernikahan yang dimulai pukul 5 sore tersebut menggunakan ritual nasrani terlebih dahulu, kemudian baru setelah maghrib dilaksanakan ritual akad nikah dengan agama Islam. 

Sedangkan tentang pernikahan beda agama tersebut dalam yurisprudensi Islam klasik (fiqh salaf) saat ini seakan menutup kemungkinan secara mutlak untuk dilaksanakan, terutama di Indonesia. Begitu juga dengan yurisprudensi Indonesia (baik UU Perkawinan no 1 tahun 1974 & KHI) juga tidak memberikan ruang yang luas untuk terjadinya perkawinan beda agama diakui secara sah di negara ini. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Departemen Agama (untuk pernikahan orang muslim dicatatkan di KUA) dan Dinas Catatan Sipil (pernikahan non muslim dicatatkan di Dinas Catatan Sipil) Kota Klaten tidak mau mencatatkan dan mengakui pernikahan tersebut. Sehingga kemudian LSM Percik Salatiga membantu pelaksanaan pernikahan tersebut dengan mengfasilitasi pencatatannya di Dinas Catatan Sipil Kota Salatiga yang kebetulan dalam beberapa tahun ini berani membuat regulasi berbeda dengan mengsahkan pernikahan beda agama.


Terlepas dari boleh tidaknya pernikahan tersebut baik dalam fiqh Islam maupun hukum positif Indonesia, ada satu hal besar yang dapat saya ambil hikmahnya dari ritual sakral tersebut, yaitu Humanisme (kemanusiaan). Agama & negara tidak seharusnya menjadi penghalang dalam menyatukan 2 manusia dalam satu ikatan cinta dan kasih sayang. Ketika memang benar bagian dari tulang rusuk yang telah ditakdirkan ternyata mempunyai keyakinan yang berbeda apakah akan dengan lantang harus ditolak dan tidak diakui ??? Islam yang rahmatan lil alamin adalah sebuah ideologi yang harus dibangun dalam menggapai cita-cita kemanusiaan yang penuh cinta kasih dan kedamaian kepada sesama, dan negara harus mengfasilitasi itu.

M. Najmuddin H.
Direktur Forum Diskusi Lingkar Studi Gender (LSG) IAIN Salatiga

*Tulisan ini tidak bermaksud melegitimasi pernikahan beda agama. Masih banyak cerita tentang pernikahan tersebut terutama tentang pelaksanaan akad nikahnya. Insyaallah akan saya ceritakan dalam tulisan yang lain.

Jangan Membela Orang NU Yang Korup

20.27 0
Jangan Membela Orang NU Yang Korup
Salam Anti Korupsi
Saya tidak habis fikir bagaaimana seorang Juru Bicara dari Fuad Amin Imran (Ketua DPRD Bangakalan, Mantan Bupati) bisa meminta kepada KPK untuk bertindak lebih sopan dan tidak arogan kepada Fuad Amin hanya gara-gara dia keturunan dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada al-Maghfurlah Syaikhona Kholil yang juga guru dari Hadrotussyekh KH. Hasyim Asy'ari, seharusnya pihak keluarga besar Bani Kholil harus ikut berperan aktif dalam membantu KPK mengungkap tindak pidana korupsi yg dilakukan oleh salah satu anggota keluarganya tersebut. Hal ini sangat lah penting untuk menunjukkan semangat cita-cita yang diusung oleh Syaikhona Khalil Bangkalan dalam menciptakan Negara Indonesia sebagai Negara Daarus Salam, Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur. Bukan sebaliknya dengan meminta kepada KPK berbelas kasihan kepada Eks Bupati yang telah menodai nama agung kakeknya sekaligus guru Besar NU tersebut. Saya yakin bahwa Syaikhona Kholil merupakan orang yang tegas dalam pemberantasan korupsi karena beliau mengikuti ketegasan Nabinya Muhammad Shallaallahu Alai Wasallam ketika bersabda bahwa akan tetap memotong tangan seorang pencuri sekalipun anaknya fatimah yang melakukannya. Seperti juga beliau mengikuti ketegasan Amirul Mukminin Umar bin Khatab Rhadiyaallahu 'anhu ketika mencambuk sendiri anaknya sampai meninggal karena anaknya melakukan beberaoa tindakan pidana besar.
Para ulama dan pendahulu kita di Nusantara ini adalah orang-orang yang konsen dalam menciptakan & memperjuangkan negara Indonesia yang merdeka, maju dan sejahtera, bukan orang yang meminta nama mereka dikenang & dihormati, apalagi sampai anak cucu mereka dibelaskasihani ketika melakukan sebuah tindakan jarimah atau pidana.

M. Najmuddin H
Direktur Penelitian & Pengembangan Jaringan Gerakan Mahasiswa Anti Korupsi (Gemak) Kota Salatiga

Upacara Pernikahan dalam Masyarakat Adat Jawa

20.04 0
Upacara Pernikahan dalam Masyarakat Adat Jawa
 Resensi Buku Pengantar Hukum Adat karya Soerojo Wignjodipoera



A. Pernikahan Dalam Pandangan Masyarakat Adat Jawa
Dalam hukum adat Jawa, pernikahan bukan hanya merupakan periwtiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi pernikahan atau perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh para arwa-arwah leluhur oleh kedua belah pihak. Dan dari arwah-arwah inilah kedua belah pihak beserta seluruh keluarganya mengharapkan juga restunya bagi mempelai berdua, hingga mereka ini setelah menikah selanjutnya dapat hidup rukun bahagia sebagai suami isteri sampai kakek nenek (Wignjodipoero, 1995: 122).
Bila suatu masyarakat memeluk agama Islam ataupun Kristen, maka terlihat adanya pengaruh agama yang bersangkutan terhadap ketentuan-ketentuan tentang perkawinan adat. Perkawinan secara Islam ataupun Kristen tidak memberikan kewenangan  turut campur yang begitu jauh dan menentukan pada keluarga, kerabat dan persekutuan seperti dalam adat. Oleh karena itu perkawinan menurut hukum Islam dan Kristen itu membuka jalan bagi mereka yang memeluk agama-agama tersebut untuk menghindari kekuasaan-kekuasaan kerabat, keluarga dan persekutuan seperti keharusan memilih istri dari “hula-hula” yang bersangkutan, keharusan exogami, keharusan endogami dan lain sebagainya. Inilah sebabnya juga, bahwa kekuatan-kekuatan pikiran tradisional serta kekuasaan-kekuasaan tradisional dari pada para kepala adat serta para sesepuh-sesepuh kerabat sangat kurang dapat menyetujui cara-cara perkawinan yang tidak memprhatikan ketentuan-ketentuan adat.
Dalam perkembangan jaman proses pengaruh ini berjalan terus dan akhirnya ternyata, bahwa:
  1. Bagi yang beragama Islam, nikah menurut Islam itu menjadi satu bagian dari perkawinan adat keseluruhannya.
  2. Bagi yang beragama Kristen, hanya unsur-unsur dalam perkawinan adat yang betul-betul secara positif dapat digabungkan dengan agama Kristen saja yang masih dapat diturut (Wignjodipoero, 1995: 134-135).
Seperti sudah diuraikan di atas tadi, maka acara nikah menurut agama Islam ini merupakan bagian dari pada seluruh upacara-upacara perkawinan adat. Dengan demikian, maka sebelum dan sesudah nikah, masih terdapat upacara-upacara perkawinan adat yang di seluruh daerah hingga kini senantiasa masih dilakukan dengan penuh khidmat.
Nikah secara Islam ini yang dilaksanakan menurut hukum fiqh adalah merupakan bagian yang sangat menentukan dari keseluruhan acara perkawinan adat. Nikah merupakan juga hal yang amat penting baik yang bersangkutan, yaitu suami istri, maupun bagi masyarakat pada umumnya. Hal ini merupakan penentuan, mulai saat manakah dapat dan harus dikatakan, bahwa ada suatu perkawinan selaku suatu kejadian hukum dengan segala  akibat hukum-hukumnya.
Nikah ini adalah suatu perjanjian, suatu kontrak ataupun suatu akad antara mempelai laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan lain pihak. Perjanjian ini terjadi dengan suatu “ijab” dilakukan oleh wakil bakal istri yang kemudian diikuti dengan suatu “kabul” dari bakal suami dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang muslim laki-laki, yang merdeka, sudah dewasa, sehat pikirannya serta baik adat kebiasaannya (Wignjodipoero, 1995: 135).
Di Indonesia yang menjadi saksi ini biasanya pegawai-pegawai dari jawatan agama bagian Islam. Ini berhubungan erat dengan Undang-undang tanggal 21 Nopember 1946 nomor 22 yang dinamakan  “Undang-undang Pencatatan nikah, talak dan rujuk”  yang mulai berlaku bagi Jawa dan  Madura pada tanggal 1 Pebruari 1947 (Penetapan Mentri Agama tanggal 21 Januari 1947), bagi Sumatra pada tanggal 16 juni 1949 (Ketetapan Pemerintah Darurat Replulik Indonesia tanggal 14 Juni 1949 No. 1/P.D.R.I./K.A.) dan bagi daerah-daerah lainnya pada tanggal 2 Nopember 1954 (Undang-undang tanggal 26 Oktober 1954 Nomor 32 tahun 1954).
Perlu ditegaskan, bahwa menurut Undang-undang dimaksud di atas, pegawai-pegawai dari Jawatan Agama (biasanya pegawai pencatat nikah) itu tugasnya sebagai saksi hanya mengawasi pernikahan saja, supaya dilakukan betul-betul menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam hukum Islam. Yang diawasi adalah terutama apakah betul-betul ada persetujuan dari kedua belah pihak serta apakah telah dipastikan mas-kawinnya (mahr dalam hukum Islam). Sah atau tidaknya pernikahan sama sekali tidak tergantung dari pada pengawasan ini. Apabila dilakukan di luar pengawasan dan penegetahuan pegawai pencatat nikah, pernikahan adalah sah juga, asalkan dilakukan dengan memperhatikan penuh ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam (Wignjodipoero, 1995: 136).

B.        Upacara Pernikahan Dalam Pandangan Masyarakat Adat jawa
Upacara-upacara adat pada suatu pernikahan ini berakar pada adat istiadat serta kepercayan-kepercayaan sejak dahulu kala. Sebelum agama Islam masuk di Indonesia adat istiadat ini telah diikuti dan senantiasa dilakukan. Upacara-upacara adat ini sudah mulai dilakukan pada hari-hari sebelum pernikahan serta belangsung sampai hari-hari sesudah upacara pernikahan. Upacara ini di berbagai daerah di Indonesia tidaklah sama sebab dilangsungkan menurut adat kebiasaan di daerah masing-masing (Wignjodipoero, 1995: 137).
Upacara adat pada perkawinan di daerah Jawa Tengah dalam garis besarnya tidak berbeda dengan daerah pasundan, hanya istilah-istilahnya yang barang tentu sudah berbeda serta pelaksanaannya berbeda. Juga di daerah ini, setelah upacara lamaran, pemberian peningset serta pertunangan, menjelang hari pernikahan terdapat upacara-upacara adat.
Menjelang hari pernikahan, bakal; mempelai laki-laki dengan diawali oleh suatu perutusan yang mewakili orang-tua dan kerabatnya menuju ke rumah bakal mertua untuk menjalani apa yang disebut “nyantri” yaitu menunggu sampai tiba saat nikah, berdiam di tempat yang khusus ditunjuk oleh bakal mertua. Lazimnya tempat ini (“pondokan temanten laki-laki”) letaknya di sekitar rumah bakal mertua, kadang-kadang malah dalam satu pekarangan. Kesempatan ini biasanya dipergunakan juga oleh pihak mempelai laki-laki untuk menyerahkan petukan-nya kepada pihak mempelai perempuan.
Sementara itu di rumah mempelai perempuan sendiri pada hari menjelang hari pernikahan juga sudah diadakan upacara-upacara adat, yaitu:
a.         Pertama-tama dilakukan upacara mandi “kembang setaman” yakni bakal mempelai perempuan sebelum dirias dimandikan dengan air kembang setaman oleh para pinesepuh wanita (nenek, saudara-saudara perempuan bapak-ibu, kakak-kakak perempuan). Setelah selesai mandi, maka mulailah bakal mempelai perempuan dirias (Wignjodipoero, 1995: 141).
b.         Pada malam harinya, yaitu malam menjelang pernikahan di rumah mempelai perempuan dilangsungkan apa yang disebut midodareni”, yaitu malam tirakatan di mana kerabat pihak perempuan, khususnya para pinesepuh, menghadiri hajat ini hingga jauh malam. Maksud upacara ini adalah memohonkan taufik dan hidayat yang maha kuasa serta berkah restu para leluhur supaya perkawinan yang esok hari akan dilangsungkan itu akan membawa kebahagiaan bagi mempelai berdua beserta kerabatnya masing-masing.
c.         Malam tiraktan demikian ini juga dilakukan di pondokan bakal mempelai laki-laki. Esok harinya sebelum memakai pakaian temanten bakal mempelai laki-laki biasanya melakukan pula upacara “mandi” seperti halnyamempelai perempuan, hanya di sini yang memandikan sudah barang tentu para sesepuh kerabat mempelai laki-laki. Upacara pernikahannya sendiri, akhir-akhir ini kebanyakan dilakukan di rumah mempelai perempuan dan tidak lagi di masjid.
d.        Selain nikah, maka segera dilakukan upacara “panggih temanten”. Yaitu kedua mempelai, mempelai laki-laki digandeng oleh pinisepuh pria dan mempelai perempuan digandeng oleh pinisepuh wanita,diketemukan dengan disaksikan oleh seluruh tamu yang hadir pada hajat perkawinan tersebut. Pada upacara “panggih tementen” ini dilakukan juga upacara saling melempar bingkisan sirih, menginjak telor, mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air-setaman dari bokor yang telah disediakan khusus untuk itu. Upacara panggih temanten ini dilangsungkan di pintu tengah, jalan masuk dari serambi mika (pendopo) ke serambi dalam (ndalem) (Wignjodipoero, 1995: 142).
e.         Selesai upacara ini, kedua mempelai bergandengan tangan ke serambi dalam dan mengambil tempat di kursi temanten. (pada jaman dulu tempatnya temanten berdua itu di muka krobongan serta duduk di bawah). Di sebelah kiri kanan tempat dudk temanten ini ada gagar-mayang-nya. Kemudian dilakukan acara menimbang temanten oleh bapak mempelai perempuan. Pada upacara ini mempelai laki-laki duduk di pangkuan sebelah kanan, sedangkan mempelai perempuan duduk di pangkuan sebelah kiri. Kemudian apabila ditanyakan oleh ibu temanten perempuan di antara kedua mempelai itu siapa yang lebih berat, maka di sini bapak harus menjawab “sama beratnya”.
f.          Upacara berikutnya adalah upacara sungkem atau ngabekti, yaitu mempelai berdua berturut-turut mencium lutut para pinisepuh; maksudnya mohon berkah restu. Setelah itu biasanya temanten berdua menuju kekamar temanten untuk ganti pakaian. Ada kebiasaan selesai ganti pakaian dilakukan dahar kempul, artinya makan bersama nasi kuning dengan ingkung ayam.
Di daerah-daerah tertentu, seperti di Surakarta, setelah dahar kempul ini, diadakan upacara kirab, yaitu mempelai berdua dengan dihantarkan oleh anggota-anggota keluarga terdekat, mengadakan perjalanan keliling rumah. Setelah kirab ini, maka upacara-upacara pada hari pernikahan telah selesai. Beberapa hari setelah pernikahan ini lazimnya setelah sepasar (lima hari), maka ada kebiasaan diadakan upacara ngunduh temanten. Demikianlah pada garis besarnya upacara-upacara adat pada perkawinan di daerah Jawa Tengah.
Perlu kiranya dipahami di sini, bahwa dalam perkembangan jaman ini, sudah barang tertentu upacara-upacara adat pada perkawinan itu mendapat pengaruhnya. Hanya pengaruh perkembangan jaman ini kiranya tidak akan dapat menghapus upacara-upacara adat yang sudah berakar pada tata kehidupan rakyat itu; pengaruh yang ada kiranya hanya berupa penyederhanaan pelaksanaannya saja (Wignjodipoero, 1995: 142-143).   

Sumber Buku :
Soerojo Wignjodipoera. 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.

Adat Istiadat Dalam Pandangan Islam

20.00 1
Adat Istiadat Dalam Pandangan Islam
Adat Istiadat Dalam Pandangan Islam
Oleh. M. Najmuddin Huda


Dalam istilah bahasa arab, adat dikenal dengan istilah ‘adat atau ‘urf yang berarti tradisi. Kedua itilah tersebut mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda. Dalam pembahasan lain, ‘adat  atau ‘urf dipahami sebagai sesuatu kebiasaan yang telah berlaku secara umum di tengah-tengah masyarakat. Di seluruh penjuru negeri atau pada suatu masyarakat tertentu yang berlangsung sejak lama (Fadal, 2008: 69).
Dari definisi tersebut, para ulana menetapkan bahwa sebuah tradisi yang bisa dijadikan sebagai sebuah pedoman hukum adalah:
1.        Tradisi yang telah berjalan sejak lama yang dikenal oleh masyarakat umum.
2.        Diterima oleh akal sehat sebagai sebuah tradis yang baik.
3.        Tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.
Menurut para ulama’, adat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum syara’ apabila tradisi tersebut telah berlaku secara umum di masyarakat tertentu. Sebaliknya jika tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut dilakukan.
Syarat lain yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. Artinya, sebuah tradisi bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an maupun al-Hadis. Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat. Nash yang dimaksudkan disinimaadalah nash yang bersifat qath’i (pasti), yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.
Namun demikian, ulama’ masih melakukan penafshilan (perincian) mengenai hubungan antara ‘urf atau ‘adat (tradisi) dengan syara’. Dalam beberapa masalah, tradisi bisa dibenarkan meskipun bertantangan dengan nash. Pertentangan ini secara khusus adalah mengenai bahasa, yakni antara bahasa yang dipakai dalam nash al-Qur’an atau al-Hadis dengan bahasa yang lumrah digunakan atau diungkapakan dalam msyarakat (Fadal, 2008: 69-70).
Sedangkan jika ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf atau adat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.        ‘Urf Sahih, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, tidak bertentangan dengan ajaran agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya pemberian pihak laki-laki kepada calon istrinya dalam pelaksanaan pinangan dianggap sebagai hadiah, bukan mahar. Ini seperti juga kebiasaan penduduk kota Baghdad dulunya untuk menyiapkan makan siang bagi tukang yang bekerja dalam pembangunan rumah.
2.        ‘Urf Fasid (adat kebiasaan yang tidak benar), yaitu suatu yang menjadi kebiasaan yang sampai pada penghalalan sesuatu yang diharamkan oleh Allah (bertentangan dengan ajaran agama), undang-undang negara dan sopan santun. Misalnya menyediakan hiburan perempuan yang tidak memelihara aurat dan kehormatannya dalam sebuah acara atau pesta, dan akad perniagaan yang mengandung riba (Effendi, 2008: 154-155).
Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa pada saat Islam datang dahulu, masyarakat telam mempunyai adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda. Kemudian Islam mengakui yang baik diantaranya serta sesuai dengan tujuan-tujuan syara’ dan prisnsip-prinsipnya. Syara’ juga menolak adat istiadat dan tradisi yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Disamping itu ada pula sebagian yang diperbaiki dan diluruskan, sehingga ia menjadi sejalan dengan arah dan sasarannya. Kemudian juga banyak hal yang telah dibiarkan oleh syara’ tanpa pembaharuan yang kaku dan jelas, tetapi ia biarkan sebagai lapangan gerak bagi al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang baik). Disinilah peran ‘urf yang menentukan hukumnya, menjelaskan batasan-batasannya dan rinciannya (Al-Qardhawi, 1993: 19).
Telah dijelaskan diatas bahwa sebuah tradisi yang berjalan secara umum di tengah-tengah masyarakat memeiliki kekuatan hukum bagi mereka. Artinya, tradisi tersebut dapat dibenarkan untuk terus dipertahankan. Sebaliknya, jika sebuah tradisi belum berlaku secara umum, maka tradisi tersebut tidak bisa dijadikan sebagai ketetapan hukum. dalam al-Qur’an juga diceritakan mengenai sebagian kebiasaan masyarakat Arab yang ditetapkan sebagai hukum. Diantaranya adalah dalam surat an-Nur ayat 58, yaitu:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
 Memelihara ‘urf  dalam sebagian keadaan juga dianggap sebagai memelihara maslahat itu sendiri. Hal ini bisa disebut demikian karena diantara maslahat manusia itu adalah mengakui terhadap apa yang mereka anggap baik dan biasa, dan  keadaan mereka tersebut telah berlangsung selama bertahun-tahun dan dari satu generasi ke generassi berikutnya. Sehingga ini menjadi bagian dari kehidupan sosial mereka yang sekaligus sukar untuk ditinggalkan dan berat bagi mereka untuk hidup tanpa kebiasaan tersebut (Al-Qardhawi, 1993: 21).
Diantara masalah yang bisa dijadikan sebagai ketetapan hukum adalah tradisi Mitoni. Tradisi mitoni adalah tradisi yang dilakukan untuk selamatan tujuh bulan dari kehamilan yang ibu atau ketika usia kandungan menginjak tujuh bulan. Tradisi tersebut lumrah terjadi di daerah Jawa, sehingga tradisi tersebut dapat dibenarkan terus berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ini disebabkan karena disamping tradisi semcam itu tidak bertentangan dengan nash, ia juga dianggap tradisi yang baik oleh masyarakat yang secara turun-temurun melestarikannya lain  (Fadal, 2008: 76).


Daftar Pustaka
Al-Qardhawi, Yusuf. 1993. Keluasan Dan Keluesan Hukum Islam. Semarang : Bina Utama.
Effendi, M. Zein Satria. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Kencana.
Fadal, Moh. Kurdi. 2008. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: CV. Artha Rivera.