November 2014 - Sang Pemburu Badai

Rabu, 19 November 2014

Harga BBM Tidak Seharusnya Naik

04.43 0
Harga BBM Tidak Seharusnya Naik


Presiden kita yang baru, Joko Widodo dengan secara tergesa-gesa mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan yang diumumkan pada jam 9 malam tersebut cukup membuat masyarakat heboh. Malam itu juga di beberapa daerah di Indonesia terutama mahasiswa melakukan demonstrasi yang tidak sedikit berakhir kericuhan dan bentrokan. Mereka banyak yang tidak memahami akan alasan-alasan pemerintah dalam menaikkan harga BBM yang mereka pandang tidak logis. Seperti juga saya yang tidak bisa memahami alasan tersebut dengan akal sehat.

Alasan Pengalihan Subsidi BBM (Bahasa yang cantik untuk melegitimasi kenaikan harga BBM) yang diungkapkan oleh Presiden Jokowi adalah
1. Untuk perbaikan infrastruktur. Jika infrasturktur dibenahi dan menjadi bagus, sama saja yang menikmati adalah orang-orang mampu. Mayoritas infrastruktur yang akan dibenahi adalah jalan di seluruh Indonesia, dan yang menikmatinya lebih jauh adalah orang-otang kaya. Saya yakin yang ngomel karena jalan rusak mayoritas adalah orang kaya dengan motornya dibanding orang miskin dengan kakinya...
2. Untuk biaya pendidikan kesehatan dan yang lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa progam Jokowi yang terbaru, yaitu KIP, KIS ddan kartu-kartu sakti lainnya itu anggarannya diambilkan dari anggaran yang masih bisa didapatkan dari APBN P 2014 (masa pemerintahan Presiden SBY). Bahkan katanya berasal dari CSR BUMN. Jadi bukan diambilkan dari hasil pengalihan subsidi BBM.

Adalah tidak masuk akal harga BBM naik ketika
1. Harga minyak dunia turun. Dalam undang-undang disebutkan bahwa pemerintah diperbolehkan untuk menaikkan harga BBM jika harga minyak dunia naik sekitar 15%.
2. Subsidi adalah kewajiban negara yang dicantumkan dalam Undang-undang. Walaupun ada ketidak tepatan sasaran dalam pemberian subsidi BBM yang terjadi selama ini maka yang perlu dilakukan adalah memperbaiki sistem penyaluran subsidi tersebut, bukan dengan cara mencabutnya. Pemerintah selama ini saya pandang belum ada usaha yang maksimal untuk mengantisipasi kesalahan dalam penyaluran subsidi BBM.
3. Jokowi baru saja dilantik. Ini adalah hal yang sangat musykil sekali. Saya kuatir jika masyarakat menjadi su'udzon bahwa kenaikan BBM bertujuan untuk melunasi hutang kampanye Jokowi atau mulai memberi jalan kepada para mafia migas...... ????????
 4. Rini Soemarno (Mentri BUMN) ingin membajak kewenangan Presiden tentang pemilihan Dirut BUMN. Bahkan ada isu bahwa Keppresnya tersebut telah disiapkan sendiri oleh Mentri Rini Soemarno dan Presiden Jokowi tinggal menandatanganinya. Sejak awal Rini Soemarno di Tim Transisi saya sudah curiga dengan kepentingan di belakangnya, terutama juga karena kedekatannya dengan Megawati.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Presiden Jokowi, saya yakin kebijakan beliau ini telah diperhitungkan dengan matang. Saya juga yakin beliau sebagai seorang pemimpin ingin memajukan negara Indonesia, memakmurkan rakyatnya dan tidak ingin menyengsarakannya. Tetapi seseorang itu juga tidak luput dari namanya sebuah kekeliruan, apalagi seseorang itu berkaitan dengan politik. Saya sebagai mahasiswa tentunya berperan dalam mengawal kebijakan beliau yang saya pandang salah atau kurang tepat.
"Kematian Gakan Mahasiswa Adalah Ketika Mahasiswa Apatis Terhadap Perbuatan Pemerintah"

Senin, 17 November 2014

Kawin Hamil Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) & Fiqih Islam

15.11 0
Kawin Hamil Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) & Fiqih Islam

Oleh M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan mahluk-Nya di dunia ini dengan berpasang-pasangan. Diharapkan dengan berpasang-pasangan tersebut dapat memberikan keturunan yang akan tetap memberikan kesinambungan kehidupan di muka bumi ini. Dengan demikian bumi ini tidak pernah kosong, tetapi terus berkembang dari masa ke masa.
Ketika Allah mengirimkan banjir kepada umat Nabi Nuh, Allah memerintahkan kepada rasul-Nya itu untuk membawa hewan-hewan ke dalam kapal penyelamatnya secara berpsangan. Tidak semua hewan dapat terangkut ke dalam kapal ini. Tetapi paling tidak banyak banyak spesies hewan yang diangkut oleh Nabi Nuh ke dalam kapalnya itu. Ini memberikan hikmah bahwa Allah sendiri memerintahkan kepada manusia untuk ikut menjaga keberlangsungan dan kesinambungan generasi mahluk-mahluk-Nya di muka bumi ini.
Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya untuk memakmurkan dunia ini. Dengan ini Allah membekali manusia dengan akal dan hati. Diharapkan dengan ini manusia dapat berfikir dan membimbingnya memperoleh kebahagiaan. Dengan akal dan hatinya pula manusia diharapkan mendapatkan pasangannya yang baik di bumi ini.
Berbeda dengan mahluk-mahluk Allah yang lain, dalam mendapatkan pasangannya manusia dikenakan syarat-syarat khusus. Syarat-syarat tersebut terkumpul dalam sebuah akad yang dinamakan pernikahan. Tentunya perbedaan ini disebabkan karena Allah telah memberikan keistimewaan yang sangat besar kepada manusia, yaitu akal dan hati. Diharapakan pula dengan akal dan hati tersebut manusia dapat menemukan pasangannya secara halal dan bisa menjadi pasangan yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
Perkawinan dan pernikahan adalah hal yang sama. Pernikahan sangat dianjurkan oleh agama sebagaimana banyak termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Ini seperti pendapat Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Hukum-Hukum Fiqh Islam ketika memberikan pengertian tentang pernikahan yaitu “Nikah, sutau aqad syar’y (ikatan keagamaan) yang dianjurkan Syara’” (Ash-Shiddieqy, 1978: :265).
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengertian tentang pernikahan atau perkawinan dalam pasal 2 “yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” (Depag, 2000:14).
Yang dituntut oleh agama adalah perkwaninan yang sah. Karena dengan perkawinan yang sah itu diharapakan dapat terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Dengan mensyariatkan nikah, tentunya Allah juga mempunyai tujuan-tujuan. Dalam hal ini Dr. Yusuf Qadwhawi mengungkapkan.
Kalu sekiranya perkawinan itu tidak disyariatkan, tentu naluri seksual tidak dapat tersalurkan dan tidak dapat memainkan perannya dalam menjaga eksistensi manusia. Kalu sekiranya zina itu tidak diharamkan, hubungan seksual tidak dibatasi hanya oleh laki-laki dan wanita tertentu yang diikat tali pernikahan, niscaya tidak terwujudlah keluarga yang membangun perasaan sosial yang luhur, berupa cinta dan kasih sayang. Kalau tidak ada keluarga tentu tidak terbentuk suatu masyarakat, bahkan tidak ada usaha ke arah yang lebih baik lagi sempurna (Qardhawi, 2003:214-215).

Walaupun begitu kadangkala masih banyak menusia yang mencari pasangan-pasangannya dengan jalan yang melenceng dari jalan yang telah digariskan oleh syariat. Dengan mengikuti hawa nafsunya mereka melakukan perzinaan. Padahal Allah sendiri telah menetapkan zina sebagai perbuatan dosa besar yang ancaman hukumannya di dunia dan akhirat sangatlah berat. Setelah melakukan perzinaan mereka baru melakukan pernikahan.
Dalam surat an-Nur, Allah menjelaskan bahwa Dia telah menyiapkan seorang perempuan yang baik untuk seorang laki-laki yang baik, dan menyiapkan perempuan yang buruk untuk laki-laki yang buruk. Serta laki-laki pezina hanyalah pantas mendapatkan perempuan pezina, dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini Dr. Yusuf Qardhawi memberikan penjelasan lebih lanjut.
Karena itu, barang siapa tidak menerima dan tidak berpegang teguh kepada hukuman ini, ia adalah musyrik. Tidak akan menerima perkawinannya kecuali mereka yang juga musyrik. Dan barang siapa mengakui, menerima, dan berkomitmen dengan hukuman ini, akan tetapi ia melanggar dan menikah dengan perempuan yang diharamkan baginya, ia hakikatnya berzina (Qardhawi, 2003: 266).

Tidak jarang pula pernikahan itu dilakukan pada saat perempuan tersebut sedang hamil karena hubungan zina. Tujuannya pun bermacam-macam.  Adakalanya untuk menutupi aib keluarga perempuan tersebut. Atau juga keluarga perempuan tersebut takut laki-laki yang menghamilinya akan kabur dan tidak bertanggungjawab. Karena tidak jarang laki-laki yang menghamili seorang perempuan di luar nikah akan melarikan diri untuk melepaskan tanggungjawabnya (Hasan, 2006:253-254).

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut setidaknya terdapat dua permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu:
1.      Pernikahan perempuan pezina.
2.      Status pernikahan perempuan yang sedang hamil karena zina dipandang dari perspektif KHI dan fiqih Islam.




BAB II
KAWIN HAMIL


A.    Kawin Hamil Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kawin hamil yang dimaksud disini sudah bisa dipahami sebagai sebuah akad pernikahan yang dilakukan seorang perempuan yang hamil diluar nikah, baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan laki-laki lain. Dan bukan dipahami sebagai sebuah pernikahan perempuan hamil secara mutlak, karena perempuan yang ditinggal mati suaminya atau dicerai dalam keadaan hamil dari pernikahan yang sah maka haram dinikahi. Ini disebabkan karena perempuan tersebut masih dalam keadaan iddah atau masa menunggu.
Sejatinya orang yang masih dalam keadaan ‘iddah atau masa menunggu dilarang melakukan akad perkawinan. Salah satu kategori orang yang mempunyai masa ‘iddah adalah seorang istri yang sedang hamil karena pernikahan yang sah yang ditinggal mati suaminya atau dicerai. Perempuan tersebut tidak diperbolehkan melangsungkan akad pernikahan dengan orang lain selama masa kehamilannya sampai ia melahirkan anaknya. Dan jika melangsungkan akad pernikahan maka dianggap batal. Ini ditujukan untuk menjaga nasab dan agar tidak ada keragu-raguan tentang ayah dari anak tersebut (An-Nawawi, 2005:412)
Masalah ini juga termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 ayat 2c “Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu diteteapkan sampai melahirkan”, dan ayat 2d “Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan” (Depag, 2000:71).
Ternyata larangan untuk menikahi perempuan hamil dari perkawinan yang sah tidak berlaku untuk perempuan yang hamil di luar nikah. Bahkan pernikahan perempuan hamil di luar nikah sendiri secara sah diakui dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hal ini dimuat dalam pasal 57 ayat 1 KHI yang berbunyi “seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” (Depag, 2000:33).
Akad perkawinan yang dilangsungkan antara perempuan yang hamil di luar nikah dengan laki-laki yang menghamilinya tidak harus menunggu sampai melahirkan bayinya. Pernikahan dapat dilangsungkan pada saat perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil. Dan akad tesebut juga sah, seperti yang tertera dalam pasal 53 ayat 2 KHI “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya” (Depag, 2000:33).
Akad perkawinan yang dilangsungkan pada saat perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil sudah dianggap sah demi hukum. Setelah anak yang dikandung itu lahir, maka tidak diperlukan perkawinan ulang lagi antara perempuan dan laki-laki tadi. Ini seperti yang termaktub dalam pasal 53 ayat 3 KHI “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir” (Depag, 2000:33).
B.     Kawin Hamil Dalam Perspektif Fiqih Islam
1.      Pernikahan Wanita Pezina
Dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 3 dijelaskan bahwa perempuan pezina dilarang menikah kecuali dengan laki-laki pezina juga. Dalam hal ini Dr. Yusuf Qardhawi (2003:264) dalam bukunya yang berjudul Halal Haram Dalam Islam mengemukakan tentang ta’rif perempuan pezina “...adalah perempuan-perempuan tuna susila yang secara terang-terangan melakukan perzinaan dan menjadikannya sebagi profesi”. Melihat ta’rif tersebut, setidaknya seorang perempuan dapat dikatakan sebagai perempuan pezina jika memenuhi 2 syarat, yaitu adanya kesengajaan untuk melakukan zina dan menjadikan itu sebagai profesi.
Pejelasan Ibnu Qayyim, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Yusuf Qardhawi (2003:266) mengatakan.
Sebagaimana hukuman ini adalah ketetapan al-Qur’an yang sangat demikian jelas, ia juga merupakan pemenuhan fitrah dan logis adanya. Ketika Allah swt. mengharamkan hamba-hamba-Nya menjadi mucikari dan suami perempuan nakal, sesungguhnya Dia juga menciptakan manusia dengan naluri yang tidak menyukai hal itu. Karena itulah, jika ingin memperolok-olok seseorang, masyarakat dahulu mengatakannya sebagai ‘suami pelacur’. Karena itu, Allah swt. meng-haramkannya bagi seorang muslim, agar ia tidak menjadi orang semacam itu.

Larangan menikahi perempuan pezina, selain terdapat dalam al-Qur’an, juga terdapat dalam sebuah hadis. Yaitu hadis yang menceritakan tentang peristiwa seorang sahabat yang meminta izin kepada Nabi Muhammad untuk menikahi seseorang pezina. Namun Nabi melarang sahabat itu untuk menikahi perempuan tersebut. Sedangkan larangan-larangan menikahi perempuan pezina secara tegas diungkapakan oleh Allah dalam surat an-Nur ayat 3 (Qardhawi, 2003: 265).
Perkawinan dengan laki-laki atau perempuan pezina dapat melecehkan kehormatan dirinya sebagai anggota masyarakat. Selain itu juga dapat menggugurkan status kewarganegaraannya atau menghalanginya dari hak-hak tertentu. Selain itu juga, perkawinan itu dapat menyebabkan rusaknya martabat seorang manusia dan merusak nasab yang telah ditentukan oleh Allah yang ditujukan untuk kemaslahatan mereka. Zina dapat menyebabkan bercampur baurnya air mani dan menjadikan rancunya sebuah nasab (Qardhawi, 2003: 266).
Dalam larangan menikahi perempuan pezina seseungguhnya terdapat hikmah yang sangat besar. Ketika Allah mengharamkan hambanya untuk menjadi mucikari dan suami dari perempuan nakal, seseungguhnya Dia juga menciptakan manusia yang tidak menyukai hal itu. Maka dengan seizin Allah seorang laki-laki yang baik akan mendapatkan istri yang baik pula (Qardhawi, 2003: 266).
Walaupun begitu, sebenarnya larangan untuk menikahi perempuan pezina merupakan masalah khilafiyah. Tidak semua ulama’ secara sepakat mengatakan bahwa perempuan pezina dilarang dinikahi secara mutlak. Tidak sedikit dari para ulama’-ulama’ itu yang memperbolehkan menikahi perempuan pezina, walaupun ada sebagian diantara mereka yang menetapkan syarat-syarat tertentu agar perempuan pezina tersebut dapat dinikahi (Ash-Shiddieqy, 1978:279).
Imam Malik dan Imam Ahmad, seperti yang dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy memperbolehkan menikahi perempuan pezina yaitu perempuan jalang atau pelacur. Sedangkan Imam Ahmad juga memperbolehkan menikahi perempuan pezina tetapi dengan syarat perempuan tersebut telah bertobat. Ketika perempuan tersebut belum bertobat maka diharamkan untuk menikahinya (Ash-Shiddieqy, 1978:285).

2.      Kawin Hamil Dalam Pandangan Ulama Fiqih
Dalam fiqih Islam sendiri para ulama’ sebenarnya masih berbeda pendapat tentang hukum menikahi perempuan yang hamil karena zina. Tak sedikit ulama’ yang mengharamkan pernikahan ini. Alasannya pun bermacam-macam. Ada yang mengharamkan karena berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena zina tersebut mempunyai iddah seperti perempuan hamil pada umumnya. Sehingga perempuan tersebut haram dinikahi sampai melahirkan anknya. Selain itu para ulama’ juga ada yang berpendapat bahwa tidak boleh menikahi perempuan tersebut kecuali oleh laki-laki yang berzina dengannya.
Salah satu ulama’ yang mengatakan diperbolehkannya menikahi perempuan yang hamil karena zina adalah Imam Nawawi. Beliau menjelaskan bahwa anak yang dikandung oleh perempuan tersebut tidak akan bisa dinasabkan kepada seorang lelaki pun, maka dari itu kehamilannya pun dianggap tidak ada atau tidak berpengaruh sama sekali terhadapnya. Sehingga status kehamilan perempuan tersebut tidak akan menghalangi dirinya untuk melaksanakan akad nikah (An-Nawawi, 2005:413).
Ketika seorang perempuan berzina, maka tidak wajib baginya adanya ‘iddah, ini seperti yang ditegaskan Imam Nawawi. Baik perempuan itu dalam keadaan hamil maupun tidak setelah melakukakan perbuatan zina tersebut. Sehingga hukum yang berlaku terhadap perempuan hamil sebab berzina berbeda dengan perempuan yang hamil sebab pernikahan yang sah. Perbedaan itu ialah karena perempuan yang hamil sebab pernikahan yang sah akan dikenai ‘iddah jika ditinggal mati suaminya atau dicerai, sedangkan perempuan yang hamil karena zina tidak mempunyai masa ‘iddah (An-Nawawi, 2005:413).
Imam Nawawi memberikan keterangan lebih lanjut, bahwa perempuan pezina yang tidak hamil boleh (mubah) dinikahi oleh orang yang berzina dengannya maupun oleh orang lain. Sedangkan apabila perempuan tersebut dalam keadaan hamil, maka menikahinya sebelum melahirkan dihukumi makruh. Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat Imam Abu Hanifah seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi (An-Nawawi, 2005:414).
Jika para ulama’ Syafi’iyyah dan Hanafiyyah berpandangan bahwa perempuan yang hamil karena zina boleh dinikahi oleh siapapun, maka pendapat ini berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qudamah seperti yang dikutip M. Ali Hasan. Mereka berpandangan bahwa perempuan yang hamil karena zina tidak boleh menenikah kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya. Menurut Imam Abu Yusuf, bila perkawinan itu tetap dilangsungkan maka perkawinan itu dianggap batal atau fasid. Ibnu Qudamah menambahkan, bahwa seorang laki-laki tidak boleh mengawini perempuan yang diketahuinya telah hamil karena zina dengan orang lain kecuali dengan dua syarat, yaitu perempuan tersebut telah melahirkan dan perempuan tersebut telah menjalani hukuman dera atau cambuk (Hasan, 2006:256-258).
Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan para ulama’ Syafi’iyyah, Imam Malik dan Imam Ahmad seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi mengatakan bahwa perempuan yang berzina tetap memiliki ‘iddah seperti perempuan pada umumnya. Apabila perempuan tersebut tidak hamil maka ‘iddahnya adalah tiga kali masa suci. Sedangkan apabila perempuan tersebut sedang dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai perempuan tersebut melahirkan. Sehingga konsekuensinya adalah perempuan tersebut tidak boleh dinikahi sebelum masa hamilnya habis. Imam Malik menerangkan lebih lanjut, bahwa apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan pezina tetapi laki-laki tersebut tidak mengetahuinya dan setelah pernikahan itu baru diketahui bahwa ternyata perempuan itu hamil karena zina, maka pada saat ini juga hubungan pernikahannya dianggap batal (An-Nawawi, 2005:414).
Tetapi pendapat Imam Malik ini tentunya sangatlah aneh dan janggal. Karena seorang ayah dapat dengan itu dapat mengingkari anak hasil dari hubungannya dengan seorang perempuan yang menyebabkan kehamilan diluar nikah. Ini seperti yang diuangkapkan oleh Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah.
Dengan demikian, sekalipun diketahui bahwa anak yang dilahirkan jelas-jelas anaknya, darah dagingnya, namun kalau ia lahir di luar perkawinan yang sah, maka ayah anak tersebut dengan mudah menyangkalnya dan melepaskan tanggung jawabnya. Hal ini akan memberikan stigmatisasi terhadapa anak, karena ia akan menyandang gela anak zina sekaligus diltelantarkan oleh bapaknya (Munti & Anisah, 2005:158).




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari keterangan dan pendapat-pendapat ulama diatas setidaknya dapat disimpulkan menjadi empat pendapat.
1.      Pendapat pertama yang mengatakan bahwa perempuan yang hamil diluar nikah boleh melangsungkan akad pernikahan baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan laki-laki lain. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah dan Hanafiyyah seperti yang dikutip Imam Nawawi.
2.      Pendapat kedua mengatakan bahwa perempuan yang hamil diluar nikah hanya boleh melangsungkan akad pernikahan dengan laki-laki yang menghamilinya saja. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qadamah. Pendapat ini juga merupakan bunyi pasal KHI yang menyebutkan bahwa perempuan yang hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya saja.
3.      Pendapat ketiga mengatakan bahwa perempuan hamil di luar nikah tidak boleh melangsungkan akad pernikahan. Perempuan tersebut baru boleh menikah baik dengan laki-laki yang berzina dengannya maupun dengan orang lain dengan syarat telah melahirkan kandungannya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Malik dan Imam Ahmad.
4.      Pendapat keempat, perempuan yang pernah berzina baik dalam keadaan hamil maupun tidak, tidak boleh melangsungkan akad pernikahan kecuali dengan sesama pezina. Pendapat ini merupakan pendapatnya Dr. Yusuf Qardhawi dan Ibnu Qayyim.

B.     Saran-Saran
Kendatipun terdapat banyak pendapat diatas yang dapat kita ikuti, tetapi tidak akan membuat kita leluasa untuk memilihnya. Banyak pertimbangan-pertimbangan yang akan mempengaruhi pilihan kita. Kehidupan dalam masyarakat majmuk serta hidup dalam mayarakat yang masih memegang adat ketimuran dengan erat tentunya menjadi sekian diantara beberapa pertimbangan yang akan menyambangi kita. Dampak positif serta negatif di masyarakat dalam memilih pendapat tersebut tentunya juga tak luput dalam mempengaruhi sebuah kebijakan yang akan kita ambil.
Contohnya adalah mengenai laki-laki yang mengawini perempuan hamil yang dihamili oleh laki-laki lain. Dalam hal ini M. Ali Hasan berpendapat bahwa kendatipun ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa perkawinan yang dilangsungkan itu sah, tetapi akan memberikan dampak negatif. Sebab, laki-laki akan dianggap sebagai tumbal (penutup aib), apakah dia mengawini perempuan itu dengan sukarela atau karena imbalan. Apalagi kalau laki-laki tersebut bukanlah seorang pezina atau laki-laki hidung belang. Maka sebenarnya laki-laki yang pantas menjadi pasangan perempuan itu adalah laki-laki yang pezina juga (Hasan, 2006:262).
Selain itu juga, belum ada pemberian hukum khusus yang diberikan kepada perempuan yang hamil karena menjadi korban perkosaan. Baik dalam KHI maupun Fiqih Islam agaknya memberikan pemahaman tentang hukum yang sama antara perempuan yang hamil karena zina dan perempuan yang hamil karena perkosaaan. Seharusnya hukum yang diberikan tidak disamakan dengan perempuan pezina, karena perbuatan perkosaan itu terjadi bukan atas kehendaknya sendiri. Perempuan tersebut sejatinya hanyalah korban dari perbuatan zina oleh orang lain, bukan pelaku yang menghendaki perbuatan zina tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Halal Haram Dalam Islam. Solo: Era Intermedia.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1978. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hasan, Muhammad Ali. 2006. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Siraja Prenada Media Grup.
Munti, Ratna Batara & Hindun Anisah. 2005. Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: LBH-APIK.
An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Bin Syaraf. 2005. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab. Juz 17. Beirut: Dar Al-Fikr.

Senin, 10 November 2014

Mengapa KH. Wahab Hasbullah Pantas Menjadi Pahlawan Nasional ?

15.58 0
Mengapa KH. Wahab Hasbullah Pantas Menjadi Pahlawan Nasional ?

Oleh KH. Ahmad Baso*

Almaghfurlah KH Wahab Chasbullah (lahir pada 1888 di Jombang, Jawa Timur; wafat 1971) adalah seorang kiai nasionalis, dalam pikiran dan tindakan, seorang pembela negara dan bangsa ini hidup hingga mati. Sejak nyantri di berbagai pesantren dengan sejumlah guru dan kiai, Di Mekah beliau mendirikan organisasi Sarekat Islam di tahun 1912-1914. Pulang ke Jawa di tahun 1914, beliau aktif dalam berbagai kegiatan pergerakan nasional. Ada sejumlah organisasi yang beliau dirikan: Nahdlatul Wathan (organisasi kebangsaan bersama KH Mas Mansur), Syubbanul Wathan (gerakan pemuda kebangsaan), Nahdlatuttujjar (Gerakan Kebangkitan Para Pedagang), Tashwirul Afkar (forum pencerahan pemikiran), Islamic Studi Club bersama dokter Soetomo (pendiri Boedi Otomo), serta Komite Hijaz yang menjadi embrio berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan ada cabang Boedi Oetomo Surabaya yang mengikuti Tasjwiroel Afkar, dengan nama “Suryo Sumirat afdeeling [cabang] Tasjwiroel Afkar”. Suryo Sumirat adalah nama satu perhimpunan yang dibentuk oleh orang-orang Boedi Oetomo di Surabaya.

Itu digambarkan dengan apik oleh Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya tentang karakter kosmopolit-kebangsaan sang kiai paripurna ini:
Dari pondok pesantren [tempat bergumul Kiai Wahab Chasbullah] lahirlah ide-ide yang hidup, segar dan mendapat sambutan antusias dari masyarakat, dan bukanlah ide-ide yang cuma teoritis yang mati di tengah cetusannya. Ide kebangkitan kaum ulama, ide pentingnya pengorganisasian perjuangan, ide pendekatan golongan-golongan Islam-Nasional, ide perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, ide mencetuskan kemerdekaan dan mempertahankannya, ide mengisi kemerdekaan, ide mempertemukan antara cita-cita dan kenyataan, dan tentu saja ide pembangunan di segala bidang, membangun karakter bangsa, membangun taraf hidup dan membangun prestasi nasional untuk kepentingan seluruh warga negara Republik Indonesia.

Ini misalnya ditunjukkan pada pendirian Nahdlatul Wathan. Kiai Wahab Chasbullah mendirikan organisasi pemuda ini untuk menggelorakan semangat nasionalisme di kalangan umat Islam. Ia bertemu dengan KH Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, dan sepakat dengan gagasan tersebut. Juga disambut baik oleh HOS Tjokroaminoto, Raden Pandji Soeroso, Soendjoto, dan KH Abdul Kahar, seorang saudagar terkemuka yang kemudian membantu pendanaannya.

Maka, berdirilah sebuah gedung bertingkat di Kampung Kawatan Gang IV, Surabaya, yang kemudian dikenal dengan perguruan Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air). Tujuannya, untuk mendidik kader-kader muda dan membangunkan semangat nasionalisme mereka. Pada 1916, perguruan ini mendapat Rechtsperson (resmi berbadan hukum), dengan susunan pengurus: KH Abdul Kahar sebagai Direkur, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai pimpinan Dewan Guru dan Keulamaan dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah.

Sejak itu Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Setiap hendak memulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan kebangsaan dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh Kiai Wahab dalam bentuk syair seperti berikut:

Ya ahlal wathan, ya ahlal wathan….
Hubbul wathan minal-iman
Wahai bangsaku, wahai bangsaku…
Cinta tanah air adalah bagian dari iman
Cintailah tanah air ini wahai bangsaku
Jangan kalian menjadi orang terjajah
Sungguh kesempurnaan dan kemerdekaan
harus dibuktikan dengan perbuatan…

Setelah Mas Manshur aktif di Muhammadiyah kemudian kepala sekolah dijabat oleh Mas Alwi mengembangkan sayap Nahdlatul Wathan di berbagai daerah. Madrasah Akhul Wathan (Saudara Setanah Air) di Semarang, Far’ul Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Malang, Hidayatul Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang dan Jagalan, Ahlul Wathan (Warga Tanah Air) di Wonokromo dan Khitabul Wathan di Pacarkeling. Pendirian madrasah-madrasah kebangsaan ini tidak lain adalah sebagai bentuk upaya kaum santri untuk menumbuhkembangkan semangat nasionalisme-religius ala pesantren ke dalam jiwa putera-puteri bangsa kita.

Inilah amal dan perbuatan Kiai Wahab Chasbullah untuk bangsa ini di masa penjajahan Belanda.
Kemudian, di masa pendudukan Jepang, ide-ide yang sudah dipupuk di masa kolonial Belanda dilanjutkan pada level aksi nyata. Yakni melalui pembentukan laskar rakyat-pemuda. Mengapa beralih ke pembentukan laskar rakyat? Kiai Wahab sendiri pernah mengatakan: “Kalau kita mau keras, harus mempunyai keris!” Artinya, bahwa kita baru bisa bertindak jika kita telah mempunyai kekuatan. Kekuatan politik, kekuatan militer, dan juga kekuatan batin atau rohani, demikian yang ditulis KH Saifuddin Zuhri, menafsirkan ucapan gurunya itu.

Ide ini awalnya untuk kepentingan pertahanan rakyat dalam konteks menghadapi Perang Pasifik. Tapi niat pemerintah militer Jepang itu dimanfaatkan oleh Kiai Wahab untuk menggembleng kalangan santri dalam latihan fisik-kemiliteran untuk jaga-jaga. Kiai Wahab lalu memebri nama laskar-santri itu Laskar Hizbullah. Ini dengan memanfaatkan keterlibatan para kiai dalam rekrutmen tentara PETA di Cibarusa, Jawa Barat, tahun 1944. Sepulang dari latihan militer ini, para kiai ini kemudian mengkader pasukan-pasukan Laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing. Laskar ini kemudian menjadi komponen utama perlawanan rakyat dan kaum santri dalam perang kemerdekaan di tahun 1945-1949.

Nah, selama dalam perang kemerdekaan itu, peranan Kiai Wahab Chasbullah tidak bisa dikesampingkan.

Peran Kiai Wahab Chasbullah dalam Resolusi Jihad
Ketika pasukan Sekutu dan Belanda tiba di Surabaya pada Oktober 1945, Presiden Soekarno menemui Hadlratusysyekh KH Hasyim Asy’ari menanyakan hukum membela tanah air ini. Hadlratusysyekh kemudian memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai kharismatik lainnya untuk menyikapi permintaan Soekarno tersebut. Kemudian, Kiai Wahab dan sejumlah kiai mengumpulkan para ulama se-Jawa dan Madura. Mereka berkumpul di Bubutan, Surabaya, pada 22-23 Oktober 1945. Rapat dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah sendiri setelah dibuka oleh Kiai Hasyim Asy’ari dengan amanah khusus tentang pentingnya jihad membela agama dan negara dan bangsa. Menurut Kiai Hasyim Latif dan Kiai Saifuddin Zuhri, rapat tersebut memang dipimpin oleh Kiai Wahab dan beliau sendiri yang mendraft teks naskah Resolusi Jihad, setelah meminta pertimbangan Kiai Hasyim Asy’ari dan para hadirin.

Rapat maraton itu kemudian melahirkan pernyataan Resolusi Jihad yang dibacakan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 23 Oktober 1945. Isinya berupa jawaban mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang terkenal dengan istilah Resolusi Jihad. Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular pasukan Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando.

Resolusi Jihad inilah yang kemudian mendorong semangat rakyat Surabaya untuk berjuang pada 10 November 1945. Dan Kiai Wahab disebut hadir sehari sebelumnya dalam pertemuan para tokoh nasioanlsi dalam rangka persiapan mengahdapi ultimatum tentara Inggris.

Selama revolusi kemerdekaan Kiai Wahab Chasbullah juga bergabung dalam gerakan gerilya menentang kembalinya kekuasaan Belanda. Ia menyumbangkan hartanya untuk perlengkapan militer, berhubungan dengan unit-unit grilya dan membantu mengkoordinasi rekrutmen-rekrutmen dan pelatihan terhadap santri di Jawa Timur. “With the onset of the Indonesian Revolution Wahab became involved in the guerilla movement against the returning Dutch forces. He raised money for military equipment, addressed guerilla units and helped coordinate the recruitment and training of santri in East Java”, demikian yang ditulis Fealy berdasarkan sumber dari KH Saifuddin Zuhri dan juga dari wawancara dengan KH Hasyim latif, salah seorang aktor Laskar Hizbullah di Jawa Timur, di Sepanjang, 11 September 1991. Kiai Hasyim Latif sendiri pernah menulis buku berjudul Laskar Hizbullah: Berjuang Menegakkan Negara RI (Jakarta: Lajnah Ta’lif wan Nasyr PBNU, 1995). Buku ini juga mengungkap peranan Kiai Wahab Chasbullah selama Perang kemerdekaan.

Kiai Wahab Chasbullah juga berjasa membentuk laskar-laskar did aeraqhnya sendiri, di Jombang. Laskar Hizbullah Jombang didirikan atas desakan KH Hasyim Asy’ari kepada KH Wahab Chasbullah, akhir Agustus 1945, tak lama setelah kemerdekaan RI diproklamasikan.

Perintah K.H. Hasyim Asy’ari untuk memobilisasi pemuda di Kabupaten Jombang segera disampaikan KH Wahab Hasbullah kepada H Affandi, seorang dermawan yang pernah ditahan oleh Jepang bersama KH Hasyim Asy’ari. Kemudian H Affandi menghubungi A Wahib Wahab, putra KH Wahab Hasbullah yang menjadi Syodanco PETA. H Affandi meminta agar A Wahib Wahab bersedia memimpin Laskar Hizbullah yang akan didirikan. Ketika di Surabaya terjadi pertempuran 10 Nopember, Hizbullah Karesidenan Surabaya disatukan dalam satu divisi yang diberi nama Divisi Sunan Ampel, dipimpin oleh A Wahib Wahab. Penggabungan ini bertujuan untuk memperkokoh serta meningkatkan badan perjuangan umat Islam.

Kiai Wahab Chasbullah dan Barisan Kiai
Nah, setelah Resolusi Jihad dicetuskan, Kiai Wahab kemudian bergerak di lapangan. Itu ditunjukkan dari peran beliau sebagai komandan Barisan Kiai. Barisan Kiai tidak popular di kalangan kaum pergerakan merebut kemerdekaan. Tidak seperti Laskar Hisbullah pimpinan KH Zainul Arifin yang bermarkas di Malang atau Laskar Sabilillah di bawah komando KH Masykur. Barisan laskar kiai khos ini, so dikutip dari KH Saifuddin Zuhri di atas, sudah muncul sejak masa pendudukan Jepang. Pasca Resolusi Jihad, misinya kemudian lebih mengental untuk tujuan-tujuan khusus perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa kita.

Apa itu Barisan Kiai dan apa peran Kiai Wahab di sana?
Dalam buku-buku sejarah resmi, apalagi yang diajarkan kepada anak-anak sekolah, nama Barisan Kiai tidak muncul. Sebutan ini dimunculkan eprt kali oleh seorang santri Kiai Wahab, yang juga aktif dalam pergerakan nasional, KH Saifuddin Zuhri. Dalam buku yang terbit setahun setelah Kiai Wahab wafat, KH Saifuddin Zuhri menulis “Di samping ada ‘Tentara Pembela Tanah-Air’, juga tersusun Laskar HIZBULLAH di bawah pimpinan Almarhum Zainul Arifin, Laskar SABILILLAH di bawah pimpinan Kiai Haji Masjkur, dan BARISAN KIAI dipimpin sendiri oleh Kiai Wahab.”

Mengungkap peran Kiai Wahab sebagai komandan Barisan Kiai di era Revolusi Kemerdekaan tahun 1945-1949 memang amat susah. Karena Kiai Wahab sendiri menutupi keberadaan laskar kiai-kiai khos ini. Dan hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Kalau Peran Kiai Wahab ini bisa terungkap, sudah selayaknya beliau dapat penghargaan anugerah pahlawan nasional untuk tahun ini. Karena dengan barisan ini, perjuangan kemerdekaan di kalangan rakyat benar-benar menjadi dinamit yang mengekalkan semangat heroik dan daya juang rakyat kita di lapangan dalam berperang melawan penjajah.

Di antara sedikit orang yang tahu tentang Barisan Kiai itu, setidaknya dan tiga sumber yang bisa saya tunjukkan di sini:
Pertama, sumber yang ditulis oleh murid beliau sendiri, KH Saifuddin Zuhri. Pernah menjabat sebagai Menteri Agama di era Sukarno, KH Saifuddin Zuhri menulis tiga buku yang mengangkat kiprah Kiai Wahab selama Perang Kemerdekaan. Ketiga buku ini sudah sering saya kutip di atas. Dalam buku ini Kiai wahab disebut sebagai komandan Barisan Kiai pusat.
Kedua, penuturan para informan pelaku sejarah yang pernah bergabung dalam Kesatuan Laskar Hizbullah Surakarta. Pengalaman mereka sudah dibukukan dengan judul Hizbullah Surakarta (UMS Karanganyar, 1992). Dalam buku ini disebut struktur pimpinan Barisan Kiai dan naman-nama kiainya. Karena ini kasusnya Hizbullah Surakarta, maka yang disebut di sana adalah Barisan Kiai Jawa Tengah pimpinan Kiai Ma’ruf; dan Barisan Kiai Surakarta pimpinan Kiai Abdurrahman. Barisan Kiai Sragen dipimpin Kiai Haji Bolkin, KH Muslim, Kiai Ridwan, Kiai Sujak dan Kiai Djarkasi. Disebut juga: “Semula Sabilillah merupakan laskarnya Barisan Kiai. Tetapi para kiai menyadari, akhirnya Sabilillah yang ditampilkan.”
Ketiga, penuturan seorang informan bernama Tamsiri Hadi Supriyanto, mantan komandan Hizbullah di wilayah Surakarta, yang kemudian ditulis oleh Tashadi dalam satu artikelnya berjudul “Hizbullah-Sabilillah Divisi Sunan Bonang dalam Revolusi Kemerdekaan: Lahir dan Pertumbuhannnya”. Dari sumber terakhir ini, kita temukan satu karakter Barisan Kiai. Tidak mendapat gaji, tidak mendapat jabatan tertentu, keiktu sertaan mereka dalam perjuangan kemerdekaan didasarkan pada keikhlasan dan semangat mempertahankan negara dan agama. “Penasehat Laskar Hizbullah-Sabilillah adalah para ulama atau kiai yang memiliki peran dalam pembinaan mental dan ideologi, tetapi kadang-kadang mereka juga ikut berjuang di medan perang. Gabungan para ulama atau kiai dalam laskar Hizbullah-Sabilillah diberi nama Barisan Kiai”.

Barisan Kiai tidak kalah gigihnya dengan ketiga lasykar di atas, dan langsung di bawah pimpinan Kiai Wahab Chasbullah sendiri. Keberadaan Barisan Kiai ini memang sangat dirahasiakan, karena anggotanya terdiri dari para kiai sepuh, yang memang tidak pernah muncul dipermukaan. Bahkan di antaranya sudah tua renta, yang berjalan dan melihatpun pun sudah tidak mamapu. Namun demikian, mereka tokoh yang disegani.

Kelahiran Barisan Kiai ini tidak diketahui persis, karena ia merupakan komitmen para kiai sejak lama dan ‘khas’. Tapi, Jepang mengetahui pergerakan mereka. Dan tak lama mereka menangkap serta memenjarakan tokoh-tokoh kunci, seperti Hadrotusy Syekh KH Hasyim Asy’ari, KH Machfudz Siddiq. Dan ternyata, para kiai yang ditangkapi tidak hanya di Jombang dan Surabaya, tapi juga di Wonosobo, Banyumas, Magelang. Sikap Jepang yang keras membuat Kiai Wahab Chasbullah, keliling Jawa, selama empat bulan, guna membela para koleganya yang dipenjara.

Disebutkan dalam buku ketiga di atas, Ketua Barisan Kiai Jawa Tengah KH Ma’ruf, Barisan Kiai Solo dipimpin KH Abdurrahman yang usianya sudah sangat uzur, Barisan Kiai Sragen dipimpin KH Bulkin. Para kiai itu menjadi pembimbing kapan musuh datang dan harus menyerang. Dan para kiai pula yang tergabung dalam Barisan Kiai yang memberi doktrin bela negara-bela agama di kalangan para anggota laskar perjuangan. Dan itu semua berkat perjuangan al-maghfur-lah Kiai Wahab Chasbullah.


*KH Ahmad Baso adalah salah satu cendikiawan NU yang telah banyak menelurkan banyak buku, diantara yang fenomenal dari karyanya adalah Pesantren Studies. Beliau sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (PP Lakpesdam NU).

Selasa, 04 November 2014

Laporan Observasi di PW LAZIS NU Jawa Tengah & PC LAZIS NU Kota Semarang

15.54 0
Laporan Observasi  di PW LAZIS NU Jawa Tengah & PC LAZIS NU Kota Semarang

Laporan Observasi
Lembaga Amil Zakat Infaq Sadaqah Nahdlatul Ulama (LAZIS NU)
PW LAZIS NU Jawa Tengah & PC LAZIS NU Kota Semarang
(Penelitian Dilakukan Bulan Mei 2013 Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Zakat & Wakaf Fakultas Syariah IAIN Jaka Tingkir Kota Slatiga)
Oleh M.  Najmuddin Huda Ad-Danusyiri

  1. Profil LAZIS NU
Sebagai organisasi yang memiliki basis massa terbesar di Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah memutuskan untuk membentuk satu pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS), yang diharapkan menjadi mitra masyarakat dalam menyelesaikan beragam persoalan yang dihadapi. Masalah-masalah yang menjadi titik prioritas dari  pemberdayaan Zakat, Infaq dan Shadaqah tersebut kemudian dijabarkan dalam program-program unggulan dari Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (LAZIS) NU. Melalui institusi Pengurus Pusat LAZIS NU berkhidmat memfasilitasi pada muzakki/donatur untuk ikut serta berbagi dengan masyarakat yang kurang mampu. Komitmen tersebut merupakan tanggung jawab  moral bagi PP LAZIS NU agar kaum dhu'afa dapat keluar dari kemelut hidup mereka, yang pada gilirannya akan tebentuk suatu komunitas masyarakat yang dicita-citakan bersama memberdayakan Umat.
Dalam rangka mengsukseskan progam kerjanya, dibentuklah perwakilan LAZIS NU baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Diantara LAZIS NU yang terdapat di tingkat wilayah adalah Pengurus Wilayah (PW) LAZIS NU Jawa Tengah. PW LAZIS NU Jateng berkantor di kantor Gedung NU Jawa Tengah yang berlamatkan di Jalan Dr. Cipto No. 180 Kota Semarang. Saat ini PW LAZIS NU Jateng dipimpin oleh Dr. Muhammad Sulthon, M.Ag. Selain menjabat sebagai ketua LAZIS NU Jateng, beliau juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Beliau adalah  ketua ketiga semenjak didirikannya PW LAZIS NU Jateng. Dan saat ini beliau menjabat pada periode kedua dan akan berakhir tahun ini.
Diantara LAZIS NU yang berada di tingkat kabupaten kota adalah Pengurus Cabang (PC) LAZIS NU Kota Semarang.  Menurut bapak M. Sulthon, PC LAZIS NU Kota Semarang termasuk salah satu diantara beberapa PC LAZIS NU di Jawa Tengah yang aktif mengelola zakat masyarakat. Tapi sayangnya sampai saat laporan ini ditulis, struktur kepengurusannya yang baru belum terbnetuk setelah berakhirnya masa bakti kepengurusan yang lama beberapa saat yang lalu. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Bapak Drs. H. Anashom, M.Hum., selaku ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Semarang. Sedangkan kantor PC LAZIS NU sendiri beralamatkan di Jalan Puspogiwang Semarang Barat. Untuk sekedar diketahui, selain menajabat sebagai ketua PCNU Kota Semarang Bapak Drs. H. Anashom, M.Hum., juga menjabat sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.
Berbeda dengan lembaga amil zakat lainnya, dalam ketentuan beberapa hal setiap pengurus wilayah maupun cabang LAZIS NU masih mengikuti organisasi pusatnya. Seperti dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), progam kerja utama, dasar hukum, visi-misi dan beberapa ketentuan lainnya. Hal ini disebabkan karena perwakilan di tingkat provinsi maupun cabang diposisikan sebagai lembaga yang masih menginduk kepada organisasi pusatnya. Walaupun begitu pembentukan perwakilan di setiap wilayah maupun kabupaten kota tidak dilakukan oleh organisasi induk atau pusatnya (PP LAZIS NU), tetapi dibentuk dan diterbitkannya Surat Keputusan (SK) oleh Pengurus Wilayah (PWNU) atau Pengurus Cabang (PCNU) setempat. Hal ini disebabkan karena sifat hubungan antara cabang dengan dengan pusatnya adalah hubungan koordinatif, bukan hubungan direktori.
Pembentukan PW dan PC LAZIS NU sendiri atas kuasa PWNU dan PCNU setempat. PP LAZIS NU hanya dapat bertindak sebagai sebagai inisiator dan anggota tim formatur pada pembentukan PW dan PC LAZIS NU, begitu juga dengan PW LAZIS NU terhadap PC LAZIS NU. Pembentukan kepengurusan PW LAZIS NU maupun PC LAZIS NU dapat terlaksana melalui muktamar atau kongres. Kemudian PWNU akan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk mengesahkan dan melegitimasi hasil kongres PW LAZIS NU tersebut. Hal tersebut berlaku juga atas PCNU terhadap PC LAZIS NU. Dan selama belum terbentuk LAZIS NU di tingkat kabupaten-kota, maka pengelolaan zakat di daerah tersebut menggunakan jasa PCNU setempat. Hal ini sepeti yang diutarakan Bapak Sulthon.
Seperti yang bisa dilihat dari bagan diatas, dibawah PP LAZIS NU ada Manajemen. Manajemen inilah yang kemudian akan bekerja full time untuk mengsukseskan semua progam kerja yang telah diprogamkan. Dan adanya manajemen itu pun seharusnya juga ada di tingkat PW LAZIS NU dan PC LAZIS NU. Tetapi bapak M Sulthon sendiri mengakui bahwa di PW LAZIS NU Jawa Tengah sendiri belum terbentuk manajemen seperti yang telah diprogamkan oleh PP LAZIS NU. Belum terbentuknya manajemen tersebut terkendala beberapa hal yang akan kami jelaskan dalam sub bab progam kerja.

  1. Dasar Hukum LAZIS NU Jawa Tengah
Seperti yang telah kami jelaskan diatas, dalam beberapa ketentuan pengurus wilayah atau cabang mengikuti organisasi pusatnya. Diantaranya adalah tentang dasar hukumnya. Sehingga dasar hukumnya yang diapakai di tingkat wilayah maupun kabupaten kota sama dengan yang dipakai di tingkat wilayah maupun kabupaten-kota. Dasar hukumnya PP LAZIS NU sendiri adalah:
                       1.          Al-Qur'an Al-Karim
                       2.          Hadits Nabi
                       3.          Undang Undang RI Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
                       4.          SK Menteri Agama RI Nomor 373 Tahun 2003  Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 38  Tahun 1999
                       5.          SK Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Nomor 037 /A.II.03 .e/5 /2005  Tentang Susunan Pengurus Pusat Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZIS NU) Masa Jabatan  2004-2009
                       6.          SK Menteri Agama RI No. 65 Tahun 2005 Tentang Pengukuhan Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZIS NU)
Dasar hukum diatas kami ambil dari salah satu website, yaitu www.mtsfalakhiyah.wordpress.com, karena dalam website resmi PP LAZIS NU tidak memposting tentang dasar hukumnya secara lengkap. Dalam website yang di posting pada tanggal 07 Juli 2011 tersebut ternyata hanya mencantumkan undang-undang zakat yang lama, yaitu UU RI No 38 Tahun 1999 sebagai dasar hukum LAZIS NU, dan tidak mencantumkan undang-undang zakat terbaru, yaitu UU RI No. 23 Tahun 2011. Tetapi sewaktu kami mengkonfirmasikannya kepada Bapak Sulthon selaku  ketua PW LAZIS NU Jawa Tengah, beliau mengatakan bahwa LAZIS NU telah menggunakan UU No. 23 Tahun 2011 sebagai dasar hukum dan menjadikannya acuan untuk menjalankan progam-progam LAZIS NU.
Dan yang menjadi catatan penting adalah regulasi LAZIS NU baik di tingkat wilayah maupun kabupaten-kota mengikuti regulasi yang berlaku di tingkat pusat. Pengurus wilayah dan pengurus cabang merupakan pengaman terhadap regulasi tingkat pusat.

  1. VISI dan MISI LAZIS NU Jawa Tengah
Seperti yang sudah kami tulis di atas, bahwa Visi dan Misi PW LAZIS NU Jawa tengah sama dengan PP LAZIS NU, yaitu:
Visi
Bertekad menjadi lembaga pengelola dana masyarakat (zakat, infak, sedekah, CSR dll) yang didayagunakan secara amanah dan profesional untuk pemandirian umat  
Misi
ü   Mendorong  tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah dengan rutin dan tepat 
ü   Mengumpulkan/menghimpun dan mendayagunakan dana zakat, infaq dan sedekah secara profesional, transparan, tepat guna dan tepat sasaran 
ü   Menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat guna mengatasi problem kemiskinan, pengangguran dan minimnya akses pendidikan yang layak 

  1. Program Kerja
Diantara progam kerja baik PW LAZIS NU Jawa Tengah maupun PC LAZIS NU Kota Semarang adalah mengsukseskan progam kerja PP LAZIS NU, yaitu:
a.       Nu Care
Yaitu Program bantuan langsung (Immediate aid) dan tanggap bencana Program bantuan langsung (Immediate aid) dan tanggap bencana
b.      Nu Preneur
Yaitu Permodalan dan pendampingan usaha bagi pedagang kaki lima dan usaha  rumahan
c.       Nu Skill
Yaitu Pembekalan ilmu-ilmu terapan yang diperuntukkan bagi anak- anak putus sekolah atau yang tidak melanjutkan ke pendidikan lebih  tinggi
d.      Nu Smart
Yaitu Islam mengatur cara dan kaidah dalam mengelola dan melindungi  kepemilikan harta, seperti mewajibkan zakat bagi pemiliknya. Tidak hanya itu saja, Islam juga menggalakkan infaq dan sedekah.
Selain itu, PW LAZIS NU Jawa Tengah juga mempunyai progam-progam sendiri selain progam-progam diatas. Progam-progam tersebut adalah:
a.       Sosialisasi tentang zakat, infaq dan sadaqah
b.      Training atau pelatihan manajemen.
c.       Memobilisasi PC LAZIS NU yang ada di Jawa Tengah.
d.      Membentuk  manajemen LAZIS NU Jawa Tengah
e.       Membentuk atau menjadi inisiator terbentuknya PC LAZIS NU di kabupaten-kota se-Jawa Tengah.
Progam yang terakhir inilah yang menjadi progam unggulan PW LAZIS NU Jawa Tengah, yaitu membentuk Pengurus Cabang LAZIS NU di setiap kabupaten kota di Jawa Tengah.
                                               
  1. Manajemen Pengelolaan
PW LAZIS NU Jawa Tengah
Apabila progam-progam diatas dirasa kurang menyentuh langsung kepada lapisan bawah (mustahiq atau muzakki), memang hal adanya demikian. Hal ini disebabkan karena posisi pengurus wilayah sendiri lebih kepada mengkoordinasi antara cabagn dengan pusat. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi pengurus wilayah untuk melaksanakan progam kerja yang langsung bersentuhan dengan mustahiq atau muzakki. Hal ini bisa dilihat dari kegiatan PW LAZIS NU Jawa Tengah yang mendistribusikan daging kurban yang berasal perusahaan EXTRA JOSS yang bekerjasama dengan PP LAZIS NU. Selain itu pengurus wilayah juga memungkinkan untuk mengumpulkan zakat dari muzakki, akan tetapi sifatnya terbatas dan insidentil. Sedangkana yang melakukannya secara permanen adalah pengurus pusat dan pengurus cabang kabupaten atau kota. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Bapak Sulthon.
Dengan sifatnya sebagai koordinator antara pusat dan cabang, maka pengurus wilayah dapat mengfasilitasi setiap pengurus cabang mengajukan permohonan mendapatkan zakat dari pengurus pusat untuk kemudian didistribusikan di wilayahnya masing-masing. Atau memutuskan kabupaten atau kota mana saja yang akan diberi amanah untuk mendistribusikan zakat yang berasal dari pengurus pusat. Hal ini disebabkan karena pengurus pusat (PP LAZIS NU) memiliki sumber zakat atau dana yang lebih banyak atau besar.
Bapak Sulthon juga menambahkan bahwa pengurus cabang bisa mendapatkan sumber zakat melalui dua cara. Yang pertama dengan mengusahakannya dari kota atau kabupatennya sendiri-sendiri. Yang kedua adalah mendapatkan sumber zakat dari pengurus pusat, baik dengan cara mengajukan atau ditunjuk. Dan apabila ditunjuk maka pengurus wilayah lah yang akan menentukan. Tetapi pada umumnya pengurus cabang mendapatkan sumber zakatnya dari kabupaten atau kotanya masing-masing.
Sedangakan untuk pemenuhan azsanya, PW LAZIS NU Jawa Tengah telah memenuhi 7 asas dalam UU No. 23 Tahun 2011, yaitu syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas. Hal ini dibuktikan dengan dibuatnya laporan tahunan yang kemudian dilaporkan kepada pengurus pusat untuk dibuat jurnal.

PC LAZIS NU Kota Semarang
Sedangkan PC LAZIS NU Kota Semarang mempunyai sumber zakat sendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Sumber tersebut berasal dari BMT NU yang dimiliki oleh PCNU Kota Semarang. Zakat dari BMT NU tersebut dinamakan dengan ZIS Sosial. Saat ini BMT NU PCNU Kota Semarang sendiri sudah mempunyai kantor cabang pembantu (KCP) sebanyak 24 cabang yang tersebar di seluruh Jawa Tengah. Kantor pusat BMT NU itu sendiri berada di Mangkang Semarang. Sedangkan cara pengambilan zakatnya itu sendiri berasal dari sisa hasil usaha (SHU) sebanyak 5%.
Memang untuk saat ini sumber zakat PC LAZIS NU Kota Semarang baru berasal dari BMT, belum ada sumber lain. Hal tersebut bisa terjadi karena ada beberapa kendala apabila mengambil dari sumber lain. Kendala-kendala tersebut akan kami jelaskan pada sub bab berikutnya.
Sedangkan untuk penthasharufannya, PC LAZIS NU Kota Semarang melakukakn beberapa prosedur atau cara. Diantaranya adalah:
a.       Untuk kegiatan organisasi Nahdlatul Ulama di Kota Semarang
b.      Santunan
c.       Peduli bencana, seperti bantuan pada saat terjadinya banjir di Mangkang dan angin lesus di dekat Masjid Agung.
d.      Untuk kepentingan MWC NU, Ranting atau badan otonomnya (Banom). Caranya adalah dengan mengajukan permohonan kepada PC LAZIS NU.

  1. Kendala Pelakasanan Progam
PW LAZIS NU Jawa Tengah
                        Menurut Bapak Sulthon, kendala yang dihadapi oleh PW LAZIS NU Jawa Tengah bermacam-macam. Diantaranya adalah pengurus wilayah tidak mempunyai rakyat, sehingga sangat sulit melaksanakan progam-progamnya. Karena yang mempunyai rakyat adalah pengurus cabang. Seringkali pelaksanaan progam oleh pengurus wilayah bertabrakan dengan pengurus cabang.
                        Kendala berikutnya adalah dalam bidang manajemen, yaitu progam kerja sudah dilaksanakan oleh pesantren dan pengurus cabang. Dan antara pesantren dan pengurus cabang sudah mempunyai dana tersendiri.  Sehingga pelaksanaan manajemen dan pembentukannya di tingkat wilayah akan sulit, karena terkendala dengan tradisi yang sudah ada di kalangan Nahdliyyin.
                        Selain itu juga yang menjadi kendala adalah main saje orang NU yang menyulitkan terlaksana progam kerja. Apalagi masyarakat  NU (Nahdliyiin) sendiri sudah mempunyai tradisi yang sudah berjalan. Sehingga bisa dikatakan bahwa pergerakan LAZIS itu sangat kontra dengan tradisi yang sudah mapan di masyarkat, terutama kaum kiyai dan nahdliyyin.
                        Sedangkan kendala pembuatan pengurus cabang baru diantaranya adalah kendala manajerial, yang mana sangat sulit mencari orang yang mempunyai kemampuan manjemen mengelola zakat yang baik. Selain itu juga adanya benturan dengan tradisi setempat. Dan yang menjadi kendala lainnya yang tidak kalah penting adalah kendala politik. Hal ini sering terjadi jika ketua LAZIS NU berbeda partai politiknya denga ketua PCNU atau tokoh masyrakat setempat.

PC LAZIS NU Kota Semarang
a.       Kendala terdapat pada lingkup jama’ah dan pesantren yang sudah melaksanakan zakat dan infaq kepada kiyai atau tokoh masyarakat.
b.      Karakteristik orang NU.
c.       Berada di lingkungan perkotaan
d.      Pengurus belum maksimal

  1. Pandangan Terhadap UU No. 38  Tahun 1999 dan UU No. 23 Tahun 2011
1.      Pendapat Dr. Muhammad Sulthon, M.Ag. (Ketua PW LAZIS NU Jawa Tengah)
Pandangan beliau terhadap UU No. 23 Tahun 2011 adalah LAZ merasa tidak terlindungi oleh pemerintah. Undang-undang tersebut lebih memihak kepada BAZ. Selain itu juga lembaga-lembaga zakat pada undang-undang terbaru lebih diperketat. Dan dominasi juga lebih kepada BAZ. Tetapi persoalaan sebenarnya bukan berada pada dominasi atau keberpihakan, tetapi lebih kepada persoalan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang begitu rendah. Karena para pemimpin tidak memberikan rasa kepercayaan kepada masyarakat.
Bapak sulthon juga menambahkan bahwa pemerintah sendiri kurang menghargai Lembaga Swadaya Masyrakat (LSM). Padahal selama ini masyarakat menjadikan ulama’ sebagai sumber legitimasinya. Kemudian kepercayaan masyarakat kepada pemerintah juga rendah. Hal inilah yang seharusnya disadari oleh pemerintah.
Zakat sendiri menurut beliau bisa dijadikan sebagai tolok ukur kepercayaan masyrakat kepada pemerintah. Apabila pengelolaan zakat dan tingkat partisipasi masyarakat dalam membayar zakat itu tinggi, ini menunjukkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah juga tinggi. Tetapi apabila partisipasi masyarakat rendah, maka kepercayaan itu rendah pula.
Beliau juga menyinggung perbedaan dengan undang-undang yang lama (UU No. 38 Tahun 1999) yang hanya memberikan sanksi kepada lembaga apabila ada pelanggaran, bukan kepada muzakki. Tentu hal ini akan sangat bertentangan dengan tradisi yang sudah mapan di masyarakat, terutama kaum nahdliyyin. Karena masyarakat lebih banyak yang memberikan zakatnya kepada para kiyai atau tokoh masyarakat mereka. Tentunya dalam hal tersebut masyarakata dapat dikenai sanksi apabila dikaitkan dengan undang-undang yang baru. Dalam masalah ini PP LAZIS NU dan PW LAZIS NU Jawa Tengah berada dalam posisi membela tradisi.
Walaupun begitu beliau tidak serta merta menyalahkan pemerintah, karena bila dilihat dari sisi normatif agama hal tersebut ada benarnya juga. Zakat menurut beliau merupakan ajaran agama yang penyelenggaraannya bisa dilaksanakan atau di gerakkan secara sempurna apabila ada campur tangan ulil amri (pemerintah). Bahkan menurut beliau, campur tangan ulil amri atau pemerintah dalam hal zakat adalah keharusan. Beliau berpendapat seperti itu bertendensi kepada dua hal, yang pertama adalah Nabi Muhammad sendiri dalam kapasitasnya sebagai pemimpin pernah menghimpun zakat. Hal yang kedua adalah tindakan Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap persoalan zakat dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Kedua kisah tersebut memberikan pemahaman bahwa pemerintah sangat perlu untuk ikut aktif dalam penyelengaraan ajaran agama apabila memang sangat di butuhkan. Tetapi lanjut beliau, hal ini akan sangat berlainan apabila dikaitkan dengan sholat dan masjid yang mana pemerintah tidak punya hak untuk ikut campur dalam penyelengaraan ajarannya.
                        Hal diatas sebenarnya bisa terjadi merupakan konsekuensi menganut Pancasila. Menurut beliau agama dan negara mempunyai sifat hubungan simbiosis mutualisme. Sehingga diantara keduanya saling menguntungkan dan membutuhkan.
                        Diakhir wawancara dengan kami, Bapak Sulthon mengungkapkan keinginan dan harapannya, yaitu agar kedepannya manjemen dan pengelolaan zakat di LAZIS NU dapat berjalan lebih baik. Karena baik buruknya sebuah lembaga pengelola zakat lebih dinilai dengan baik atau tidaknya sistem dan manajemen pengelolaannya, bukan dengan dengan banyaknya dana yang masuk. Beliau mencontohkan dengan tranparansi satu ekor sapi yang kemudian didistribusikan dengan transparan dan tepat sasaran pada wilayah yang membutuhkan akan lebih baik dibandingkan pendistribusian seribu ekor sapi yang tidak transparan dan tidak tepat sasaran. Dengan transparansi dan ketepatan sasarannya maka zakat akan secara jelas didistribusikan kepada daerah-daerah yang memang  membutuhkan.

2.      Pendapat Drs. H. Anashom, M.Hum. (Ketua PCNU Kota Semarang)
Beliau berpandangan bahwa UU No 23 Tahun 2011 mempunyai tujuan yang sangat bagus. Akan tetapi pemerintah sendiri seakan tidak ada upaya untuk melaksanakannya dengan baik. Hal ini bisa dbuktikan dengan belum adanya peraturan pelaksana undang-undang tersebut sampai sekarang. Dengan melihat sikap pemerintah yang seperti itu undang-undang tidak akan jalan, baik di kalangan nahdliyyin maupun di masyarakat lain.
Beliau juga sempat menyinggung beberapa pasal dalam undang-undang tersebut yang sangat bertentangan dengan tradisi NU dan masyarakat. Walaupun beliau juga mengungkapkan akar terbukanya kesempatan untuk menguji materikan pasal-pasal tersebut, tetapi labih baik untuk mengsosialisakan dan mencobanya terlebih dahulu kepada masyrakat. Hal ini untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap undang-undang tersebut.
Daftar Pustaka

Wawancara dengan Dr. Muhammad Sulthon, M.Ag. Kamis, 02 Mei 2013. Pukul 14.30-16.00 WIB. di Kantor Dekan Fakultas Dakwah Kampus 3 IAIN Walisongo. Jalan Prof. Dr. Hamka Ngaliyan Semarang.
Wawancara dengan Drs. H. Anashom, M.Hum. Kamis, 02 Mei 2013. Pukul 16.00-16.30 WIB. di Kantor Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah Kampus 3 IAIN Walisongo. Jalan Prof. Dr. Hamka Ngaliyan Semarang.
http://www.lazisnu.or.id/
http://mtsfalakhiyah.wordpress.com/